Tante Zoia mendelik ketika pagi ini aku mengatakan tidak bisa tinggal di rumahnya. Begitu pun dengan Om Javas yang tidak setuju aku keluar dari rumah mereka.
“Apa salahnya tinggal di sini? Om dan Tante nggak akan ngelarang atau mengekang kamu kok. Om kan juga pernah muda.”
“Bukannya gitu, Om, tapi sayang aja kalo fasilitas dari mereka nggak dimanfaatin,” jawabku mengemukakan alasan sambil nyengir.
Om Javas dan Tante Zoia akhirnya hanya bisa mengesah pasrah karena aku begitu teguh dengan pendirianku.
“Ya sudahlah, jaga diri baik-baik. Kalo lagi nggak sibuk jangan lupa main ke sini.”
“Baik, Om.”
“Kalo butuh mobil bawa aja. Mobilnya Kaka ada tuh yang lagi nganggur. Pilih aja maunya yang mana.”
“Sekali lagi makasih, Om, tapi aku dikasih mobil juga, sayang kalo dianggurin.”
Selain apartemen, Alan juga meminjamkan salah satu mobilnya padaku untuk memudahkan transportasi selama di sini. Bodoh namanya kalau sampai kutolak.
Suara klakson di depan pagar mengalihkan perhatian kami. Aku, Om Javas, dan Tante Zoia serentak memandang ke arah yang sama. Tampak di sana sebuah jeep hitam baru saja berhenti.
“Om, Tante, aku pamit dulu. Itu aku udah dijemput.”
“Hati-hati, Fai.” Om Javas dan Tante Zoia serempak menjawab. Hanya ada mereka berdua di sana sedangkan Bjorka sudah sejak tadi berangkat ke kantor. Ada meeting penting katanya.
Cataleya menyambutku dengan senyumnya saat aku membuka pintu mobil. Senyumnya itu seakan menyihir cuaca di pagi yang mendung ini menjadi cerah.
“Tadi aku pikir Alan bakalan nyuruh supir yang menjemput.”Dia tersenyum lagi. “Nggak masalah kan kalo aku yang jemput?”
Tentu saja tidak masalah. Siapa memangnya yang akan menolak disupiri perempuan secantik, seseksi dan se-hot ini?
Eh, kenapa aku jadi memujinya?
Tapi serius, bukan hanya senyumnya saja yang mencerahkan. Namun dress berwarna ungu yang berpadu dengan kulit terangnya membuat Cataleya bagaikan bunga Cattleya yang sedang yang mekar. Dress itu begitu indah, namun hanya sampai sepaha Cataleya sehingga mengekspos dengan jelas kulitnya yang putih dan mulus. Gadis yang anggun berada di belakang kemudi sebuah jeep yang ‘gagah’ adalah definisi lain dari kata hot and powerful menurut sudut pandangku. Aku jarang melihat perempuan mengendarai jeep.
"Fai, kamu sudah sarapan?" tanyanya setelah mobil yang dikendarainya melaju sejauh dua ratus meter dari rumah tanteku.
"Sudah, tadi."
Cataleya mengangguk singkat lalu memusatkan perhatiannya pada jalan raya di depan kami. Tapi justru aku yang merasa penasaran. Sejumlah pertanyaan berputar di kepalaku mengenai pendengaranku kemarin malam.
"Cataleya ..." Aku memanggilnya.Dia menoleh. "Just call me Leya."
"Okay, Leya,” ucapku seperti yang dia inginkan.
"Iya, kenapa, Fai?" Ada yang ingin ditanyakan?"
"Tentang semalam. Alan bilang aku fotografer pilihan kamu. Maksudnya gimana?"
Cataleya memperbaiki posisi duduknya tapi tetap saja dress-nya yang minim tidak mampu menutupi pahanya.
Pemandangan seperti ini adalah makananku sehari-hari saat di Amerika. Tapi entah mengapa Cataleya vibes nya begitu berbeda."Jadi waktu itu kami lagi mencari fotografer baru. Ada beberapa orang kandidat. Tapi aku mengusulkan pada Alan agar memilih kamu. Alan setuju sehingga akhirnya jadilah kamu ada di sini."
Bibirku melengkung mendengar penuturan Cataleya. Tapi bukan berarti aku langsung merasa puas atas penjelasannya. Malah pertanyaan lain tumbuh subur di benakku."Alasannya apa? Kenapa aku yang terpilih?" Aku yakin para kandidat lainnya memiliki jam terbang yang sudah tinggi atau malah jauh lebih tinggi.
"Karena aku tertarik setelah melihat portofolio kamu. Dan juga ..." Cataleya menggantung kalimatnya yang memancingku untuk kembali bertanya.
"Dan juga apa?" tanyaku merasa ingin tahu.
Cataleya menolehkan kepalanya padaku. Lalu bibir ranumnya bergerak melafalkan kalimat.
"You are the most handsome photographer that i’ve ever met."Aku ingin tersenyum tapi entah mengapa mulutku terkatup rapat. Selama beberapa saat kami saling menatap sampai akhirnya Cataleya memalingkan muka, kembali fokus memerhatikan jalan raya.
Lalu aku sibuk dengan pikiran sendiri.***
Kami tiba di apartemen tempatku tinggal selama di Indonesia. Hunian itu berwarna putih bersih. Furniture yang mengisinya rata-rata juga berwarna aman."Aku nggak tahu kamu suka warna apa jadi kupilihkan saja warna-warna netral," kata Cataleya saat kami melewati sofa abu-abu lalu dia menuntunku mengikutinya. Dia mengajakku room tour mengitari setiap sudut apartemen."Ada satu kamar di sini, kamar mandi di dalam, dapur yang menyatu dengan ruang makan dan balkon." Bersama dengan kata terakhirnya kaki kami tiba di kamar. Lalu Cataleya membuka pintu balkon. Seketika udara segar menyergap masuk.Aku dan Cataleya berdiri di pinggir pembatas balkon memandang keramaian jalanan di bawah sana. Dari ketinggian lantai dua puluh semuanya tampak bagai kotak-kotak kecil."Fai, apa ada yang kurang?" Cataleya bertanya padaku sembari memutar tubuhnya menghadap ke arah kamar. Aku ikut melakukan hal yang sama."Sudah cukup," jawabku. "Kamu suka apartemennya?""Suka sekali." Aku mengacungkan jempol. Satu-
CATALEYAFai mengantarku pulang. Tadi aku menemaninya tidak hanya ke apartemen tapi juga studio. Setelahnya kami makan siang, mengunjungi kantor manajemen model milik Alan, jalan-jalan berkeliling Jakarta, hingga terasa hari sudah sore. Aku tidak tahu entah kenapa waktu begitu cepat berlalu saat bersama Fai. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja karena keasyikan."Baru pulang kamu?" Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku memasuki rumah lalu melintas di ruang tengah."Iya, Ma," jawabku pada Mama Nuri, ibu mertuaku.Mama Nuri geleng-geleng kepala sembari melirik jam dinding. Aku ikut melempar mata ke arah yang sama. Baru jam lima sore tapi respon Mama Nuri seakan aku pulang jam dua belas malam."Dari mana saja?" tanyanya lagi menginterogasi dengan tatapan tegasnya."Dari kantor Alan, Ma.""Ngapain sih pakai keluyuran kalau nggak ada tujuan yang jelas?""Tadi Alan meminta aku mengantar fotografer yang baru sekalian memberitahu dia mengenai pekerjaanya." Aku menjawab apa adanya."Hany
CATALEYAPagi ini aku jalani tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Seperti yang kudengar dari kebanyakan orang, tinggal di rumah mertua senangnya hanya sementara. Sisanya adalah penyiksaan batin.Seperti pagi ini. Saat aku bantu-bantu menyiapkan sarapan, Mama Nuri kembali menyinggung masalah kehamilan. Awalnya memang membahas masalah lain. Mulai dari rutinitas sehari-hari sampai pada makanan. Lalu entah mengapa topik obrolan bergeser begitu saja.Aku hanya diam mendengarkan saat mertuaku itu berceramah. Tapi entah mengapa apapun sikap yang kutunjukkan selalu terkesan salah di matanya. Aku diam salah, menjawab kata-katanya lebih salah lagi.“Jangan cuma diam, Leya! Mama sudah capek-capek bicara dari tadi, apa kamu nggak dengar?”“Dengar, Ma,” jawabku pelan.“Jangan cuma dengar, tapi lakukan apa yang Mama katakan. Sekali-sekali kamu yang harus agresif. Jangan cuma menerima. Mama malu semua teman Mama nanya kapan kamu akan hamil. Masa kalah dari orang yang baru nikah dua minggu!”“Tapi
FAITerbiasa ada Mama selama tinggal di Amerika membuatku sedikit kewalahan. Biasanya apa-apa Mama yang melayani. Mama menyediakan segala kebutuhanku hingga hal-hal paling kecil. Sedangkan aku tinggal terima beres.Pagi ini aku terbangun dengan perut keroncongan. Saat melangkahkan kaki ke ruang belakang di saat itulah aku menyadari jika tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada yang bisa kulahap untuk mengganjal perut yang kosong.Cataleya memang sudah menyiapkan semuanya. Tapi mungkin dia lupa menyediakan makanan untukku.Eh, tapi itu kan bukan termasuk kewajibannya. Tidak ada di dalam kontrak kerja kami bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan perutku.Aku kembali ke depan. Nanti saja sarapan di luar. Kalau tidak salah lihat di sekitar studio banyak penjual makanan. Aku akan mampir di sana atau di drive thru. Terserahlah. Yang penting bisa mengisi perut.Baru saja akan membelokkan kaki ke arah kamar, dentingan suara bel menahan langkahku. Aku berbelok untuk membuka pintu.
Aku keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Sengaja mandi kilat agar dia tidak terlalu lama menunggu. Walau aku tidak tahu dia ada tujuan apa ke studio atau hanya sekadar ingin menemaniku.Cataleya sedang duduk sendiri di sofa. Wajahnya tenggelam di layar gawai. Saking asyiknya dia tidak tahu kedatanganku."Leya ..." Aku memanggilnya.Cataleya mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menyampirkan tas di pundaknya.Kami keluar dari apartemen menuju basement tempat mobil diparkir.Aku pikir kami akan menggunakan kendaraan masing-masing. Tapi aku tidak melihat mobil Cataleya."Mobil kamu di mana?" tanyaku ingin tahu."Aku nggak bawa mobil, tadi pake taksi. Ke studio pake mobil kamu aja."Cataleya masuk ke mobilku setelah kubukakan pintu. Aku nggak punya clue apa-apa mengenai perempuan ini selain tahu bahwa dia adalah istri Alan."Kamu sudah lama nikah sama Alan?" tanyaku mengawali perjalanan."Sudah enam bulan," jawabnya."Lumayan baru ternyata, masih mesra-mesranya."Ca
FAIIni adalah hari keempat belas aku berada di Indonesia. Sejauh ini pekerjaanku lancar. Aku betah di sini. Apalagi rekan-rekan satu team begitu solid. Selain itu ada Cataleya yang sering mengisi waktuku dan menemaniku ke mana-mana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Walau aku sering tidak tahan saat berada bersamanya. Bukan apa-apa. Terlalu dekat dengannya membuatku takut tidak bisa mengendalikan diri. Nggak munafik, Cataleya sangat menarik. Dia begitu menggoda tanpa perlu menjadi penggoda. Aku jamin laki-laki normal manapun tidak akan kebal dari pesonanya.Pukul setengah tujuh malam aku mengakhiri sesi pemotretan model terakhir hari ini.Beberapa photo props terlihat tersebar di setiap sudut studio. Aku membiarkannya. Nanti tugas Tyo membereskannya.Aku akan langsung pulang setelah ini lalu tidur sampai besok. Sebetulnya Devanka mengajak jalan tapi kutolak karena tubuhku lebih butuh untuk diistirahatkan.Pintu studio terbuka sesaat setelah aku menyimpan kamera ke dalam tas. Al
Aku sudah cukup sering memotret banyak perempuan tanpa busana. Tanpa satu helai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Semua itu dilakukan demi tujuan komersial karena mereka berprofesi sebagai model. Namun, ketika permintaan serupa datang dari Alan, wajar kalau aku jadi berpikir panjang. Apa maksudnya memintaku memotret istrinya dalam keadaan tanpa busana?Aku menggaruk pelipis bingung. Sementara Alan menunggu jawabanku.“Gimana, Fai?” desaknya menuntut.“Boleh aku tahu apa alasannya?”“Alasan apa?” Alan membalas pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku nggak ngerti kenapa kamu minta aku buat nge-shoot Leya tanpa busana?”Sempat terpikir olehku jangan-jangan Alan berpikiran untuk menjual foto-foto istrinya. Tapi kemudian pikiran itu terbantahkan dengan sendirinya. Tidak mungkin Alan yang kaya raya tega menjual istri sendiri.“No reason needed. Aku dan Leya melakukannya hanya untuk koleksi pribadi, nggak lebih. Jadi kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan menjual foto-foto itu. Hanya o
CATALEYASuara pintu dibuka terdengar saat aku bersiap untuk tidur. Alan muncul dengan wajah lelah. Aku mengurungkan niat menarik selimut lalu duduk untuk menyambutnya."Tumben baru pulang jam segini?" tanyaku setelah melihat jam dinding."Sibuk banget hari ini makanya baru pulang." Alan menjawab sembari membuka satu per satu kancing kemejanya. "Kenapa belum tidur?" Alan balik bertanya."Rencana tadi mau tidur," jawabku.Alan menarik langkahnya mendekatiku lalu duduk di pinggir ranjang tepat di dekatku. Dia membawa wajahnya mendekati mukaku. Sejurus kemudian bibirnya menyentuh dahiku, mendaratkan sebuah kecupan singkat.Aku mengusap dada polosnya lalu menaikkan pandangan. Mata kami bertemu di titik yang sama. Alan pasti mengerti jika saat ini tatapanku begitu penuh damba.Lalu dengan perlahan tanganku turun mencari sesuatu. Begitu menemukannya, aku meremas dari balik celana. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Dia bergeming meski aku membangunnya.Aku belum putus asa. Tanganku menyelinap m
FAIBagai merasa ada yang memerhatikannya Cataleya memandang ke arahku dan Kenzio. Namun kali ini tidak ada senyum menghiasi bibirnya seperti yang kulihat ketika dia datang di malam berkesan itu.“Itu siapa, Fai?” tanya Kenzio penasaran karena aku menghentikan langkah.“Temen,” jawabku singkat. Baru beberapa menit yang lalu aku mengaku tidak memiliki kekasih tapi sekarang tahu-tahu ada perempuan menunggu di depan pintu.“Cantik banget temen lo, temen apa dulu nih?”“Ya temenlah. Emang temen nggak boleh cantik?”Kenzio mencibir tak percaya lalu meledekku dengan memberi penekanan pada kata ‘temen’. “Berhubung temen lo udah datang jadi gue tetap di sini atau melipir dulu biar kalian bisa quality time?”“Serah lo deh,” jawabku pasrah karena seperti apapun aku menjelaskan padanya Kenzio tetap tidak akan percaya.Sepupuku itu tertawa renyah lalu melangkahkan kakinya di sebelahku.“Udah lama?” tanyaku pada Cataleya setelah kami berhadapan langsung.“Belum terlalu.” Dia menjawab dengan lesu.
FAI"Ya, satu kali shoot lagi. Jarinya letakin di dagu. Bukan begitu. Maksudnya ujung telunjuk kamu yang di dagu." Aku mengarahkan gaya pada Wina, model terakhir malam ini."Gini ya, Fai?" Wina bertanya sambil melakukan apa yang kuminta tapi tetap saja tidak sesuai dengan keinginanku.Aku terpaksa beranjak dari tempat lalu meninggalkan kamera sesaat."Begini, Win." Aku meraih tangannya lalu mengarahkan agar ujung telunjuknya menempel di dagu. Sementara Kenzio senyum-senyum sendiri di sofa sudut ruangan.Aku memang membawa Kenzio ke studio agar dia bisa melihat langsung seperti apa pekerjaanku. Lagian malas sendiri di apartemen, katanya.Aku melanjutkan pemotretan sampai selesai. Setelah model terakhir keluar barulah aku bisa bernapas lega."Jadi fotografer kayaknya enak juga ya. Bisa megang-megang cewek." Kenzio terkekeh saat aku menyimpan kamera ke dalam tas.Aku ikut tertawa walau tidak benar-benar datang dari hati. Hari ini pikiranku tidak jauh-jauh dari Cataleya. Aku tidak tahu ke
FAICataleya bergerak pelan membalikkan badannya mengarah padaku dan Alan. Begitu tatapan kami bertemu dia tampak terkejut karena tidak menyangka akan kehadiranku namun tak urung senyumnya terkembang.“Mari, Fai, silakan,” kata Alan menyuruhku. Aku masih berdiri di sisi pintu.Dengan perasaan ragu aku membawa langkah mendekati Cataleya. Belum sempat mengatakan apapun padanya Alan lebih dulu mendahuluiku bicara.“Sayang, karena sudah ada Fai di sini jadi aku ke kantor dulu. Aku ada meeting dengan Pak Handoko. Nggak enak kalau sampai telat,” ucap laki-laki itu pada istrinya.Seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Cataleya untuk menjawab, Alan memindahkan perhatiannya padaku lalu berkata, “Fai, sorry banget aku harus pergi, aku tinggal nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa,” jawabku kelu sembari membayangkan kemungkinan aku dan Cataleya hanya akan tinggal berdua saja di sini. Di kamar ini. Kamar Cataleya dan suaminya.“Makasih, Fai,” ucap Alan kemudian mengecup kening Cataleya sebelum p
FAIAku terbangun pagi-pagi sekali dengan perut keroncongan. Dengan berat aku memaksa membuka mata. Semalam aku pulang larut karena Devanka mengajak clubbing. Lalu sekarang kepalaku terasa begitu berat akibat sisa-sisa hangover kemarin.Aku berjalan menuju kamar mandi membawa langkah terhuyung-huyung. Setelahnya aku membuka kulkas mencari apa pun yang bisa kusantap. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Persediaan makananku habis. Biasanya Cataleya yang menyediakannya. Namun sudah tiga hari ini Cataleya berangkat ke Bandung. Alan mengajaknya karena ada acara keluarga di sana.Dengan embusan napas berat aku menutup pintu kulkas.Mataku memindai sekeliling, mencari apapun yang bisa kuloloskan ke dalam lambung. Barangkali secangkir teh hangat mampu memanaskan perutku.Masalahnya sekarang aku tidak tahu di mana letak gula dan teh. Selama ini Cataleyalah yang mengaturnya.Setelah mengubek-ubek seisi dapur aku menemukannya di dalam lemari kitchen set.Lima menit kemudian aku sudah duduk di ruang
FAIApa?" Devanka menatapku heran karena aku mencekal lengannya."Lo jangan masuk, Dev. Di dalam berantakan."Devanka terkekeh mendengar alasanku yang mungkin menurutnya aneh."Gue ke sini bukan mau meriksa apartemen lo kotor atau bersih. Lagian kenapa sih lo jadi aneh kayak gini? Udah ah, gue lagi kebelet, gue numpang ke kamar mandi sekalian." Devanka menarik tangannya hingga terlepas dari cekalanku lalu menarik langkah cepat."Dev! Devanka! Tunggu!" Aku mengejarnya.Langkah Devanka terhenti tepat di dekat sofa sebelum berbelok memasuki kamar. Dia melihat Cataleya yang sedang berbaring di sofa.Keduanya sama-sama terkejut. Cataleya duduk dengan cepat sambil menutupi tubuh dengan dress nya. Wajahnya pucat pasi saat tahu siapa yang saat ini berada di dekatnya.Tanpa melihat muka Devanka yang saat ini sedang membelakangiku aku bisa menebak bagaimana bentuk mukanya saat ini.***CATALEYAKehadiran Devanka di apartemen Fai sama sekali tidak ada di dalam prediksiku. Dan aku juga yakin bahw
FAIAku dan Cataleya mengisi waktu dengan menonton televisi di ruang tengah sambil menunggu makanan kami datang. Tadi aku memesannya melalui aplikasi yang populer di Indonesia. Nggak jauh-jauh, menuku adalah burger dan french fries.Cataleya berbaring di pangkuanku, aku membelai kepalanya, menelusupkan jari-jemari ke setiap helai rambutnya yang halus.Tiba-tiba Cataleya membalikkan badan memunggungi televisi. Dia menyembunyikan mukanya di perutku."Kenapa, Leya?" tanyaku padanya."Serem banget filmnya. Nggak ada film yang lain apa? Ngeri aku ngeliat film bunuh-bunuhan kayak gitu.""Jadi maunya nonton film apa?""Yang romantis-romantis atau apa kek.""Nggak ada film romantis jam segini, adanya kita. Atau gimana kalau kita aja yang bikin film romantisnya?"Cataleya spontan menjauhkan kepalanya dari perutku lalu menaikkan pandangannya menatap wajahku. Ada senyum malu-malu tercetak di bibirnya. Dia tidak perlu menjawab karena aku tahu apa jawabannya. Tatapan lembutnya adalah bentuk dari p
CATALEYAFai meneguk air mineral di botol hingga nyaris tandas, menandakan bahwa dirinya benar-benar haus.“Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyanya padaku sambil memberikan botol di tangannya padaku.“Sejak tadi.” Aku menjawab lalu memasukkan botol tersebut ke dalam tas.“Kok aku nggak tau ya?” ujarnya bingung.“Gimana mau tau kalau kamu sibuk sama yang lain.” Aku mengulangi perkataanku tadi.“Bukan sibuk tapi fokus, namanya juga lagi kerja,” jawab Fai berdalih. “Kamu kenapa bisa di sini, udah jam berapa ini?” Dia memeriksa arloji yang melingkar di pergelangannya.“Aku mau nginap di apartemen kamu, Fai.”“Hah?” Fai terlihat kaget mendengar keinginanku.“Ayo!” Aku menarik tangannya agar keluar dari studio.Mau tidak mau Fai mengikuti langkahku. Saat membuka pintu aku melepaskan kaitan tangan dari lengannya. Tempat ini memang sudah sepi, tapi bukan berarti tidak ada orang.“Kamu kenapa? Ada masalah dengan Alan?” Fai menanyakannya saat kami sudah berada di mobil.Andai saja aku bisa bica
CATALEYAAku duduk sendiri di dalam taksi yang membawaku pergi. Malam ini aku meninggalkan rumah menuju apartemen Fai. Demi keamanan agar tidak ada yang mencium jejakku, Alan memintaku menggunakan taksi.Aku belum mengabari Fai kalau malam ini akan datang padanya. Biar saja menjadi kejutan sekalian agar aku tahu bagaimana dia di belakangku.Sesaat kemudian aku berubah pikiran. Mungkin ada baiknya aku tahu dia ada di mana.Aku mengiriminya pesan."Fai, di mana?"Pesanku tidak berbalas bermenit-menit lamanya. Saat aku menelepon dia juga tidak menjawabnya. Apa Fai masih kerja? Tapi ini kan sudah malam."Pak, kita ke studio dulu,” ucapku pada supir taksi."Studio mana, Mbak?" Si supir bertanya melalui spion lalu mengiakan setelah aku menyebut alamat studio milik Alan.Beberapa unit mobil terparkir di depan studio setelah aku tiba di sana. Di antara mobil-mobil itu terselip Jeep yang digunakan Fai untuk transportasi selama di Indonesia. Itu artinya Fai tidak ke mana-mana. Dia masih di dala
CATALEYASetelah memandang padaku dan Alan, Fai memalingkan muka lalu berbicara dengan Nadia. Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi melihat Nadia tertawa-tawa membuatku gerah juga. Apalagi sesekali Nadia mencubit lengan Fai dengan gaya centilnya.Suara batuk Alan memaksaku mengalihkan pandangan dari Fai dan Nadia yang masih bercengkrama berdua."Pulang yuk, aku mau makan siang berdua sama kamu." Alan mengajakku pergi."Kamu aja. Aku udah ada janji makan siang sama Fai." Aku menolak ajakannya mentah-mentah.Alan menghela napas panjang lalu memanggil Fai sambil melambaikan tangan."Fai!"Fai melihat ke arah kami lalu bicara sejenak dengan Nadia sebelum berjalan mendekatiku dan Alan."Hey, Lan." Sapanya pada Alan. Gesturnya biasa. Tidak tampak canggung karena sesuatu yang telah kami lakukan."Leya bilang kalian ada janji makan siang. Bisa kalau dibatalin dulu? Aku lagi ada acara sama Leya."Fai melirikku sedetik lalu mengembalikan perhatian pada Alan."Nggak apa-apa. Kapan-kapan masi