CATALEYA
Pagi ini aku jalani tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Seperti yang kudengar dari kebanyakan orang, tinggal di rumah mertua senangnya hanya sementara. Sisanya adalah penyiksaan batin.
Seperti pagi ini. Saat aku bantu-bantu menyiapkan sarapan, Mama Nuri kembali menyinggung masalah kehamilan. Awalnya memang membahas masalah lain. Mulai dari rutinitas sehari-hari sampai pada makanan. Lalu entah mengapa topik obrolan bergeser begitu saja.
Aku hanya diam mendengarkan saat mertuaku itu berceramah. Tapi entah mengapa apapun sikap yang kutunjukkan selalu terkesan salah di matanya. Aku diam salah, menjawab kata-katanya lebih salah lagi.
“Jangan cuma diam, Leya! Mama sudah capek-capek bicara dari tadi, apa kamu nggak dengar?”
“Dengar, Ma,” jawabku pelan.
“Jangan cuma dengar, tapi lakukan apa yang Mama katakan. Sekali-sekali kamu yang harus agresif. Jangan cuma menerima. Mama malu semua teman Mama nanya kapan kamu akan hamil. Masa kalah dari orang yang baru nikah dua minggu!”
“Tapi hamil dan punya anak bukan perlombaan, Ma, nggak ada yang kalah ataupun menang di sini,” kataku memberi pengertian.
“Mama nggak bilang begitu. Tapi harusnya kamu khawatir kenapa masih belum hamil di saat orang-orang sudah punya anak. Lagian apa kamu nggak malu? Tubuh kamu bagus begini masa kalah dari orang yan badannya kayak papan penggilasan tapi bisa punya anak!” oceh Mama Nuri sembari memandangiku dari puncak kepala sampai ujung kaki.
“Ma, ini semua nggak ada hubungannya sama bentuk tubuh. Bukan berarti orang yang badannya bagus maka akan mudah punya anak dan sebaliknya,” kataku memberi pengertian.
Orang-orang bilang bentuk tubuhku sangat bagus. Bahkan kadang aku tidak percaya diri karena ukuran dadaku yang membusung. Meski sudah disamarkan di balik baju yang longgar, tapi tonjolannya tetap tidak bisa disembunyikan. Begitu pun dengan bokongku yang bulat dan padat berisi.
“Dikasih tahu baik-baik malah ngelawan,” dumel Mama Nuri lalu berdecak.
Aku meninggalkannya sendiri lalu masuk ke kamar daripada terus berdebat yang tidak ada gunanya.
Alan sudah selesai mandi saat aku masuk. Dia melirikku melalui kaca.
“Pagi-pagi udah cemberut aja?” komentarnya melihat mukaku ditekuk.
Aku mendengkus. Gimana aku nggak cemberut kalau selalu aku yang dihakimi atas hal yang bukan menjadi kesalahanku?
Melihatku tidak menjawab pertanyaannya, Alan bergerak dari tempatnya lalu melangkah mendekatiku.
“Ada masalah apa lagi?” tanyanya dengan tangan melingkariku dari belakang.
“Tanya sana sama Mama kamu,” jawabku jengkel.
“Oh …” Alan mengesah pelan bersama pelukannya yang melonggar di tubuhku. “Sabar ya, namanya juga orang tua. Kamu kasih Mama pengertian dulu.”
“Selalu itu yang kamu katakan!” sentakku sambil menepis kuat tangan Alan dari perutku lalu memutar tubuh menghadap padanya hingga kami bertatapan.
Alan tampak kaget atas reaksi yang kutunjukkan. Namun sedetik kemudian mengubah ekspresinya. Alan mengulurkan tangannya membelai pipiku.
Sekali lagi kusingkirkan tangannya. Kali ini aku tidak akan mempan dengan apapun bujuk rayunya. Aku lelah terus-terusan disuruh bersabar menghadapi ibunya yang selalu menyalahkanku padahal anak kesayangannya yang salah.
“Aku nggak sanggup nyembunyiin ini semua dari Mama kamu, Lan. Mending kita jujur mengenai keadaan yang sesungguhnya.”
“Jangan, Leya, Mama nggak boleh tahu. Aku nggak ingin Mama syok.”
“Kalau nggak mau Mama kamu syok makanya kita harus berobat, Lan!” ucapku gregetan.
“Kita kan sudah coba tapi hasilnya sia-sia kan?!” Alan ikut-ikutan menaikkan intonasi suaranya mendengarku emosi.
"Tapi kita nggak boleh menyerah. Masih ada seribu satu jalan yang bisa kita tempuh."
"Nggak, nggak, aku nggak mau buang-buang waktu. aku capek. Aku lelah. Kamu nggak akan ngerti perasaan aku. Semua ini nggak hanya buang-buang waktu tapi membuat aku sangat tertekan. Tolong mengertilah," suara Alan melunak meredakan perdebatan kami."Kenapa harus tertekan? Nggak akan ada orang yang menghina atau menertawakan kamu. Dokter pasti akan menjaga rahasia pasiennya baik-baik. Mereka itu punya kode etik, Lan."
"Sudahlah, Leya. Aku nggak mau kita bertengkar hanya karena membahas masalah ini. Jangan tambah lagi beban pikiranku. Sekarang mendingan kamu ke apartemen Fai, antar sarapan buat dia."
"Apa?" Aku mendelik heran mendengar ide yang dicetuskan suamiku ini. Aku memang sudah hafal kebiasaannya yang selalu suka mengalihkan topik setiap kali kami membicarakan hal penting. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau pengalihannya begitu konyol.
"Dia kan masih baru di sini, pastinya dia butuh waktu untuk beradaptasi. Lagian selama dia di sini kita harus kasih servis yang bagus biar dia betah," jawab Alan menyampaikan argumennya.
"Aku pikir servis kita untuk dia sudah sangat bagus, Lan. Kita sudah kasih dia apartemen sama mobil. Masa sampai perkara makanan kita juga yang urus," kataku tidak sepemikiran dengan Alan.
"Ayolah, Leya, jangan membantah. Lakukan saja apa salahnya." Alan terus memaksaku.
"Jadi aku harus kasih sarapan dia apa?"
"Apapun yang enak. Kamu pasti tahu tempat makanan enak di sini. Atau kalo kamu aja yang bikin juga nggak apa-apa."
"Aku mau bikin apa?"
"Apa aja. Nasi goreng, mie goreng atau apalah yang kamu bisa."
"Rempong banget," kataku tidak setuju.
"Kalo gitu beli aja ya. Nanti setelah sarapan kamu langsung ke sana. Hari ini kamu nggak usah ngantor dulu."
"Maksudnya apa aku nggak boleh ngantor?" Sehari-hari kegiatanku adalah ikut bantu-bantu Alan di kantornya. Kami mengelola usaha manajemen berdua.
"Bukannya nggak boleh, tapi khusus hari ini kamu temenin Fai aja dulu di studio. Ini kan hari pertamanya, aku rasa dia pasti masih canggung."
"Apaan sih, Lan, pake ditemenin segala?" kataku memprotes. Bukannya tidak suka, tapi kemarin aku sudah menemani Fai seharian. Apa masih belum cukup juga?"
Fai itu sudah dewasa. Nggak perlu diajari juga dia pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Ada banyak kru di studio. Dia bisa bertanya atau meminta bantuan jika membutuhkan sesuatu. Jadi aku rasa sikap Alan terlalu berlebihan.
"Ayolah, Sayang, nggak usah banyak protes. Sekarang kita sarapan yuk." Alan mengajakku keluar dari kamar sebelum aku menjawab.Muka masam mertuaku adalah hal yang kutemui saat kami tiba di ruang makan yang membuat selera makanku lenyap seketika.
“Lan, kamu sarapan aja duluan,” ucapku pada Alan.
“Kamu gimana?”
“Aku mau langsung ke apartemen Fai sekalian beliin dia sarapan.”
Alan memberi persetujuan. “Nanti kalo apartemennya berantakan kamu bantu beres-beres sekalian.”
Aku mendelik. Aku ini pembantunya Fai apa?
Tapi karena ingin cepat pergi aku menjawab, “Ya.”
Aku langsung ngacir. Biar jadi urusannya nanti untuk menjelaskan pada mamanya aku ke mana.
***FAITerbiasa ada Mama selama tinggal di Amerika membuatku sedikit kewalahan. Biasanya apa-apa Mama yang melayani. Mama menyediakan segala kebutuhanku hingga hal-hal paling kecil. Sedangkan aku tinggal terima beres.Pagi ini aku terbangun dengan perut keroncongan. Saat melangkahkan kaki ke ruang belakang di saat itulah aku menyadari jika tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada yang bisa kulahap untuk mengganjal perut yang kosong.Cataleya memang sudah menyiapkan semuanya. Tapi mungkin dia lupa menyediakan makanan untukku.Eh, tapi itu kan bukan termasuk kewajibannya. Tidak ada di dalam kontrak kerja kami bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan perutku.Aku kembali ke depan. Nanti saja sarapan di luar. Kalau tidak salah lihat di sekitar studio banyak penjual makanan. Aku akan mampir di sana atau di drive thru. Terserahlah. Yang penting bisa mengisi perut.Baru saja akan membelokkan kaki ke arah kamar, dentingan suara bel menahan langkahku. Aku berbelok untuk membuka pintu.
Aku keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Sengaja mandi kilat agar dia tidak terlalu lama menunggu. Walau aku tidak tahu dia ada tujuan apa ke studio atau hanya sekadar ingin menemaniku.Cataleya sedang duduk sendiri di sofa. Wajahnya tenggelam di layar gawai. Saking asyiknya dia tidak tahu kedatanganku."Leya ..." Aku memanggilnya.Cataleya mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menyampirkan tas di pundaknya.Kami keluar dari apartemen menuju basement tempat mobil diparkir.Aku pikir kami akan menggunakan kendaraan masing-masing. Tapi aku tidak melihat mobil Cataleya."Mobil kamu di mana?" tanyaku ingin tahu."Aku nggak bawa mobil, tadi pake taksi. Ke studio pake mobil kamu aja."Cataleya masuk ke mobilku setelah kubukakan pintu. Aku nggak punya clue apa-apa mengenai perempuan ini selain tahu bahwa dia adalah istri Alan."Kamu sudah lama nikah sama Alan?" tanyaku mengawali perjalanan."Sudah enam bulan," jawabnya."Lumayan baru ternyata, masih mesra-mesranya."Ca
FAIIni adalah hari keempat belas aku berada di Indonesia. Sejauh ini pekerjaanku lancar. Aku betah di sini. Apalagi rekan-rekan satu team begitu solid. Selain itu ada Cataleya yang sering mengisi waktuku dan menemaniku ke mana-mana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Walau aku sering tidak tahan saat berada bersamanya. Bukan apa-apa. Terlalu dekat dengannya membuatku takut tidak bisa mengendalikan diri. Nggak munafik, Cataleya sangat menarik. Dia begitu menggoda tanpa perlu menjadi penggoda. Aku jamin laki-laki normal manapun tidak akan kebal dari pesonanya.Pukul setengah tujuh malam aku mengakhiri sesi pemotretan model terakhir hari ini.Beberapa photo props terlihat tersebar di setiap sudut studio. Aku membiarkannya. Nanti tugas Tyo membereskannya.Aku akan langsung pulang setelah ini lalu tidur sampai besok. Sebetulnya Devanka mengajak jalan tapi kutolak karena tubuhku lebih butuh untuk diistirahatkan.Pintu studio terbuka sesaat setelah aku menyimpan kamera ke dalam tas. Al
Aku sudah cukup sering memotret banyak perempuan tanpa busana. Tanpa satu helai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Semua itu dilakukan demi tujuan komersial karena mereka berprofesi sebagai model. Namun, ketika permintaan serupa datang dari Alan, wajar kalau aku jadi berpikir panjang. Apa maksudnya memintaku memotret istrinya dalam keadaan tanpa busana?Aku menggaruk pelipis bingung. Sementara Alan menunggu jawabanku.“Gimana, Fai?” desaknya menuntut.“Boleh aku tahu apa alasannya?”“Alasan apa?” Alan membalas pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku nggak ngerti kenapa kamu minta aku buat nge-shoot Leya tanpa busana?”Sempat terpikir olehku jangan-jangan Alan berpikiran untuk menjual foto-foto istrinya. Tapi kemudian pikiran itu terbantahkan dengan sendirinya. Tidak mungkin Alan yang kaya raya tega menjual istri sendiri.“No reason needed. Aku dan Leya melakukannya hanya untuk koleksi pribadi, nggak lebih. Jadi kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan menjual foto-foto itu. Hanya o
CATALEYASuara pintu dibuka terdengar saat aku bersiap untuk tidur. Alan muncul dengan wajah lelah. Aku mengurungkan niat menarik selimut lalu duduk untuk menyambutnya."Tumben baru pulang jam segini?" tanyaku setelah melihat jam dinding."Sibuk banget hari ini makanya baru pulang." Alan menjawab sembari membuka satu per satu kancing kemejanya. "Kenapa belum tidur?" Alan balik bertanya."Rencana tadi mau tidur," jawabku.Alan menarik langkahnya mendekatiku lalu duduk di pinggir ranjang tepat di dekatku. Dia membawa wajahnya mendekati mukaku. Sejurus kemudian bibirnya menyentuh dahiku, mendaratkan sebuah kecupan singkat.Aku mengusap dada polosnya lalu menaikkan pandangan. Mata kami bertemu di titik yang sama. Alan pasti mengerti jika saat ini tatapanku begitu penuh damba.Lalu dengan perlahan tanganku turun mencari sesuatu. Begitu menemukannya, aku meremas dari balik celana. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Dia bergeming meski aku membangunnya.Aku belum putus asa. Tanganku menyelinap m
FAISudah dua hari aku tidak bertemu dengan Cataleya. Aku tidak tahu dia di mana dan kenapa tidak muncul di studio. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin dia sibuk.Dua hari ini aku juga disibukkan dengan rutinitas harianku. Sama seperti Cataleya, Alan juga tidak menghubungi. Mungkin dia berubah pikiran lalu membatalkan rencana photoshoot istrinya.Sambil bersiul aku membawa langkah setelah keluar dari lift yang membawaku tepat ke lantai dua puluh. Malam ini rencananya aku akan VC-an sama Mama yang katanya sudah kangen berat padaku.Tiba-tiba sesuatu membuat langkah dan siulanku terhenti. Seseorang sedang berdiri tepat di depan pintu unit apartemenku. Seorang wanita lebih tepatnya.Cataleya!Dia benar-benar datang, padahal aku pikir suaminya membatalkan rencana tersebut secara sepihak.Menggunakan little black dress, Cataleya terlihat begitu anggun. Penampilannya menghipnotisku sehingga aku tidak mampu bergerak kemana-mana. Seluruh atensiku tersedot hanya untuk memerhatikanny
Cataleya membingkai senyum lalu mulai bergerak melepaskan gaun hitam yang membungkus tubuhnya. Dengan sekali tarikan pelan gaun tersebut menumpuk di kakinya.Aku masih mampu bertahan saat melihat Cataleya tampil hanya menggunakan bra dan celana dalam yang juga berwarna hitam.Lalu dengan perlahan tangan lembut nan gemulai itu kembali bergerak. Cataleya menggerakkannya ke belakang punggung untuk membuka kait bra. Tapi dia tidak berhasil karena sesaat kemudian meminta bantuanku."Fai, bantuin dong, tolong bukain, kayaknya ada yang nyangkut."Cataleya melangkah menghampiriku lalu memutar tubuhnya membelakangiku.Awalnya ragu, tapi kemudian aku melakukannya. Aku mengumpulkan rambut panjang Cataleya menjadi satu lalu menyampirkan ke depan dadanya. Setelahnya aku mulai melepas pengait bra hingga bagian kiri dan kanan saling terpisah."Done, Leya.""Thanks, Fai," jawabnya pelan sembari menyingkirkan sepotong bra yang tadi membalut dadanya.Tanpa kuduga Cataleya memutar tubuhnya menghadap p
Aku mengambil kacamata hitam yang kugantung di depan baju tepat di bagian dada lalu membingkai wajahku untuk menangkis serangan cahaya matahari begitu turun dari pesawat.Indonesia ternyata jauh lebih panas dari yang diceritakan Mama dan Papa padaku. Setidaknya itu yang kurasakan saat ini.Sembari kakiku berjalan, mataku mengedar mencari-cari sosok Devanka, sahabatku, yang katanya akan menjemput.Lima belas menit menunggu dia tidak kunjung datang, padahal janjinya tidak akan telat. Aku bisa saja sendiri tapi Devanka mewanti-wanti agar menunggunya sampai datang.Ini bukanlah kunjungan pertamaku. Tahun-tahun sebelumnya aku juga pernah ke Indonesia, tapi hanya dalam waktu yang singkat. Sedangkan kedatanganku kali ini untuk waktu yang cukup lama. Ada project yang harus kukerjakan di sini.Awalnya Mama melarang mengambil project itu. Mama yang sangat menyayangi dan memanjakanku sejak kecil menahan sekuat yang bisa dilakukannya agar aku tidak berangkat. Tapi Papa memberi pengertian pada Mam
Cataleya membingkai senyum lalu mulai bergerak melepaskan gaun hitam yang membungkus tubuhnya. Dengan sekali tarikan pelan gaun tersebut menumpuk di kakinya.Aku masih mampu bertahan saat melihat Cataleya tampil hanya menggunakan bra dan celana dalam yang juga berwarna hitam.Lalu dengan perlahan tangan lembut nan gemulai itu kembali bergerak. Cataleya menggerakkannya ke belakang punggung untuk membuka kait bra. Tapi dia tidak berhasil karena sesaat kemudian meminta bantuanku."Fai, bantuin dong, tolong bukain, kayaknya ada yang nyangkut."Cataleya melangkah menghampiriku lalu memutar tubuhnya membelakangiku.Awalnya ragu, tapi kemudian aku melakukannya. Aku mengumpulkan rambut panjang Cataleya menjadi satu lalu menyampirkan ke depan dadanya. Setelahnya aku mulai melepas pengait bra hingga bagian kiri dan kanan saling terpisah."Done, Leya.""Thanks, Fai," jawabnya pelan sembari menyingkirkan sepotong bra yang tadi membalut dadanya.Tanpa kuduga Cataleya memutar tubuhnya menghadap p
FAISudah dua hari aku tidak bertemu dengan Cataleya. Aku tidak tahu dia di mana dan kenapa tidak muncul di studio. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin dia sibuk.Dua hari ini aku juga disibukkan dengan rutinitas harianku. Sama seperti Cataleya, Alan juga tidak menghubungi. Mungkin dia berubah pikiran lalu membatalkan rencana photoshoot istrinya.Sambil bersiul aku membawa langkah setelah keluar dari lift yang membawaku tepat ke lantai dua puluh. Malam ini rencananya aku akan VC-an sama Mama yang katanya sudah kangen berat padaku.Tiba-tiba sesuatu membuat langkah dan siulanku terhenti. Seseorang sedang berdiri tepat di depan pintu unit apartemenku. Seorang wanita lebih tepatnya.Cataleya!Dia benar-benar datang, padahal aku pikir suaminya membatalkan rencana tersebut secara sepihak.Menggunakan little black dress, Cataleya terlihat begitu anggun. Penampilannya menghipnotisku sehingga aku tidak mampu bergerak kemana-mana. Seluruh atensiku tersedot hanya untuk memerhatikanny
CATALEYASuara pintu dibuka terdengar saat aku bersiap untuk tidur. Alan muncul dengan wajah lelah. Aku mengurungkan niat menarik selimut lalu duduk untuk menyambutnya."Tumben baru pulang jam segini?" tanyaku setelah melihat jam dinding."Sibuk banget hari ini makanya baru pulang." Alan menjawab sembari membuka satu per satu kancing kemejanya. "Kenapa belum tidur?" Alan balik bertanya."Rencana tadi mau tidur," jawabku.Alan menarik langkahnya mendekatiku lalu duduk di pinggir ranjang tepat di dekatku. Dia membawa wajahnya mendekati mukaku. Sejurus kemudian bibirnya menyentuh dahiku, mendaratkan sebuah kecupan singkat.Aku mengusap dada polosnya lalu menaikkan pandangan. Mata kami bertemu di titik yang sama. Alan pasti mengerti jika saat ini tatapanku begitu penuh damba.Lalu dengan perlahan tanganku turun mencari sesuatu. Begitu menemukannya, aku meremas dari balik celana. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Dia bergeming meski aku membangunnya.Aku belum putus asa. Tanganku menyelinap m
Aku sudah cukup sering memotret banyak perempuan tanpa busana. Tanpa satu helai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Semua itu dilakukan demi tujuan komersial karena mereka berprofesi sebagai model. Namun, ketika permintaan serupa datang dari Alan, wajar kalau aku jadi berpikir panjang. Apa maksudnya memintaku memotret istrinya dalam keadaan tanpa busana?Aku menggaruk pelipis bingung. Sementara Alan menunggu jawabanku.“Gimana, Fai?” desaknya menuntut.“Boleh aku tahu apa alasannya?”“Alasan apa?” Alan membalas pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku nggak ngerti kenapa kamu minta aku buat nge-shoot Leya tanpa busana?”Sempat terpikir olehku jangan-jangan Alan berpikiran untuk menjual foto-foto istrinya. Tapi kemudian pikiran itu terbantahkan dengan sendirinya. Tidak mungkin Alan yang kaya raya tega menjual istri sendiri.“No reason needed. Aku dan Leya melakukannya hanya untuk koleksi pribadi, nggak lebih. Jadi kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan menjual foto-foto itu. Hanya o
FAIIni adalah hari keempat belas aku berada di Indonesia. Sejauh ini pekerjaanku lancar. Aku betah di sini. Apalagi rekan-rekan satu team begitu solid. Selain itu ada Cataleya yang sering mengisi waktuku dan menemaniku ke mana-mana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Walau aku sering tidak tahan saat berada bersamanya. Bukan apa-apa. Terlalu dekat dengannya membuatku takut tidak bisa mengendalikan diri. Nggak munafik, Cataleya sangat menarik. Dia begitu menggoda tanpa perlu menjadi penggoda. Aku jamin laki-laki normal manapun tidak akan kebal dari pesonanya.Pukul setengah tujuh malam aku mengakhiri sesi pemotretan model terakhir hari ini.Beberapa photo props terlihat tersebar di setiap sudut studio. Aku membiarkannya. Nanti tugas Tyo membereskannya.Aku akan langsung pulang setelah ini lalu tidur sampai besok. Sebetulnya Devanka mengajak jalan tapi kutolak karena tubuhku lebih butuh untuk diistirahatkan.Pintu studio terbuka sesaat setelah aku menyimpan kamera ke dalam tas. Al
Aku keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Sengaja mandi kilat agar dia tidak terlalu lama menunggu. Walau aku tidak tahu dia ada tujuan apa ke studio atau hanya sekadar ingin menemaniku.Cataleya sedang duduk sendiri di sofa. Wajahnya tenggelam di layar gawai. Saking asyiknya dia tidak tahu kedatanganku."Leya ..." Aku memanggilnya.Cataleya mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menyampirkan tas di pundaknya.Kami keluar dari apartemen menuju basement tempat mobil diparkir.Aku pikir kami akan menggunakan kendaraan masing-masing. Tapi aku tidak melihat mobil Cataleya."Mobil kamu di mana?" tanyaku ingin tahu."Aku nggak bawa mobil, tadi pake taksi. Ke studio pake mobil kamu aja."Cataleya masuk ke mobilku setelah kubukakan pintu. Aku nggak punya clue apa-apa mengenai perempuan ini selain tahu bahwa dia adalah istri Alan."Kamu sudah lama nikah sama Alan?" tanyaku mengawali perjalanan."Sudah enam bulan," jawabnya."Lumayan baru ternyata, masih mesra-mesranya."Ca
FAITerbiasa ada Mama selama tinggal di Amerika membuatku sedikit kewalahan. Biasanya apa-apa Mama yang melayani. Mama menyediakan segala kebutuhanku hingga hal-hal paling kecil. Sedangkan aku tinggal terima beres.Pagi ini aku terbangun dengan perut keroncongan. Saat melangkahkan kaki ke ruang belakang di saat itulah aku menyadari jika tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada yang bisa kulahap untuk mengganjal perut yang kosong.Cataleya memang sudah menyiapkan semuanya. Tapi mungkin dia lupa menyediakan makanan untukku.Eh, tapi itu kan bukan termasuk kewajibannya. Tidak ada di dalam kontrak kerja kami bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan perutku.Aku kembali ke depan. Nanti saja sarapan di luar. Kalau tidak salah lihat di sekitar studio banyak penjual makanan. Aku akan mampir di sana atau di drive thru. Terserahlah. Yang penting bisa mengisi perut.Baru saja akan membelokkan kaki ke arah kamar, dentingan suara bel menahan langkahku. Aku berbelok untuk membuka pintu.
CATALEYAPagi ini aku jalani tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Seperti yang kudengar dari kebanyakan orang, tinggal di rumah mertua senangnya hanya sementara. Sisanya adalah penyiksaan batin.Seperti pagi ini. Saat aku bantu-bantu menyiapkan sarapan, Mama Nuri kembali menyinggung masalah kehamilan. Awalnya memang membahas masalah lain. Mulai dari rutinitas sehari-hari sampai pada makanan. Lalu entah mengapa topik obrolan bergeser begitu saja.Aku hanya diam mendengarkan saat mertuaku itu berceramah. Tapi entah mengapa apapun sikap yang kutunjukkan selalu terkesan salah di matanya. Aku diam salah, menjawab kata-katanya lebih salah lagi.“Jangan cuma diam, Leya! Mama sudah capek-capek bicara dari tadi, apa kamu nggak dengar?”“Dengar, Ma,” jawabku pelan.“Jangan cuma dengar, tapi lakukan apa yang Mama katakan. Sekali-sekali kamu yang harus agresif. Jangan cuma menerima. Mama malu semua teman Mama nanya kapan kamu akan hamil. Masa kalah dari orang yang baru nikah dua minggu!”“Tapi
CATALEYAFai mengantarku pulang. Tadi aku menemaninya tidak hanya ke apartemen tapi juga studio. Setelahnya kami makan siang, mengunjungi kantor manajemen model milik Alan, jalan-jalan berkeliling Jakarta, hingga terasa hari sudah sore. Aku tidak tahu entah kenapa waktu begitu cepat berlalu saat bersama Fai. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja karena keasyikan."Baru pulang kamu?" Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku memasuki rumah lalu melintas di ruang tengah."Iya, Ma," jawabku pada Mama Nuri, ibu mertuaku.Mama Nuri geleng-geleng kepala sembari melirik jam dinding. Aku ikut melempar mata ke arah yang sama. Baru jam lima sore tapi respon Mama Nuri seakan aku pulang jam dua belas malam."Dari mana saja?" tanyanya lagi menginterogasi dengan tatapan tegasnya."Dari kantor Alan, Ma.""Ngapain sih pakai keluyuran kalau nggak ada tujuan yang jelas?""Tadi Alan meminta aku mengantar fotografer yang baru sekalian memberitahu dia mengenai pekerjaanya." Aku menjawab apa adanya."Hany