CATALEYA
Fai mengantarku pulang. Tadi aku menemaninya tidak hanya ke apartemen tapi juga studio. Setelahnya kami makan siang, mengunjungi kantor manajemen model milik Alan, jalan-jalan berkeliling Jakarta, hingga terasa hari sudah sore. Aku tidak tahu entah kenapa waktu begitu cepat berlalu saat bersama Fai. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja karena keasyikan."Baru pulang kamu?"
Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku memasuki rumah lalu melintas di ruang tengah. "Iya, Ma," jawabku pada Mama Nuri, ibu mertuaku. Mama Nuri geleng-geleng kepala sembari melirik jam dinding. Aku ikut melempar mata ke arah yang sama. Baru jam lima sore tapi respon Mama Nuri seakan aku pulang jam dua belas malam. "Dari mana saja?" tanyanya lagi menginterogasi dengan tatapan tegasnya. "Dari kantor Alan, Ma." "Ngapain sih pakai keluyuran kalau nggak ada tujuan yang jelas?" "Tadi Alan meminta aku mengantar fotografer yang baru sekalian memberitahu dia mengenai pekerjaanya." Aku menjawab apa adanya. "Hanya mengantar sampai sore begini? Seingat Mama kamu pergi sudah dari pagi. Kenapa bisa selama itu?"Cara Mama Nuri bicara begitu menguji kesabaranku. Tapi tenang, selama enam bulan menjadi istri Alan aku sudah biasa menghadapinya walau dulu awalnya cukup kaget.
"Iya, Ma, soalnya dia baru di Jakarta jadi belum tahu banyak tempat di sini. Kasihan kalau nyasar."“Kamu kan bukan tour guide. Ngapain dia minta ditemani sama kamu? Emangnya nggak ada orang lain?”
Aku tidak menanggapi karena kutahu sifat mertuaku. Jika dilawan akan semakin panjang.
Diamnya aku membuat Mama Nuri mendengkus lalu berhenti bertanya. Tapi bukan berarti berhenti menguji kadar kesabaranku. "Kalian menikah sudah enam bulan, apa masih belum ada tanda-tanda?" Pertanyaan itu lagi. Hampir setiap hari aku mendengarnya. Berulang-ulang seperti mantra dan semakin hari kian intens. "Belum, Ma, maaf." Air muka mertuaku itu seketika mengeruh mendengar jawaban jujurku. Aku tahu dia kecewa berat. Tapi inilah keadaannya. Aku masih belum bisa memberikan dia cucu. Dan mungkin tidak akan pernah bisa. "Jadi kapan kamu akan hamil? Masa kalah dari anak teman Mama! Anak teman Mama baru dua minggu nikah tapi sudah hamil." Aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Alhasil aku hanya bisa diam. Sampai Mama Nuri mendengkus kesal kemudian berlalu dari hadapanku. Kupandangi punggungnya yang menjauh lalu ikut masuk ke kamar. Membaringkan tubuh, pikiranku mengembara sembari mereka ulang adegan demi adegan hari ini saat menghabiskan waktu bersama Fai. Fai orangnya menyenangkan. Dia tidak banyak bicara tapi entah kenapa membuatku betah bersamanya. Menurutku lagi dia tidak terlalu gagah seperti aktor-aktor tampan Hollywood, tapi dia manis. Kadar ketampanannya begitu pas, tidak berlebihan. Aku lebih suka cowok-cowok yang manis dari pada laki-laki berahang tegas dan berwajah mafia yang hampir sekujur tubuhnya dihiasi tato. "Lagi ngelamunin apa, Sayang?" Suara Alan membuat lamunanku mengenai Fai buyar seketika. Aku tidak mendengar dia membuka pintu lalu masuk. Atau mungkin ini karena lamunanku yang terlalu larut? "Nggak ngelamunin apa-apa." Aku bangun dari berbaring lalu duduk menyandarkan punggung di headboard.Alan duduk di pinggir ranjang. Tangannya naik membelai kepalaku. Tatapannya lekat di wajahku.
"Kalo nggak ngelamunin apa-apa kenapa mukanya bete gitu?" "Siapa yang bete? Nggak ada kok." Aku pura-pura tersenyum walau hatiku masih kesal saat ingat sikap mertua tadi. "Jangan bohong, Leya. Aku sudah hafal apapun ekspresi kamu. Kalo lagi cemberut gini pasti ada sesuatu. Mama nanya soal hamil lagi?" bidik Alan tepat sasaran. Aku terpaksa mengaku. Selama ini kehidupanku bersama Alan begitu harmonis. Satu-satunya masalah adalah mertuaku yang terus saja bertanya kapan aku hamil seolah aku adalah mesin produksi anak. Alan menghela napas panjang lalu melepaskan dengan berat. "Sabar ya. Namanya juga orang tua. Mama pasti kepengen punya cucu kayak ibu-ibu lain." "Aku udah lebih dari sabar, Lan. Aku nggak bisa sabar lagi kalo tiap hari ditanyain. Lama-lama aku bosan. Aku nggak tau gimana cara menjelaskannya kalo kamu—" "Nggak usah dijelaskan," sahut Alan memutus kata-kataku. Aku terdiam. Begitu pun dengan Alan. Selama beberapa jenak kami saling bertatapan dalam ketermanguan sampai kalimat itu tercetus dari mulutku. "Lan, gimana kalo besok kita ke dokter lagi?" "Kita kan udah coba ke sana, tapi nggak ada hasilnya." "Kita coba lagi, Lan. Never give up. Kita nggak boleh menyerah. Aku yakin lama-lama pasti ada hasilnya," ucapku optimis. "Apa kamu lupa sudah berapa banyak dokter yang kita kunjungi dalam enam bulan ini?" "Aku nggak lupa, Lan. Ini baru enam bulan, belum enam tahun, kita masih punya banyak waktu. Kita juga bisa berobat ke luar ne—" "Leya, Leya, stop!"Segera saja Alan membungkam mulutku yang membuatku terdiam dengan paksa. Selalu begitu setiap kali kami berdebat. Dia tidak mau membahasnya. Dia selalu menghindar. Dia membiarkan semua ini menggantung yang membuatku menjadi jengkel. Apa dia tidak mengerti perasaanku?
"Tadi Fai gimana?" Seperti yang sudah kuduga Alan akan mengalihkan topik. Huh, lagu lama. "Dia baik. Tadi aku ke kantor kamu tapi kamu lagi ke luar." "Terus kamu ke mana lagi sama dia?" "Keliling Jakarta. Nggak berasa udah sore. Tadi aku juga ada photoshoot sama Fai di studio." "Kamu yang jadi modelnya?" Aku anggukkan kepala lalu menunjukkan fotoku tadi yang terdapat di ponsel. Alan tersenyum melihat foto-fotoku. "Istriku cantik banget kayak udah pro," pujinya. "Bukan aku yang pro, tapi dia yang hebat. Fai tahu banget angle yang pas untuk aku." "Couldn't agree more. Dia memang keren. Kamu suka sama dia?" "Ya sukalah. Pilihanku ternyata nggak salah." Aku tidak akan menyesal sudah memutuskan Fai menjadi pengganti fotografer lama kami.Alan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Pilihan kamu memang nggak pernah salah, Leya …”
***
CATALEYAPagi ini aku jalani tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Seperti yang kudengar dari kebanyakan orang, tinggal di rumah mertua senangnya hanya sementara. Sisanya adalah penyiksaan batin.Seperti pagi ini. Saat aku bantu-bantu menyiapkan sarapan, Mama Nuri kembali menyinggung masalah kehamilan. Awalnya memang membahas masalah lain. Mulai dari rutinitas sehari-hari sampai pada makanan. Lalu entah mengapa topik obrolan bergeser begitu saja.Aku hanya diam mendengarkan saat mertuaku itu berceramah. Tapi entah mengapa apapun sikap yang kutunjukkan selalu terkesan salah di matanya. Aku diam salah, menjawab kata-katanya lebih salah lagi.“Jangan cuma diam, Leya! Mama sudah capek-capek bicara dari tadi, apa kamu nggak dengar?”“Dengar, Ma,” jawabku pelan.“Jangan cuma dengar, tapi lakukan apa yang Mama katakan. Sekali-sekali kamu yang harus agresif. Jangan cuma menerima. Mama malu semua teman Mama nanya kapan kamu akan hamil. Masa kalah dari orang yang baru nikah dua minggu!”“Tapi
FAITerbiasa ada Mama selama tinggal di Amerika membuatku sedikit kewalahan. Biasanya apa-apa Mama yang melayani. Mama menyediakan segala kebutuhanku hingga hal-hal paling kecil. Sedangkan aku tinggal terima beres.Pagi ini aku terbangun dengan perut keroncongan. Saat melangkahkan kaki ke ruang belakang di saat itulah aku menyadari jika tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada yang bisa kulahap untuk mengganjal perut yang kosong.Cataleya memang sudah menyiapkan semuanya. Tapi mungkin dia lupa menyediakan makanan untukku.Eh, tapi itu kan bukan termasuk kewajibannya. Tidak ada di dalam kontrak kerja kami bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan perutku.Aku kembali ke depan. Nanti saja sarapan di luar. Kalau tidak salah lihat di sekitar studio banyak penjual makanan. Aku akan mampir di sana atau di drive thru. Terserahlah. Yang penting bisa mengisi perut.Baru saja akan membelokkan kaki ke arah kamar, dentingan suara bel menahan langkahku. Aku berbelok untuk membuka pintu.
Aku keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Sengaja mandi kilat agar dia tidak terlalu lama menunggu. Walau aku tidak tahu dia ada tujuan apa ke studio atau hanya sekadar ingin menemaniku.Cataleya sedang duduk sendiri di sofa. Wajahnya tenggelam di layar gawai. Saking asyiknya dia tidak tahu kedatanganku."Leya ..." Aku memanggilnya.Cataleya mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menyampirkan tas di pundaknya.Kami keluar dari apartemen menuju basement tempat mobil diparkir.Aku pikir kami akan menggunakan kendaraan masing-masing. Tapi aku tidak melihat mobil Cataleya."Mobil kamu di mana?" tanyaku ingin tahu."Aku nggak bawa mobil, tadi pake taksi. Ke studio pake mobil kamu aja."Cataleya masuk ke mobilku setelah kubukakan pintu. Aku nggak punya clue apa-apa mengenai perempuan ini selain tahu bahwa dia adalah istri Alan."Kamu sudah lama nikah sama Alan?" tanyaku mengawali perjalanan."Sudah enam bulan," jawabnya."Lumayan baru ternyata, masih mesra-mesranya."Ca
FAIIni adalah hari keempat belas aku berada di Indonesia. Sejauh ini pekerjaanku lancar. Aku betah di sini. Apalagi rekan-rekan satu team begitu solid. Selain itu ada Cataleya yang sering mengisi waktuku dan menemaniku ke mana-mana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Walau aku sering tidak tahan saat berada bersamanya. Bukan apa-apa. Terlalu dekat dengannya membuatku takut tidak bisa mengendalikan diri. Nggak munafik, Cataleya sangat menarik. Dia begitu menggoda tanpa perlu menjadi penggoda. Aku jamin laki-laki normal manapun tidak akan kebal dari pesonanya.Pukul setengah tujuh malam aku mengakhiri sesi pemotretan model terakhir hari ini.Beberapa photo props terlihat tersebar di setiap sudut studio. Aku membiarkannya. Nanti tugas Tyo membereskannya.Aku akan langsung pulang setelah ini lalu tidur sampai besok. Sebetulnya Devanka mengajak jalan tapi kutolak karena tubuhku lebih butuh untuk diistirahatkan.Pintu studio terbuka sesaat setelah aku menyimpan kamera ke dalam tas. Al
Aku sudah cukup sering memotret banyak perempuan tanpa busana. Tanpa satu helai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Semua itu dilakukan demi tujuan komersial karena mereka berprofesi sebagai model. Namun, ketika permintaan serupa datang dari Alan, wajar kalau aku jadi berpikir panjang. Apa maksudnya memintaku memotret istrinya dalam keadaan tanpa busana?Aku menggaruk pelipis bingung. Sementara Alan menunggu jawabanku.“Gimana, Fai?” desaknya menuntut.“Boleh aku tahu apa alasannya?”“Alasan apa?” Alan membalas pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku nggak ngerti kenapa kamu minta aku buat nge-shoot Leya tanpa busana?”Sempat terpikir olehku jangan-jangan Alan berpikiran untuk menjual foto-foto istrinya. Tapi kemudian pikiran itu terbantahkan dengan sendirinya. Tidak mungkin Alan yang kaya raya tega menjual istri sendiri.“No reason needed. Aku dan Leya melakukannya hanya untuk koleksi pribadi, nggak lebih. Jadi kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan menjual foto-foto itu. Hanya o
CATALEYASuara pintu dibuka terdengar saat aku bersiap untuk tidur. Alan muncul dengan wajah lelah. Aku mengurungkan niat menarik selimut lalu duduk untuk menyambutnya."Tumben baru pulang jam segini?" tanyaku setelah melihat jam dinding."Sibuk banget hari ini makanya baru pulang." Alan menjawab sembari membuka satu per satu kancing kemejanya. "Kenapa belum tidur?" Alan balik bertanya."Rencana tadi mau tidur," jawabku.Alan menarik langkahnya mendekatiku lalu duduk di pinggir ranjang tepat di dekatku. Dia membawa wajahnya mendekati mukaku. Sejurus kemudian bibirnya menyentuh dahiku, mendaratkan sebuah kecupan singkat.Aku mengusap dada polosnya lalu menaikkan pandangan. Mata kami bertemu di titik yang sama. Alan pasti mengerti jika saat ini tatapanku begitu penuh damba.Lalu dengan perlahan tanganku turun mencari sesuatu. Begitu menemukannya, aku meremas dari balik celana. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Dia bergeming meski aku membangunnya.Aku belum putus asa. Tanganku menyelinap m
FAI Sudah dua hari aku tidak bertemu dengan Cataleya. Aku tidak tahu dia di mana dan kenapa tidak muncul di studio. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin dia sibuk.Dua hari ini aku juga disibukkan dengan rutinitas harianku. Sama seperti Cataleya, Alan juga tidak menghubungi. Mungkin dia berubah pikiran lalu membatalkan rencana photoshoot istrinya.Sambil bersiul aku membawa langkah setelah keluar dari lift yang membawaku tepat ke lantai dua puluh. Malam ini rencananya aku akan VC-an sama Mama yang katanya sudah kangen berat padaku.Tiba-tiba sesuatu membuat langkah dan siulanku terhenti. Seseorang sedang berdiri tepat di depan pintu unit apartemenku. Seorang wanita lebih tepatnya.Cataleya!Dia benar-benar datang, padahal aku pikir suaminya membatalkan rencana tersebut secara sepihak.Menggunakan little black dress, Cataleya terlihat begitu anggun. Penampilannya menghipnotisku sehingga aku tidak mampu bergerak kemana-mana. Seluruh atensiku tersedot hanya untuk memerhatikanny
Cataleya membingkai senyum lalu mulai bergerak melepaskan gaun hitam yang membungkus tubuhnya. Dengan sekali tarikan pelan gaun tersebut menumpuk di kakinya.Aku masih mampu bertahan saat melihat Cataleya tampil hanya menggunakan bra dan celana dalam yang juga berwarna hitam.Lalu dengan perlahan tangan lembut nan gemulai itu kembali bergerak. Cataleya menggerakkannya ke belakang punggung untuk membuka kait bra. Tapi dia tidak berhasil karena sesaat kemudian meminta bantuanku."Fai, bantuin dong, tolong bukain, kayaknya ada yang nyangkut."Cataleya melangkah menghampiriku lalu memutar tubuhnya membelakangiku.Awalnya ragu, tapi kemudian aku melakukannya. Aku mengumpulkan rambut panjang Cataleya menjadi satu lalu menyampirkan ke depan dadanya. Setelahnya aku mulai melepas pengait bra hingga bagian kiri dan kanan saling terpisah."Done, Leya.""Thanks, Fai," jawabnya pelan sembari menyingkirkan sepotong bra yang tadi membalut dadanya.Tanpa kuduga Cataleya memutar tubuhnya menghadap p
FAIBagai merasa ada yang memerhatikannya Cataleya memandang ke arahku dan Kenzio. Namun kali ini tidak ada senyum menghiasi bibirnya seperti yang kulihat ketika dia datang di malam berkesan itu.“Itu siapa, Fai?” tanya Kenzio penasaran karena aku menghentikan langkah.“Temen,” jawabku singkat. Baru beberapa menit yang lalu aku mengaku tidak memiliki kekasih tapi sekarang tahu-tahu ada perempuan menunggu di depan pintu.“Cantik banget temen lo, temen apa dulu nih?”“Ya temenlah. Emang temen nggak boleh cantik?”Kenzio mencibir tak percaya lalu meledekku dengan memberi penekanan pada kata ‘temen’. “Berhubung temen lo udah datang jadi gue tetap di sini atau melipir dulu biar kalian bisa quality time?”“Serah lo deh,” jawabku pasrah karena seperti apapun aku menjelaskan padanya Kenzio tetap tidak akan percaya.Sepupuku itu tertawa renyah lalu melangkahkan kakinya di sebelahku.“Udah lama?” tanyaku pada Cataleya setelah kami berhadapan langsung.“Belum terlalu.” Dia menjawab dengan lesu.
FAI"Ya, satu kali shoot lagi. Jarinya letakin di dagu. Bukan begitu. Maksudnya ujung telunjuk kamu yang di dagu." Aku mengarahkan gaya pada Wina, model terakhir malam ini."Gini ya, Fai?" Wina bertanya sambil melakukan apa yang kuminta tapi tetap saja tidak sesuai dengan keinginanku.Aku terpaksa beranjak dari tempat lalu meninggalkan kamera sesaat."Begini, Win." Aku meraih tangannya lalu mengarahkan agar ujung telunjuknya menempel di dagu. Sementara Kenzio senyum-senyum sendiri di sofa sudut ruangan.Aku memang membawa Kenzio ke studio agar dia bisa melihat langsung seperti apa pekerjaanku. Lagian malas sendiri di apartemen, katanya.Aku melanjutkan pemotretan sampai selesai. Setelah model terakhir keluar barulah aku bisa bernapas lega."Jadi fotografer kayaknya enak juga ya. Bisa megang-megang cewek." Kenzio terkekeh saat aku menyimpan kamera ke dalam tas.Aku ikut tertawa walau tidak benar-benar datang dari hati. Hari ini pikiranku tidak jauh-jauh dari Cataleya. Aku tidak tahu ke
FAICataleya bergerak pelan membalikkan badannya mengarah padaku dan Alan. Begitu tatapan kami bertemu dia tampak terkejut karena tidak menyangka akan kehadiranku namun tak urung senyumnya terkembang.“Mari, Fai, silakan,” kata Alan menyuruhku. Aku masih berdiri di sisi pintu.Dengan perasaan ragu aku membawa langkah mendekati Cataleya. Belum sempat mengatakan apapun padanya Alan lebih dulu mendahuluiku bicara.“Sayang, karena sudah ada Fai di sini jadi aku ke kantor dulu. Aku ada meeting dengan Pak Handoko. Nggak enak kalau sampai telat,” ucap laki-laki itu pada istrinya.Seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Cataleya untuk menjawab, Alan memindahkan perhatiannya padaku lalu berkata, “Fai, sorry banget aku harus pergi, aku tinggal nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa,” jawabku kelu sembari membayangkan kemungkinan aku dan Cataleya hanya akan tinggal berdua saja di sini. Di kamar ini. Kamar Cataleya dan suaminya.“Makasih, Fai,” ucap Alan kemudian mengecup kening Cataleya sebelum p
FAIAku terbangun pagi-pagi sekali dengan perut keroncongan. Dengan berat aku memaksa membuka mata. Semalam aku pulang larut karena Devanka mengajak clubbing. Lalu sekarang kepalaku terasa begitu berat akibat sisa-sisa hangover kemarin.Aku berjalan menuju kamar mandi membawa langkah terhuyung-huyung. Setelahnya aku membuka kulkas mencari apa pun yang bisa kusantap. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Persediaan makananku habis. Biasanya Cataleya yang menyediakannya. Namun sudah tiga hari ini Cataleya berangkat ke Bandung. Alan mengajaknya karena ada acara keluarga di sana.Dengan embusan napas berat aku menutup pintu kulkas.Mataku memindai sekeliling, mencari apapun yang bisa kuloloskan ke dalam lambung. Barangkali secangkir teh hangat mampu memanaskan perutku.Masalahnya sekarang aku tidak tahu di mana letak gula dan teh. Selama ini Cataleyalah yang mengaturnya.Setelah mengubek-ubek seisi dapur aku menemukannya di dalam lemari kitchen set.Lima menit kemudian aku sudah duduk di ruang
FAIApa?" Devanka menatapku heran karena aku mencekal lengannya."Lo jangan masuk, Dev. Di dalam berantakan."Devanka terkekeh mendengar alasanku yang mungkin menurutnya aneh."Gue ke sini bukan mau meriksa apartemen lo kotor atau bersih. Lagian kenapa sih lo jadi aneh kayak gini? Udah ah, gue lagi kebelet, gue numpang ke kamar mandi sekalian." Devanka menarik tangannya hingga terlepas dari cekalanku lalu menarik langkah cepat."Dev! Devanka! Tunggu!" Aku mengejarnya.Langkah Devanka terhenti tepat di dekat sofa sebelum berbelok memasuki kamar. Dia melihat Cataleya yang sedang berbaring di sofa.Keduanya sama-sama terkejut. Cataleya duduk dengan cepat sambil menutupi tubuh dengan dress nya. Wajahnya pucat pasi saat tahu siapa yang saat ini berada di dekatnya.Tanpa melihat muka Devanka yang saat ini sedang membelakangiku aku bisa menebak bagaimana bentuk mukanya saat ini.***CATALEYAKehadiran Devanka di apartemen Fai sama sekali tidak ada di dalam prediksiku. Dan aku juga yakin bahw
FAIAku dan Cataleya mengisi waktu dengan menonton televisi di ruang tengah sambil menunggu makanan kami datang. Tadi aku memesannya melalui aplikasi yang populer di Indonesia. Nggak jauh-jauh, menuku adalah burger dan french fries.Cataleya berbaring di pangkuanku, aku membelai kepalanya, menelusupkan jari-jemari ke setiap helai rambutnya yang halus.Tiba-tiba Cataleya membalikkan badan memunggungi televisi. Dia menyembunyikan mukanya di perutku."Kenapa, Leya?" tanyaku padanya."Serem banget filmnya. Nggak ada film yang lain apa? Ngeri aku ngeliat film bunuh-bunuhan kayak gitu.""Jadi maunya nonton film apa?""Yang romantis-romantis atau apa kek.""Nggak ada film romantis jam segini, adanya kita. Atau gimana kalau kita aja yang bikin film romantisnya?"Cataleya spontan menjauhkan kepalanya dari perutku lalu menaikkan pandangannya menatap wajahku. Ada senyum malu-malu tercetak di bibirnya. Dia tidak perlu menjawab karena aku tahu apa jawabannya. Tatapan lembutnya adalah bentuk dari p
CATALEYAFai meneguk air mineral di botol hingga nyaris tandas, menandakan bahwa dirinya benar-benar haus.“Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyanya padaku sambil memberikan botol di tangannya padaku.“Sejak tadi.” Aku menjawab lalu memasukkan botol tersebut ke dalam tas.“Kok aku nggak tau ya?” ujarnya bingung.“Gimana mau tau kalau kamu sibuk sama yang lain.” Aku mengulangi perkataanku tadi.“Bukan sibuk tapi fokus, namanya juga lagi kerja,” jawab Fai berdalih. “Kamu kenapa bisa di sini, udah jam berapa ini?” Dia memeriksa arloji yang melingkar di pergelangannya.“Aku mau nginap di apartemen kamu, Fai.”“Hah?” Fai terlihat kaget mendengar keinginanku.“Ayo!” Aku menarik tangannya agar keluar dari studio.Mau tidak mau Fai mengikuti langkahku. Saat membuka pintu aku melepaskan kaitan tangan dari lengannya. Tempat ini memang sudah sepi, tapi bukan berarti tidak ada orang.“Kamu kenapa? Ada masalah dengan Alan?” Fai menanyakannya saat kami sudah berada di mobil.Andai saja aku bisa bica
CATALEYAAku duduk sendiri di dalam taksi yang membawaku pergi. Malam ini aku meninggalkan rumah menuju apartemen Fai. Demi keamanan agar tidak ada yang mencium jejakku, Alan memintaku menggunakan taksi.Aku belum mengabari Fai kalau malam ini akan datang padanya. Biar saja menjadi kejutan sekalian agar aku tahu bagaimana dia di belakangku.Sesaat kemudian aku berubah pikiran. Mungkin ada baiknya aku tahu dia ada di mana.Aku mengiriminya pesan."Fai, di mana?"Pesanku tidak berbalas bermenit-menit lamanya. Saat aku menelepon dia juga tidak menjawabnya. Apa Fai masih kerja? Tapi ini kan sudah malam."Pak, kita ke studio dulu,” ucapku pada supir taksi."Studio mana, Mbak?" Si supir bertanya melalui spion lalu mengiakan setelah aku menyebut alamat studio milik Alan.Beberapa unit mobil terparkir di depan studio setelah aku tiba di sana. Di antara mobil-mobil itu terselip Jeep yang digunakan Fai untuk transportasi selama di Indonesia. Itu artinya Fai tidak ke mana-mana. Dia masih di dala
CATALEYASetelah memandang padaku dan Alan, Fai memalingkan muka lalu berbicara dengan Nadia. Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi melihat Nadia tertawa-tawa membuatku gerah juga. Apalagi sesekali Nadia mencubit lengan Fai dengan gaya centilnya.Suara batuk Alan memaksaku mengalihkan pandangan dari Fai dan Nadia yang masih bercengkrama berdua."Pulang yuk, aku mau makan siang berdua sama kamu." Alan mengajakku pergi."Kamu aja. Aku udah ada janji makan siang sama Fai." Aku menolak ajakannya mentah-mentah.Alan menghela napas panjang lalu memanggil Fai sambil melambaikan tangan."Fai!"Fai melihat ke arah kami lalu bicara sejenak dengan Nadia sebelum berjalan mendekatiku dan Alan."Hey, Lan." Sapanya pada Alan. Gesturnya biasa. Tidak tampak canggung karena sesuatu yang telah kami lakukan."Leya bilang kalian ada janji makan siang. Bisa kalau dibatalin dulu? Aku lagi ada acara sama Leya."Fai melirikku sedetik lalu mengembalikan perhatian pada Alan."Nggak apa-apa. Kapan-kapan masi