Bergenggaman Tangan

Aku keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Sengaja mandi kilat agar dia tidak terlalu lama menunggu. Walau aku tidak tahu dia ada tujuan apa ke studio atau hanya sekadar ingin menemaniku.

Cataleya sedang duduk sendiri di sofa. Wajahnya tenggelam di layar gawai. Saking asyiknya dia tidak tahu kedatanganku.

"Leya ..." Aku memanggilnya.

Cataleya mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menyampirkan tas di pundaknya.

Kami keluar dari apartemen menuju basement tempat mobil diparkir.

Aku pikir kami akan menggunakan kendaraan masing-masing. Tapi aku tidak melihat mobil Cataleya.

"Mobil kamu di mana?" tanyaku ingin tahu.

"Aku nggak bawa mobil, tadi pake taksi. Ke studio pake mobil kamu aja."

Cataleya masuk ke mobilku setelah kubukakan pintu. Aku nggak punya clue apa-apa mengenai perempuan ini selain tahu bahwa dia adalah istri Alan.

"Kamu sudah lama nikah sama Alan?" tanyaku mengawali perjalanan.

"Sudah enam bulan," jawabnya.

"Lumayan baru ternyata, masih mesra-mesranya."

Cataleya menimpali ucapanku dengan senyumnya.

"Kalo kamu sudah menikah?" Dia melempar pertanyaan balasan.

Aku tertawa mendengar pertanyaannya.

"Kok ketawa?" Dia mendelik. "Ada yang lucu memangnya?"

"Nggak ada. Cuma pengen ketawa aja. Baru kali ini ada yang nanya apa aku udah nikah."

"Dan jawabannya?"

"Belum. Aku masih ingin bebas. Pengen main sepuasnya. Pengen mencoba hal-hal baru. Dan ya ... Pernikahan itu menurutku adalah hal yang sakral jadi nggak bisa main-main. Aku takut buru-buru nikah tapi ternyata aku belum selesai dengan masa mudaku. Jadi daripada nanti aku jadi bajingan setelah menikah mending dipuas-puasin dulu."

"Hebat. Aku suka prinsip kamu." Cataleya menatapku takjub.

Aku hanya tersenyum.

"Kamu kan sudah lama tinggal di luar, ada rencana menetap di Indonesia nggak sih?"

"Nggak ada. Kalo kontrakku udah selesai aku mau langsung pulang," jawabku yakin.

"Memangnya keluarga kamu di sana semua?"

"Orang tua iya, tapi keluarga yang lain di sini. Kalo kamu?"

"Orang tuaku udah nggak ada." Suara Cataleya berubah lirih.

"I’m so sorry," ucapku cepat. Merasa tidak enak mengingatkannya pada hal-hal yang pasti membuatnya sedih.

"Nggak apa-apa, Fai. Take it easy.” Cataleya melengkungkan senyumnya. Senyum pahit tentunya. “Orang tuaku sudah meninggal." Dia meneruskan informasi yang baru kuterima sepenggal.

"Keduanya?"

"Kalau Mama sejak satu tahun yang lalu. Kalau Papa aku nggak tahu dia masih hidup atau sudah meninggal."

Ucapan Cataleya membuatku membagi atensi dengan padatnya lalu lintas di depan sana.

"Maksudnya gimana?" Aku minta dia memperjelas.

Cataleya menghela napasnya panjang sebelum mulai bercerita.

"Papaku orang Belanda. Dulu mamaku kerja sebagai tour guide dan Papa adalah kliennya. Bisa dibilang papa adalah ekspatriat. Papa ada pekerjaan di sini. Lalu mereka jadi dekat. Mama pacaran sama dia. Papa berniat menjalani hubungan serius dengan Mama. Makanya Mama mau waktu Papa mengajak menikah. Walau mereka menikah tidak secara resmi. Meski begitu mereka sangat bahagia. Tapi setelah pekerjaannya selesai Papa kembali ke negaranya. Dia meninggalkan aku dan Mama tanpa ada kabar. Laki-laki itu menghilang sampai sekarang. Dan yang lebih menyakitkan laki-laki itu nggak tahu kalau istri yang dia tinggalkan mengandung anaknya. Dan Mama begitu setia pada laki-laki itu sampai-sampai dia tetap sendiri sampai akhir hayatnya. Satu-satunya yang melekat padaku yang aku warisi dari laki-laki itu adalah namanya. Cataleya Van Linden. Linden adalah nama belakang laki-laki itu. Awalnya aku nggak ngerti kenapa Mama ngotot ngasih nama yang dulu menurutku asing. Sampai Mama menceritakan kisah yang sesungguhnya."

Cerita sedih Cataleya membuatku tak bisa mengatakan apapun. Pantas saja dia begitu jelita. Ternyata dia blasteran. Di balik keindahan paras dan keceriaannnya ada cerita sedih yang menyayat hati.

"Leya, sorry, aku nggak bermaksud mengungkit kenangan lama."

"It's okay, Fai. Aku nggak apa-apa. Aku juga nggak pernah ingat-ingat lagi sama laki-laki itu." Cataleya memaksakan senyum. Tapi aku tahu persis cerita tadi mengoyak batinnya.

"Kamu nggak pernah mencari tahu tentang Papa kamu?"

"Buat apa? Nggak bakal ada gunanya juga."

"At least dia tahu kalo dia punya anak di sini. Dan anak yang dia sia-siakan sudah tumbuh menjadi bidadari yang cantik. Dia pasti menyesal sudah meninggalkan kamu dan mamamu."

Cataleya tersipu mendengar sanjunganku. Senyumnya menyamarkan gurat-gurat sedih yang tadi menghiasi parasnya.

"Aku udah ikhlas, Fai. Aku nggak mau ngerusak keluarga dan kehidupannya. Kasihan keluarganya kalau aku muncul tiba-tiba dan mengaku sebagai anaknya. Lagian nggak semudah itu mencari dia. Aku nggak punya clue apa-apa tentang dia. Aku cuma punya fotonya. Kamu mau lihat?"

"Kamu bawa?"

Cataleya mengambil dompet dari dalam tas lantas mengeluarkan selembar pas foto usang yang sudah kekuningan dari sana. Sekarang aku mengerti dari mana kerupawanan wajahnya berasal saat melihat raut gagah di foto. Walau Cataleya mengaku ayahnya tidak berarti apa-apa, tapi mungkin dia tidak sadar kalau laki-laki itu begitu berarti baginya. Buktinya dia menyimpan foto itu di dompet yang dibawa ke mana-mana.

Walau bagaimanapun ikatan seorang ayah dan anak tidak akan bisa diingkari. Sama sepertiku dan Papa yang sempat berpisah waktu aku masih bayi. Aku masih ingat bagaimana wajah sedih Mama saat menceritakan kisahnya dengan Papa saat aku masih bayi. Meski sudah puluhan tahun berlalu tapi aku bisa merasakannya. Apalagi Cataleya yang tidak pernah bertemu satu kali pun dengan ayahnya.

Tanpa sadar aku menggenggam tangannya, mentransfer selaksa kekuatan. Cataleya membalas genggamanku.

Saat aku ingat dia adalah istri orang aku menarik tanganku darinya. Dia juga kaget. Pipinya memerah lalu memalingkan wajahnya ke arah kiri jendela mobil.

***