FAI Sudah dua hari aku tidak bertemu dengan Cataleya. Aku tidak tahu dia di mana dan kenapa tidak muncul di studio. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin dia sibuk.Dua hari ini aku juga disibukkan dengan rutinitas harianku. Sama seperti Cataleya, Alan juga tidak menghubungi. Mungkin dia berubah pikiran lalu membatalkan rencana photoshoot istrinya.Sambil bersiul aku membawa langkah setelah keluar dari lift yang membawaku tepat ke lantai dua puluh. Malam ini rencananya aku akan VC-an sama Mama yang katanya sudah kangen berat padaku.Tiba-tiba sesuatu membuat langkah dan siulanku terhenti. Seseorang sedang berdiri tepat di depan pintu unit apartemenku. Seorang wanita lebih tepatnya.Cataleya!Dia benar-benar datang, padahal aku pikir suaminya membatalkan rencana tersebut secara sepihak.Menggunakan little black dress, Cataleya terlihat begitu anggun. Penampilannya menghipnotisku sehingga aku tidak mampu bergerak kemana-mana. Seluruh atensiku tersedot hanya untuk memerhatikanny
Cataleya membingkai senyum lalu mulai bergerak melepaskan gaun hitam yang membungkus tubuhnya. Dengan sekali tarikan pelan gaun tersebut menumpuk di kakinya.Aku masih mampu bertahan saat melihat Cataleya tampil hanya menggunakan bra dan celana dalam yang juga berwarna hitam.Lalu dengan perlahan tangan lembut nan gemulai itu kembali bergerak. Cataleya menggerakkannya ke belakang punggung untuk membuka kait bra. Tapi dia tidak berhasil karena sesaat kemudian meminta bantuanku."Fai, bantuin dong, tolong bukain, kayaknya ada yang nyangkut."Cataleya melangkah menghampiriku lalu memutar tubuhnya membelakangiku.Awalnya ragu, tapi kemudian aku melakukannya. Aku mengumpulkan rambut panjang Cataleya menjadi satu lalu menyampirkan ke depan dadanya. Setelahnya aku mulai melepas pengait bra hingga bagian kiri dan kanan saling terpisah."Done, Leya.""Thanks, Fai," jawabnya pelan sembari menyingkirkan sepotong bra yang tadi membalut dadanya.Tanpa kuduga Cataleya memutar tubuhnya menghadap p
FAI“Aku numpang ke kamar mandi ya?” ucapnya meminta izin.“Silakan, Leya,” jawabku lalu beranjak dari sisi pintu agar Cataleya bisa lewat.Aku membereskan kamera yang Cataleya letakkan di tempat tidur. Aku harap setelah ini dia segera pergi agar aku juga bisa beristirahat dan menenangkan diri. Keberadaannya di sekitarku adalah bahaya besar. Aku khawatir tidak mampu mengendalikan diri lalu melanggar aturan yang telah kubuat untuk diri sendiri.Sambil menunggunya keluar dari kamar mandi, aku memijit-mijit pundak yang terasa pegal. Tidak hanya karena lelah, namun juga karena posisi tidur yang salah.“Fai …” Suara lembut itu terdengar bersamaan dengan sentuhan yang sama lembutnya di bahuku. Telapak tangannya menempel di punggung tanganku.Aku menoleh dan mendapati Cataleya di dekatku.“Capek ya?” tanyanya.“Cuma pegal dikit,” jawabku sembari menyingkirkan tangan dari bahu yang otomatis membuat tangan Cataleya juga terangkat.“Aku pijitin ya?”“Nggak, nggak usah.” Aku buru-buru berdiri. “
CATALEYACahaya matahari yang menerobos masuk melalui gorden jendela yang tidak sepenuhnya tertutup membangunkanku pagi ini.Kelopak mataku perlahan terbuka bersama rasa asing yang terasa di sela-sela paha.Bukan hanya perasaanku yang asing, namun tempatku berada saat ini juga tidak familier denganku.Di mana ini?Ini bukanlah kamarku. Kamarku tidak begini. Dinding kamarku dilapisi wallpaper bermotif floral. Sedangkan dinding kamar ini berwarna putih bersih tanpa ada hiasan atau ukiran apapun.Pertanyaan di kepalaku bertambah ketika aku bergerak dan mendapati ada seorang laki-laki berbaring di sebelahku. Aku tidak tahu wajahnya karena dia memunggungiku.Dia bukan Alan, tapi dia ...Napasku terasa berat setelah menyadari siapa laki-laki yang sedang lelap memunggungiku.Tato berbentuk huruf F yang terukir di punggung kanannya sudah sangat menjelaskan siapa dia.Perlahan potongan adegan demi adegan yang terjadi kemarin malam bermunculan di benakku, yang menghadirkan berbagai rasa di hat
FAISaat terbangun pagi ini aku cukup kaget menyaksikan ada wanita di sebelahku. Tapi melihat Cataleya berurai air mata jauh mengalahkan keterkejutanku. Perasaan bersalah hadir begitu saja di hatiku. Dia pasti menangis menyesali perbuatan yang kami lakukan semalam. Inilah yang aku khawatirkan karena penyesalan datangnya selalu belakangan.Belum habis rasa kagetku, satu pikiran lain datang mengganggu. Tentang Cataleya yang kudapatkan dalam keadaan masih suci. Bagaimana mungkin dia masih virgin? Sulit untuk memercayai wanita yang sudah menikah selama setengah tahun keadaannya sama seperti gadis. Apa suaminya tidak pernah menyentuhnya? Tapi kenapa? Apa yang salah? Bagaimana mungkin Alan mampu menahan diri memiliki istri secantik, se-sexy dan seindah Cataleya?"Leya, maaf, aku nggak tahu kalau kamu masih virgin." Aku mengulurkan jari menghapus air mata di pipinya.Dia menangkup jariku dengan telapak tangannya yang halus. Seulas senyum menghiasi bibirnya."Kamu nggak salah, Fai. Kamu nggak
FAI"Sebentar ya."Aku beranjak setelah Cataleya berada di bathtub yang dirancang untuk dua orang dewasa.Aku masuk ke kamar lalu kembali dengan beberapa batang lilin aromaterapi di tangan. Aku menyalakannya. Sesaat kemudian aroma lavender memenuhi segenap area kamar mandi.Aku kemudian masuk ke dalam bathtub dan memosisikan diri di belakang si cantik.“Wangi banget, Fai…”“Kamu suka?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.”Suka,” sahutku Cataleya lirih. Kurasakan ada getaran dalam suaranya.Cataleya menyandarkan punggungnya ke dadaku yang langsung kusambut dengan kecupan mesra di pundaknya."Leya ...," panggilku pelan.“Iya, Fai.” Cataleya menoleh melalui bahunya. Suara lembut Cataleya terdengar sangat manja di telingaku.Aku menjawab dengan sunggingan senyum. Aku hanya ingin melihat raut jelitanya. Sementara dia menunggu apa yang ingin aku katakan."Fai?" Dia menggoyangkan tanganku agar aku menjawab pertanyaannya."Nggak apa-apa, aku cuma mau ngeliat wajah kamu."Cataleya t
CATALEYASetelah kesepakatan kami tadi aku dan Fai keluar dari kamar mandi lalu berpakaian. Aku meminta bantuan Fai untuk menaikkan zipper dress. Sebenarnya aku bisa melakukan sendiri. Tapi aku hanya sedang ingin dimanja.Melalui kaca yang berada di depan kami berdua aku melihat Fai yang sedang berdiri di belakangku.Aku merekam setiap detail fitur wajahnya di benakku. Hidungnya yang mancung, iris coklatnya yang setiap menatap selalu memancarkan keteduhan, tahi lalat yang tumbuh di sudut bibirnya yang membuat Fai jadi semakin manis, lalu …Suara ponsel yang terdengar tiba-tiba menghentikan keasyikanku menilai Fai. Aku mengabaikannya. Aku lupa mematikannya kemarin.“Leya, handphone kamu bunyi.” Fai mengingatkanku. Dia sudah selesai memasangkan zipper-ku.Dengan malas aku bergerak menuju nakas lalu mengambilnya dari sana. Rasa kesal muncul begitu saja saat melihat nama Alan tertera di layar. Aku terpaksa menjawab panggilan tersebut.“Ya, Lan?”“Leya, kamu masih di apartemen Fai? Gimana
FAIKami akhirnya tiba di studio. Beberapa orang kru menyapa Cataleya dengan sopan. Sebagai owner tentu saja Cataleya sangat disegani."Tumben Mbak Leya ke sini?" sapa Tyo, asistenku di studio."Iya nih, lagi pengen ngeliat Fai kerja." Cataleya menjawab disertai senyumnya yang manis."Jadi ceritanya lagi sidak nih," timpal kru yang lain sambil tertawa.Cataleya ikut tertawa menampakkan deretan giginya yang rapi.Aku dan Cataleya lalu masuk ke dalam studio. Tampak di sana Kiki sang makeup artist sedang mendandani seorang model yang akan kupotret.Saat melihat Cataleya datang Kiki menjeda pekerjaannya lalu menyapa Cataleya. Begitu pun dengan sang model yang tersenyum pada Cataleya."Eh, ada Mbak Leya, tumben ke sini, Mbak?""Lagi santai makanya ke sini." Cataleya menjawab lalu duduk di sofa sudut ruangan kemudian membuka sebuah majalah.Berdasarkan informasi yang aku terima sebelum aku di sini sofa itu tidak ada di sana. Studio ini juga apa adanya. Tapi sekarang semuanya tersedia dengan
FAI“Kenapa lo baru bilang sekarang? Kenapa setelah berbulan-bulan lo baru ngasih tau ke gue, Dev?”Kalimat bernada penyesalan itu meluncur dari mulutku setelah Devanka menceritakan dengan detail dari A sampai Z mengenai Cataleya tanpa ada yang terlewatkan. Cerita-cerita itu membuatku ingin membenturkan kepala ke dinding. Terlebih ketika membayangkan perasaannya saat datang ke rumahku dan mendapati aku bersama wanita lain yang kuakui sebagai kekasih.“Bukannya gue nggak mau cerita, tapi Leya ngelarang gue. Dia mohon-mohon biar gue jaga rahasia ini dengan baik,” jawab Devanka membela diri.“Lo kan bisa aja bilang iya ke dia tapi lo spill ke gue,” ucapku gemas. Devanka begitu patuh pada Cataleya sampai-sampai melupakan aku, sahabatnya sendiri yang jelas-jelas lebih membutuhkan informasi itu.“Gimana gue mau jujur ke lo, Fai. Gue nggak mau ngerusak momen indah lo dengan Rasti. Apalagi Leya juga ngelarang gue. Waktu dia baru pulang dari DC da
FAIDevanka dan Karen sudah menunggu saat kami tiba di Los Angeles International Airport. Aku mengenalkan kekasihku pada keduanya.Devanka hampir tak berkedip menatap Rasti sampai aku terpaksa menginjak kakinya."Gitu banget ngeliatnya. Cewek gue woi!"Rasti tertawa sedangkan Devanka tersenyum canggung lalu memandang ke arah Karen. Karen menatapnya horor. Aku yakin nanti Devanka akan disidang. Membayangkannya aku tertawa geli di dalam hati.Dari bandara kami menuju hotel. Devanka sudah memesan dua buah kamar untuk kami.Setibanya di kamar aku dan Rasti langsung beristirahat. Lima jam di peswat lumayan melelahkan.Sambil menonton televisi aku dan Rasti berbaring berdua. Rasti berbaring di atas lenganku sementara tangan dan kakinya melingkari tubuhku.Rasti mulai lagi dengan kelakuannya di pesawat tadi mengendus-endus leherku. Tidak hanya mengendus, lidahnya juga menjilat daun telingaku. Lalu dengan nakal tangannya membelai keperkasaanku. Meski dilakukan dari balik celana namun tak urun
FAIAku sedang memasukkan pakaian yang terdiri dari beberapa helai baju dan celana ke dalam tas. Dan tentu saja aku juga membawa kamera.Devanka mengabari hari ini dia akan tiba di LA setelah penerbangan panjang dari Indonesia. Devanka meminta beretemu denganku seperti kebiasaan kami selama ini.Bedanya, kali ini kami akan double date. Devanka with his long time girlfriend sedangkan aku dengan Rasti.Pintu kamar terbuka saat aku sedang berkemas-kemas. Mama masuk lalu melangkah mendekatiku.“Fai, kamu jadi berangkat?” Mama bertanya setelah duduk di pinggir tempat tidur. Sepasang matanya tidak lepas mengawasi setiap pergerakanku.“Jadi dong, Ma. Devanka udah nyampe di LA pagi tadi,” jawabku.“Sama Rasti?”“Iya, Ma.”Mama dan Papa sudah tahu aku berpacaran dengan Rasti. Mereka setuju atas hubungan kami. Apalagi Mama Papa dan keluarga Rasti sudah saling mengenal satu sama lain. Malah saat berkumpul bersama mereka berangan-angan jika suatu hari nanti aku dan Rasti akan berjodoh dan menikah
CATALEYAUcapan Devanka membuatku termangu. Setelah sekian lama tidak bertemu sekalinya berjumpa dia malah menawarkan hal yang mustahil untuk aku lakukan."Aku nggak main-main, Leya. Aku mengajak kamu pergi kalau kamu mau." Devanka menatapku sungguh-sungguh.Aku percaya kalau dia memang tidak main-main. Sayangnya aku tentu saja tidak bisa ikut dengannya."Jangan gila, Dev. Jangan bicara hal yang nggak mungkin aku lakukan," ucapku menjawab perkataannya. Memang untuk apa aku ikut dengan lelaki ini?"Oh, okay kalau menurutmu nggak mungkin ikut denganku. Tapi kalau sekadar berkirim pesan menurutku bukan hal yang mustahil."Hati-hati di jalan."Devanka tersenyum mendengar kata-kataku. "Bukan pesan untuk aku, Leya, tapi untuk Fai. Jangan pura-pura nggak ngerti.""Kita sudah selesai membahas ini sejak lama, Dev," jawabku malas.Aku melihat gerakan Devanka menghela napas sedangkan matanya menyebar ke sekeliling, entah mencari apa."Kamu sendiri?" tanyanya kemudian.Aku menggelengkan kepala. T
CATALEYAAku buru-buru mengembalikan foto Papa ke dalam dompet saat mendengar pintu kamar dibuka.Alan muncul dari luar dan bertanya padaku, "Sudah siap, Sayang?"Aku memberi jawaban anggukan kepala. Hari ini kami berencana mengunjungi dokter kandungan.Setelah pertengkaran dengan Devanka, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan bahwa mungkin takdir hidupku adalah bersama Alan, bukan Fai."Ayo, Sayang!" Alan mengulurkan tangan untuk membantuku bangun dari duduk.Aku tidak suka panggilan lebay itu. Berjuta kali Alan bilang sayang tidak akan berefek apa-apa padaku. Berbeda dengan Fai. Dia tidak pernah menyebutku sayang, tapi damage-nya sampai ke tulang.Aku bangkit dari tempatku merenung sejak tadi lalu saat melalui kaca melirik sekilas untuk mencari tahu bentuk tubuhku. Perutku sudah cukup besar tapi karena aku juga menggunakan gaun-gaun longgar ukurannya jadi tidak terlalu kentara."Udah bisa dilihat jenis kelaminnya kan ya bulan ini?" tanya Alan begitu kami berada d
CATALEYAIngatan tentang Devanka dan kata-kata terakhirnya melekat di benakku bahkan hingga berbulan-bulan lamanya.“Kamu mikir nggak sih kalau Fai juga memiliki perasaan yang sama dengan kamu? Both of you love each other. He has a type, Cataleya. Dia nggak mungkin nyari cewek yang mirip sama kamu kalau nggak punya perasaan apa-apa.”Aku tidak tahu apa itu benar atau hanya sekadar kebetulan. Atau mungkin kata-kata Devanka yang hanya ingin menghiburku.Apa pun itu, semua sudah terlambat. Fai sudah memilih. Dia sudah menjatuhkan pilihannya. Dan mirisnya perempuan pilihannya adalah orang yang berpotensi besar sebagai saudara tiriku. Jika benar Fai mencintaiku seharusnya dia mengungkapkan padaku. Bukannya mencari perempuan lain yang mirip denganku.Ah, sudahlah. Sudah sangat terlambat untuk menyesalinya.Mengeluarkan dompet, aku membuka lagi pas foto usang itu. Pria yang pernah menjadi suami mendiang Mama, yang katanya adalah ayahku.Foto yang kulihat berwarna hitam putih dan sudah sanga
CATALEYAAku tiba hari Rabu waktu Indonesia yang artinya telat satu hari dari yang kurencanakan. Devanka meneleponku dan bertanya apa aku sudah tiba. Aku memintanya datang menjemput ke bandara.Dan di sinilah aku sekarang. Duduk berdua dengannya di salah satu tempat makan yang ada di sana.“Kok lesu? Surprise-nya gagal?”Aku mengembuskan napas berat mendengar tebakan Devanka yang sepenuhnya benar. Bukan aku yang memberi Fai kejutan tapi malah diriku yang mendapat kejutan.“Jadi beneran mission failed?” ujar Devanka lagi menyaksikanku membisu tidak memberi respon apa-apa.“Dev, Fai udah punya pacar di sana.” Aku memberitahu dengan suara dan tubuh yang sama lunglainya.Devanka menyipit menatapku. “Gimana?”“Your best friend has a girlfriend. Kedatanganku ke sana hanya sia-sia,” ucapku makin lemah.“Fai punya pacar? Masa sih? Kamu salah lihat kali. Dia memang dekat dengan banyak cewek. Atau mungkin yang kamu kira pacarnya adalah salah satu modelnya,” sanggah Devanka tidak percaya.“Aku n
FAIRasti tidak berkata apapun dalam perjalanan pulang setelah dari airport. Dia duduk membeku di sebelahku dengan tangan terlipat di depan dada. Padahal biasanya Rasti adalah orang paling ceria yang pernah kukenal. Dia seperti tidak pernah kehabisan topik pembicaraan untuk dibahas.Serupa dengannya, aku juga memilih untuk menutup mulutku lalu memusatkan konsentrasi menyetir.Mobil yang kukendarai baru menghabiskan setengah perjalanan ketika pada akhirnya Rasti berbicara.“Fai …”Aku menggerakkan kepala memandang padanya.“Cataleya itu sebenarnya siapa?”“Maksud kamu gimana, Ras?”Aku tidak mengerti apa maksud dan tujuan Rasti menanyakannya. Bukankah aku dan dia sudah sama-sama tahu siapa Cataleya? Bahkan Rasti berinteraksi cukup intens dengan Cataleya.Rasti mengembuskan napasnya. Matanya menyorotku dengan tajam.“Kamu bilang dia istri dari pemilik agensi yang bekerjasama dengan kamu, tapi kenapa kalian bisa sedekat itu?”“Dekat gimana?”“Kamu menyuruh dia tidur di kamarmu, Fai, seda
CATALEYASiang ini Rasti merealisasikan keinginannya. Dia mengajakku ke rumah orang tuanya. Kami pergi bertiga.Sepanjang perjalanan Rasti bercerita banyak mengenai hidupnya. Tentang orang tuanya, tentang pekerjaannya dan kegiatannya sehari-hari. Dia gadis yang sangat beruntung. Selain memiliki orang tua yang masih lengkap, harta benda yang berlimpah, pewaris tunggal perusahaan dan seluruh aset orang tuanya, dia juga memiliki lelaki yang mencintainya."Welcome to my house, Cataleya.”Mataku berpendar menatap rumah megah dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar membingkainya. Berbeda dengan rumah Fai yang bernuansa vintage, rumah Rasti bernuansa Amerika modern.Kami lalu turun dari mobil. Aku rasa Rasti sudah memberitahu perihal kedatangan kami pada keluarganya. Seorang perempuan yang kurasa seumuran dengan mertuaku menyambut kami."Mommy, ini Cataleya. Dia adalah partner kerja Fai waktu di Indonesia. Leya, ini ibu aku." Rasti mengenalkan kami berdua.Mamanya Rasti yang belakangan k