Kami tiba di apartemen tempatku tinggal selama di Indonesia. Hunian itu berwarna putih bersih. Furniture yang mengisinya rata-rata juga berwarna aman.
"Aku nggak tahu kamu suka warna apa jadi kupilihkan saja warna-warna netral," kata Cataleya saat kami melewati sofa abu-abu lalu dia menuntunku mengikutinya. Dia mengajakku room tour mengitari setiap sudut apartemen.
"Ada satu kamar di sini, kamar mandi di dalam, dapur yang menyatu dengan ruang makan dan balkon." Bersama dengan kata terakhirnya kaki kami tiba di kamar. Lalu Cataleya membuka pintu balkon. Seketika udara segar menyergap masuk.
Aku dan Cataleya berdiri di pinggir pembatas balkon memandang keramaian jalanan di bawah sana. Dari ketinggian lantai dua puluh semuanya tampak bagai kotak-kotak kecil. "Fai, apa ada yang kurang?" Cataleya bertanya padaku sembari memutar tubuhnya menghadap ke arah kamar. Aku ikut melakukan hal yang sama. "Sudah cukup," jawabku. "Kamu suka apartemennya?" "Suka sekali." Aku mengacungkan jempol. Satu-satunya yang tidak kusuka saat ini adalah karena pemandangan di depan mataku. Belahan dada Cataleya yang mengintip membuatku harus meneguk ludah. Sial. Kenapa dia terkesan bergitu sexy? Bagian atas dress nya cukup sopan. Tidak terlalu terbuka, juga tidak tertutup. Namun justru yang mengintip sedikit itu membuat kepalaku jadi pening. "Kalau begitu aku sudah bisa pulang sekarang kan?" Aku mengangguk pelan. "Thank you, Leya." "You're welcome, Fai. Aku tinggal ya. Kalo butuh sesuatu jangan sungkan-sungkan hubungi aku atau Alan." Aku akan memberi jawaban ketika ponsel Cataleya berbunyi. Dia menjawab panggilan tersebut lalu berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu siapa. Aku ikut memeriksa ponselku. Ada pesan dari Mama."Fai, baru sehari kamu pergi tapi rumah udah sepi. Mama kangen kamu, Nak. Baik-baik ya di sana. Jangan lupa kalo ada waktu kunjungi Omi dan Opi juga."
Bibirku melengkung membentuk senyum. Sejak kemarin entah sudah berapa kali Mama bilang kangen. "Fai, ayo kita ke studio sekarang." Aku mengangkat wajah. Ternyata Cataleya sudah selesai menelepon. "Ayo,” jawabku sembari memasukkan ponsel ke dalam saku jeans. "Kamu nggak jadi pulang?" tanyaku di sela-sela langkah kami. "Barusan Alan nelfon, dia bilang ke aku buat nunjukin kamu studionya yang mana. Jadi nanti kamu yang mengantarku pulang. Soalnya mobil ini buat kamu." Mataku memindai jeep hitam di hadapan kami. Aku pikir aku hanya akan mendapat city car biasa. Ternyata jeep yang sejak tadi kutumpangilah yang akan menjadi tungganganku selama di sini. "Fai, ini kuncinya. Kamu yang nyetir, nanti aku tunjukin jalan ke studio." Aku terkesiap saat tiba-tiba Cataleya memberikan kunci mobil langsung ke telapak tanganku. Telapak tanganku bersentuhan langsung dengan kulitnya yang lembut. Dan entah mengapa darahku berdesir. Aku menerimanya lalu kami masuk ke mobil.Studio yang dimaksud Cataleya berada tidak jauh dari apartemen. Kalau di Washington, dengan jarak segitu bisa kutempuh dengan sepeda. Namun jika kulakukan di sini aku yakin orang-orang pasti akan memandangku dengan tatapan aneh.
"Hey, Guys," sapa Cataleya saat kami tiba di studio pada dua laki-lakidan satu perempuan muda.
"Hai, Mbak Leya," jawab ketiganya kompak. "Gue bawa tamu istimewa nih." Ketiganya serentak menatapku. "Ini Fai, fotografer baru kita. Dia dari Amerika. Fai, ini anak-anak studio, mereka yang bakal bantu kamu nanti." Cataleya menatap padaku sebelum melanjutkan penjelasannya. "Yang rambut gondrong namanya Tyo. Dia asisten kamu." Laki-laki dengan ciri dimaksud mengangguk sopan padaku sembari berkata, “Hello, I’m Tyo,” ucapnya mengenalkan diri.“Nggak usah pake ayem-ayeman, Fai ini aslinya warga 62 juga. Dia memang tinggal di Amrik, tapi fasih banget pake bahasa Wakanda.” Cataleya tertawa yang ditimpali tawa lainnya.
Lalu Cataleya mengenalkan satu laki-laki lagi. Rambutnya klimis dan postur tubuhnya agak ceking. "Kalo yang itu Dendi. Dia bagian kostum. Dan yang cewek namanya Shaki. Dia MUA kita." Aku merekam nama-nama mereka dan posisi mereka masing-masing di kepala. Tidak begitu sulit karena hanya ada tiga. Cataleya bilang masih ada tiga kru lagi yang belum datang. Setelah berbincang-bincang dengan ketiganya Cataleya mengajakku ke dalam studio lalu menutup pintu.Aku menebar mata ke setiap penjuru ruangan yang akan menjadi tempat kerjaku selama enam bulan ke depan ketika mendengar Cataleya bertanya padaku.
"Fai, boleh nggak kalo aku yang jadi model pertama kamu?" Aku mencerna perkataan Cataleya. Kalau aku tidak salah tangkap dia memintaku agar aku memotretnya. "Maksudnya kamu mau aku foto?” "Kalo kamu nggak keberatan sih. Aku memang bukan model tapi nggak apa-apa kan jadi model pertama kamu?" Dia mengulang pertanyaan lalu menggigit bibir bawahnya.Busyet. Gestur tubuhnya saat ini terkesan begitu seduktif seakan sedang menggodaku. Padahal dia hanya menggigit bibir biasa.
Dan aku tidak mungkin untuk menolak permintaannya untuk menjadi model pertamaku di sini. "Nggak apa-apa. Ayo!”Aku menyuruh Cataleya duduk di lantai sementara aku mengambil kamera dari dalam tas. Beruntung tadi membawa peralatan tempur sebelum ke studio.
Beberapa meter di depanku Cataleya sudah standby. Matanya menatap lurus padaku.
Aku sudah siap di balik kamera ketika melihat posisi Cataleya di seberang sana masih belum pas menurut kacamata fotografi.
“Leya, coba kamu duduknya bersimpuh dengan tubuh menyamping, tapi ngeliat ke arah kamera.”
Cataleya melakukan apa yang kusuruh, tapi kurasa masih ada yang kurang. Aku mendekat padanya untuk mengarahkan gaya yang pas.
“Maaf ya.” Aku meminta izin sebelum menaikkan dagunya dengan ujung telunjuk. Lalu tanganku pindah menurunkan sebelah lengan bajunya hingga melorot dari pundak.
Kembali ke tempat tadi aku mulai membidik Cataleya dengan beberapa pose sembari mengarahkan gaya untuknya. Tidak terlalu sulit. Cataleya mudah mengerti keinginanku dan cepat menangkap apa maksudku.
“Done!”
Cataleya bangkit dari lantai lalu melangkah menghampiriku.“Gimana, Fai, bagus nggak hasilnya?” Cataleya berdiri di sebelahku lalu kami sama-sama melihat hasil fotonya di kamera.
Lebih dari sepuluh posenya di sana. Cataleya terlihat bagai model sungguhan. Dia tidak hanya cantik, namun juga photogenic.
"Bagus banget. Semuanya bagus."
"Beneran, Fai?" Cataleya menengadah menatapku. Untuk ukuran orang Indonesia dia sudah cukup tinggi. Tapi jika dibandingkan denganku, kepalanya hanya sedaguku. "Beneran, nggak bohong," jawabku meyakinkan. Cataleya mengambil alih kamera dari tanganku lalu melihat sendiri foto-fotonya. Berdiri dengan jarak serapat ini dengannya membuatku bisa menghirup wangi dari rambutnya yang tergerai. Aku tidak tahu apa merek shamponya, tapi entah kenapa baunya begitu sensual. Tolong dicatat. Ini shampo, bukan parfum. Apa hanya perasaanku saja karena pada dasarnya dia memang sangat sensual? Dan itu bukan berasal dari shampo, tapi aura tubuhnya. "Nanti aku minta file nya ya, Fai?" Cataleya mengambalikan kameraku. "Okay. Sekarang juga bisa," kataku menyanggupi. "Nggak perlu di edit dulu? Biasanya di sini semua harus di edit," katanya heran. "Kamu sudah sempurna, Leya. Nggak perlu ada yang di edit," jawabku tulus tanpa bermaksud memuji apalagi menggombal bak buaya. Cataleya seketika tersipu yang membuatnya tampak semakin menggemaskan.CATALEYAFai mengantarku pulang. Tadi aku menemaninya tidak hanya ke apartemen tapi juga studio. Setelahnya kami makan siang, mengunjungi kantor manajemen model milik Alan, jalan-jalan berkeliling Jakarta, hingga terasa hari sudah sore. Aku tidak tahu entah kenapa waktu begitu cepat berlalu saat bersama Fai. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja karena keasyikan."Baru pulang kamu?" Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku memasuki rumah lalu melintas di ruang tengah."Iya, Ma," jawabku pada Mama Nuri, ibu mertuaku.Mama Nuri geleng-geleng kepala sembari melirik jam dinding. Aku ikut melempar mata ke arah yang sama. Baru jam lima sore tapi respon Mama Nuri seakan aku pulang jam dua belas malam."Dari mana saja?" tanyanya lagi menginterogasi dengan tatapan tegasnya."Dari kantor Alan, Ma.""Ngapain sih pakai keluyuran kalau nggak ada tujuan yang jelas?""Tadi Alan meminta aku mengantar fotografer yang baru sekalian memberitahu dia mengenai pekerjaanya." Aku menjawab apa adanya."Hany
CATALEYAPagi ini aku jalani tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Seperti yang kudengar dari kebanyakan orang, tinggal di rumah mertua senangnya hanya sementara. Sisanya adalah penyiksaan batin.Seperti pagi ini. Saat aku bantu-bantu menyiapkan sarapan, Mama Nuri kembali menyinggung masalah kehamilan. Awalnya memang membahas masalah lain. Mulai dari rutinitas sehari-hari sampai pada makanan. Lalu entah mengapa topik obrolan bergeser begitu saja.Aku hanya diam mendengarkan saat mertuaku itu berceramah. Tapi entah mengapa apapun sikap yang kutunjukkan selalu terkesan salah di matanya. Aku diam salah, menjawab kata-katanya lebih salah lagi.“Jangan cuma diam, Leya! Mama sudah capek-capek bicara dari tadi, apa kamu nggak dengar?”“Dengar, Ma,” jawabku pelan.“Jangan cuma dengar, tapi lakukan apa yang Mama katakan. Sekali-sekali kamu yang harus agresif. Jangan cuma menerima. Mama malu semua teman Mama nanya kapan kamu akan hamil. Masa kalah dari orang yang baru nikah dua minggu!”“Tapi
FAITerbiasa ada Mama selama tinggal di Amerika membuatku sedikit kewalahan. Biasanya apa-apa Mama yang melayani. Mama menyediakan segala kebutuhanku hingga hal-hal paling kecil. Sedangkan aku tinggal terima beres.Pagi ini aku terbangun dengan perut keroncongan. Saat melangkahkan kaki ke ruang belakang di saat itulah aku menyadari jika tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada yang bisa kulahap untuk mengganjal perut yang kosong.Cataleya memang sudah menyiapkan semuanya. Tapi mungkin dia lupa menyediakan makanan untukku.Eh, tapi itu kan bukan termasuk kewajibannya. Tidak ada di dalam kontrak kerja kami bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan perutku.Aku kembali ke depan. Nanti saja sarapan di luar. Kalau tidak salah lihat di sekitar studio banyak penjual makanan. Aku akan mampir di sana atau di drive thru. Terserahlah. Yang penting bisa mengisi perut.Baru saja akan membelokkan kaki ke arah kamar, dentingan suara bel menahan langkahku. Aku berbelok untuk membuka pintu.
Aku keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Sengaja mandi kilat agar dia tidak terlalu lama menunggu. Walau aku tidak tahu dia ada tujuan apa ke studio atau hanya sekadar ingin menemaniku.Cataleya sedang duduk sendiri di sofa. Wajahnya tenggelam di layar gawai. Saking asyiknya dia tidak tahu kedatanganku."Leya ..." Aku memanggilnya.Cataleya mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menyampirkan tas di pundaknya.Kami keluar dari apartemen menuju basement tempat mobil diparkir.Aku pikir kami akan menggunakan kendaraan masing-masing. Tapi aku tidak melihat mobil Cataleya."Mobil kamu di mana?" tanyaku ingin tahu."Aku nggak bawa mobil, tadi pake taksi. Ke studio pake mobil kamu aja."Cataleya masuk ke mobilku setelah kubukakan pintu. Aku nggak punya clue apa-apa mengenai perempuan ini selain tahu bahwa dia adalah istri Alan."Kamu sudah lama nikah sama Alan?" tanyaku mengawali perjalanan."Sudah enam bulan," jawabnya."Lumayan baru ternyata, masih mesra-mesranya."Ca
FAIIni adalah hari keempat belas aku berada di Indonesia. Sejauh ini pekerjaanku lancar. Aku betah di sini. Apalagi rekan-rekan satu team begitu solid. Selain itu ada Cataleya yang sering mengisi waktuku dan menemaniku ke mana-mana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Walau aku sering tidak tahan saat berada bersamanya. Bukan apa-apa. Terlalu dekat dengannya membuatku takut tidak bisa mengendalikan diri. Nggak munafik, Cataleya sangat menarik. Dia begitu menggoda tanpa perlu menjadi penggoda. Aku jamin laki-laki normal manapun tidak akan kebal dari pesonanya.Pukul setengah tujuh malam aku mengakhiri sesi pemotretan model terakhir hari ini.Beberapa photo props terlihat tersebar di setiap sudut studio. Aku membiarkannya. Nanti tugas Tyo membereskannya.Aku akan langsung pulang setelah ini lalu tidur sampai besok. Sebetulnya Devanka mengajak jalan tapi kutolak karena tubuhku lebih butuh untuk diistirahatkan.Pintu studio terbuka sesaat setelah aku menyimpan kamera ke dalam tas. Al
Aku sudah cukup sering memotret banyak perempuan tanpa busana. Tanpa satu helai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Semua itu dilakukan demi tujuan komersial karena mereka berprofesi sebagai model. Namun, ketika permintaan serupa datang dari Alan, wajar kalau aku jadi berpikir panjang. Apa maksudnya memintaku memotret istrinya dalam keadaan tanpa busana?Aku menggaruk pelipis bingung. Sementara Alan menunggu jawabanku.“Gimana, Fai?” desaknya menuntut.“Boleh aku tahu apa alasannya?”“Alasan apa?” Alan membalas pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku nggak ngerti kenapa kamu minta aku buat nge-shoot Leya tanpa busana?”Sempat terpikir olehku jangan-jangan Alan berpikiran untuk menjual foto-foto istrinya. Tapi kemudian pikiran itu terbantahkan dengan sendirinya. Tidak mungkin Alan yang kaya raya tega menjual istri sendiri.“No reason needed. Aku dan Leya melakukannya hanya untuk koleksi pribadi, nggak lebih. Jadi kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan menjual foto-foto itu. Hanya o
CATALEYASuara pintu dibuka terdengar saat aku bersiap untuk tidur. Alan muncul dengan wajah lelah. Aku mengurungkan niat menarik selimut lalu duduk untuk menyambutnya."Tumben baru pulang jam segini?" tanyaku setelah melihat jam dinding."Sibuk banget hari ini makanya baru pulang." Alan menjawab sembari membuka satu per satu kancing kemejanya. "Kenapa belum tidur?" Alan balik bertanya."Rencana tadi mau tidur," jawabku.Alan menarik langkahnya mendekatiku lalu duduk di pinggir ranjang tepat di dekatku. Dia membawa wajahnya mendekati mukaku. Sejurus kemudian bibirnya menyentuh dahiku, mendaratkan sebuah kecupan singkat.Aku mengusap dada polosnya lalu menaikkan pandangan. Mata kami bertemu di titik yang sama. Alan pasti mengerti jika saat ini tatapanku begitu penuh damba.Lalu dengan perlahan tanganku turun mencari sesuatu. Begitu menemukannya, aku meremas dari balik celana. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Dia bergeming meski aku membangunnya.Aku belum putus asa. Tanganku menyelinap m
FAI Sudah dua hari aku tidak bertemu dengan Cataleya. Aku tidak tahu dia di mana dan kenapa tidak muncul di studio. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin dia sibuk.Dua hari ini aku juga disibukkan dengan rutinitas harianku. Sama seperti Cataleya, Alan juga tidak menghubungi. Mungkin dia berubah pikiran lalu membatalkan rencana photoshoot istrinya.Sambil bersiul aku membawa langkah setelah keluar dari lift yang membawaku tepat ke lantai dua puluh. Malam ini rencananya aku akan VC-an sama Mama yang katanya sudah kangen berat padaku.Tiba-tiba sesuatu membuat langkah dan siulanku terhenti. Seseorang sedang berdiri tepat di depan pintu unit apartemenku. Seorang wanita lebih tepatnya.Cataleya!Dia benar-benar datang, padahal aku pikir suaminya membatalkan rencana tersebut secara sepihak.Menggunakan little black dress, Cataleya terlihat begitu anggun. Penampilannya menghipnotisku sehingga aku tidak mampu bergerak kemana-mana. Seluruh atensiku tersedot hanya untuk memerhatikanny
FAI“Kenapa lo baru bilang sekarang? Kenapa setelah berbulan-bulan lo baru ngasih tau ke gue, Dev?”Kalimat bernada penyesalan itu meluncur dari mulutku setelah Devanka menceritakan dengan detail dari A sampai Z mengenai Cataleya tanpa ada yang terlewatkan. Cerita-cerita itu membuatku ingin membenturkan kepala ke dinding. Terlebih ketika membayangkan perasaannya saat datang ke rumahku dan mendapati aku bersama wanita lain yang kuakui sebagai kekasih.“Bukannya gue nggak mau cerita, tapi Leya ngelarang gue. Dia mohon-mohon biar gue jaga rahasia ini dengan baik,” jawab Devanka membela diri.“Lo kan bisa aja bilang iya ke dia tapi lo spill ke gue,” ucapku gemas. Devanka begitu patuh pada Cataleya sampai-sampai melupakan aku, sahabatnya sendiri yang jelas-jelas lebih membutuhkan informasi itu.“Gimana gue mau jujur ke lo, Fai. Gue nggak mau ngerusak momen indah lo dengan Rasti. Apalagi Leya juga ngelarang gue. Waktu dia baru pulang dari DC da
FAIDevanka dan Karen sudah menunggu saat kami tiba di Los Angeles International Airport. Aku mengenalkan kekasihku pada keduanya.Devanka hampir tak berkedip menatap Rasti sampai aku terpaksa menginjak kakinya."Gitu banget ngeliatnya. Cewek gue woi!"Rasti tertawa sedangkan Devanka tersenyum canggung lalu memandang ke arah Karen. Karen menatapnya horor. Aku yakin nanti Devanka akan disidang. Membayangkannya aku tertawa geli di dalam hati.Dari bandara kami menuju hotel. Devanka sudah memesan dua buah kamar untuk kami.Setibanya di kamar aku dan Rasti langsung beristirahat. Lima jam di peswat lumayan melelahkan.Sambil menonton televisi aku dan Rasti berbaring berdua. Rasti berbaring di atas lenganku sementara tangan dan kakinya melingkari tubuhku.Rasti mulai lagi dengan kelakuannya di pesawat tadi mengendus-endus leherku. Tidak hanya mengendus, lidahnya juga menjilat daun telingaku. Lalu dengan nakal tangannya membelai keperkasaanku. Meski dilakukan dari balik celana namun tak urun
FAIAku sedang memasukkan pakaian yang terdiri dari beberapa helai baju dan celana ke dalam tas. Dan tentu saja aku juga membawa kamera.Devanka mengabari hari ini dia akan tiba di LA setelah penerbangan panjang dari Indonesia. Devanka meminta beretemu denganku seperti kebiasaan kami selama ini.Bedanya, kali ini kami akan double date. Devanka with his long time girlfriend sedangkan aku dengan Rasti.Pintu kamar terbuka saat aku sedang berkemas-kemas. Mama masuk lalu melangkah mendekatiku.“Fai, kamu jadi berangkat?” Mama bertanya setelah duduk di pinggir tempat tidur. Sepasang matanya tidak lepas mengawasi setiap pergerakanku.“Jadi dong, Ma. Devanka udah nyampe di LA pagi tadi,” jawabku.“Sama Rasti?”“Iya, Ma.”Mama dan Papa sudah tahu aku berpacaran dengan Rasti. Mereka setuju atas hubungan kami. Apalagi Mama Papa dan keluarga Rasti sudah saling mengenal satu sama lain. Malah saat berkumpul bersama mereka berangan-angan jika suatu hari nanti aku dan Rasti akan berjodoh dan menikah
CATALEYAUcapan Devanka membuatku termangu. Setelah sekian lama tidak bertemu sekalinya berjumpa dia malah menawarkan hal yang mustahil untuk aku lakukan."Aku nggak main-main, Leya. Aku mengajak kamu pergi kalau kamu mau." Devanka menatapku sungguh-sungguh.Aku percaya kalau dia memang tidak main-main. Sayangnya aku tentu saja tidak bisa ikut dengannya."Jangan gila, Dev. Jangan bicara hal yang nggak mungkin aku lakukan," ucapku menjawab perkataannya. Memang untuk apa aku ikut dengan lelaki ini?"Oh, okay kalau menurutmu nggak mungkin ikut denganku. Tapi kalau sekadar berkirim pesan menurutku bukan hal yang mustahil."Hati-hati di jalan."Devanka tersenyum mendengar kata-kataku. "Bukan pesan untuk aku, Leya, tapi untuk Fai. Jangan pura-pura nggak ngerti.""Kita sudah selesai membahas ini sejak lama, Dev," jawabku malas.Aku melihat gerakan Devanka menghela napas sedangkan matanya menyebar ke sekeliling, entah mencari apa."Kamu sendiri?" tanyanya kemudian.Aku menggelengkan kepala. T
CATALEYAAku buru-buru mengembalikan foto Papa ke dalam dompet saat mendengar pintu kamar dibuka.Alan muncul dari luar dan bertanya padaku, "Sudah siap, Sayang?"Aku memberi jawaban anggukan kepala. Hari ini kami berencana mengunjungi dokter kandungan.Setelah pertengkaran dengan Devanka, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan bahwa mungkin takdir hidupku adalah bersama Alan, bukan Fai."Ayo, Sayang!" Alan mengulurkan tangan untuk membantuku bangun dari duduk.Aku tidak suka panggilan lebay itu. Berjuta kali Alan bilang sayang tidak akan berefek apa-apa padaku. Berbeda dengan Fai. Dia tidak pernah menyebutku sayang, tapi damage-nya sampai ke tulang.Aku bangkit dari tempatku merenung sejak tadi lalu saat melalui kaca melirik sekilas untuk mencari tahu bentuk tubuhku. Perutku sudah cukup besar tapi karena aku juga menggunakan gaun-gaun longgar ukurannya jadi tidak terlalu kentara."Udah bisa dilihat jenis kelaminnya kan ya bulan ini?" tanya Alan begitu kami berada d
CATALEYAIngatan tentang Devanka dan kata-kata terakhirnya melekat di benakku bahkan hingga berbulan-bulan lamanya.“Kamu mikir nggak sih kalau Fai juga memiliki perasaan yang sama dengan kamu? Both of you love each other. He has a type, Cataleya. Dia nggak mungkin nyari cewek yang mirip sama kamu kalau nggak punya perasaan apa-apa.”Aku tidak tahu apa itu benar atau hanya sekadar kebetulan. Atau mungkin kata-kata Devanka yang hanya ingin menghiburku.Apa pun itu, semua sudah terlambat. Fai sudah memilih. Dia sudah menjatuhkan pilihannya. Dan mirisnya perempuan pilihannya adalah orang yang berpotensi besar sebagai saudara tiriku. Jika benar Fai mencintaiku seharusnya dia mengungkapkan padaku. Bukannya mencari perempuan lain yang mirip denganku.Ah, sudahlah. Sudah sangat terlambat untuk menyesalinya.Mengeluarkan dompet, aku membuka lagi pas foto usang itu. Pria yang pernah menjadi suami mendiang Mama, yang katanya adalah ayahku.Foto yang kulihat berwarna hitam putih dan sudah sanga
CATALEYAAku tiba hari Rabu waktu Indonesia yang artinya telat satu hari dari yang kurencanakan. Devanka meneleponku dan bertanya apa aku sudah tiba. Aku memintanya datang menjemput ke bandara.Dan di sinilah aku sekarang. Duduk berdua dengannya di salah satu tempat makan yang ada di sana.“Kok lesu? Surprise-nya gagal?”Aku mengembuskan napas berat mendengar tebakan Devanka yang sepenuhnya benar. Bukan aku yang memberi Fai kejutan tapi malah diriku yang mendapat kejutan.“Jadi beneran mission failed?” ujar Devanka lagi menyaksikanku membisu tidak memberi respon apa-apa.“Dev, Fai udah punya pacar di sana.” Aku memberitahu dengan suara dan tubuh yang sama lunglainya.Devanka menyipit menatapku. “Gimana?”“Your best friend has a girlfriend. Kedatanganku ke sana hanya sia-sia,” ucapku makin lemah.“Fai punya pacar? Masa sih? Kamu salah lihat kali. Dia memang dekat dengan banyak cewek. Atau mungkin yang kamu kira pacarnya adalah salah satu modelnya,” sanggah Devanka tidak percaya.“Aku n
FAIRasti tidak berkata apapun dalam perjalanan pulang setelah dari airport. Dia duduk membeku di sebelahku dengan tangan terlipat di depan dada. Padahal biasanya Rasti adalah orang paling ceria yang pernah kukenal. Dia seperti tidak pernah kehabisan topik pembicaraan untuk dibahas.Serupa dengannya, aku juga memilih untuk menutup mulutku lalu memusatkan konsentrasi menyetir.Mobil yang kukendarai baru menghabiskan setengah perjalanan ketika pada akhirnya Rasti berbicara.“Fai …”Aku menggerakkan kepala memandang padanya.“Cataleya itu sebenarnya siapa?”“Maksud kamu gimana, Ras?”Aku tidak mengerti apa maksud dan tujuan Rasti menanyakannya. Bukankah aku dan dia sudah sama-sama tahu siapa Cataleya? Bahkan Rasti berinteraksi cukup intens dengan Cataleya.Rasti mengembuskan napasnya. Matanya menyorotku dengan tajam.“Kamu bilang dia istri dari pemilik agensi yang bekerjasama dengan kamu, tapi kenapa kalian bisa sedekat itu?”“Dekat gimana?”“Kamu menyuruh dia tidur di kamarmu, Fai, seda
CATALEYASiang ini Rasti merealisasikan keinginannya. Dia mengajakku ke rumah orang tuanya. Kami pergi bertiga.Sepanjang perjalanan Rasti bercerita banyak mengenai hidupnya. Tentang orang tuanya, tentang pekerjaannya dan kegiatannya sehari-hari. Dia gadis yang sangat beruntung. Selain memiliki orang tua yang masih lengkap, harta benda yang berlimpah, pewaris tunggal perusahaan dan seluruh aset orang tuanya, dia juga memiliki lelaki yang mencintainya."Welcome to my house, Cataleya.”Mataku berpendar menatap rumah megah dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar membingkainya. Berbeda dengan rumah Fai yang bernuansa vintage, rumah Rasti bernuansa Amerika modern.Kami lalu turun dari mobil. Aku rasa Rasti sudah memberitahu perihal kedatangan kami pada keluarganya. Seorang perempuan yang kurasa seumuran dengan mertuaku menyambut kami."Mommy, ini Cataleya. Dia adalah partner kerja Fai waktu di Indonesia. Leya, ini ibu aku." Rasti mengenalkan kami berdua.Mamanya Rasti yang belakangan k