"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya"
Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana.
Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York.
Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya.
Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan untuk memastikan apakah kedua orang tuanya benar berada di pesawat dengan tujuan sama yang mengalami kecelakaan.
Tadi Aruna melihat berita kecelakaan pesawat dari New York tujuan bandara Soekarno Hatta. Berita itu dia saksikan di televisi saat sedang malas-malasan di rumahnya. Saat melihat berita tersebut, Aruna merasa kehilangan nyawanya. Aruna masih terus menyangkal bahwa pesawat tersebut bukan pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya.
Aruna saat ini berada di bandara Soekarno Hatta bersama sahabat satu-satunya, Chiara. Chiara langsung menemui Aruna setelah melihat berita kecelakaan pesawat. Kemarin Aruna sudah cerita pada Chiara bahwa orang tuanya akan pulang dari New York.
"Na, kamu tenang ya jangan melamun gitu. Kalau kamu mau nangis, nangis aja jangan ditahan-tahan sendiri. Kalau gini terus kamu bisa sakit" Chiara berusaha menenangkan Aruna yang sedari tadi hanya melamun. Chiara khawatir Aruna bisa mengalami gangguan psikologis karena mendapatkan kejadian duka ini.
"Ra, aku yakin orang tua aku bukan korban di pesawat itu" akhirnya air mata Aruna tak lagi bisa dibendungnya. Aruna menangis kencang sembari memeluk Chiara.
"Runa, kamu harus kuat tadi pihak bandaranya udah konfirmasi tante dan om termasuk korban dari pesawat itu. Gak ada korban selamat Na"
Melihat sahabatnya menangis kencang, Chiara juga ikut menangis. Chiara dapat memahami perasaan Aruna, karena hanya kedua orang tuanya yang selama ini Aruna miliki dan Aruna sangat dekat dengan kedua orang tuanya.
"Seandainya mereka berdua gak berangkat ke sana pasti aku masih punya orang tua lengkap Ra. Atau seandainya aku gak ngotot telfon mereka minta mereka pulang, mereka gak bakal pulang hari ini. Mereka gak bakal ada di pesawat itu Ra" Aruna menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa kedua orang tuanya.
"Kamu jangan salahin diri kamu atau siapapun, Na. Gak ada yang salah di sini. Semua ini udah takdir, udah diatur sama yang di atas" Chiara terus berusaha menenangkan perasaan Aruna. Setelah itu tak terdengar balasan apapun dari Aruna. Yang terdengar hanya suara tangisan Aruna.
"Na, kita pulang aja dulu mau? Kamu butuh istirahat. Tadi aku udah ngomong sama petugasnya. Kata mereka, nanti kita bakal dihubungin sama mereka setelah jenazah korban tiba di Jakarta. Kita harus bawa data-data orang tua kamu dan beberapa barang yang terakhir dipakai orang tua kamu. Supaya mereka bisa cocokin data orang tua kamu sama hasil pemeriksaan dokter forensiknya" Chiara mencoba membujuk Aruna untuk kembali sebentar ke rumahnya untuk istirahat dan menyiapkan semua data orang tuanya.
"Aku harus nunggu di sini Ra. Orang tua aku pasti selamat mereka pasti pulang. Papa udah janji sama aku mereka bakal balik ke Jakarta ini" suara Aruna nyaris hilang karena tangisannya.
"Atau gini aja kamu punya keluarga yang lain gak di sini supaya aku yang hubungin mereka minta tolong ambilin semua keperluan data orang tua kamu. Nanti kamu nunggu di sini biar aku sama mereka yang urus yang lainnya" Chiara mencoba memberikan usulan lainnya. Chiara menyeka air mata Aruna yang semakin turun deras.
Aruna hanya menjawab pertanyaan Chiara dengan gelengan.
"Kita balik aja. Nanti setelah mereka hubungin kita datang lagi atau langsung ke rumah sakit. Kamu udah kasih nomor kita buat dihubungin petugasnya nanti kan?" jawab lanjut tanya Aruna akhirnya yang dibalas Chiara dengan anggukan. Benar yang dikatakan Chiara, dia harus menyiapkan segala keperluannya sendiri. Aruna tidak memiliki keluarga yang dapat dimintai tolong.
Sebenarnya Aruna masih memiliki keluarga, paman, bibi, sepupu dan beberapa saudara jauh. Namun, tadi Aruna sudah menghubungi mereka semua dan hasilnya benar-benar mengecewakan. Tidak ada yang peduli, yang mereka pedulikan hanya pembagian warisan orang tuanya.
Akhirnya Aruna dan Chiara kembali ke rumah Aruna. Keduanya menyiapkan seluruh data yang diperlukan nantinya. Mantan asisten rumah tangga keluarga Aruna yang mendengar kabar bahwa mantan majikannya mengalami kecelakaan langsung datang ke rumah tersebut.
Selama Aruna beristirahat, Chiara mengobrol bersama mantan asisten rumah tangga keluarga Aruna yaitu mbak Ita. Mbak Ita juga telah menghubungi supir keluarga Aruna, Pak Iman yang sedang diliburkan oleh Papa Aruna karena orang tua Aruna yang sedang bekerja di luar negeri.
Setelah mendapatkan pemberitahuan dari pihak berwajib, Aruna dan Chiara langsung berangkat untuk mengumpulkan data dan beberapa barang yang dibutuhkan untuk keperluan pencocokan hasil pemeriksaan postmortem.
Setelah melewati beberapa tahap pemeriksaan dan penyesuaian data, ternyata orang tua Aruna memang menjadi korban kecelakaan pesawat tersebut dan keduanya meninggal. Aruna yang masih tidak dapat menerima keadaan menangis kencang di pelukan Chiara. Rasa kesepian Aruna semakin besar.
Setelah jenazah kedua orang tua Aruna dibawa ke kediaman Aruna dan orang tuanya selama ini. Mbak Ita dan Pak Iman yang membantu menyiapkan seluruh keperluan di rumah. Mbak Ita, Pak Iman dan Chiara yang menemani Aruna hingga proses pemakaman orang tuanya. Aruna bersyukur masih memiliki ketiga orang ini untuk menemani dan menyemangatinya menghadapi dan melewati semua masalah yang sedang dihadapinya.
Setelah kedua orang tuanya dimakamkan, Aruna masih ditemani oleh Chiara, mbak Ita dan Pak Iman di rumahnya. Mereka bertiga sengaja menemani Aruna untuk beberapa waktu karena mereka khawatir Aruna bisa mengalami kejadian yang tidak diinginkan jika mereka meninggalkan dia sendiri.
Kondisi Aruna semakin hari semakin membaik. Aruna masih sangat kehilangan orang tuanya. Namun, Aruna sadar dia harus bangkit dari rasa sedihnya. Jika Aruna masih terpuruk dengan rasa sedihnya, tidak akan ada yang bisa berubah. Orang tuanya tetap tidak akan bisa kembali hidup. Selain itu, Aruna harus bangkit untuk dirinya sendiri.
Kini tidak ada lagi yang bisa Aruna andalkan. Aruna harus bangkit untuk mengatur rencana kehidupannya sendiri ke depannya. Karena jika Aruna tidak mengurus dirinya sendiri, hidup Aruna bisa semakin hancur.
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt