Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.
Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.
Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut.
"Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang.
"Kita datang ke sini sama pengacara papa kamu. Ini udah dua minggu papa sama mama kamu meninggal. Sudah seharusnya kita urus semua pembagian warisannya" Jawab salah satu paman Aruna.
Aruna tidak habis pikir dengan keluarganya ini. Pada saat papa dan mamanya kecelakaan, tidak ada satu orang pun dari mereka yang datang membantu atau sekedar menemui Aruna. Di hari pemakaman orang tuanya juga tidak semua mereka datang. Namun, sekarang untuk pembicaraan pembagian harta warisan orang tuanya mereka semua langsung datang. Hal ini yang tidak pernah disukai oleh Aruna dari keluarga besarnya ini, semuanya terlalu memikirkan harta materi.
Tanpa adanya basa basi, seluruh keluarga besar itu meminta pengacara keluarga Aruna untuk langsung membacakan pembagian harta warisan. Setelah dibacakan ternyata dari isi surat wasiat papanya, seluruh harta peninggalan kedua orang tuanya akan diberikan kepada Aruna.
"Gak bisa kayak gitu dong. Aruna gak punya hak untuk sedikit pun harta itu. Aruna kan hanya anak angkat abang saya" Salah satu paman Aruna tidak setuju dengan apa yang dibacakan pengacara tersebut.
"Setuju. Seharusnya harta itu dibagikan untuk kita saudara-saudaranya. Aruna hanya anak angkat. Selama ini dia hanya menumpang hidup di rumah abang saya ini" Balas paman Aruna yang lainnya.
"Paman..." Aruna memanggil lirih pamannya. Aruna tidak menyangka pamannya dapat berkata demikian.
"Kenapa? Memang betul kan selama ini kamu cuman numpang hidul di rumah ini" Bibi, istri pamannya kembali menghujani Aruna dengan cacian.
"Tapi bi. Aruna anak papa dan mama. Aku gak peduli paman dan bibi mau apain semua harta peninggalan papa dan mama tapi aku hanya minta paman dan bibi untuk berhenti mengatakan aku bukan anak mereka" Aruna sudah mulai menangis. Rasa kecewa dan sakit hati Aruna tidak pernah sebesar ini.
"Kita pegang omongan kamu. Kamu bisa tinggalin rumah ini hari ini juga. Kamu gak punya hak apapun untuk ini" Setelah mengatakan itu, seluruh keluarga besar Aruna meninggalkan rumah peninggalan kedua orang tua Aruna. Meninggalkan Aruna dan pengacara pribadi papanya di sana.
"Aruna, kamu gak perlu tingalkan rumah ini. Kamu punya hak kok untuk ini. Nanti biar om yang urus supaya paman dan bibi kamu itu dapat bagian harta peninggalan papa kamu yang lainnya aja" Ucap pengacara tersebut kepada Aruna.
"Gak usah, Om. Aku bakal tinggalin rumah ini aja. Walaupun mereka udah dapat bagian, ke depannya mereka bakal tetap maksa aku buat ninggalin rumah ini. Yang mereka mau itu aku gak dapat bagian apapun dari harta peninggalan papa" Jelas Aruna.
"Ya sudah begini saja. Kamu bisa tinggalkan rumah ini. Tapi om yakin kamu pasti punya tabungan kamu sendiri kan? Itu kamu bawa ya. Seluruh barang pemberian papa mama kamu juga bawa aja. Baju, perhiasan, tas, sepatu dan barang-barang lainnya kamu bawa aja" Saran pengacara tersebut pada akhirnya.
"Iya ada kok om" Balas Aruna.
"Sebentar ya om telfon putri om dulu, supaya dia bisa bantu kamu beres-beres barang kamu sekarang. Kita harus angkat semua barang kamu sekarang sebelum keluarga kamu itu datang lagi. Kalau mereka datang, mereka bakal rampas barang-barang kamu juga" Lanjut pengacara tersebut.
"Makasih ya om Irfan" Balas Aruna. Setelah itu, Irfan, pengacara pribadi alm. Papa Aruna pun menghubungi putrinya untuk datang ke rumah tersebut membantu Aruna beres-beres barangnya.
"Non, gimana jadinya?" Tiba-tiba Pak Iman, supir keluarga Aruna datang menghampiri Aruna di ruang tamu.
"Aruna harus tinggalin rumah ini Pak. Keluarga besarnya papa gak terima Aruna dapat bagian harta peninggalan papa karna Aruna hanya anak angkat" Balas Aruna dengan suara pelan.
"Yaampun non yang sabar ya. Mereka itu memang jahat, semuanya dibutakan oleh harta. Tapi tenang aja non biasanya segala sesuatu yang didapatkan dengan merampas atau mencuri juga bakal tidak bertahan lama" Pak Iman berusaha memberikan dukungan kepada Aruna.
"Dan juga maaf ya, Non. Saya tidak bisa lanjut kerja di rumah ini lagi kalau Nona juga mau meninggalkan rumah ini. Saya gak mau kerja untuk orang-orang jahat kayak keluarga besar tuan" Pak Iman meminta maaf karena harus mengundurkan diri.
"Iya, gapapa kok Pak. Tapi nanti kerja bapak gimana? Kan bapak harus cari nafkah buat keluarga bapak juga" Tanya Aruna.
"Tenang aja Non. Kemarin waktu saya dikasih jatah libur sama tuan, saya sudah mulai buka warung makan di depan rumah saya Non. Nanti saya bakal berusaha kembagin itu saja" Jawab Pak Iman.
"Ya udah gapapa Pak" Balas Aruna tersenyum manis.
"Pa.." Tiba-tiba seorang gadis seumuran Aruna masuk ke dalam rumah Aruna.
"Loh Chiara" Aruna terkejut melihat sahabatnya datang tiba-tiba ke rumahnya. Chiara baru saja pulang dari rumah ini kemarin sore.
"Iya Na. Pengacara papa kamu ini papa aku" Jelas Chiara dengan diakhiri kekehan.
"Yaampun dunia ini memang semput ya" Balas Aruna.
"Kamu kok cepat banget datangnya" Irfan heran melihat putrinya sudah sampai di tempat ini. Sementara dia baru menghubungi putrinya tersebut.
"Iya kebetulan aku lagi main dekat sini Pa" Jelas Chiara.
"Ya udah ayo kita bantu Aruna susun barangnya" Ajak Irfan.
"Ayo Na. Sebelum keluarga jahat kamu itu datang" Chiara langsung menarik tangan Aruna ke lantai dua menuju kamar Aruna. Diikuti oleh Irfan dan Pak Iman di belakangnya.
"Kamu jangan lupa bawa semua data-data penting kamu Aruna. Ijazah dan yang lainnya. Barang kamu juga bawa aja semua. Enak banget itu keluarga kamu nanti kalau kamu tinggalin" Ucap Irfan setelah mereka tiba di kamar Aruna.
"Tapi om kalau bawa semua barang ini gimana? Mau diangkut pake apa?" Tanya Aruna bingung.
"Kamu tenang aja tadi om sudah hubungi jasa pengangkutan. Sebentar lagi mereka pasti udah sampai" Jawab Irfan meyakinkan.
"Tapi mau diangkut kemana coba Om? Aku belum nemu tempat tinggal yang baru.
" Kamu bawa ke rumah aku aja dulu" Usul Chiara yang dijawab Irfan dengan anggukan.
Namun, Aruna menolak keras.
"Enggak. Aku harus cari tempat tinggal baru. Aku mau cari tempat yang sederhana aja. Aku gak mau nyusahin kamu dan keluarga kamu" Tolak Aruna halus.
"Tapi kamu gak nyusahin kok. Malah aku senang kalau kamu tinggal bareng aku" Bantah Chiara.
"Makasih Ra tapi aku gak bisa. Aku mau belajar lebih mandiri dari sekarang. Aku mau tinggal sendiri aja ya" Tolak Aruna lagi dengan halus.
"Atau kamu mau tinggal di apartemen tante kamu? Mamanya Chiara ini punya apartemen dan lagi kosong kok" Usul Irfan, ayah Chiara.
"Gak usah Om. Lagian biaya sewa apartemen kan mahal. Nanti tabungan aku habis untuk itu semua" Tolak Aruna lagi.
"Gini aja non, kemarin saya nemu postingan saudara mau nyewain kamar paviliun Non. Tapi gak besar Non dan apa adanya aja. Kalau Non mau saya bisa hubungin sekarang" Usul Pak Irfan yang sedari tadi hanya diam sembari menyusun barang Aruna.
"Biaya sewanya berapa Pak?" Tanya Aruna.
"1 juta per bulannya Non. Tapi kalau Non mau langsung sewa 6 bulan Non bayar 5 juta aja" Jawab Pak Irfan.
"Itu aja Pak. Tolong hubungin ya Pak. Kalau itu tabungan aku pasti masih cukup kok" Jawab Aruna semangat. Pak Irfan langsung menghubungi saudaranya yang dimaksud.
"Kamu yakin Na?" Tanya Chiara tidak percaya dengan usul Pak Irfan.
"Kamu percaya sama aku ya. Nanti kamu juga harus sering-sering main ke tempat aku" Aruna meyakinkan Chiara dengan pilihannya.
"Bisa Non. Kata saudara saya barangnya bisa langsung diangjut sekarang. Dia udah bersihin kamarnya di sana" Setelah menghubungi saudaranya, Pak Iman memberitahukan Aruna hasilnya.
"Makasih ya Pak" Balas Aruna lembut.
Mereka berempat lalu menyusun barang Aruna. Ternyata, barang Aruna yang sangat banyak menyebabkan jasa pengangkutan yang sudah dipesan harus ditambah satu lagi. Dan keduanya harus bolak balik sebanyak dua kali, karena barang Aruna mencapai empat mobil dan sebagian lagi diangkut menggunakan mobil Irfan dan mobil Chiara.
Lalu keempatnya bergerak menuju tempat tinggal Aruna yang baru. Pak Iman dan Pak Irfan bersama menggunakan mobil Pak Irfan. Sementara Aruna dan Chiara menggunakan mobil Chiara.
"Sekarang biarkan saja barangnya begini dulu. Besok kamu susun bareng Chiara. Jadi malam ini kamu harus tinggal di rumah om dulu" Perintah Pak Irfan pada Aruna setelah barang Aruna berhasil dipindahkan ke kamar Aruna.
"Pak Irfan, Non Aruna, non Chiara saya pamit pulang duluan ya" Pak Iman pamit kepada mereka bertiga.
"Pulang bareng saya aja Pak Iman. Nanti saya anterin" Usul Pak Irfan.
"Tidak usah, Pak Irfan. Makasih. Itu anak saya udah jemput" Pak Irfan menunjuk seorang anak muda yang sedang menunggu di atas sepeda motornya.
"Oh ya sudah kalau begitu. Hati-hati Pak Iman" Jawab Pak Irfan.
"Makasih ya Pak Iman. Bapak hati-hati. Ini Pak untuk sisa gaji Bapak sudah disediakan Papa sebelumnya" Aruna menyerahkan amplop berisi uang gaji Pak Iman yang belum dibayarkan.
"Gak usah non. Itu buat non aja" Tolak Pak Iman.
"Gak bisa. Pak Iman harus ambil ini. Ini udah jadi haknya pak Iman. Lagian ini masih pakai uangnya papa kok" Jelas Aruna.
"Makasih non" Akhirnya Pak Iman menerima amplop yang diserahkan Aruna.
Lalu Pak Iman meninggalkan merrka bertiga.
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt