"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.
Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman.
"Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja" Itu yang dikatakan Pak Irfan pada saat Aruna terlihat akan menolak pemberian pak Irfan.
Setelah itu, Aruna dan Chiara langsung berangkat ke tempat penjualan perabotan rumah tangga. Sementara Pak Irfan akan menjemput isterinya terlebih dahulu.
"Kamu lebih suka divan yang ini atau yang ini Na? Nanti bed nya kita beli beda aja" Tanya Chiara menunjuk dua divan tempat tidur di depan mereka.
"Ini besar banget Ra mahal lagi. Yang kecil aja deh, lagian kan aku cuman sendiri nanti makenya" Jawab Aruna menolak opsi pilihan Chiara.
"Kok gitu sih? Kan nanti aku bakal sering nginap di tempat kamu" Chiara tidak terima dengan perkataan Aruna.
"Yaudah deh tapi jangan yang itu divannya. Itu kebesaran banget nanti malah jadi sempit di kamarnya. Aku mau divan yang ada laci tempat penyimpanannya aja di bawahnya, lumayan bisa bisa ngurangin space tempat penyimpanan barang" Pasrah Aruna akhirnya.
Lalu keduanya kembali mencari divan yang dimaksudkan Aruna. Akhirnya keduanya menemukan divan yang sesuai dengan yang dimau Aruna dan juga sudah sepaket dengan kasurnya.
"Sekarang kita cari lemari sama barang-barang lainnya yuk" Ajak Chiara.
"Om sama tante gak jadi nyusul?" Tanya Aruna sambil melangkah ke arah perabot lainnya.
"Jadi kok. Mama sama papa lagi di tempat jualan elektronik sama perlengkapan dapur kamu. Oh iya, kata papa tadi mereka udah beli isian ruang tamu kamu jadi kita tinggal cari untuk kamar tidur kamu sama lemari penyimpanan aja" Jelas Chiara panjang lebar.
"Rencananya aku mau jadiin kamar yg kedua yg dekat dapur itu jadi tempat penyimpanan aja. Jadi isinya lemari dan rak-rak aja, supaya barang-barang aku semuanya muat. Menurut kamu, cocok gak?" Tanya Aruna pada Chiara.
"Iya tadi aku juga mau nyaranin gitu aja. Barang kamu kan banyak banget jadi disusun di kamar dua aja" Chiara setuju dengan ide Aruna.
Akhirnya Aruna dan Chiara membeli semua perabot yang dibutuhkan Aruna. Setelah itu, mereka berdua menemui papa dan mama Aruna yang sudah menunggu di salah satu restaurant.
"Barang-barang kamu sudah dikirimkan ke tempat kamu ya Ra. Tadi kita udah hubungi ibu yang punya, katanya kamu tadi ngasih kunci ke si ibu ya. Jadi kita minta tolong sama ibunya buat nerima barang-barang perabotan kamu" Ucap tante Sarah, mama Chiara. Kini mereka berempat sudah menyelesaikan makan siang, yang memang sudah telat dari jamnya.
"Tante, makasih banyak ya. Maaf aku ngerepotin tante sama om" Balas Aruna tidak enak hati.
"Gapapa, tante sama om senang bisa bantu kamu. Selama ini papa sama mama kamu udah baik banget sama tante om" Balas tante Sarah senang.
"Kamu bisa anggap om dan tante ini sebagai orang tua kamu sekarang. Kamu jangan pernah merasa gak punya siapa siapa ya" Lanjut om Irfan, ayah Chiara.
"Makasih om" Balas Aruna dengan sangat senang.
"Tadi papa sama mama beli apa aja?" Tanya Chiara mengalihkan pembicaraan.
"Kita udah beli sofa sama satu lemari kecil buat diletakin di ruang tamu. Udah beli kompor dan perlengkapannya, rak di dapur, peralatan kamar mandi tapi kita belum beli shampo,sabun dan yang lainnya takutnya nanti kita beli ternyata gak cocok sama Aruna" Jawab tante Sarah panjang lebar.
"Kalian beli apa aja tadi?" Kini giliran om Irfan yang bertanya pada Aruna dan Chiara.
"Kita udah beli tempat tidur, karpet 3 biji, selimut, bantal, lemari baju kita beli dua kan baju Aruna banyak itu. Kita juga beli lemari untuk nyusun barang-barang Aruna yang lain sama rak-rak tempat letakin barang-barang lainnya" Jelas Chiara antusias.
"Berarti udah lengkap kan?" Tanya om Irfan memastikan.
"Udah...." Belum selesai Aruna menjawab pertanyaan om Irfan, sudah lebih dulu dipotong oleh Chiara.
"AC nya belum Pa" Jawab Chiara langsung.
"Oh udah kok. Tadi papa udah hubungin tukang dan tadi ngabarin udah selesai dipasang" Jawab om Irfan.
"Televisinya,Pa" Celetuk tante Sarah.
"Eh, televisi gak usah tante. Nanti juga gak bakal kepake. Aku juga jarang nyalain televisi nanti, kan aku mau fokus kerja aja" Tolak Aruna sungkan.
"Beneran gak mau?" Tanya tante Sarah memastikan.
"Iya gak usah, Tan. Lagian televisi gak perlu-perlu banget kok sekarang buat aku" Jawab Aruna meyakinkan.
"Yaudah, kalau gitu om sama tante balik duluan ya. Kita masih ada urusan setelah ini" Pamit om Irfan.
"Nanti kamu tetap nginap di rumah om sama tante ya kamar kamu kan belum dibersihkan" Ucap tante Sarah sebelum pergi meninggalkan Aruna dan Chiara berdua.
"Sekarang kita belanja sabun, beras sama perlengkapan kamu yang lainnya" Chiara langsung menarik tangan Aruna ke arah supermarket sebelum Aruna menolak.
Setelah berbelanja dan memastikan seluruh kebutuhan Aruna sudah mereka beli, Aruna dan Chiara kembali ke rumah sederhana tempat tinggal Aruna sekarang.
"Yaampun Ra ini banyak banget barangnya" Aruna terkejut melihat perabotan dan barang-barang lainnya yang diantarkan ke rumahnya sangat banyak.
"Udah gapapa, sekarang ayo kita beresin semuanya" Ajak Chiara. Keduanya lalu mulai membereskan barang-barang Aruna dan menyusun perabotan sesuai pada tempatnya.
Keduanya dibantu oleh ibu pemilik paviliun tersebut dan juga dibantu dua orang anak laki-lakinya yang masih SMA.
Barang-barang milik Aruna berhasil mereka selesaikan setelah hari sudah mulai gelap. Akhirnya keduanya langsung pulang ke rumah Chiara karena malam ini Aruna akan menginap di rumah Chiara.
"Aku berterima kasih banget sama kamu Ra. Kalau gak ada kamu sama om tante aku gak tau bakal gimana sekarang" Celetuk Chiara sesaat sebelum keduanya tidur. Kini mereka sudah berada di atas kasur milik Chiara.
"Kamu jangan bilang makasih terus. Aku senang bisa bantu kamu dan memang udah seharusnya aku bantu kamu" Jawab Chiara lembut.
"Aku senang banget bisa kenal kamu, om dan tante yang baik banget. Kalau gak ada kalian aku pasti jadi gelandangan sekarang" Aruna berujar lirih.
"Udah kamu jangan kayak gitu lagi. Sekarang kamu harus lebih semangat lagi. Oh iya gimana kuliah kamu?" Tanya Chiara.
"Aku bakal lanjutin kok. Tanggung banget udah semester 6. Doain aja ya semester depan aku udah bisa mulai nyusun skripsi" Jawab Aruna tenang sembari menunjukkan senyum indahnya.
"Nah gitu dong semangat. Walaupun kamu sendiri kamu harus semangat buat diri kamu sendiri. Dan juga saran aku nih, kamu batasin dulu komunikasi dengan keluarga besar orang tua kamu. Aku yakin mereka pasti bakal masih terus cari masalah sama kamu" Saran Chiara.
"Iya, lagian aku gak mau berurusan apapun dengan mereka dari sekarang" Jawab Aruna.
"Eh lihat deh Na kamu kenal ini gak?" Tanya Chiara pada Aruna, mengalihkan pembicaraan sembari menunjukkan salah satu foto pria di handphone-nya.
"Itu bukannya yang tadi kita lihat di super market ya?" Tanya Aruna memastikan.
"Iya, ganteng banget ya Ra. Pasti dia mapan juga. Udah cocok banget sih ini jadi suami" Celoteh Chiara.
"Tapi yang tadi dia gendong itu kayaknya anaknya deh Ra" Ingat Aruna.
"Kan bisa aja itu keponakannya atau gimana Na. Tapi dia kelihatan jadi hot daddy banget sih kalau lagi momong anak gitu" Celotehan Chiara masih berlanjut. Malam itu Aruna mendengar seluruh celotehan Chiara mengenai pria yang mereka temui di supermarket tadi.
Aruna tidak heran lagi melihat tingkah Chiara. Chiara memang paling lemah melihat pria tampan. Dia akan selalu memuji pria tersebut untuk beberapa waktu.
"Kamu di mana sekarang?" Tanya suara perempuan dari seberang.
"Aku lagi di supermarket Ma" Jawab pria tersebut yang ternyata adalah Keenan. Sedangkan wanita yang sedang berkomunikasinya dengannya melalui handphone tersebut adalah mamanya.
"Ngapain? Kamu jadi ke rumah mama sekarang?" Tanya mamanya lagi dari seberang panggilan tersebut.
"Aku harus beli beberapa perlengakapan Keenan sama aku Ma. Sekalian beli perlengkapan dapur. Maaf ya, Ma aku gak bisa ke sana sekarang. Rencananya aku mau bawa Keenan jalan-jalan dulu di taman. Dia pasti udah bosan dalam ruangan terus" Jelas Keenan panjang lebar.
"Yaudah gak papa. Kamu hati-hati nanti nyetirnya ya. Mama tutup telfonnya" Ucap mama Keenan memutus panggilan di antara keduanya.
Keenan kembali mendorong trolli belanjaannya. Tidak lupa dengan Alarick di gendongannya. Alarick terlihat antusias ikut berbelanja. Sedari tadi, balita tersebut menepuk-nepuk kedua tangannya dengan semangat.
Melihat keceriaan Alarick, Keenan jadi berpikir bahwa Alarick pasti bosan selalu berada di ruangan tertutup. Jadi, Keenan berencana akan membawa anaknya itu ke taman, sekadar untuk jalan-jalan dan menghirup udara segar.
Saat asik memilih sabun yang sesuai untuk Alarick, Keenan melihat ada dua orang anak gadis yang sedang berbisik-bisik dan salah satu dari mereka sedang menunjuk-nunjuk ke arahnya.
Tapi pandangan Keenan terarahkan ke salah satu gadis itu, yaitu gadis yang hanya memandangnya dengan diam tanpa mengatakan apapun dan tidak menunjuk ke arahnya. Mata gadis itu berhasil menarik perhatian Keenan.
Sadar akan kelakuannya, Keenan langsung mengarahkan pandangannya ke rak tempat barang belanjaan disusun. Tapi, meskipun Keenan sudah tidak memandang ke arah gadis itu dan bahkan kedus gadis tersebut telah menghilang dari tempatnya tadi, Keenan masih tidak bisa menghilangkan bayangan wajah dan mata gadis itu dari pikirannya.
Keenan bingung karena biasanya Keenan tidak pernah memperhatikan seseorang sedetail itu. Mata gadis itu seolah berhasil memikat Keenan untuk selalu membayangkan wajah dan mata gadis tersebut.
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt