"Kau yakin hanya ini barang-barang yang kau bawa?"Andrew kembali memperhatikan semua koper dan juga beberapa kardus yang baru saja mereka turunkan dari mobil sportnya. Ternyata hanya perlu satu kali perjalana untuk membawa semua barang pribadi milik Sheila. Wanita itu ternyata tak memiliki banyak barang, seperti gadis-gadis seusianya. "Tak ada yang tertinggal?" tanya Andrew kembali memastikan.Untuk kesekian kalinya, Sheila mengangguk, yakin. Ia tak pernah membelanjakan uangnya untuk hal tak berguna. Sepatu contohnya, ia sudah mengenakan barang yang sama selama hampir tiga tahun lamanya. Namun sekali beli, ia benar-benar akan memastikan kualitasnya baik dengan harga yang sesuai pula.Pekerjannya sebagai dokter yang mampu meraup keuntungan besar tak membuatnya senang berfoya-foya. Hidupnya penuh dengan perjuangan. Dan kesenangan sesaat itu hanya akan menjerumuskannya dalam kesulitan di akhir hidupnya."Kakak kan tahu aku jarang belanja," katanya tersenyum.Andrew sendiri mengangguk-a
"Maksud ibu tadi itu apa, Shei?" tanya Andrew yang dengan penuh paksa ditarik keras ke dalam rumah.Sementara wanita yang kini berdiri di hadapannya hanya bisa diam mematung tanpa jawab. Pikirannya maish terus berputar mengingat dengan jelas bagaimana sepuluh tahun lalu ia meninggalkan rumah ini. Satu-satunya harta peninggalan sang ayah yang terpaksa ditelantarkan demi menyongsong hidup yang lebih baik.Selama itu pula, Sheila tak pernah berkunjung, apalagi menanyakan kabar gedung yang penuh dengan kenangan masa kecilnya itu. Ia benar-benar menahan semua kerinduan itu sekuat mungkin, agar masa depannya berubah total. Dan terbukti, semua hasil jerih payahnya sama sekali tak mengkhianati proses berat penuh cobaan yang telah dilalui. Tatapan manik cokelatnya masih sayu, berharap sang kekasih bisa memberikan waktu sejenak untuk bisa menceritakan semuanya. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk membuka semua aib masa lalu itu dan membuat hubungan mereka semakin jelas. "Bagaimana bisa kamu
"Semua nama-nama di daftar sudah hadir? Kita siap berangkat lima menit lagi!"Sebuah aba-aba membuat jantung Sheila berdetak kencang. Matanya terus berputar mencari seorang pria di antara kerumunan para petugas medis dan non-medis yang akan berangkat dalam kegiatan bakti sosial. Sebuah bus pariwisata sudah disewa untuk membawa sekitar 20 orang karyawan, termasuk dokter dan perangkat manajemen yang menemani."Cari siapa?" Sebuah suara mengejutkan gadis itu. Matanya mendapati tubuh tinggi besar yang terlalu dikenalnya. Sheila bahkan merasakan wangi tubuh pria yang sudah lama tak ia jamah. Otaknya bernostalgia, menutup semua ingatan buruk tentang pria itu."Andrew memutuskan untuk tidak ikut!" kata Arnes penuh penekanan.Namun satu kalimat itu langsung membuat Sheila menoleh ke arahnya. Gadis itu tak tahu bagaimana pasti mimik wajah yang sedang ditunjukkan. Karena hatinya pun bingung, harus bersorak gembira atau menangis, karena baru saja kehilangan pria yang dengan tulus mencintainya.
"Malam ini kita tidak ada agenda. Untuk yang mau istirahat, silakan. Tapi kalau mau jalan-jalan juga boleh. Asal, jangan terlalu larut, karena besok kita mulai pagi hari!" Semua orang bertepuk tangan dan membubarkan diri ke kamar masing-masing. Lobi hotel tempat menginap berangsur sepi, karena sebagian besar tamu mereka hari itu adalah karyawan rumah sakit yang tengah melakukan bakti sosial. Rencana awal pergi ke desa terpencil diurungkan, mengingat direktur mereka ikut serta di dalamnya. Sehingga sebuah kota kecil yang menjadi tujuan mereka, dengan fasilitas yang cukup mumpuni, walau tak selengkap Ibu Kota. Setidaknya, panitia tak akan terlalu kesulitan untuk mencari akomodasi yang layak bagi pimpinannya."Apa yang Paman lakukan?" tanya Sheila melihat langkah Arnes terus mengikutinya."Apa? Memangnya aku melakukan apa?" Arnes balik bertany dengan mimik muka kebingungan."Kenapa Paman mengikutiku?" tanyanya dengan nada ketus.Arnes tergelak, melihat bagaimana sikap dingin yang berus
"Gempa, ini beneran gempa!" seru Sheila yang meyakinkan Arnes untuk kedua kalinya.BRAK!Dua kaleng bir jatuh ke lantai, mengeluarkan sisa cairan yang masih penuh. Dua pasang mata yang tadi enggan saling menatap, kini malah beradu pandang. Seperti diberi aba-aba, mereka beranjak dari tempat duduk dan berusaha untuk menapak lantai, tanpa terjatuh.Tubuh Arnes terhuyung, dengan dua tangan terentang lebar. Pria itu berusaha menyeimbangkan tubuh, sambil sesekali membantu Sheila yang masih tak sadar dengan kejadian yang terjadi. Tapi gadis itu malah sibuk mengemasi barang-barangnya."Apa yang kau lakukan?" teriak Arnes marah. "Kita tak punya banyak waktu! Aku pergi!" katanya seraya menarik tangan Sheila keluar ruangan.Baru saja pintu terbuka, keduanya sudah menyaksikan lalu-lalang orang-orang yang berlari ketakutan. Semuanya sibuk mencari selamat, diiringi bunyi sirine hotel yang baru saja berdering nyaring, memekakkan telinga. Lampu di atas pintu darurat menyala, memberi tanda bahwa semu
"Astaga!" seru Arnes memandang jalanan yang ada di depan.Malam yang harusnya sepi sunyi berubah dalam waktu beberapa menit saja. Putusnya sambungan listrik membuat gelap seisi kota, yang tersisa hanya sinar rembulan dan juga senter-senter penduduk sekitar yang menyala. Bersama dengan lampu sorot dari mobil yang kini ditumpanginya bersama dengan Sheila dan seorang ibu hamil di kursi baris kedua.Suasana mencekam, dengan iring teriakan dari beberapa orang sekitar yang mulai sadar kehilangan sanak keluarganya. Air mata bercucuran, membuat siapapun ingin mendekat dan membantu. Tapi Arnes sadar bahwa kini korban yang dibawanya tengah di ambang hidup dan mati. Terlambat beberapa menit saja, akan membuat mereka kehilangan salah satu di antara ibu atau sang bayi."Paman..." panggil Sheila yang kini menatap mata elang Arnes dari kaca spion mobil pinjaman dari hotel.Nada takut jelas terdengar dari bibir gadis yang kini masih memeluk tubuh sang ibu hamil. Wajahnya yang kotor menunjukkan kesedi
"Maaf, kami merepotkan, tapi kondisinya..."Pria di depan Arnes tak bisa berkata-kata. Wajahnya dipenuhi debu, dengan keringat yang membuat semuanya makin berantakan. Lusuh, kotor dan lelah, semua nampak jelas tergambar dari tubuhnya. Jas putih bersih, khas dokter, sudah tak lagi sama. Keadaan di halaman rumah sakit masih tak terlalu kondusif, dan membutuhkan banyak bantuan lain.Sheila dan Arnes yang berniat untuk memantau kondisi pasien mereka, akhirnya juga turun gunung. Keduanya berkeliling memeriksa kondisi para pasien yang tengah sakit dan harus bertahan di tengah bencana. Beberapa tenda mulai didirikan untuk memberi kenyamanan untuk para korban beristirahat, setidaknya semalam ini."Tak masalah," potong Arnes dengan cepat.Matanya tak henti memandangi lokasi kejadian yang hancur berantakan. Sebagian memang masih berdiri, tapi posisinya sudah tak layak huni. Beberapa tenaga medis yang hendak masuk mengambil peralatan pun sudah tak diperbolehkan masuk. Gempa susulan dengan skala
"Ehm? Di mana ini?" tanya Sheila yang kini bangun karena sinar mentari menusuk mata.Maniknya memicing, mencari sesuatu yang harusnya berada di sisi. Tubuhnya beranjak perlahan, dengan rasa sakit luar biasa di beberapa bagian. Tapi ia tak peduli, matanya masih berputar untuk menemukan sang paman dokter yang sudah tak berada di mobil.Sadar bahwa pria itu tak lagi berada di sana, ia mulai membentangkan pandangan ke luar mobil, di mana tenda-tenda mulai berdiri memenuhi nyaris seluruh halaman depan rumah sakit. Suasana mulai ramai, dengan mobil-mobil yang turur hadir mengantarkan korban-korban lain. Pihak kepolisian, tentara dan penduduk sekitar ikut bahu-membahu membongkar reruntuhan sedikit demi sedikit untuk mencari korban satu per satu.Sheila meneguk satu botol air mineral yang ada di dekatnya hingga habis setengahnya. Lalu sisanya ia bawa keluar untuk sekedar mencuci muka. Rambut panjangnya diurai sebentar, lalu kembali diikat dengan rapi sambil bercermin di jendela mobil."Apa ya