"Maksud ibu tadi itu apa, Shei?" tanya Andrew yang dengan penuh paksa ditarik keras ke dalam rumah.Sementara wanita yang kini berdiri di hadapannya hanya bisa diam mematung tanpa jawab. Pikirannya maish terus berputar mengingat dengan jelas bagaimana sepuluh tahun lalu ia meninggalkan rumah ini. Satu-satunya harta peninggalan sang ayah yang terpaksa ditelantarkan demi menyongsong hidup yang lebih baik.Selama itu pula, Sheila tak pernah berkunjung, apalagi menanyakan kabar gedung yang penuh dengan kenangan masa kecilnya itu. Ia benar-benar menahan semua kerinduan itu sekuat mungkin, agar masa depannya berubah total. Dan terbukti, semua hasil jerih payahnya sama sekali tak mengkhianati proses berat penuh cobaan yang telah dilalui. Tatapan manik cokelatnya masih sayu, berharap sang kekasih bisa memberikan waktu sejenak untuk bisa menceritakan semuanya. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk membuka semua aib masa lalu itu dan membuat hubungan mereka semakin jelas. "Bagaimana bisa kamu
"Semua nama-nama di daftar sudah hadir? Kita siap berangkat lima menit lagi!"Sebuah aba-aba membuat jantung Sheila berdetak kencang. Matanya terus berputar mencari seorang pria di antara kerumunan para petugas medis dan non-medis yang akan berangkat dalam kegiatan bakti sosial. Sebuah bus pariwisata sudah disewa untuk membawa sekitar 20 orang karyawan, termasuk dokter dan perangkat manajemen yang menemani."Cari siapa?" Sebuah suara mengejutkan gadis itu. Matanya mendapati tubuh tinggi besar yang terlalu dikenalnya. Sheila bahkan merasakan wangi tubuh pria yang sudah lama tak ia jamah. Otaknya bernostalgia, menutup semua ingatan buruk tentang pria itu."Andrew memutuskan untuk tidak ikut!" kata Arnes penuh penekanan.Namun satu kalimat itu langsung membuat Sheila menoleh ke arahnya. Gadis itu tak tahu bagaimana pasti mimik wajah yang sedang ditunjukkan. Karena hatinya pun bingung, harus bersorak gembira atau menangis, karena baru saja kehilangan pria yang dengan tulus mencintainya.
"Malam ini kita tidak ada agenda. Untuk yang mau istirahat, silakan. Tapi kalau mau jalan-jalan juga boleh. Asal, jangan terlalu larut, karena besok kita mulai pagi hari!" Semua orang bertepuk tangan dan membubarkan diri ke kamar masing-masing. Lobi hotel tempat menginap berangsur sepi, karena sebagian besar tamu mereka hari itu adalah karyawan rumah sakit yang tengah melakukan bakti sosial. Rencana awal pergi ke desa terpencil diurungkan, mengingat direktur mereka ikut serta di dalamnya. Sehingga sebuah kota kecil yang menjadi tujuan mereka, dengan fasilitas yang cukup mumpuni, walau tak selengkap Ibu Kota. Setidaknya, panitia tak akan terlalu kesulitan untuk mencari akomodasi yang layak bagi pimpinannya."Apa yang Paman lakukan?" tanya Sheila melihat langkah Arnes terus mengikutinya."Apa? Memangnya aku melakukan apa?" Arnes balik bertany dengan mimik muka kebingungan."Kenapa Paman mengikutiku?" tanyanya dengan nada ketus.Arnes tergelak, melihat bagaimana sikap dingin yang berus
"Gempa, ini beneran gempa!" seru Sheila yang meyakinkan Arnes untuk kedua kalinya.BRAK!Dua kaleng bir jatuh ke lantai, mengeluarkan sisa cairan yang masih penuh. Dua pasang mata yang tadi enggan saling menatap, kini malah beradu pandang. Seperti diberi aba-aba, mereka beranjak dari tempat duduk dan berusaha untuk menapak lantai, tanpa terjatuh.Tubuh Arnes terhuyung, dengan dua tangan terentang lebar. Pria itu berusaha menyeimbangkan tubuh, sambil sesekali membantu Sheila yang masih tak sadar dengan kejadian yang terjadi. Tapi gadis itu malah sibuk mengemasi barang-barangnya."Apa yang kau lakukan?" teriak Arnes marah. "Kita tak punya banyak waktu! Aku pergi!" katanya seraya menarik tangan Sheila keluar ruangan.Baru saja pintu terbuka, keduanya sudah menyaksikan lalu-lalang orang-orang yang berlari ketakutan. Semuanya sibuk mencari selamat, diiringi bunyi sirine hotel yang baru saja berdering nyaring, memekakkan telinga. Lampu di atas pintu darurat menyala, memberi tanda bahwa semu
"Astaga!" seru Arnes memandang jalanan yang ada di depan.Malam yang harusnya sepi sunyi berubah dalam waktu beberapa menit saja. Putusnya sambungan listrik membuat gelap seisi kota, yang tersisa hanya sinar rembulan dan juga senter-senter penduduk sekitar yang menyala. Bersama dengan lampu sorot dari mobil yang kini ditumpanginya bersama dengan Sheila dan seorang ibu hamil di kursi baris kedua.Suasana mencekam, dengan iring teriakan dari beberapa orang sekitar yang mulai sadar kehilangan sanak keluarganya. Air mata bercucuran, membuat siapapun ingin mendekat dan membantu. Tapi Arnes sadar bahwa kini korban yang dibawanya tengah di ambang hidup dan mati. Terlambat beberapa menit saja, akan membuat mereka kehilangan salah satu di antara ibu atau sang bayi."Paman..." panggil Sheila yang kini menatap mata elang Arnes dari kaca spion mobil pinjaman dari hotel.Nada takut jelas terdengar dari bibir gadis yang kini masih memeluk tubuh sang ibu hamil. Wajahnya yang kotor menunjukkan kesedi
"Maaf, kami merepotkan, tapi kondisinya..."Pria di depan Arnes tak bisa berkata-kata. Wajahnya dipenuhi debu, dengan keringat yang membuat semuanya makin berantakan. Lusuh, kotor dan lelah, semua nampak jelas tergambar dari tubuhnya. Jas putih bersih, khas dokter, sudah tak lagi sama. Keadaan di halaman rumah sakit masih tak terlalu kondusif, dan membutuhkan banyak bantuan lain.Sheila dan Arnes yang berniat untuk memantau kondisi pasien mereka, akhirnya juga turun gunung. Keduanya berkeliling memeriksa kondisi para pasien yang tengah sakit dan harus bertahan di tengah bencana. Beberapa tenda mulai didirikan untuk memberi kenyamanan untuk para korban beristirahat, setidaknya semalam ini."Tak masalah," potong Arnes dengan cepat.Matanya tak henti memandangi lokasi kejadian yang hancur berantakan. Sebagian memang masih berdiri, tapi posisinya sudah tak layak huni. Beberapa tenaga medis yang hendak masuk mengambil peralatan pun sudah tak diperbolehkan masuk. Gempa susulan dengan skala
"Ehm? Di mana ini?" tanya Sheila yang kini bangun karena sinar mentari menusuk mata.Maniknya memicing, mencari sesuatu yang harusnya berada di sisi. Tubuhnya beranjak perlahan, dengan rasa sakit luar biasa di beberapa bagian. Tapi ia tak peduli, matanya masih berputar untuk menemukan sang paman dokter yang sudah tak berada di mobil.Sadar bahwa pria itu tak lagi berada di sana, ia mulai membentangkan pandangan ke luar mobil, di mana tenda-tenda mulai berdiri memenuhi nyaris seluruh halaman depan rumah sakit. Suasana mulai ramai, dengan mobil-mobil yang turur hadir mengantarkan korban-korban lain. Pihak kepolisian, tentara dan penduduk sekitar ikut bahu-membahu membongkar reruntuhan sedikit demi sedikit untuk mencari korban satu per satu.Sheila meneguk satu botol air mineral yang ada di dekatnya hingga habis setengahnya. Lalu sisanya ia bawa keluar untuk sekedar mencuci muka. Rambut panjangnya diurai sebentar, lalu kembali diikat dengan rapi sambil bercermin di jendela mobil."Apa ya
"Dokter Arnes!"Seorang pria melambaikan tangannya, agar terlihat dari kejauhan. Arnes yang sadar, langsung bergerak mendekat ke arah rombongan karyawan rumah sakitnya yang kini sudah berkumpul dalam beberapa tenda kecil di sekitar mereka.Sheila membuntuti sang paman dokter dari belakang. Setelah memastikan bahwa kondisi di rumah sakit mulai kondusif, keduanya memutuskan untuk bergerak ke lokasi hotel, di mana rekan-rekannya berada. Tak mungkin mereka berlama-lama tanpa alat komunikasi yang bisa digunakan. Suasana sekitar hotel masih sama seperti kemarin, penuh dengan reruntuhan, apalagi dengan kemunculan gempa susulan yang masih sering terjadi. Namun yang membedakan adalah keberadaan tenda-tenda yang harusnya mereka gunakan sebagai posko pengobatan saat bakti sosial. Truk berisi obat dan peralatan medis juga nampak di dekat mereka, terbuka lebar dengan isi yang bisa diambil segera."Bagaimana kondisi di sini? Apa ada yang terluka?" tanya Arnes langsung mencecar dengan pertanyaan pe
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I