"Malam ini kita tidak ada agenda. Untuk yang mau istirahat, silakan. Tapi kalau mau jalan-jalan juga boleh. Asal, jangan terlalu larut, karena besok kita mulai pagi hari!" Semua orang bertepuk tangan dan membubarkan diri ke kamar masing-masing. Lobi hotel tempat menginap berangsur sepi, karena sebagian besar tamu mereka hari itu adalah karyawan rumah sakit yang tengah melakukan bakti sosial. Rencana awal pergi ke desa terpencil diurungkan, mengingat direktur mereka ikut serta di dalamnya. Sehingga sebuah kota kecil yang menjadi tujuan mereka, dengan fasilitas yang cukup mumpuni, walau tak selengkap Ibu Kota. Setidaknya, panitia tak akan terlalu kesulitan untuk mencari akomodasi yang layak bagi pimpinannya."Apa yang Paman lakukan?" tanya Sheila melihat langkah Arnes terus mengikutinya."Apa? Memangnya aku melakukan apa?" Arnes balik bertany dengan mimik muka kebingungan."Kenapa Paman mengikutiku?" tanyanya dengan nada ketus.Arnes tergelak, melihat bagaimana sikap dingin yang berus
"Gempa, ini beneran gempa!" seru Sheila yang meyakinkan Arnes untuk kedua kalinya.BRAK!Dua kaleng bir jatuh ke lantai, mengeluarkan sisa cairan yang masih penuh. Dua pasang mata yang tadi enggan saling menatap, kini malah beradu pandang. Seperti diberi aba-aba, mereka beranjak dari tempat duduk dan berusaha untuk menapak lantai, tanpa terjatuh.Tubuh Arnes terhuyung, dengan dua tangan terentang lebar. Pria itu berusaha menyeimbangkan tubuh, sambil sesekali membantu Sheila yang masih tak sadar dengan kejadian yang terjadi. Tapi gadis itu malah sibuk mengemasi barang-barangnya."Apa yang kau lakukan?" teriak Arnes marah. "Kita tak punya banyak waktu! Aku pergi!" katanya seraya menarik tangan Sheila keluar ruangan.Baru saja pintu terbuka, keduanya sudah menyaksikan lalu-lalang orang-orang yang berlari ketakutan. Semuanya sibuk mencari selamat, diiringi bunyi sirine hotel yang baru saja berdering nyaring, memekakkan telinga. Lampu di atas pintu darurat menyala, memberi tanda bahwa semu
"Astaga!" seru Arnes memandang jalanan yang ada di depan.Malam yang harusnya sepi sunyi berubah dalam waktu beberapa menit saja. Putusnya sambungan listrik membuat gelap seisi kota, yang tersisa hanya sinar rembulan dan juga senter-senter penduduk sekitar yang menyala. Bersama dengan lampu sorot dari mobil yang kini ditumpanginya bersama dengan Sheila dan seorang ibu hamil di kursi baris kedua.Suasana mencekam, dengan iring teriakan dari beberapa orang sekitar yang mulai sadar kehilangan sanak keluarganya. Air mata bercucuran, membuat siapapun ingin mendekat dan membantu. Tapi Arnes sadar bahwa kini korban yang dibawanya tengah di ambang hidup dan mati. Terlambat beberapa menit saja, akan membuat mereka kehilangan salah satu di antara ibu atau sang bayi."Paman..." panggil Sheila yang kini menatap mata elang Arnes dari kaca spion mobil pinjaman dari hotel.Nada takut jelas terdengar dari bibir gadis yang kini masih memeluk tubuh sang ibu hamil. Wajahnya yang kotor menunjukkan kesedi
"Maaf, kami merepotkan, tapi kondisinya..."Pria di depan Arnes tak bisa berkata-kata. Wajahnya dipenuhi debu, dengan keringat yang membuat semuanya makin berantakan. Lusuh, kotor dan lelah, semua nampak jelas tergambar dari tubuhnya. Jas putih bersih, khas dokter, sudah tak lagi sama. Keadaan di halaman rumah sakit masih tak terlalu kondusif, dan membutuhkan banyak bantuan lain.Sheila dan Arnes yang berniat untuk memantau kondisi pasien mereka, akhirnya juga turun gunung. Keduanya berkeliling memeriksa kondisi para pasien yang tengah sakit dan harus bertahan di tengah bencana. Beberapa tenda mulai didirikan untuk memberi kenyamanan untuk para korban beristirahat, setidaknya semalam ini."Tak masalah," potong Arnes dengan cepat.Matanya tak henti memandangi lokasi kejadian yang hancur berantakan. Sebagian memang masih berdiri, tapi posisinya sudah tak layak huni. Beberapa tenaga medis yang hendak masuk mengambil peralatan pun sudah tak diperbolehkan masuk. Gempa susulan dengan skala
"Ehm? Di mana ini?" tanya Sheila yang kini bangun karena sinar mentari menusuk mata.Maniknya memicing, mencari sesuatu yang harusnya berada di sisi. Tubuhnya beranjak perlahan, dengan rasa sakit luar biasa di beberapa bagian. Tapi ia tak peduli, matanya masih berputar untuk menemukan sang paman dokter yang sudah tak berada di mobil.Sadar bahwa pria itu tak lagi berada di sana, ia mulai membentangkan pandangan ke luar mobil, di mana tenda-tenda mulai berdiri memenuhi nyaris seluruh halaman depan rumah sakit. Suasana mulai ramai, dengan mobil-mobil yang turur hadir mengantarkan korban-korban lain. Pihak kepolisian, tentara dan penduduk sekitar ikut bahu-membahu membongkar reruntuhan sedikit demi sedikit untuk mencari korban satu per satu.Sheila meneguk satu botol air mineral yang ada di dekatnya hingga habis setengahnya. Lalu sisanya ia bawa keluar untuk sekedar mencuci muka. Rambut panjangnya diurai sebentar, lalu kembali diikat dengan rapi sambil bercermin di jendela mobil."Apa ya
"Dokter Arnes!"Seorang pria melambaikan tangannya, agar terlihat dari kejauhan. Arnes yang sadar, langsung bergerak mendekat ke arah rombongan karyawan rumah sakitnya yang kini sudah berkumpul dalam beberapa tenda kecil di sekitar mereka.Sheila membuntuti sang paman dokter dari belakang. Setelah memastikan bahwa kondisi di rumah sakit mulai kondusif, keduanya memutuskan untuk bergerak ke lokasi hotel, di mana rekan-rekannya berada. Tak mungkin mereka berlama-lama tanpa alat komunikasi yang bisa digunakan. Suasana sekitar hotel masih sama seperti kemarin, penuh dengan reruntuhan, apalagi dengan kemunculan gempa susulan yang masih sering terjadi. Namun yang membedakan adalah keberadaan tenda-tenda yang harusnya mereka gunakan sebagai posko pengobatan saat bakti sosial. Truk berisi obat dan peralatan medis juga nampak di dekat mereka, terbuka lebar dengan isi yang bisa diambil segera."Bagaimana kondisi di sini? Apa ada yang terluka?" tanya Arnes langsung mencecar dengan pertanyaan pe
"Yang penting sekarang, kami baik-baik saja. Semua anggota baksos lengkap. Untuk sementara kita akan lakukan baksos dengan mengobati para korban."Arnes coba menjelaskan serangkaian kegiatan yang akan mereka lakukan beberapa hari ke depan. Pria itu juga menceritakan kondisi terkini yang masih sering terjadi gempa. Namun karena ada tenda bantuan dari para tentara, semua orang akan tidur di luar, agar sewaktu-waktu gempa terjadi tak akan ada korban lagi."Boleh, kalau memang bisa, kirimkan obat-obatan dan juga perlengkapan medis ke sini. Tapi baiknya koordinasikan dengan manajemen tentang bahaya tidaknya melakukan penambahan anggota."Sebagai seorang direktur, berada di daerah rawan bencana seperti ini pasti membuatnya kalang kabut. Di satu sisi, ia ingin membawa seluruh anggotanya pergi kembali ke rumah. Tapi sebagai seorang dokter yang disumpah, bersama sebagian besar anggota yang juga tenaga medis, tentu ada perasaan bersalah jika itu benar mereka lakukan. Maka dari itu ia tak ingin
"Okay, sesuai kesepakatan, kita akan bergerak ke lokasi terparah dibantu dengan Bapak-bapak tentara di sana!" kata Arnes menunjuk pada sebuah mobil bak tertutup yang warnanya khas sekali dengan corak pria berseragam yang kini memandang ke arah barisan para tenaga medis. Semua bersorak menyerukan yel-yel penyemangat untuk berangkat, lalu dipandu oleh ketua panitia, satu per satu mulai naik ke mobil tersebut. Tak ada yang berseru kelelahan, walau kondisi mereka tak baik-baik saja. Tenda dijaga oleh empat orang yang memang diminta untuk menangani korban di sekitar penampungan. Sheila dan Arnes masuk ke dalam mobil bak bersama rekan mereka lainnya. Kedua orang itu masih tetap melakukan mogok bicara setelah kejadian tadi. Tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Kecuali ada orang yang mengajak keduanya berbicara bersama.Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai pada sebuah desa kecil yang harusnya cantik nan indah. Tapi semua yang dilihat jauh dari kata baik-baik saja. Tak ada bang