Share

Punyamu Bisa Berdiri

"Jelaskan padaku, sejak kapan kau menjadi tunangan Yoga Iskandar?"

Ingin rasanya aku menghilang. Agar tak ada yang menanyakan pria menyebalkan itu padaku.

Sialnya, aku lupa bila Uti berasal  dari keluarga terpandang. Tentu saja dia mengenal Yoga. Mengingat latar belakang mereka yang nyaris sama.

"Biarkan aku berpikir dulu," jawabku sembari memperbaiki perasaan.

"Berpikir dulu? Kau bahkan tidak tahu posisimu di mana. Lalu mengapa masih berpikir? Bukankah sebentar lagi kalian akan menikah?"

Oh Tuhan, ingin rasanya ku sumpal mulut Uti. Tidak bisakah dia memberiku sedikit ruang untuk berpikir?

"Tunggu dulu, apa kau mengenal Pria menyebalkan itu?"

Kening Uti berkerut ketika Yoga ku sebut sebagai pria menyebalkan.

"Maksudku Yoga... Apa kau mengenalnya?"

"Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah pemilik salah satu perusahaan konsultan terbesar di kota ini," jawan Uti.

Ternyata benar, Yoga merupakan pria kaya raya. Lalu apa kata Ibu bila sampai melihat berita tentangku barusan? Aku pasti akan dipukulinya habis-habisan.

"Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?!" seruku, tiba-tiba menghardik Uti.

"Mengapa kau marah padaku? Memangnya aku tahu kau akan menjadi tunangan seorang milyader?"

Milyader? Sekaya itukah Yoga? Tapi sepertinya dia masih muda untuk menjadi seorang pemilik perusahaan. Ah, bisa jadi dia hanyalah seorang pewaris, bukan perintis.

"Sekarang jelaskan padaku, bagaimana bisa kau menjadi tunangan Yoga? Apa benar kau..."

"Ceritanya panjang!" selorohku, mengacuhkan pertanyaan Uti.

"Kalau begitu singkat saja. Bisa, kan?"

Salah satu yang tidak ku sukai dari wanita cerewet ini. Dia kerap memaksaku untuk meminta penjelasan. Uti sama sekali tak pandai menahan diri.

Sebelum memutuskan untuk bercerita, aku menarik napas berat. Kemudian, "Tadi aku bertemu Aditya di toko berlian."

"Aditya mantan pacarmu yang tidak tahu diri itu?"

Haruskah Uti memperjelas segalanya? Walau bagaimanapun juga aku dan Aditya pernah memiliki kenangan manis sebelum akhirnya pria brengsek itu mengakhiri hubungan kami. Dasar Uti sialan.

"Hmm..."

"Hahaha... Lalu?"

Sesuai dugaan. Jika aku memberitahu Uti tentang insiden pagi tadi, dia pasti akan menertawakanku. Sekarang terbukti, bukan?

"Adit datang bersama kekasih barunya. Lalu kami terlibat perselisihan karena wanita itu sangat cerewet. Dia terus menyudutkanku, karena memiliki penampilan kucel dan burik. Menurutnya, hanya orang kaya yang bisa masuk ke toko berlian. Bukan gadis sepertiku... Keterlaluan!" ceritaku berapi-api.

"Hahaha... Terus... Terus..."

Uti sudah seperti tukang parkir. Dia terus memintaku untuk melanjutkan.

"Ya... Lalu kebetulan aku melihat Yoga sedang mencari sesuatu di toko itu. Karena merasa tertantang oleh pacar Adit, aku pun menghampiri Yoga dan memintanya untuk berpura-pura menjadi kekasiku tanpa berpikir panjang... Mana ku tahu kalau dia justru meminta imbalan dariku dengan berpura-pura menjadi tunangan palsunya di depan para wartawan."

"Hahaha..."

Uti tertawa terpingkal-pingkal ketika cerita usai ku sampaikan padanya, alih-alih merasa iba.

"Kau pura-pura menjadikan Yoga sebagai kekasihmu. Tapi ternyata dia justru memanfaatkan momen itu. Hahaha... Sepertinya kau telah terkena karma dari Aditya, karena telah membohonginya."

"Sialan, Lo!" Aku melempari Uti dengan pena.

"Sekarang aku hanya takut bila Ibu menonton berita barusan. Bisa-bisa dia jatuh pingsan saat mengetahui Anak gadisnya tiba-tiba menjadi tunangan seorang pria asing," tukasku mulai khawatir.

"Hais, kau ini... Itulah sebabnya kau harus menggunaka akalmu sebelum memutuskan melakukan sesuatu," kata Uti dengan mudahnya menyalahkanku.

"Habis, aku terpancing emosi dengan kelakuan pacar Adit. Ingin rasanya ku remas mulut cerewet wanita itu. Benar-benar menyebalkan!" seruku berapi-api.

"Ya sudah, selamat memikirkan alasan. Berdoa saja, semoga Ibu tidak menonton berita di rumah. Hahaha."

Alih-alih memberiku solusi, Uti justru kembali mengejekku.

**

Yoga Pov.

Di kantor, aku menjadi bahan perbincangan semua orang. Tak terkecuali Indra, Manager kantor sekaligus sahabatku.

"Wanita mana yang kau sewa untuk membungkam mulut para wartawan itu?"

Lihatlah, betapa menyebalkan Indra. Mulutnya sungguh lemes seperti perempuan.

"Diamlah! Aku tidak punya banyak waktu untuk menjawab setiap omong kosongmu!"

Malas rasanya menjawab pertanyaan Indra seputar gadis tak jelas tadi. Aku benar-benar malu dibuatnya. Bagaimana tidak, wanita itu telah berani menyentuh benda pusakaku.

Sialnya, alih-alih merasa malu. Dia justru mengungkit hal tersebut. Keterlaluan!

"Tapi kau punya waktu untuk mencari gadis sewaan, bukan?"  ledek Indra sekali lagi.

"Pergi,!"

Merasa kesal, akhirnya aku melempari sahabatku itu dengan pena.

"Hei, santai, Bro... Mengapa kau marah padaku? Dasar aneh."

Ya, aku memang aneh. Pagi ini banyak keanehan yang kualami. Dimulai ketika sarapan pagi. Mama mencercaku tentang pernikahan dan cucu. Dua hal yang membuat tensiku selalu naik turun.

"Yoga, ingat usiamu sekarang berapa. Sudah memasuki tiga puluh tahun, Nak. Apa kau tidak berencana untuk menikah dan memberi kami cucu? Apa kau tidak ingin mendengar ada tangisan bayi di dalam rumah ini? Mama kesepian, Ga."

Drama pagi hari selalu saja begini. Mama mengeluh soal usia dan kesunyian dalam rumah.

"Kalau hanya sekedar ingin mendengar tangisan bayi, mengapa Mama tidak ke panti asuhan saja? Di sana kan banyak anak bayi yang sengaja diterlantarkan orang tuanya," jawabku acuh tak acuh, sehingga membuat Mama kesal dan memukul lenganku.

Plak!

"Kau ini! Memangnya kau pikir Mama kurang kerjaan? Mama pengen bayi itu datangnya dari spermamu. Bukan hasil persilangan orang lain. Atau jangan-jangan kau tidak normal ya, Ga? Punyamu tidak bengkok kan, Nak? Bisa berdiri, kan?"

Memang nasib mempunya Ibu bar-bar. Selalu saja bertutur kata tajam dan mesum. Aku sendiri yang anak muda, tidak pernah menyebut soal sperma. Sedangkan Mama tanpa beban mengucapkannya.

Ditambah lagi Mama meragukan kejantananku. Mama pikir aku berasal dari kaum pelangi yang tak suka wanita.

"Enak saja! Tentu aku normal, Ma. Punyaku bisa berdiri kokoh dan tegak," sanggahku tak terima.

"Lalu?"

"Astaga, Mama... Lalu aku harus bagaimana? Mama kan tahu sendiri kalau sejak dulu aku jomlo. Tak ada yang berminat padaku," sahutku.

"Itu karena kamu yang kurang berusaha! Lihat tuh, Anaknya Ibu Lina. Usianya jauh lebih muda darimu, tapi dia sudah punya dua Anak. Apa kau tidak merasa iri padanya?"

"Hala... Hasil zina dibanggakan!"

Mama selalu saja membandingku dengan Anak orang lain. Katanya aku ketuaan. Bisa jadi bujang lapuk kalau masih belum menikah-menikah juga.

Sekarang Mama membandingkanku dengan Anak Ibu Lina. Tetangga sebelah yang kerap menggunakan gincu merah merona tiap kali hendak mengghiba.

Sekarang Ibu tersebut memiliki dua cucu, hasil dari perzinahan Anak bujangnya. Dan ini yang dibanggakan oleh Mama? Luar biasa.

Kini Mama juga ikut-ikutan bersaing. Dia kata aku ini pria murahan? Ada-ada saja.

"Setidaknya rumah mereka selalu rame. Sering terdengar tangisan bayi. Lah, kita? Tangisan Mbok Ita yang didengar tiap hari."

Mbok Itu adalah asisten rumah tangga kami. Setiap hari dia kerap menonton drama korea bergenre sedih. Sehingga sering membuatnya menangis tersedu-sedu.

Terkadang kami mengira Mbok Ita baru saja mengalami putus cinta. Ternyata, dia menangisi aktor favoritnya yang bunuh diri, karena merasa frustasi.

"Kalau begitu besok aku akan membawa beberapa bayi ke rumah ini untuk menghibur Mama."

Perdebatan itu selalu saja terjadi antara kami, sehingga membuatku malas pulang ke rumah. Ditambah lagi Papa yang tak kalah cerewetnya dari Mama. Benar-benar sial.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status