Yumi POV
"Gawat, aku bisa kena marah kalau begini!”
Karena kesiangan, aku mengayuh sepeda butut milikku dengan kekuatan penuh. Satu-satunya kendaraan yang kumiliki. Hadiah ulang tahun dari mendiang Ayah.
Hanya lima belas menit perjalanan, aku pun telah tiba.
"Aku ingin mengambil cincin berlian pesanan kemarin. Ini nota pembayarannya."
Namaku Yumi, dan aku adalah seorang perancang perhiasan amatir. Tokoku cukup ramai kendati hanya berukuran kecil, dua kali tiga.
Sembari menunggu, pandanganku mengitari toko perhiasan itu. Mataku pun menangkap sosok tak asing di pintu masuk bersama seorang wanita.
"Aditya?" Sontak aku menutup wajah dengan tas usang milikku.
"Sayang, hari ini kau akan memberiku cincin berlian?" ucap wanita yang entah siapa namanya itu.
"Tentu saja. Apa kau tidak percaya padaku?" balas Aditya. Aku hanya berharap, semoga Tuhan mengutus seseorang untuk membantuku menghadapi situasi ini.
"Nona, ini cincin pesanan Anda."
Sialnya, Pelayan toko itu memanggilku. Sehingga mengharuskanku menunjukkan wajah di depan Aditya.
"Yumi?"
Dan aku hanya bisa memaksakan senyuman ketika Aditya menyapaku. Pria itu menatapku remeh. Pun kekasih barunya.
"Kau mengenal wanita ini?" tanya wanita itu dengan nada menghina.
"Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah gadis perancang perhiasan yang mengaku kaya raya. Nyatanya hanya memiliki toko berukuran dua kali tiga," tukas Aditya keterlaluan.
Dulu memang keluargaku memiliki segalanya, tapi karena alasan yang sampai kini tidak ku ketahui. Kami pun mengalami kebangkrutan, hingga hanya menyisakan sepetak rumah sederhana.
Ketika menjadi kekasih Aditya, aku memang tidak pernah memperkenalkan pria itu kepada Ibu dan Ayah. Kami menjalani hubungan sewaktu di bangku kuliah.
"Aditya, kau..."
Suaraku tercekat ketika mataku menangkap sosok lelaki tampan yang baru saja lewat. Tapi jarak kami semakin dekat.
"Apakah pria itu sedang menuju kemari?" pikirku di dalam hati sembari terus memperhatikan langkahnya.
"Aku memang hanya memiliki toko berukuran dua kali tiga. Lalu apa urusannya denganmu?" sarkasku.
Dulu Aditya tega memutuskanku secara sepihak hanya karena mengetahui kondisi kelurgaku yang bangkrut.
"Dasar wanita miskin!" hina kekasih Aditya.
"Sudahlah, Sayang. Tidak perlu berdebat dengannya. Dia bukan level kita." Tampaknya Aditya masih sakit hati padaku, karena dulu merasa dibohongi.
"Apa kau pikir aku tidak bisa mendapatkan pria kaya raya? Aku juga punya kekasih," ujarku tak mau kalah.
Mata ini sembari mengawasi pria yang jaraknya tak jauh dariku.
"Benarkah? Siapa pria bodoh yang bersedia menjadi kekasih wanita sepertimu?"
Tapi Aditya tak mau menyerah. Dia membalas menantangku untuk menunjukkan pacar padanya.
"Aku harus bagaimana ini? Siapa yang bisa diajak bekerjasama untuk mengusir pria brengsek ini?" gumamku, mulai sedikit panik.
Tidak punya waktu lagi, aku segera menghampiri pria yang telah kuamati sedari tadi.
"Sayang, kau sudah datang? Sejak tadi aku menunggumu, rupanya kau ada di sini."
Tidak lupa, aku merangkul lengan pria asing tadi. Seolah dialah kekasih baruku, pengganti Aditya.
Pria itu menatapku aneh. Mungkin dia sedang berpikir aku gila. Tiba-tiba saja menjelma menjadi kekasihnya.
Tapi sudahlah. Mau bagaimana lagi? Aku benar-benar membutuhkan bantuannya. Tidak ada orang lain yang bisa dimintai pertolongan. Pria ini satu-satunya mahluk yang paling masuk akal di mataku. Selebihnya adalah kakek tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Masa iya aku harus mengajak kakek itu bersandiwara? Yang ada aku akan ditampar olehnya.
Satu lagi, Aditya pasti akan mengejekku sebagai simpanan seorang sugar daddy. Menggelikan.
"Tolong bantu aku. Singkirkan pria itu dari sini," bisikku padanya.
Tapi, lelaki itu hanya terdiam menatap Aditya dan kekasihnya.
"Hei, tunggu apa lagi? Tolong bantu aku," bisikku sekali lagi, semakin mendesaknya.
Kemudian netra perak pria itu tertuju pada orang luar toko. Lalu kemudian dia pun berkata, "Tidak masalah, tapi kau harus menjadi tunanganku."
"Ha?"
Yang sukses membuatku terperangah.
Aku tidak percaya ini. Aku yang memohon pertolongan. Justru berujung dengan menolong orang lain. Apakah aku benar-benar akan berakhir menjadi tunangan lelaki asing ini?
"Yumi!" Suara Aditya membuat lamunanku berantakan.
"Baiklah, aku bersedia. Tapi sebelum itu kau harus menyingkirkan pria itu sekarang juga," jawabku akhirnya tak punya pilihan.
"Baiklah, dengan senang hati."
Akhirnya pria ini mau diajak bekerjasama. Kami pun menghampiri pasangan menyebalkan itu.
"Hai, Yoga Iskandar kekasih wanita ini."
Sialnya, Aku lupa memberitahu siapa namaku. Sementara lelaki itu sudah terlanjur memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangan kepada Aditya.
"Yumi," bisikku pelan-pelan.
"Ha?"
Pria itu mendekatkan wajah padaku, hingga dapat ku cium aroma tubuhnya yang wangi.
"Aku bilang Yumi," ulangku sekali lagi.
"Hahaha, mengapa tidak bilang kalau kau ingin dicium olehku?"
Cup!
Oh my God. Mengapa pria ini justru mencium pipiku? Keterlaluan.
Bertemu mantan kekasih yang sangat menyebalkan. Ditambah lagi harus bersandiwara bersama pria asing yang ternyata mesum.
"Apa yang kau katakan? Aku tidak mendengarmu."
Yoga balas membisikku. Dapat ku lihat tatapan penuh selidik dari Aditya. Dia mungkin menaruh curiga kepada kami.
"Hahaha... Sayang, kau membuatku malu."
Aku memutar paksa tubuh Yoga. Lalu kembali berbisik padanya. "Yumi, panggil aku Yumi."
"Oh hahaha."
Aku dan Yoga memaksakan tawa seperti orang gila. Beginilah bila menghadapi sesuatu tanpa direncanakan terlebih dahulu.
"Yumi sayang, kau sungguh lucu. Mengapa malu-malu memintaku untuk mengecup keningmu? Kau bisa mengatakannya secara terang-terangan, Sayang. Mmuach..." Astaga, sepertinya kali ini Yoga sengaja memanfaatkan kesempatan.
Tak terima dengan perlakuan mesumnya. Aku mencubit pantat Yoga sekuat tenaga, agar dia berhenti dan tak berani macam-macam lagi denganku.
"Sampai jumpa lagi... Daa..." Aditya dan kekasih barunya telah berhasil kami singkirkan dari toko perhiasan itu.
Setelah memastikan situasinya aman, buru-buru kami melepas pelukan.
Sialnya, aku salah tingkah. Padahal tak ada rasa apa-apa antara kami berdua selain rasa malu, karena dicium dua kali olehnya.
"Ehem!"
Yoga berdehem. Aku tahu dia juga canggung. Siatuasi ini memang terlihat sungguh aneh. Mendadak menjadi sepasang kekasih, tentu saja membuat kami tak tahu harus berbuat apa.
"Oh iya, mengapa tadi kau mencubit pantatku?"
Oh Tuhan, mengapa Yoga membahas soal pantat? Padahal aku sedang berusaha untuk melupakan peristiwa memalukan itu. Sungguh pria tak peka.
"Hei, bukankah kau juga menciumku dua kali?" protesku tak terima.
"Tapi kau tidak menolaknya." Mendadak aku merasa salah memilih orang.
"Baiklah, aku minta maaf telah mencubit pantatmu yang kecil itu," ucapku akhirnya.
"Kau... Apa barusan kau mengatai pantatku?"
"Mengapa? Tidak terima? Kalau begitu laporkan kepada pihak berwajib."
"Kau..."
"Baiklah, aku minta maaf soal tadi. Aku tidak sengaja menciummu. Aku hanya sedang mendalami peran. Lagi pula kau tidak memberitahu siapa namamu sebelumnya. Jadi spontan aku meciummu. Anggap saja improvisasi."
Aku memang salah tidak memberitahu Yoga siapa namaku sebelumnya. Alhasil kami pun jadi salah paham.
"Lagi pula, jika aku tidak menciummu. Pasti mantanmu tadi tak akan percaya kalau kita adalah pasangan kekasih."
"Ehem!"
Benar juga, tapi tidak harus dengan adegan ciuman. Bisa saja kan Yoga merangkul pinggaku lebih dekat. Mengapa harus menggunakan ciuman sebagai alasan? Itu terdengar seperti bualan.
"Sekarang giliranmu. Jadilah tunanganku."
"Ha?"
Puas rasanya mengerjai mantan yang menyebalkan. Wajah Aditya terlihat merah padam.Harus aku akui, akting Yoga sungguh menakjubkan. Seperti sudah terlatih sebelumnya. Walau di awal sandiwara terjadi sedikit kesalahpahaman.Menariknya adalah ketika aku melihat kekasih Aditya cemburu. Sebab, Yoga adalah pemilik toko berlian ini.Bisakah aku berkata tidak salah memilih teman sandiwara?"Sekarang giliranmu, jadilah tunanganku," ucap Yoga."Sekarang?" tanyaku masih kebingungan. Aku pikir sandiwara selanjutnya dilain kesempatan."Tentu saja, memangnya kau pikir kapan lagi?""Tapi...""Tidak ada waktu lagi. kemarilah..."Mendadak Yoga menarikku, lalu menutup wajahku dengan tubuh kekarnya."Itu dia Tuan Yoga Iskandar. Ayo cepat ambil gambar mereka. Dia sedang bersama wanita."Tiba-tiba ada banyak kilatan kamera mengarah ke kami. Pantas saja Yoga buru-buru menarikku. Seakan hendak menyembunyikan identitasku dari orang-orang itu.Tapi siapa mereka? Mengapa tiba-tiba memotret kami berdua? Sebena
"Jelaskan padaku, sejak kapan kau menjadi tunangan Yoga Iskandar?"Ingin rasanya aku menghilang. Agar tak ada yang menanyakan pria menyebalkan itu padaku.Sialnya, aku lupa bila Uti berasal dari keluarga terpandang. Tentu saja dia mengenal Yoga. Mengingat latar belakang mereka yang nyaris sama."Biarkan aku berpikir dulu," jawabku sembari memperbaiki perasaan."Berpikir dulu? Kau bahkan tidak tahu posisimu di mana. Lalu mengapa masih berpikir? Bukankah sebentar lagi kalian akan menikah?"Oh Tuhan, ingin rasanya ku sumpal mulut Uti. Tidak bisakah dia memberiku sedikit ruang untuk berpikir?"Tunggu dulu, apa kau mengenal Pria menyebalkan itu?"Kening Uti berkerut ketika Yoga ku sebut sebagai pria menyebalkan."Maksudku Yoga... Apa kau mengenalnya?""Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah pemilik salah satu perusahaan konsultan terbesar di kota ini," jawan Uti.Ternyata benar, Yoga merupakan pria kaya raya. Lalu apa kata Ibu bila sampai melihat berita tentangku barusan? Aku pasti akan d
Drama itu pun berlanjut ketika aku hendak berangkat ke kantor. Ada beberapa paparazi tengah mengintaiku dari sudut halaman rumah.Hampir setiap hari orang-orang pencari berita itu menguntitku seperti pencuri. Apa mereka tak bosan terus meliputku? Padahal aku selalu mengabaikannya."Tito, kita mampir ke toko berlian dulu, ya. Nanti malam akan ada perayaan ulang tahun pernikahan Mama," titahku kepada supir pribadiku."Baik, Tuan."Pengintaian itu tak berhenti sampai di situ saja. Paaparazi mengikutiku sampai ke toko berlian. Beruntungnya, ada seorang gadis asing yang mendadak memintaku untuk menjadi kekasih palsunya demi membalas mantan pacar.Aku yang sudah mulai kesal dengan ulah paparazi itu, akhirnya mengiyakan ajakannya tanpa berpikir dua kali. Hitung-hitung untuk membungkam mulut orang-orang yang menyebar berita, bahwa aku mengalami penyimpangan seksual."Jadi, wanita itu yang lebih dulu mengajakmu bersandiwara?""Tentu saja, apa kau pikir aku kurang kerjaan? Mengajak seorang gadi
Pipiku masih terasa nyeri malam ini. Tamparan Mama sungguh menyakitkan, hingga bekasnya masih terlihat jelas."Aww... Sstt, sakit. Aku harus bagaimana sekarang? Masa iya harus keluar dengan kondisi seperti ini?" gumamku. Memperhatikan wajah lebamku di depan cermin."Kau masih belum siap juga?" Tiba-tiba Papa masuk ke kamar."Belum," jawabku sedikit kesal.Hubunganku dan Papa memang tak terlalu akur. Sebab, Papa selalu mendesakku untuk menikah dan menikah terus. Tak beda jauh dari Mama yang menginginkan cucu.Bedanya, Papa kerap menghasut Mama bila aku tak mengindahkan ucapannya. Sedangkan Mama, Ibu berapi-api yang siap memarahi Putranya kapan saja. Benar-benar memabuatku gila.Meski begitu, aku sangat menyayangi mereka. Merekalah satu-satunya alasanku semangat mencari cuan."Kau masih marah sama Papa, ya?""Kali ini apa lagi rencana Papa? Mau menjodohkanku dengan salah satu Anak kerabat kita seperti yang sudah-sudah?"Dari ekspresi Papa, aku bisa menebak apa isi otaknya. Pasti tak jau
Selain mengabadikan momen, para wartawan juga mengajukan beberapa pertanyaan secara bertubi-tubi. Menuntut penjelasan kepada kami.Sementara Yumi terlihat panik sekaligus tak suka. Dia berusaha untuk melarikan diri, tapi aku mencegahnya."Sekarang bukan waktunya untuk pergi. Bantu aku menyelesaikan masalah yang telah kita mulai sebelumnya," bisikku kepada Yumi."Apa kau sudah gila? Mengapa aku harus membantumu?"Sepertinya Yumi tidak mau memahami situasiku kali ini. Aku harus membuatnya mengerti apapun yang terjadi."Teman-teman media, dengar... Malam ini, selain kami merayakan pesta ulang tahun pernikahan, kami pun akan mengumumkan hal penting yang lain. Yaitu tentang pertunanganku bersama gadis ini. Bukankah kalian selalu bertanya-tanya kapan aku memperkenalkan kekasihku? Kapan kami akan melangsungkan pernikahan, dan lain sebagaimana... Nah, pada kesempatan inilah aku secara resmi mengumumkan pertunangan kami berdua."Mata Yumi semakin membeliak sempurnah ketika aku dengan percaya
Aku mengejar Yumi yang sudah keterlaluan menyakiti hati Mama. Kemarahanku telah memuncak, hingga tak sadar menarik tangan gadis itu setelah menemukannya yang masih berada di ambang pintu pagar rumah."Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" sarkas Yumi. Berusaha untuk melepas tanganku."Tidak! Sebelum kau meminta maaf kepada Mamaku."Sikapku sudah seperti seorang suami yang marah terhadap istrinya. Didukung dengan mata membulat.Aku sungguh marah terhadap gadis ini. Padahal kalau dipikir-pikir akulah yang bersalah. Bahkan hubungan kami tak sedekat rumah dan atapnya. Namun, egoku telah menguasai logika."Lepas, kataku!" seru Yumi. Berhasil melepas cengkraman."Siapa kau? Menyuruhku minta maaf kepada Ibumu. Apakah kau adalah pacarku yang sesungguhnya? Ku rasa hubungan kita tak sedekat itu."Ucapan Yumi seperti menghempasku ke dalam danau. Aku sungguh malu, tapi hati ini masih sakit ketika mengingat Mama yang jatuh pingsan, karena wanita gila ini."Aku tidak perduli sedekat apa hubungan kit
"Hahaha... Jadi, akhirnya kau menerima tantangan itu?" Lagi-lagi Indra menertawakanku."Sialan, Lo!""Uhuk... Uhuk..." Bahkan Indra sampai terbatuk-batuk.Memang nasibku pantas untuk ditertawakan. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar pria sial.Betapa tidak, baru juga melakukan kebohongan pertama kalinya. Eh, justru ketahuan saat itu juga. Belum lagi Mama yang berencana menikahkanku dengan Magdalena bila tak kunjung menemukan kekasih dalam kurun waktu enam bulan.Hais, mengapa aku harus menerima tantangan Mama saat itu? Mengapa aku tidak berusaha untuk menolaknya? Benar-benar payah aku ini. Wajar bila Indra menertawakanku, alih-alih iba."Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan mulai berpetualang?" Indra meraih apel yang ada di keranjang buah depan meja ruanganku. Lalu menggigitnya dengan santai."Entahlah, aku tidak menemukan ide apapun. Aku tidak punyai pengalaman untuk itu," jawabku putus asa."Bagaimana kalau kau memulai dengan benar bersama gadis bernama Yumi itu?"Sepertiny
***Yumi Pov***Sayup-sayup ku mendengar suara perdebatan antara Yoga dan Ibunya. Aku tahu yang ku lakukan ini telah menyakiti hati mereka. Akan tetapi, aku tak bisa bersandiwara lebih lama lagi.Mengakui hubungan palsu, sungguh membuatku seperti seorang berandal sekaligus pembohong besar.Memang betul, bahwa akulah yang telah memulai kebohongan ini. Namun, siapa sangka bila Yoga justru semakin menyeretku ke dalam urusan asmaranya.Dan kali ini situasinya semakin rumit. Dimana ia mengumumkan hubungan kami di depan semua orang tanpa memberiku aba-aba.Aku yang masih setia dengan keterkejutanku, hanya bisa diam mematung melihat kelancangan lelaki menyebalkan itu.Sialnya, di depan semua orang pula. Dengan lantangnya Yoga menciumku. Seolah tak punya rasa malu sama sekali.Sungguh, aku tak tahu bila pesta ulang tahun yang dimaksud Uti adalah ulang tahun pernikahan kedua orang tua Yoga.Andai saja Uti sedikit lebih jujur padaku, mungkin aku tak akan berakhir seperti ini. Tak akan ada hati