***
"Aku pengen ngomong sesuatu sama Mas Juan."Mendengar jawaban tersebut dilontarkan Mentari, Juan mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan. Tak hilang, Mentari masih ada di sofa sehingga sambil membenarkan posisi duduk, dia bertanya,"Mau bicarain apa?""Tentang Senja," ucap Mentari sambil menoleh sekilas pada sang adik, sebelum kemudian kembali pada Juan. "Aku mau nanyain sesuatu ke kamu dan ini berhubungan sama dia.""Apa?" tanya Juan dengan raut wajah ketus, karena melihat wajah Mentari, dia teringat lagi perselingkuhaan yang dilakukan istrinya itu."Kamu mau sampai kapan menyakiti dia dengan memberikan hukuman yang enggak seharusnya Senja dapat, Mas?" tanya Mentari. "Aku tahu perselingkuhan yang aku lakuin sangat menyakiti kamu, tapi enggak seharusnya kamu melampiaskan semuanya ke Senja. Dia enggak tahu apa-apa dan dia cuman gadis polos, Mas. Aku minta kamu nikahin dia supaya kamu bisa lindungi Senja, bukan sebalik***"Duh, Ya Tuhan, kepalaku pusing banget."Beringsut dari posisinya yang semula berbaring, keluhan tersebut lantas dilontarkan Senja yang pagi ini barusaja terbangun.Tak sadar lagi setelah semalam kembali pingsan, Senja memang baru membuka matanya ketika jarum jam sampai di angka enam. Tak baik-baik saja, rasa panas masih begitu terasa di tubuh Senja bahkan pusing dan berat pun belum enyah dari kepala.Punggung? Jangan ditanya karena meskipun tak meringis, rasa berdenyut di bagian memar begitu terasa—membuat Senja sangat berhati-hati ketika bergerak."Kamar Mas Juan."Mengedarkan pandangan untuk memastikan di mana tempat dia berada sekarang, Senja berucap demikian hingga ketika atensinya tertuju pada meja nakas, dia tertegun.Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi setelah di atas meja Senja mendapati nampan berisi semangkuk bubur juga segelas air putih. Tak hanya itu, ada pula obat yang disertai catatan dan karena p
***"Gimana, buburnya enak enggak?"Duduk berhadapan dengan kedua putrinya yang kini rapi dengan seragam sekolah, pertanyaan tersebut lantas Juan lontarkan pada Kirania juga Caca. Tengah menyantap sarapan, itulah kegiatan Juan dan kedua putrinya. Bukan nasi goreng, roti bakar, atau pancake, menu sarapan pagi ini adalah bubur ayam. Bangun pukul lima, Juan yang merasa bersalah pada Senja memutuskan untuk membuat makanan tersebut, dan karena dia pikir anggota keluarganya yang lain menyukai bubur, Juan membuatnya dalam porsi yang sedikit banyak."Enak, Pa, enak banget," puji Caca dengan senyuman cerah seperti biasa. "Papa emang pinter masak. Caca suka.""Habisin kalau gitu ya, biar pas di sekolah nanti kamu semangat," kata Juan lembut."Siap, Papa.""Kamu sendiri gimana? Enak enggak bubur buatan Papa?" Setelah pada Caca, pertanyaan tersebut Juan lontarkan pada Kirania, dan tak ada senyuman, raut wajah pria tiga pu
***"Saya ke kantor dulu, kamu baik-baik di rumah. Kalau nanti tiba-tiba ada suara, kamu enggak usah kaget karena itu Bibi. Saya simpan kunci rumah di luar. Jadi kamu enggak perlu bukain pintu pas dia datang."Selesai dengan kegiatannya bersiap-siap, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang masih duduk di atas kasur.Sudah dijelaskan sebelumnya tentang orang yang akan datang ke rumah adalah Bibi, Senja mengangguk sebagai jawaban dan tak ada komplen, dia hanya berkata,"Iya, Mas.""Oke, kalau gitu saya pergi dulu," kata Juan. "Ada apa-apa sama badan kamu, kamu bisa telepon saya karena Gian pasti sibuk.""Iya," kata Senja. "Mas hati-hati di jalan.""Hm."Tak banyak bicara, setelahnya yang Juan lakukan adalah berbalik kemudian melangkah menuju pintu. Meraih handle kemudian hampir membuka pintu kamar, Juan seketika menoleh setelah Senja memanggil."Mas Juan.""Kenapa?""Mas en
***"Kamu fitnah Tante Senja selingkuh sampai-sampai dia harus dihukum sama Opa. Padahal, faktanya jangankan selingkuh, ketemu sama Davion aja baru kemarin itu pun karena kamu yang bawa dia ke rumah. Itu kesalahan kamu terhadap Mama kamu, kalau mau tahu."Memasang raut wajah kaget dengan perasaan yang seketika tak enak, itulah Kirania setelah Juan buka suara perihal kesalahan apa yang dia lakukan sampai harus meminta maaf di samping pusara Mentari.Belum turun, saat ini dia juga sang papa masih berada di dalam mobil dan tak berhadapan, Juan terlihat memandang lurus ke depan—membuat degupan jantung Kirania tak menentu.Tak langsung menjawab ucapan Juan, untuk beberapa saat Kirania diam hingga sang papa kembali buka suara."Kenapa diem? Lagi cari cara buat ngelak apa membela diri?""Papa tahu soal itu darimana?" tanya Kirania yang akhirnya memberanikan diri buka suara, dan pertanyaan yang dia lontarkan membuat Juan menoleh dengan r
***"Enggak jelas."Sambil menurunkan ponselnya dari samping telinga, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan setelah beberapa detik lalu panggilan tak jelas masuk.Tak ada balasan ketika Juan menyapa, yang terdengar hanyalah hening sehingga tanpa mau menunggu lama, dia memutuskan sambungan telepon."Siapa barusan yang telepon, Pa?" tanya Kirania."Enggak tahu, nomornya baru terus pas disapa juga enggak mau ngomong," kata Juan. "Orang iseng berarti.""Maybe," kata Juan. Tak mengambil pusing panggilan beberapa waktu lalu, atensi dia kembali pada Kirania. "Mana atm kamu.""Pa, pleaselah, jangan atm," kata Kirania—membujuk. "Aku mau dihukum apa pun asalkan jangan disita atm. Ya?""Enggak," tolak Juan mentah-mentah. "Sekali atm tetap atm, dan enggak bisa ditawar dengan apa pun. Mau serahin bentuk fisiknya apa langsung papa bekuin aja? Kalau kamu pake opsi dibekuin, Papa bekuin selamanya dan enggak akan Papa
***"Iya, aku Nabila sahabatnya Mentari, Juan. Kamu ingat, kan?"Setelah bertanya tentang siapa Nabila yang menghubunginya beberapa detik lalu, jawaban tersebut didapatkan Juan—membuat raut wajahnya seketika berubah, karena berbicara dengan sahabat Mentari membuat dia teringat lagi pada mendiang sang istri berikut semua pengkhianatan yang sudah dilakukan."Mana mungkin aku lupa," kata Juan. "Kamu dekat banget sama Mentari.""Syukurlah, kalau kamu ingat," kata Nabila. "Tadi aku sempat telepon ke rumah kamu, cuman yang angkat perempuan dan aku kaget makanya aku matiin.""Oh, jadi yang telepon ke rumah dan enggak ngomong itu kamu?" tanya Juan. "Senja yang angkat tadi, dan dia cerita sama aku.""Senja?" tanya Mentari dengan suara yang terdengar kaget. "Adiknya Mentari?""Iya.""Kenapa dia ada di rumah kamu? Nginep apa gimana?""Dia istri aku sekarang," kata Juan tanpa basa-basi. "Hampir dua minggu aku sama Senja nikah. Jadi Senja di Bandung sekarang.""Ju.""Apa?" tanya Juan. "Sebelum meni
***"Siapa?"Barusaja melepas jas setelah beberapa menit lalu tiba di ruangan kerja, pertanyaan tersebut dilontarkan Juan usai ketukan sebanyak tiga kali terdengar dari pintu."Senada, Pak.""Oh, buka aja. Pintunya enggak dibuka.""Oke."Berjalan menuju kursi, Juan menunggu dengan posisi duduk dan selang beberapa detik, pintu terbuka—menampilkan perempuan berdress biru yang hari ini terlihat mengikat rambut panjangnya.Bukan orang asing, perempuan tersebut adalah Senada Melodi—sekretaris Juan di kantor, dan bukan karyawan baru, Nada sudah bekerja selama hampir lima tahun di kantor suami Senja tersebut."Pagi, Pak.""Pagi," sapa Juan dengan raut wajah datarnya. "Sushi di atas meja dari kamu bukan?""Kebetulan iya," kata Nada. "Pagi ini saya bikin itu dan karena kebanyakan, saya bagi dua sama Bapak. Siapa tahu Bapak suka karena kan enak juga dijadiin cemillan di sela kerja."Menghela napas, Juan yang semula fokus menghidupkan komputer juga laptop, lantas beralih atensi. Memandang Nada ya
***"Ya salah dong, Pak, masa benar?"Setelah mendapat pertanyaan tentang salah atau tidaknya keputusan Juan memberikan nomor ponsel Senja pada Nabila, jawaban. tersebut tanpa ragu Nada lontarkan dengan perasaan sedikit sebal."Salahnya di mana? Saya kan cuman kasihin nomor Senja biar-""Bapak seriusan nanya apa cuman bercanda doang sih?" tanya Nada—memotong ucapan Juan tanpa sungkan, membuat pria itu spontan mengerutkan kening. "Biarin Senja ketemu Nabila sama aja biarin mereka susun rencana enggak baik buat bapak, Pak.""Maksudnya?""Ya itu Nabila belum bilang juga, kan, apa yang mau dia bicarain kalau seandainya ketemu Bapak ataupun Senja?" Nada balik bertanya. "Yang saya khawatirin pas mereka ketemu, rencana aneh disusun, Pak, karena kan Senja pasti cerita soal semua perlakuan Bapak ke dia selama ini.""Lalu?""Nah, Nabila kan sahabat Mentari, aku yakin dia pasti langsung ngerasa kasihan sama Senja dan sebag