***
"Saya ke kantor dulu, kamu baik-baik di rumah. Kalau nanti tiba-tiba ada suara, kamu enggak usah kaget karena itu Bibi. Saya simpan kunci rumah di luar. Jadi kamu enggak perlu bukain pintu pas dia datang."Selesai dengan kegiatannya bersiap-siap, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang masih duduk di atas kasur.Sudah dijelaskan sebelumnya tentang orang yang akan datang ke rumah adalah Bibi, Senja mengangguk sebagai jawaban dan tak ada komplen, dia hanya berkata,"Iya, Mas.""Oke, kalau gitu saya pergi dulu," kata Juan. "Ada apa-apa sama badan kamu, kamu bisa telepon saya karena Gian pasti sibuk.""Iya," kata Senja. "Mas hati-hati di jalan.""Hm."Tak banyak bicara, setelahnya yang Juan lakukan adalah berbalik kemudian melangkah menuju pintu. Meraih handle kemudian hampir membuka pintu kamar, Juan seketika menoleh setelah Senja memanggil."Mas Juan.""Kenapa?""Mas en***"Kamu fitnah Tante Senja selingkuh sampai-sampai dia harus dihukum sama Opa. Padahal, faktanya jangankan selingkuh, ketemu sama Davion aja baru kemarin itu pun karena kamu yang bawa dia ke rumah. Itu kesalahan kamu terhadap Mama kamu, kalau mau tahu."Memasang raut wajah kaget dengan perasaan yang seketika tak enak, itulah Kirania setelah Juan buka suara perihal kesalahan apa yang dia lakukan sampai harus meminta maaf di samping pusara Mentari.Belum turun, saat ini dia juga sang papa masih berada di dalam mobil dan tak berhadapan, Juan terlihat memandang lurus ke depan—membuat degupan jantung Kirania tak menentu.Tak langsung menjawab ucapan Juan, untuk beberapa saat Kirania diam hingga sang papa kembali buka suara."Kenapa diem? Lagi cari cara buat ngelak apa membela diri?""Papa tahu soal itu darimana?" tanya Kirania yang akhirnya memberanikan diri buka suara, dan pertanyaan yang dia lontarkan membuat Juan menoleh dengan r
***"Enggak jelas."Sambil menurunkan ponselnya dari samping telinga, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan setelah beberapa detik lalu panggilan tak jelas masuk.Tak ada balasan ketika Juan menyapa, yang terdengar hanyalah hening sehingga tanpa mau menunggu lama, dia memutuskan sambungan telepon."Siapa barusan yang telepon, Pa?" tanya Kirania."Enggak tahu, nomornya baru terus pas disapa juga enggak mau ngomong," kata Juan. "Orang iseng berarti.""Maybe," kata Juan. Tak mengambil pusing panggilan beberapa waktu lalu, atensi dia kembali pada Kirania. "Mana atm kamu.""Pa, pleaselah, jangan atm," kata Kirania—membujuk. "Aku mau dihukum apa pun asalkan jangan disita atm. Ya?""Enggak," tolak Juan mentah-mentah. "Sekali atm tetap atm, dan enggak bisa ditawar dengan apa pun. Mau serahin bentuk fisiknya apa langsung papa bekuin aja? Kalau kamu pake opsi dibekuin, Papa bekuin selamanya dan enggak akan Papa
***"Iya, aku Nabila sahabatnya Mentari, Juan. Kamu ingat, kan?"Setelah bertanya tentang siapa Nabila yang menghubunginya beberapa detik lalu, jawaban tersebut didapatkan Juan—membuat raut wajahnya seketika berubah, karena berbicara dengan sahabat Mentari membuat dia teringat lagi pada mendiang sang istri berikut semua pengkhianatan yang sudah dilakukan."Mana mungkin aku lupa," kata Juan. "Kamu dekat banget sama Mentari.""Syukurlah, kalau kamu ingat," kata Nabila. "Tadi aku sempat telepon ke rumah kamu, cuman yang angkat perempuan dan aku kaget makanya aku matiin.""Oh, jadi yang telepon ke rumah dan enggak ngomong itu kamu?" tanya Juan. "Senja yang angkat tadi, dan dia cerita sama aku.""Senja?" tanya Mentari dengan suara yang terdengar kaget. "Adiknya Mentari?""Iya.""Kenapa dia ada di rumah kamu? Nginep apa gimana?""Dia istri aku sekarang," kata Juan tanpa basa-basi. "Hampir dua minggu aku sama Senja nikah. Jadi Senja di Bandung sekarang.""Ju.""Apa?" tanya Juan. "Sebelum meni
***"Siapa?"Barusaja melepas jas setelah beberapa menit lalu tiba di ruangan kerja, pertanyaan tersebut dilontarkan Juan usai ketukan sebanyak tiga kali terdengar dari pintu."Senada, Pak.""Oh, buka aja. Pintunya enggak dibuka.""Oke."Berjalan menuju kursi, Juan menunggu dengan posisi duduk dan selang beberapa detik, pintu terbuka—menampilkan perempuan berdress biru yang hari ini terlihat mengikat rambut panjangnya.Bukan orang asing, perempuan tersebut adalah Senada Melodi—sekretaris Juan di kantor, dan bukan karyawan baru, Nada sudah bekerja selama hampir lima tahun di kantor suami Senja tersebut."Pagi, Pak.""Pagi," sapa Juan dengan raut wajah datarnya. "Sushi di atas meja dari kamu bukan?""Kebetulan iya," kata Nada. "Pagi ini saya bikin itu dan karena kebanyakan, saya bagi dua sama Bapak. Siapa tahu Bapak suka karena kan enak juga dijadiin cemillan di sela kerja."Menghela napas, Juan yang semula fokus menghidupkan komputer juga laptop, lantas beralih atensi. Memandang Nada ya
***"Ya salah dong, Pak, masa benar?"Setelah mendapat pertanyaan tentang salah atau tidaknya keputusan Juan memberikan nomor ponsel Senja pada Nabila, jawaban. tersebut tanpa ragu Nada lontarkan dengan perasaan sedikit sebal."Salahnya di mana? Saya kan cuman kasihin nomor Senja biar-""Bapak seriusan nanya apa cuman bercanda doang sih?" tanya Nada—memotong ucapan Juan tanpa sungkan, membuat pria itu spontan mengerutkan kening. "Biarin Senja ketemu Nabila sama aja biarin mereka susun rencana enggak baik buat bapak, Pak.""Maksudnya?""Ya itu Nabila belum bilang juga, kan, apa yang mau dia bicarain kalau seandainya ketemu Bapak ataupun Senja?" Nada balik bertanya. "Yang saya khawatirin pas mereka ketemu, rencana aneh disusun, Pak, karena kan Senja pasti cerita soal semua perlakuan Bapak ke dia selama ini.""Lalu?""Nah, Nabila kan sahabat Mentari, aku yakin dia pasti langsung ngerasa kasihan sama Senja dan sebag
***"Bisa, Mas. Nanti kalau seandainya ada yang telepon aku dan ngaku sebagai sahabat Kak Mentari, aku enggak akan temuin dia. Kamu tenang aja."Malas berdebat dengan Juan yang terdengar ngotot melarangnya bertemu sahabat Mentari, jawaban tersebut lantas Senja lontarkan pada sang suami yang beberapa waktu lalu menghubunginya via telepon."Kamu serius, kan, sama jawaban kamu?" tanya Juan. "Saya enggak suka orang yang suka bohong dan saya harap kamu enggak lagi bohongin saya sekarang.""Sama kamu kayanya serba salah ya?" tanya Senja. "Diiyain curiga, enggak diiyain marah, harus jawab apa coba aku? Serba salah deh.""Kenapa kamu jadi ngomel gini?""Tanya diri kamu sendiri dulu, kenapa kamu nyebelin," kata Senja tak mau kalah. "Ke orang bersikap seenaknya, tapi dibalikin enggak mau. Gimana coba?""Habis sakit kamu jadi berani gini ya sama saya?" tanya Juan. "Saya udah baik lho sama kamu dari semalam, Senja. Harusnya-"
***"Iya, Kak Nabila aku mau. Minggu depan ayo ketemu dan bicarain semuanya karena aku pengen tahu juga apa yang mau Kakak bicarain tentang Kak Mentari."Setelah berpikir—menimang keputusan apakah yang harus dia ambil, jawaban tersebut akhirnya dilontarkan Senja pada Nabila. Alih-alih menepati ucapannya pada Juan beberapa waktu lalu, Senja justru mengiakan ajakan Nabila sehingga—melanggar larangan sang suami, minggu depan dia akan menemui sahabat dari mendiang kakaknya itu.Tak akan jujur pada Juan karena pria itu yang jelas akan marah, Senja akan menyembunyikan semuanya dari sang suami. Namun, tak akan menyimpan rencana bertemu Nabila, sendirian, dia akan menceritakan semuanya pada Gian agar mendapat bantuan untuk keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Juan nanti."Beneran, kan, Nja?""Iya, Kak," kata Senja. "Seperti yang aku bilang, aku pengen tahu rahasia apa yang mau kakak jabarin ke aku tentang Kak Mentari. Siapa tahu itu ja
***"Kiran."Menoleh kemudian beranjak dengan perasaan yang cukup kaget, panggilan tersebut Senja lontarkan pada sang keponakan di ambang pintu. Entah sejak kapan gadis enam belas tahun itu datang, Senja sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia khawatir keponakannya itu mendengar semua obrolannya dengan Nabila."Kenapa? Kok kaya kaget gitu lihat aku?" tanya Kirania. "Sembunyiin sesuatu ya?""Enggak," kata Senja. Melangkah menghampiri sang keponakan, dia kembali buka suara. "Kamu kapan pulang?""Barusan," kata Kirania yang memang masih menggunakan seragam sekolahnya—lengkap dengan ransel merah mudah di punggung. "Aku dichat Papa terus diminta maaf sama Tante makanya ke sini, cuman tadi aku lihat Tante lagi ngobrol. Jadi aku diem sambil nunggu.""Kamu dengar obrolan Tante?""Sebagian, kenapa?" tanya Kirania sambil menaikkan sebelah alis—membuat Senja dilanda rasa gugup."Dari bagian mana dengernya?""Dari
***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"