***"Siapa?"Barusaja melepas jas setelah beberapa menit lalu tiba di ruangan kerja, pertanyaan tersebut dilontarkan Juan usai ketukan sebanyak tiga kali terdengar dari pintu."Senada, Pak.""Oh, buka aja. Pintunya enggak dibuka.""Oke."Berjalan menuju kursi, Juan menunggu dengan posisi duduk dan selang beberapa detik, pintu terbuka—menampilkan perempuan berdress biru yang hari ini terlihat mengikat rambut panjangnya.Bukan orang asing, perempuan tersebut adalah Senada Melodi—sekretaris Juan di kantor, dan bukan karyawan baru, Nada sudah bekerja selama hampir lima tahun di kantor suami Senja tersebut."Pagi, Pak.""Pagi," sapa Juan dengan raut wajah datarnya. "Sushi di atas meja dari kamu bukan?""Kebetulan iya," kata Nada. "Pagi ini saya bikin itu dan karena kebanyakan, saya bagi dua sama Bapak. Siapa tahu Bapak suka karena kan enak juga dijadiin cemillan di sela kerja."Menghela napas, Juan yang semula fokus menghidupkan komputer juga laptop, lantas beralih atensi. Memandang Nada ya
***"Ya salah dong, Pak, masa benar?"Setelah mendapat pertanyaan tentang salah atau tidaknya keputusan Juan memberikan nomor ponsel Senja pada Nabila, jawaban. tersebut tanpa ragu Nada lontarkan dengan perasaan sedikit sebal."Salahnya di mana? Saya kan cuman kasihin nomor Senja biar-""Bapak seriusan nanya apa cuman bercanda doang sih?" tanya Nada—memotong ucapan Juan tanpa sungkan, membuat pria itu spontan mengerutkan kening. "Biarin Senja ketemu Nabila sama aja biarin mereka susun rencana enggak baik buat bapak, Pak.""Maksudnya?""Ya itu Nabila belum bilang juga, kan, apa yang mau dia bicarain kalau seandainya ketemu Bapak ataupun Senja?" Nada balik bertanya. "Yang saya khawatirin pas mereka ketemu, rencana aneh disusun, Pak, karena kan Senja pasti cerita soal semua perlakuan Bapak ke dia selama ini.""Lalu?""Nah, Nabila kan sahabat Mentari, aku yakin dia pasti langsung ngerasa kasihan sama Senja dan sebag
***"Bisa, Mas. Nanti kalau seandainya ada yang telepon aku dan ngaku sebagai sahabat Kak Mentari, aku enggak akan temuin dia. Kamu tenang aja."Malas berdebat dengan Juan yang terdengar ngotot melarangnya bertemu sahabat Mentari, jawaban tersebut lantas Senja lontarkan pada sang suami yang beberapa waktu lalu menghubunginya via telepon."Kamu serius, kan, sama jawaban kamu?" tanya Juan. "Saya enggak suka orang yang suka bohong dan saya harap kamu enggak lagi bohongin saya sekarang.""Sama kamu kayanya serba salah ya?" tanya Senja. "Diiyain curiga, enggak diiyain marah, harus jawab apa coba aku? Serba salah deh.""Kenapa kamu jadi ngomel gini?""Tanya diri kamu sendiri dulu, kenapa kamu nyebelin," kata Senja tak mau kalah. "Ke orang bersikap seenaknya, tapi dibalikin enggak mau. Gimana coba?""Habis sakit kamu jadi berani gini ya sama saya?" tanya Juan. "Saya udah baik lho sama kamu dari semalam, Senja. Harusnya-"
***"Iya, Kak Nabila aku mau. Minggu depan ayo ketemu dan bicarain semuanya karena aku pengen tahu juga apa yang mau Kakak bicarain tentang Kak Mentari."Setelah berpikir—menimang keputusan apakah yang harus dia ambil, jawaban tersebut akhirnya dilontarkan Senja pada Nabila. Alih-alih menepati ucapannya pada Juan beberapa waktu lalu, Senja justru mengiakan ajakan Nabila sehingga—melanggar larangan sang suami, minggu depan dia akan menemui sahabat dari mendiang kakaknya itu.Tak akan jujur pada Juan karena pria itu yang jelas akan marah, Senja akan menyembunyikan semuanya dari sang suami. Namun, tak akan menyimpan rencana bertemu Nabila, sendirian, dia akan menceritakan semuanya pada Gian agar mendapat bantuan untuk keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Juan nanti."Beneran, kan, Nja?""Iya, Kak," kata Senja. "Seperti yang aku bilang, aku pengen tahu rahasia apa yang mau kakak jabarin ke aku tentang Kak Mentari. Siapa tahu itu ja
***"Kiran."Menoleh kemudian beranjak dengan perasaan yang cukup kaget, panggilan tersebut Senja lontarkan pada sang keponakan di ambang pintu. Entah sejak kapan gadis enam belas tahun itu datang, Senja sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia khawatir keponakannya itu mendengar semua obrolannya dengan Nabila."Kenapa? Kok kaya kaget gitu lihat aku?" tanya Kirania. "Sembunyiin sesuatu ya?""Enggak," kata Senja. Melangkah menghampiri sang keponakan, dia kembali buka suara. "Kamu kapan pulang?""Barusan," kata Kirania yang memang masih menggunakan seragam sekolahnya—lengkap dengan ransel merah mudah di punggung. "Aku dichat Papa terus diminta maaf sama Tante makanya ke sini, cuman tadi aku lihat Tante lagi ngobrol. Jadi aku diem sambil nunggu.""Kamu dengar obrolan Tante?""Sebagian, kenapa?" tanya Kirania sambil menaikkan sebelah alis—membuat Senja dilanda rasa gugup."Dari bagian mana dengernya?""Dari
***"Salah enggak ya keputusan aku ngasih tahu bahkan ngajak Kiran ketemu Kak Nabila?"Kembali duduk setelah sang putri keponakan, pergi, pertanyaan tersebut Senja lontarkan pada dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan, hal tersebut dia pertanyakan setelah beberapa waktu lalu Senja setuju dengan permintaan kiran.Terus didesak untuk jujur, Senja pada akhirnya menceritakan semua dan tak ingin cuma-cuma menyimpan rahasia, Kirania ingin diberi imbalan dengan diajak bertemu Nabila minggu depan.Ingin tahu juga apa yang akan dikatakan Nabila nanti, itulah alasan Kirania dan karena terlanjur membocorkan semua, Senja memberi izin dengan syarat : Kiran harus benar-benar merahasiakan semuanya dari Juan dan sang keponakan siap untuk patuh."Duh, semoga Kiran enggak ngomong apa pun ke Mas Juan deh. Marah banget pasti Mas Juan kalau tahu aku ingkar sama janjiku ke dia."Tak mau ambil pusing, setelahnya Senja memilih untuk merebahkan tubuh di kas
***"Layani saya sama Nada malam ini."Setelah bertanya syarat untuk semua keringanan yang akan Juan berikan setelah ini, jawaban tersebut didapatkan Senja dari sang suami—membuat dia mengerutkan kening dengan perasaan tak mengerti."Layani?" tanya Senja tanpa banyak menunda. "Maksudnya gimana?""Ya malam ini saya sama Nada, kan, mau ngerjain banyak kerjaan di ruang kerja saya," kata Juan. "Nah, saya pengen kamu layani kita. Bikinin kopi, siapin cemilan terus mungkin sedikit bantu-bantu ngerjain proposal misalnya. Kondisi tubuh kamu kan udah mulai membaik, dan sebagai sarjana baru saya pikir kamu perlu tuh bantu-bantu buat ngasah kemampuan kamu. Iya enggak?"Tak punya niat untuk memberikan syarat perihal keringanan hukuman dia pada Senja, faktanya apa yang Juan katakan sekarang adalah saran dari Nada yang katanya tak suka Juan melemah.Tak peduli Mentari yang datang di mimpi sambil menangis, Nada bilang jika Juan harus tetap mene
***"Turun, makan malam udah siap."Tengah asyik men-scroll akun sosial media miliknya, Senja menoleh ketika informasi tersebut tiba-tiba dilontarkan Juan dari ambang pintu.Tak keluar dari kamar setelah membersihkan badan sore tadi, Senja memang memutuskan untuk berdiam diri kemudian sibuk dengan kegiatannya sendiri. Bukan tanpa alasan, hal tersebut dia lakukan karena untuk bertemu bahkan mengobrol dengan Nada rasanya canggung. Selain itu, Senja juga rasanya malas jika harus menyaksikan interaksi Juan dengan sekretarisnya, karena tak dingin seperti ketika bicara dengannya, Juan pasti bersikap hangat bahkan manis pada Nada."Kamu aja sama yang lain, aku nanti nyusul," kata Senja."Nanti kapan?""Ya nanti aja, sekarang aku belum lapar," kata Senja. "Lagian kalau aku ada diantara kamu, Mbak Nada sama anak-anak takutnya ganggu karena mungkin kalian mau simulasi."Mendengar ucapan Senja, Juan yang semula menyembulkan setengah badannya, masuk. Berdiri tak jauh dari pintu, dia bertanya,"Si