***
"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh"Aku nggak mau nikah sama Mas Juan, Ayah!" seru Senja dengan suara bergetar. Gadis itu menatap orang tuanya nanar. "Dia kakak ipar aku, mana mungkin aku menikah dengannya?"Pasangan paruh baya itu saling melempar tatapan gelisah. Sebelum Senja sempat melontarkan protes lebih lanjut, Juan tiba-tiba bersuara."Jadi kamu nolak gitu aja lamaran Mas tanpa mau mikirin dulu semuanya, Nja?" tanyanya. Pria itu duduk persis di depan Senja. "Ini amanat dari kakak kamu. Dia bakalan sedih kalau amanatnya enggak kita lakuin."Senja bergerak tak nyaman di kursinya mendengar kakak sekaligus istri Juan yang meninggal tiga bulan yang lalu dibawa-bawa dalam pembicaraan mereka. Juan memang sudah menjelaskan bahwa lamaran itu dilandasi amanat dari Mentari, kakak yang paling Senja sayangi. Alih-alih menentang, kedua orang tua Senja justru menerima dengan baik niat tersebut karena menurut mereka turun ranjang bukan sesuatu yang buruk."Terus Mas pikir dengan kita menikah, Kakak aku nggak bakalan sedih gitu
***"Hai, Sayang."Alih-alih membalas sapaan, Senja justru sedikit menggeram setelah di depan rumahnya kini—persis di balik sebuah pohon berukuran sedang, seorang pria berdiri dengan senyuman melengkung di bibir.Bukan orang lain, dia adalah Davion—kekasih Senja yang beberapa menit lalu menelepon dan tentunya karena panggilan dari dia, Senja mau tak mau berbohong dengan berkata jika ada kurir paket yang mencarinya sehingga tanpa banyak menunda, dia pergi meninggalkan keluarganya di ruang tengah."Kamu ngapain ke sini mendadak?" tanya Senja sesampainya di dekat Davion. Tak diam, dia meraih tangan kekasihnya itu bahkan memberikan tarikan agar menjauh dari area rumah. "Kan kamu tahu sendiri ayah enggak suka kamu. Kalau diusir gimana?""Aku mau ketemu sama ayah kamu," ucap Davion yang justru tersenyum. "Papa aku baru aja dapat warisan dari mendiang Opa dan aku dapat jatahnya seratus juta. Jadi rencananya aku mau lamar kamu. Gimana, mau, kan?""Bercanda kamu?" tanya Senja yang tentu saja d
***"Ish, Davion ke mana sih? Enggak biasanya deh dia ngilang seharian gini. Bikin khawatir aja."Duduk di tepi kasur, rutukan tersebut akhirnya dilontarkan Senja setelah Davion sang kekasih tak bisa dia hubungi baik itu lewat telepon mau pun chat yang bahkan sampai sekarang belum dibalas.Entah ke mana pria itu, Senja sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia dilanda rasa khawatir karena semenjak berpacaran dengannya, Davion tak pernah menghilang seharian penuh seperti sekarang."Kenapa sih? Mas dengar-dengar kayanya daritadi kamu ngerutuk terus."Sejak tadi fokus pada layar ponsel, selanjutnya Senja mengangkat pandangan setelah pertanyaan tersebut didapatkannya dari Juan yang kini duduk di depan meja belajar, dan alih-alih menjawab pertanyaan dari pria itu, Senja justru sedikit menunduk untuk memandang sebuah cincin yang kini tersemat di jari manis miliknya.Tak mau hubungan dia juga Davion terbongkar, minggu lalu Senja memang menerima tawaran dari Juan sehingga hari ini—tepatnya hari
***"Jangan nangis terus biar matanya enggak sembab. Kalau Ayah tahu kamu nangis, nanti Mas yang kena."Terus terisak sepanjang perjalanan, Senja menoleh setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dari balik kemudi. Tak sedang di kamar, saat ini dia dan sang suami tengah berada di perjalanan menuju sebuah hotel tempat Davion menginap, karena memang setelah tak bisa menghubungi sang kekasih sejak kemarin, pagi ini Senja mendapatkan informasi tentang keberadaan Davion bahkan foto-foto pria itu yang tengah terlelap dengan seorang perempuan tanpa menggunakan busana.Melabrak Davion, itulah tujuan Senja sekarang. Diselingkuhi begini dia tentunya tak terima dan karena Juan tahu apa yang terjadi, pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya."Ya gimana enggak nangis? Pacar aku tidur sama perempuan lain!" ucap Senja sambil terus mengusap air mata di pipi menggunakan tisu yang dia bawa. "Aku sama Davi pacaran hampir setahun, Mas, dan sekarang aku sakit hati. Aku enggak nyangka dia sejahat itu sa
***"Kami pamit ya, Yah, Bun. Kalian jaga kesehatan di sini."Sambil mencium punggung tangan kedua mertua, ucapan tersebut lantas dikatakan Juan ketika sore ini dia dan Senja siap pulang ke Bandung.Patah hati pasca putus dari Davion, Senja mengambil keputusan untuk mulai menerima pernikahannya dengan Juan. Mengungkap niat untuk belajar mencintai suaminya tersebut, dia mengambil langkah awal dengan bersedia tinggal di Bandung bersama Juan dan karena senin besok sang suami harus kembali ke kantor. Jadi hari Minggu sore ini, Senja dan Juan berpamitan."Kalian hati-hati juga di jalan," ucap sang ayah pada mereka. Ia beralih pandang ke arah sang menantu, sambil berkata, "Titip Senja ya. Bimbing dia dan tegur dia secara baik kalau lakuin kesalahan. Meskipun Senja bukan anak kandung ayah, ayah harap kamu perlakukan dia seperti kamu memperlakukan Mentari.""Iya Ayah," kata Juan patuh. "Juan akan lakuin apa yang ayah minta."Tak lama mengobrol, setelahnya Juan juga Senja bergegas menuju mobil
***Prak!Senja seketika meringis tatkala belasan atau mungkin puluhan foto cetak berukuran sedang mendarat di atas kepalanya. Tak melayang sendiri, foto-foto tersebut sengaja dilemparkan Juan sebagai bukti perselingkuhan Mentari yang katanya berlangsung selama setahun.Terjebak setelah sebelumnya terjerat, hal itulah yang terjadi pada Senja karena usai dibuat meleleh berkali-kali oleh sikap manis Juan, malam ini dia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang nasib dirinya yang sengaja dijadikan bahan balas dendam untuk pengkhianatan sang kakak."Itu bukti-bukti perselingkuhan kakak kamu dan silakan lihat satu-persatu biar kamu tahu seberapa menjijikannya perbuatan Mentari selama satu tahun terakhir."Tak buka suara, Senja yang sudah memakai bajunya kembali lantas mengambil satu-persatu foto di atas kasur untuk dia lihat. Mulai dari berpelukan bahkan berciuman, semua itu ada di foto dan hal tersebut membuat Senja tak habis pikir karena jika
***"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad
***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj