"Aku nggak mau nikah sama Mas Juan, Ayah!" seru Senja dengan suara bergetar. Gadis itu menatap orang tuanya nanar. "Dia kakak ipar aku, mana mungkin aku menikah dengannya?"
Pasangan paruh baya itu saling melempar tatapan gelisah. Sebelum Senja sempat melontarkan protes lebih lanjut, Juan tiba-tiba bersuara."Jadi kamu nolak gitu aja lamaran Mas tanpa mau mikirin dulu semuanya, Nja?" tanyanya. Pria itu duduk persis di depan Senja. "Ini amanat dari kakak kamu. Dia bakalan sedih kalau amanatnya enggak kita lakuin."Senja bergerak tak nyaman di kursinya mendengar kakak sekaligus istri Juan yang meninggal tiga bulan yang lalu dibawa-bawa dalam pembicaraan mereka.Juan memang sudah menjelaskan bahwa lamaran itu dilandasi amanat dari Mentari, kakak yang paling Senja sayangi. Alih-alih menentang, kedua orang tua Senja justru menerima dengan baik niat tersebut karena menurut mereka turun ranjang bukan sesuatu yang buruk."Terus Mas pikir dengan kita menikah, Kakak aku nggak bakalan sedih gitu?" tanya Senja sinis, masih bersikeras menolak ajakan Juan yang menurutnya gila."Seikhlas apa pun seorang perempuan membiarkan suaminya menikah lagi, rasa sedih pasti ada. Harusnya Mas mengerti hal itu," kata Senja sambil menatap tajam pada Juan yang terdiam dengan ekspresi yang sulit diartikan."Senja." Ayahnya menegur.Tapi Senja sudah terlalu kalut untuk mendengar. Ia masih menatap Juan lamat-lamat, menunjukkan keseriusan yang tak terbantah."Aku nggak cinta sama Mas dan harusnya Mas Juan nggak maksa!" Senja menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Kalau Mas Juan mau nikah lagi karena butuh sosok Ibu buat anak-anak, di luaran sana masih banyak perempuan yang bisa Mas nikahin dan—""Nja, kok kamu ngomongnya gitu sih, Nak?" Kali ini, sang bunda ikut buka suara, menyela segala bentuk protes Senja. "Di luaran sana memang banyak perempuan yang bisa Juan nikahi, tapi kakak kamu maunya kamu yang nikah sama suaminya. Kamu harus kabulin apa yang kakak kamu minta karena selama ini dia selalu kasih apa yang kamu mau."Senja terdiam mendengar kalimat panjang ibunya."Kamu harus tahu balas budi, Senja." Ayahnya ikut menimpali. "Kamu dibesarkan di keluarga ini dengan penuh kasih sayang meskipun bukan siapa-siapa. Kamu hanya anak angkat, seharusnya kamu mengerti posisimu."DEG!Jantung Senja mencelos mendengar kalimat tajam ayahnya. Sepasang matanya langsung berkaca-kaca, tak menduga posisinya sebagai anak angkat di rumah ini menjadikan dirinya tak punya hak untuk berpendapat."Kakak kamu yang dulu bawa kamu ke sini. Dia sayangin kamu seperti adik sendiri. Seharusnya ketika dia minta sesuatu sama kamu, kamu kabulin. Ini bukan cuman masalah Juan, tapi Mentari nggak mau ada orang lain yang masuk ke dalam hidup anak-anaknya. Paham kamu?"Senja mengusap air mata yang jatuh membasahi pipinya dengan gusar. Napasnya mulai terdengar patah-patah. Gadis itu merasa tertekan karena didesak dari berbagai arah."Cinta bisa tumbuh dengan sendirinya, Senja," ucap sang bunda—membujuk dengan suara dan kalimat yang lebih lembut. "Tinggal serumah sama Juan dan berinteraksi setiap hari, kamu pasti bisa jatuh cinta dan perlahan kamu pasti bahagia sama Juan. Percaya sama bunda."Masalahnya, Senja sudah punya kekasih yang sangat dicintainya. Tidak akan mudah baginya untuk berpaling, apalagi pada kakak iparnya sendiri."Enggak. Senja tetap nggak bisa menikah dengan Mas Juan," putus Senja bersikukuh.Gadis 22 tahun itu mengepalkan tangan, berusaha menekan perasaan kesal, kecewa, juga sedih yang campur aduk. Meskipun hubungan dengan kekasihnya tidak direstui, tapi Senja tetap tidak mau meninggalkannya.Senja berdiri dari kursinya, hendak meninggalkan pembicaraan yang belum usai itu.Tapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba suasana di ruang keluarga itu mendadak panik."Ayah!""Ayah?!"Mendengar suara ibu dan Juan yang saling bersahutan, juga suara kursi yang berderak ricuh membuat Senja segera berbalik. Matanya membulat sempurna kala melihat ayahnya memegangi dada dengan raut kesakitan.Senja berlari dan menghampiri ayahnya yang tergolek di kursi. "Ayah, tolong jangan kaya gini Ayah..." ucap Senja dengan suara bergetar. Pipinya sudah basah lagi oleh air mata. "Jangan bikin aku khawatir.""Kamu sayang sama ayah?" Pria paruh baya itu bertanya dengan suara serak."Sayang," ucap Senja cepat, sambil mengangguk. "Aku sayang sama Ayah dan Bunda, bahkan—""Terima lamaran Juan. Jadilah istrinya dan jaga kedua cucu Ayah kalau kamu memang sayang sama Ayah dan Bunda.""Ayah..." Senja menghela napas panjang, merasa serba salah. "Aku—""Jangan egois, Senja," potong Juan, sengaja memotong ucapan Senja dengan raut wajah seriusnya. "Ini juga sulit untuk Mas, tapi Mas nurunin ego demi kebaikan bersama. Seharusnya kamu lakuin itu juga karena terus menolak hanya akan menyakiti semua orang. Kamu mau ayah kenapa-napa?""Bunda mohon sama kamu, Nja."Senja terdiam dengan perasaan dilema. Tapi ia tahu tak akan bisa menyanggah lagi."Aku mau nikah sama Mas Juan. Aku akan berusaha buat jagain cucu Ayah sama Bunda di Bandung.""Kamu serius?" tanya Juan yang membuat Senja memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak ipar."Apa aku kelihatan bercan—"Belum selesai bicara, ponsel di saku baju Senja lebih dulu berdering, mengalihkan atensi semua orang. Gadis itu segera mengambil benda pipih tersebut dengan tergesa.Detik berikutnya, kedua mata Senja membulat setelah nama sang kekasih terpampang di layar. Alih-alih menjawab panggilan, yang dilakukan Senja justru diam dengan perasaan gelisah dan hal tersebut disadari Juan."Telepon dari siapa, Nja?"Spontan mengangkat pandangan dengan perasaan yang kaget, Senja bertanya, "Hah?""Itu telepon dari siapa? Kenapa nggak diangkat?"Senja menelan ludah gugup. Tangan yang memegang ponsel itu berkeringat dingin. Ia tak berani menatap ayah dan ibu yang menatapnya penasaran, apalagi Juan juga melemparkan tatapan tajam yang membuat Senja merasa terintimidasi.
Tapi tidak mungkin ia menjawab dengan jujur. Orang tuanya bisa marah besar jika mengetahui kekasihnya lah yang menelepon.
"A-aku..."
***"Hai, Sayang."Alih-alih membalas sapaan, Senja justru sedikit menggeram setelah di depan rumahnya kini—persis di balik sebuah pohon berukuran sedang, seorang pria berdiri dengan senyuman melengkung di bibir.Bukan orang lain, dia adalah Davion—kekasih Senja yang beberapa menit lalu menelepon dan tentunya karena panggilan dari dia, Senja mau tak mau berbohong dengan berkata jika ada kurir paket yang mencarinya sehingga tanpa banyak menunda, dia pergi meninggalkan keluarganya di ruang tengah."Kamu ngapain ke sini mendadak?" tanya Senja sesampainya di dekat Davion. Tak diam, dia meraih tangan kekasihnya itu bahkan memberikan tarikan agar menjauh dari area rumah. "Kan kamu tahu sendiri ayah enggak suka kamu. Kalau diusir gimana?""Aku mau ketemu sama ayah kamu," ucap Davion yang justru tersenyum. "Papa aku baru aja dapat warisan dari mendiang Opa dan aku dapat jatahnya seratus juta. Jadi rencananya aku mau lamar kamu. Gimana, mau, kan?""Bercanda kamu?" tanya Senja yang tentu saja d
***"Ish, Davion ke mana sih? Enggak biasanya deh dia ngilang seharian gini. Bikin khawatir aja."Duduk di tepi kasur, rutukan tersebut akhirnya dilontarkan Senja setelah Davion sang kekasih tak bisa dia hubungi baik itu lewat telepon mau pun chat yang bahkan sampai sekarang belum dibalas.Entah ke mana pria itu, Senja sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia dilanda rasa khawatir karena semenjak berpacaran dengannya, Davion tak pernah menghilang seharian penuh seperti sekarang."Kenapa sih? Mas dengar-dengar kayanya daritadi kamu ngerutuk terus."Sejak tadi fokus pada layar ponsel, selanjutnya Senja mengangkat pandangan setelah pertanyaan tersebut didapatkannya dari Juan yang kini duduk di depan meja belajar, dan alih-alih menjawab pertanyaan dari pria itu, Senja justru sedikit menunduk untuk memandang sebuah cincin yang kini tersemat di jari manis miliknya.Tak mau hubungan dia juga Davion terbongkar, minggu lalu Senja memang menerima tawaran dari Juan sehingga hari ini—tepatnya hari
***"Jangan nangis terus biar matanya enggak sembab. Kalau Ayah tahu kamu nangis, nanti Mas yang kena."Terus terisak sepanjang perjalanan, Senja menoleh setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dari balik kemudi. Tak sedang di kamar, saat ini dia dan sang suami tengah berada di perjalanan menuju sebuah hotel tempat Davion menginap, karena memang setelah tak bisa menghubungi sang kekasih sejak kemarin, pagi ini Senja mendapatkan informasi tentang keberadaan Davion bahkan foto-foto pria itu yang tengah terlelap dengan seorang perempuan tanpa menggunakan busana.Melabrak Davion, itulah tujuan Senja sekarang. Diselingkuhi begini dia tentunya tak terima dan karena Juan tahu apa yang terjadi, pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya."Ya gimana enggak nangis? Pacar aku tidur sama perempuan lain!" ucap Senja sambil terus mengusap air mata di pipi menggunakan tisu yang dia bawa. "Aku sama Davi pacaran hampir setahun, Mas, dan sekarang aku sakit hati. Aku enggak nyangka dia sejahat itu sa
***"Kami pamit ya, Yah, Bun. Kalian jaga kesehatan di sini."Sambil mencium punggung tangan kedua mertua, ucapan tersebut lantas dikatakan Juan ketika sore ini dia dan Senja siap pulang ke Bandung.Patah hati pasca putus dari Davion, Senja mengambil keputusan untuk mulai menerima pernikahannya dengan Juan. Mengungkap niat untuk belajar mencintai suaminya tersebut, dia mengambil langkah awal dengan bersedia tinggal di Bandung bersama Juan dan karena senin besok sang suami harus kembali ke kantor. Jadi hari Minggu sore ini, Senja dan Juan berpamitan."Kalian hati-hati juga di jalan," ucap sang ayah pada mereka. Ia beralih pandang ke arah sang menantu, sambil berkata, "Titip Senja ya. Bimbing dia dan tegur dia secara baik kalau lakuin kesalahan. Meskipun Senja bukan anak kandung ayah, ayah harap kamu perlakukan dia seperti kamu memperlakukan Mentari.""Iya Ayah," kata Juan patuh. "Juan akan lakuin apa yang ayah minta."Tak lama mengobrol, setelahnya Juan juga Senja bergegas menuju mobil
***Prak!Senja seketika meringis tatkala belasan atau mungkin puluhan foto cetak berukuran sedang mendarat di atas kepalanya. Tak melayang sendiri, foto-foto tersebut sengaja dilemparkan Juan sebagai bukti perselingkuhan Mentari yang katanya berlangsung selama setahun.Terjebak setelah sebelumnya terjerat, hal itulah yang terjadi pada Senja karena usai dibuat meleleh berkali-kali oleh sikap manis Juan, malam ini dia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang nasib dirinya yang sengaja dijadikan bahan balas dendam untuk pengkhianatan sang kakak."Itu bukti-bukti perselingkuhan kakak kamu dan silakan lihat satu-persatu biar kamu tahu seberapa menjijikannya perbuatan Mentari selama satu tahun terakhir."Tak buka suara, Senja yang sudah memakai bajunya kembali lantas mengambil satu-persatu foto di atas kasur untuk dia lihat. Mulai dari berpelukan bahkan berciuman, semua itu ada di foto dan hal tersebut membuat Senja tak habis pikir karena jika
***"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad
***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj
***"Hey, bangun. Di sini bukan tempat buat malas-malasan."Tidur dengan posisi meringkuk, Senja perlahan membuka mata setelah suara Juan terdengar dari dekat. Mengerjap sambil meresapi rasa pusing, dia beringsut dan yang pertama didapatinya ketika duduk adalah; Juan.Berdiri layaknya bos, pria itu memasang raut wajah datar dan hal tersebut membuat Senja kembali teringat pada semua kejadian semalam termasuk fakta perselingkuhan Mentari yang dibongkar habis-habisan oleh Juan."Mas Juan.""Kamu emang semalas ini ya?" tanya Juan. "Jam udah ada di angka enam, tapi kamu belum bangun. Perempuan macam apa kamu?""Aku capek, Mas," kata Senja. "Lagian tidur di lantai bikin aku susah ngantuk semalam. Jadi aku baru bisa tidur jam-""Saya enggak peduli," potong Juan. "Apa pun alasannya, saya enggak mau tahu karena yang saya pengen, kamu bikinin sarapan buat anak-anak sebelum ke sekolah.""Sarapan?""Ya," kata Juan.