***
"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj
***"Hey, bangun. Di sini bukan tempat buat malas-malasan."Tidur dengan posisi meringkuk, Senja perlahan membuka mata setelah suara Juan terdengar dari dekat. Mengerjap sambil meresapi rasa pusing, dia beringsut dan yang pertama didapatinya ketika duduk adalah; Juan.Berdiri layaknya bos, pria itu memasang raut wajah datar dan hal tersebut membuat Senja kembali teringat pada semua kejadian semalam termasuk fakta perselingkuhan Mentari yang dibongkar habis-habisan oleh Juan."Mas Juan.""Kamu emang semalas ini ya?" tanya Juan. "Jam udah ada di angka enam, tapi kamu belum bangun. Perempuan macam apa kamu?""Aku capek, Mas," kata Senja. "Lagian tidur di lantai bikin aku susah ngantuk semalam. Jadi aku baru bisa tidur jam-""Saya enggak peduli," potong Juan. "Apa pun alasannya, saya enggak mau tahu karena yang saya pengen, kamu bikinin sarapan buat anak-anak sebelum ke sekolah.""Sarapan?""Ya," kata Juan.
***"Mas enggak izinin kamu punya perasaan apa pun sama Senja karena dia istri Mas sekarang dan kamu harusnya ngerti itu."Setelah dilanda shock usai mendengar ungkapan sang adik, ucapan bernada serius lantas dilontarkan Juan pada Gian yang kini berdiri persis di depannya.Namun, alih-alih terintimidasi oleh ucapan yang dia katakan, Gian justru tersenyum miring—membuat Juan kembali buka suara."Kenapa senyum kamu? Ucapan Mas ada yang lucu?""Jelas ada," ucap Gian. "Mas bilang Senja istri Mas, tapi perilaku yang Mas tunjukin ke dia justru enggak mencerminkan kalau Mas suaminya. Mas perlakukan dia kaya pembantu. Padahal, ke Om Haikal Mas janji buat bahagiain dia. Apa itu enggak lucu?""Kamu enggak tahu apa yang Mas rasakan belakangan ini, Gian," ucap Juan. "Mentari selingkuhi Mas selama setahun bahkan sebelum meninggal, dia ciuman sama selingkuhannya dan-""Itu kesalahan Kak Mentari, Mas, bukan Senja!" ujar Gian dengan sua
***"Papa mau ke mana?"Barusaja sampai di tangga setelah sebelumnya memakai pakaian rapi, Juan mau tak mau berhenti setelah panggilan tersebut dilontarkan Caca—sang putri bungsu dari belakang."Caca," panggil Juan lembut. "Papa mau buka kunci gerbang nih, Caca udah siap?""Udah nih.""Ya udah samperin dulu Kak Kiran gih, nanti setelah Papa siap, Papa panggil Caca.""Oke, Pa."Sang putri bungsu manut, Juan melanjutkan langkahnya. Menuruni satu persatu undakkan tangga, tujuan dia sekarang adalah Senja yang dimintanya menunggu di post satpam.Selesai mandi selang beberapa menit pasca Gian datang, Juan memutuskan untuk bersiap-siap hingga di tengah kegiatannya memakai kemeja, entah kenapa keinginan untuk pergi ke balkon kamar tiba-tiba saja datang.Berjalan sambil mengancingkan kemeja, Juan pada akhirnya tahu alasan di balik keinginannya tersebut setelah melihat Senja berlari ke arah gerbang. Tak panik mes
***"Baik-baik ya di sini. Jangan coba kabur karena kalau nekad kaya tadi, hukumannya bakalan lebih berat."Berdiri dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang kini duduk di sebuah kursi di gudang.Tak bebas, kedua tangan Senja terikat kain bahkan tak hanya itu, Juan juga membekap mulut istrinya menggunakan sapu tangan agar ketika dia pergi, Senja tak akan kabur.Terlibat perdebatan dengan Senja beberapa waktu lalu, dua opsi memang diberikan Juan untuk adik mendiang Mentari tersebut. Tak langsung mendapat jawaban karena Senja yang katanya butuh waktu, Juan tak memaksa. Namun, untuk sekadar memberikan waktu pada sang istri, dia tak mau melakukannya secara gratis sehingga bayaran pun disebutkannya. Tak berbentuk uang, bayaran yang Juan maksud adalah; bersedianya Senja dikurung digudang sampai nanti sore.Bingung, Senja patuh sehingga tanpa perlawanan, dia pasrah diikat bahkan dibekap Juan tanpa ingat jika setelah ini dia akan merasa lapa
***"Om Gian lagi banyak pikiran ya? Daritadi aku perhatiin kayanya diam terus deh."Setelah sejak tadi suasana mobil hening, pertanyaan tersebut lantas Gian dapatkand dari sang keponakan yang berada persis di samping kirinya. Tak lagi bersama Caca, di mobil kini hanya tinggal Gian dan Kirania karena memang sang keponakan bungsu turun sepuluh menit lalu di sekolahnya.Tak banyak mengoceh, pagi ini di jalan Gian memang lebih banyak diam. Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi setelah sejak tadi informasi tentang di mana Senja tak didapatkannya—membuat rasa khawatir jelass datang.Bertanya pada Juan, hasilnya sia-sia karena alih-alih memberitahu keberadaan Senja, sang kakak justru berkilah tak tahu sehingga tak terus memaksa, Gian akhirnya menyerah untuk bertanya."Enggak," kata Gian. "Cuman ya lagi males ngomong aja. Enggak ada topik pembicaraan juga, kan?""Enggak ada masalah sama pacar?"Gian tersenyum mirin
***"Oke, aku akan tutup mata dan telinga setelah ini, tapi aku pun enggak akan tinggal diam kalau Mas keterlaluan sama Senja. Aku akan bertindak kalau seandainya Mas tega lakuin kekeras-"Belum selesai Gian bicara, Juan lebih dulu memutuskan sambungan telepon sebelum akhirnya menurunkan ponsel dari samping telinga. Tersenyum bahagia, itulah dia sekarang setelah misi yang dilakukannya pagi ini berjalan dengan lancar.Mengikat kemudian mengintimidasi Senja, memfitnah Gian di depan kedua mertua bahkan memojokkan sang adik agar tak mengganggu lagi urusannya, semua berhasil dilakukan oleh Juan sehingga setelah ini yang perlu dia lakukan adalah; melanjutkan hukuman pada sang istri."Gian beres, sekarang mungkin aku kerja dulu," ucap Juan. "Jam sebelas atau jam dua belas, aku baru cek Senja karena siapa tahu di jam itu dia nyerah.""Ah, Senja ... ayo kita lihat sampai jam berapa kamu bisa nahan lapar."Tak menetap lama di mobil, Juan y
***"Makanan kamu. Jangan lama-lama makannya karena sebelum saya pergi, kamu harus udah mulai beresin rumah biar nanti pas saya dan anak-anak pulang, kamu enggak lagi lakuin apa-apa."Disuguhkan sepiring nasi putih, Senja tercengang ketika di nasi yang diberikan Juan tak terdapat sedikit pun lauk entah itu sayur atau semacamnya.Duduk di depan meja makan, yang dia lakukan setelah itu adalah; menoleh kemudian sambil memandang Juan, dia berkata,"Nasi aja, Mas?""Kenapa emang? Enggak mau?" Alih-alih menjawab, Juan yang kini berdiri di samping Senja justru balik bertanya. "Iya nasi aja karena lauknya emang enggak ada. Dua art di sini udah saya minta pulang dan mereka enggak masak. Jadi enggak ada apa-apa.""Izinin aku masak dulu kalau git-""Enggak."Hampir beranjak, Senja kembali duduk setelah penolakan dilontarkan Juan dan hal tersebut membuat hatinya mencelos."Kamu makan nasi aja karena kalau masak dul
***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"