***
"Oke, aku akan tutup mata dan telinga setelah ini, tapi aku pun enggak akan tinggal diam kalau Mas keterlaluan sama Senja. Aku akan bertindak kalau seandainya Mas tega lakuin kekeras-"Belum selesai Gian bicara, Juan lebih dulu memutuskan sambungan telepon sebelum akhirnya menurunkan ponsel dari samping telinga. Tersenyum bahagia, itulah dia sekarang setelah misi yang dilakukannya pagi ini berjalan dengan lancar.Mengikat kemudian mengintimidasi Senja, memfitnah Gian di depan kedua mertua bahkan memojokkan sang adik agar tak mengganggu lagi urusannya, semua berhasil dilakukan oleh Juan sehingga setelah ini yang perlu dia lakukan adalah; melanjutkan hukuman pada sang istri."Gian beres, sekarang mungkin aku kerja dulu," ucap Juan. "Jam sebelas atau jam dua belas, aku baru cek Senja karena siapa tahu di jam itu dia nyerah.""Ah, Senja ... ayo kita lihat sampai jam berapa kamu bisa nahan lapar."Tak menetap lama di mobil, Juan y***"Makanan kamu. Jangan lama-lama makannya karena sebelum saya pergi, kamu harus udah mulai beresin rumah biar nanti pas saya dan anak-anak pulang, kamu enggak lagi lakuin apa-apa."Disuguhkan sepiring nasi putih, Senja tercengang ketika di nasi yang diberikan Juan tak terdapat sedikit pun lauk entah itu sayur atau semacamnya.Duduk di depan meja makan, yang dia lakukan setelah itu adalah; menoleh kemudian sambil memandang Juan, dia berkata,"Nasi aja, Mas?""Kenapa emang? Enggak mau?" Alih-alih menjawab, Juan yang kini berdiri di samping Senja justru balik bertanya. "Iya nasi aja karena lauknya emang enggak ada. Dua art di sini udah saya minta pulang dan mereka enggak masak. Jadi enggak ada apa-apa.""Izinin aku masak dulu kalau git-""Enggak."Hampir beranjak, Senja kembali duduk setelah penolakan dilontarkan Juan dan hal tersebut membuat hatinya mencelos."Kamu makan nasi aja karena kalau masak dul
***"Halo, Gian."Setelah sebelumnya menjawab panggilan dari Gian, sapaan singkat lantas Senja lontarkan di sela kegiatannya menyapu. Tak di lantai bawah, saat ini dia berada di lantai atas karena memang baik itu menyapu dan semacamnya, Senja memutuskan untuk mengawali semua dari lantai dua."Gerbang kenapa dikunci, Nja? Ini aku udah sampe.""Oh, udah sampe ya? Sebentar kalau gitu, aku turun dulu," ucap Senja dengan perasaan sedikit kaget. "Aku kunci gerbang karena Mas Juan yang nyuruh.""Oh ya udah bukain kalau gitu ya.""Iya, Gian. Sebentar ya.""Oke."Tak banyak basa-basi, setelahnya Senja memutuskan sambungan telepon dengan Gian. Berlari menuju tangga kemudian turun, yang dia tuju adalah pintu utama dan begitu pintu tersebut dibuka, sosok Gian di dekat gerbang terlihat.Tak di dalam mobil, pria dua puluh satu tahun itu berdiri di dekat gerbang—membuat Senja heran. Namun, meskipun begitu dia tetap me
***"Eh, gadis-gadisnya Tante udah pulang. Gimana sekolahnya? Seru enggak?"Berusaha bersikap seperti biasa pada Kiran dan Caca, sapaan tersebut lantas Senja lontarkan tatkala dua keponakannya turun dari mobil. Tak dari jarak dekat, Senja menyapa dari kursi karena setelah membuka gerbang sebelum Juan pulang, dia diminta untuk menunggu di teras rumah."Halo, Tante," sapa Caca ramah. "Seru kaya biasa kok. Meskipun udah enggak dijemput lagi sama Mama, Caca berusaha buat enggak sedih karena kata Papa, Mama katanya udah bahagia di surga."Mendengar ucapan Caca, Senja tersenyum. Ingin menangis, lagi-lagi hal tersebut dirasakannya karena setiap kali mendengar nama Mentari, dia sedih. Namun, karena sang keponakan tak boleh melihat dia sedih, sebisa mungkin Senja harus pandai menyembunyikan apa yang dia rasa."Wah, Caca pinter," puji Senja. "Bangga deh Tante sama Senja.""Bangun jam berapa tadi, Tan?" Dari Caca, Senja
***"Kiran mau ngomongin tentang apa ya soal Mas Juan dan Senja? Apa jangan-jangan dia mergokin Mas Juan nindas Senja?"Di tengah kegiatannya mengemudi, pertanyaan tersebut lantas Gian lontarkan dengan rasa penasaran yang tentu saja berkecamuk.Mendapat telepon dari sang keponakan di tengah perjalanannya menuju kost, sebuah ajakan mengobrol didapatkan Gian. Topik yang ingin dibicarakan berhubungan dengan Senja dan Juan, Gian mengiakan ajakan tersebut sehingga setibanya di kost, dia memutuskan tancap gas menuju tempat seblak yang dijanjikan.Apa yang ingin Kirania bicarakan.Sejak tadi pertanyaan tersebut menari-nari di pikiran Gian. Namun, karena dirinya bukan cenayang, jawaban pun tak kunjung didapatkan—membuat rasa penasaran tak mau enyah.Berusaha fokus, Gian mengemudikan mobilnya dengan tenang hingga setelah dua puluh menit di jalan, dia tiba di tempat tujuan. Kirania belum datang, Gian memutuskan untuk menunggu sampai akhirnya selang beberapa menit sang keponakan tiba dengan rok a
***"Om Gian berharap apa emangnya setelah bilang ini? Aku belain Tante Senja terus larang Papa lampiasin sakit hatinya ke dia? Iya?"Ditanya perihal keseriusan ucapannya beberapa detik lalu, kalimat tersebut lantas Kirania lontarkan pada Gian yang terlihat semakin shock dengan respon yang diberikan putri sulung Juan.Alih-alih membela Senja seperti yang Gian harapkan, Kirania justru berada di pihak Juan dan tak ada niat menghentikan apa yang sang papa lakukan sekarang, Kirania akan mendukung apa pun tindakan sang papa."Ki," panggil Gian. "Om pikir kamu bakalan dukung Tante kamu yang enggak tahu apa-apa lho? Tante Senja enggak terlibat dalam masalah Papa sama Mama kamu dan-""Dia bukan Tante kandung aku, Om," potong Kirania dengan segera. "Jadi untuk apa aku belain dia dari Papa? Lagian wajar kok Papa lakuin ini karena aku pun kalau ada di posisi Papa, sakit hati. Nikah belasan tahun terus diselingkuhin, itu bukan sesuatu yang mudah dan-""Tante Senja enggak salah, Kiran!" ujar Gian y
***"Gian, kamu di dalam enggak?"Setelah sebelumnya mengetuk pelan pintu kamar Gian, pertanyaan tersebut lantas Senja lontarkan dengan raut wajah yang terlihat hati-hati.Baru selesai mengerjakan tugasnya menyetrika baju, sore ini Senja memutuskan untuk menemui Gian. Bukan tanpa alasan, dia memiliki tujuan dan tujuannya tersebut berhubungan dengan sang suami, Juan."Gi-"Belum selesai memanggil Gian, Senja seketika mundur setelah suara pintu dibuka, terdengar dan selang beberapa detik, pintu kamar Gian terbuka—menampilkan sang pemilik yang nampak santai dengan setelan kaos juga kolor."Nja.""Gian," panggil Senja. "Lagi sibuk enggak? Aku mau bicara sesuatu.""Tentang apa?" tanya Gian. "Btw, kamu darimana aja? Semenjak pulang aku baru lihat kamu. Enggak diapa-apain Mas Juan, kan?""Enggak," ucap Senja. "Pas kamu pulang, aku lagi nyetrika baju karena cucian yang semalam katanya harus langsung disetrika sebelum disimpan ke lemari. Jadi aku kerjain biar Mas Juan enggak marah dan beberapa
***"Udah kekirim, Gian, coba cek."Menerima notifikasi tentang berhasilnya transfer uang yang dia lakukan, Senja lantas bertanya demikian pada Gian. Keinginan untuk menitip uang di rekening Gian, diterima, Senja memang tanpa ragu mengirim uang yang dia punya ke nomor rekening adik Juan tersebut.Tak sebagian, Senja mengirim semua uang yang dia punya sehingga kini saldo yang tertera di m-banking yang dia miliki tersisa lima puluh ribu saja."Udah, Nja, masuk," kata Gian. "Tapi aku enggak akan pake uang ini sebutuh apa pun aku ya. Aku anggap kamu nitip dan kamu bisa minta uang ini kapan pun kamu mau.""Kalau kamu butuh banget, ambil aja," kata Senja. "Kita pake berdua uangnya karena kamu kan kehilangan fasilitas gara-gara aku. Jadi udah sepantasnya aku tanggung jawab.""Bukan salah kam-""Ssst," desis Senja sambil mendekatkan telunjuknya di bibir. "Aku enggak nerima komplen apa pun untuk pernyataan yang itu, dan
***"Ck, ah! Gue pikir setelah tahu alasan gue minta alamat Senja, Bunda bakalan ngasih tahu, tapi nyatanya enggak. Gue tetap diminta pulang bahkan lupain Senja. Padahal, jelas gue enggak bisa karena gue sayang sama dia."Duduk di atas motor gede yang terparkir tak jauh dari kediaman orang tua Senja, gerutuan panjang lebar lantas dilontarkan Davion yang kini dilanda kekecewaan.Bukan tanpa alasan, perasaan tersebut muncul setelah Nirmala menolak untuk memberikan alamat rumah Juan di Bandung sana. Padahal, Davion sangat ingin menjelaskan perihal kesalahpahaman diantara dirinya dan Senja kemarin.Dituduh berselingkuh bahkan tidur dengan seorang perempuan, Davion ingin Senja tahu jika dirinya tak sebrengsek yang dituduhkan. Namun, dengan terputusnya komunikasi diantara dia dan sang kekasih, sulit rasanya Davion menjelaskan semua."Ah! Mana dia nikah sama Kakak iparnya tanpa ngomong ke gue lagi. Maksudnya apaan coba? Bikin pusing aja."Sibuk dengan rasa frustasi, pada akhirnya Davion memut