***"Udah kekirim, Gian, coba cek."Menerima notifikasi tentang berhasilnya transfer uang yang dia lakukan, Senja lantas bertanya demikian pada Gian. Keinginan untuk menitip uang di rekening Gian, diterima, Senja memang tanpa ragu mengirim uang yang dia punya ke nomor rekening adik Juan tersebut.Tak sebagian, Senja mengirim semua uang yang dia punya sehingga kini saldo yang tertera di m-banking yang dia miliki tersisa lima puluh ribu saja."Udah, Nja, masuk," kata Gian. "Tapi aku enggak akan pake uang ini sebutuh apa pun aku ya. Aku anggap kamu nitip dan kamu bisa minta uang ini kapan pun kamu mau.""Kalau kamu butuh banget, ambil aja," kata Senja. "Kita pake berdua uangnya karena kamu kan kehilangan fasilitas gara-gara aku. Jadi udah sepantasnya aku tanggung jawab.""Bukan salah kam-""Ssst," desis Senja sambil mendekatkan telunjuknya di bibir. "Aku enggak nerima komplen apa pun untuk pernyataan yang itu, dan
***"Ck, ah! Gue pikir setelah tahu alasan gue minta alamat Senja, Bunda bakalan ngasih tahu, tapi nyatanya enggak. Gue tetap diminta pulang bahkan lupain Senja. Padahal, jelas gue enggak bisa karena gue sayang sama dia."Duduk di atas motor gede yang terparkir tak jauh dari kediaman orang tua Senja, gerutuan panjang lebar lantas dilontarkan Davion yang kini dilanda kekecewaan.Bukan tanpa alasan, perasaan tersebut muncul setelah Nirmala menolak untuk memberikan alamat rumah Juan di Bandung sana. Padahal, Davion sangat ingin menjelaskan perihal kesalahpahaman diantara dirinya dan Senja kemarin.Dituduh berselingkuh bahkan tidur dengan seorang perempuan, Davion ingin Senja tahu jika dirinya tak sebrengsek yang dituduhkan. Namun, dengan terputusnya komunikasi diantara dia dan sang kekasih, sulit rasanya Davion menjelaskan semua."Ah! Mana dia nikah sama Kakak iparnya tanpa ngomong ke gue lagi. Maksudnya apaan coba? Bikin pusing aja."Sibuk dengan rasa frustasi, pada akhirnya Davion memut
***"Mas, kamu lihat Kiran enggak?"Setelah sebelumnya merapikan wastafel juga mencuci tangan, Senja akhirnya menyusul sang putri sambung yang beberapa waktu lalu pergi membawa ponsel miliknya.Tak berlari ke lantai dua, yang pertama Senja datangi adalah; teras belakang yang pintunya terbuka dan karena di sana ada Juan, bertanya pada sang suami pun dilakukannya."Mau ngapain kamu cari anak saya?" tanya Juan dengan raut wajah ketus yang tak pernah berubah. "Enggak ada. Dia enggak datang ke sini.""Mas, aku serius," kata Senja. "Tadi pas aku cuci piring, hp aku bunyi terus tanpa permisi Kiran ambil hp aku dan pergi gitu aja. Aku takutnya ada telepon penting dan-""Kiran enggak ada di sini, Senja," desis Juan. "Kamu ini dikasih tahu enggak percayaan banget. Ke atas kali dia.""Benar?" tanya Senja yang entah kenapa dilanda rasa ragu."Cari sendiri kalau enggak percaya."Tak menjawab, untuk beberapa detik Senja memandang Juan sebelum pada akhirnya pergi ke lantai dua untuk mencari Kiran. T
***"Gimana, Papa setuju enggak?""Enggak. Papa enggak setuju sama ide yang kamu kasih. Jadi jangan pernah coba-coba realisasiin itu karena Papa bakalan marah. Lagipula seperti yang papa bilang, kamu cukup marah sama Mama dan ada di pihak Papa. Soal hukuman, biar Papa yang urus."Mendengar langsung ide Kirania yang katanya ingin ikut menghukum Senja, penolakan tersebut lantas dilontarkan Juan setelah ide yang dipakai sang putri menurutnya cukup gila.Mengajak Davion berpacaran kemudian membawa pria itu ke rumah agar Senja sakit hati, itulah ide Kirania dan Juan jelas tak setuju, karena selain dia tak mau melibatkan sang putri dalam balas dendamnya terhadap Mentari, Juan juga merasa Kirania masih terlalu dini untuk berpacaran."Pa, aku juga pengen hukum Tante Senja," ucap Kirania setengah mendesah. "Lagian dibanding kesalahan Mama ke Papa, hukuman Tante Senja itu masih belum apa-apa. Dia cuman dijadiin pembantu di sini dan-""Kira
***"Aku pilih kartu atmku. Kalau Mas mau hukum Senja, silakan. Kali ini aku enggak akan bantu."Setelah berpikir selama beberapa saat, jawaban tersebut akhirnya dilontarkan Gian pada sang kakak. Di luar dugaan, Juan terlihat kaget dengan apa yang dikatakan sang adik. Namun, meskipun begitu raut wajah tenang tetap ditunjukannya sebelum kemudian buka suara."Jadi kali ini kamu enggak masalah Senja bersihin kolam?""Nja," panggil Gian pada Senja. "Enggak apa-apa, kan?""Enggak apa-apa," kata Senja pasrah. "Kamu pasti butuh uangnya. Jadi enggak masalah. Lagian asalkan ads pompa, bersihin kolam kayanya bukan sesuatu yang sulit."Senja kecewa ataupun marah setelah mendengar pilihan Gian? Jawabannya tentu saja tidak, karena tak hanya uang pria itu, di rekening yang Gian pegang terdapat uangnya juga sehingga ketika adik Juan tersebut memilih untuk menyelamatkan rekening, maka uangnya pun ikut terselamatkan."Oke kalau gitu," ka
***"Tante Senja!"Senja yang barusaja selesai memasang selang, seketika menoleh setelah panggilan tersebut dilontarkan Kirania dari ambang pintu.Tak ada raut wajah ramah, seperti biasa gadis enam belas tahun itu terlihat judes. Namun, meskipun begitu—demi Mentari, Senja tetap bersikap baik pada sang keponakan dengan menjawab tenang panggilan yang dilontarkan untuknya."Ya, kenapa?""Tante Senja enggak tahu malu ya?" tanya Kirania tanpa basa-basi. "Yang disuruh buat kuras kolam renang tuh Tante sendiri, kenapa jadi berdua sama Om Gian? Mau caper?""Heh! Diajarin siapa kamu ngomong kaya gitu?" tanya Gian yang tentu saja tak suka dengan ucapan sang keponakan. Tak diam, dia yang barusaja selesai memasang pompa, seketika melangkah menuju Kirania dan tak sendiri, langkahnya tersebut diikuti Senja dari belakang."Disuruh Papa kamu ya kamu ngomong kaya gitu hah?" tanya Gian sesampainya di depan Kirania. "Benci atau e
***"Heh, bangun kalian. Jam berapa ini?"Berdiri dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, perintah tersebut lantas dilontarkan Juan untuk sepasang muda-mudi yang kini terlelap di kursi panjang di pinggir kolam renang.Bukan orang asing, kedua orang yang terlihat meringkuk itu adalah Gian dan Senja. Entah sejak kapan keduanya terlelap, Juan sendiri tak tahu. Namun, yang jelas pagi ini dia sedikit kesal karena kolam renang di belakang rumahnya kering tanpa air.Padahal, dugaannya kolam renang yang semalam dikuras Gian dan Senja sudah terisi penuh dengan air baru yang lebih bersih dari air sebelumnya."Senja, Gian, bangun. Enggak enak kalau dilihat Caca."Usaha pertama gagal, Juan kembali membangunkan dua muda-mudi tersebut sampai akhirnya respon pun ditunjukan Gian mau pun Senja. Tidur dengan posisi saling membelakangi, keduanya perlahan membuka mata hingga tak berselang lama Gian yang menyadari kehadiran Juan, buka suara.
***"Mau ngapain kamu ke sini?"Menoleh setelah pintu kamar tiba-tiba saja terbuka, pertanyaan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang kini masuk ke dalam kamar.Tak ada raut santai, wajah gadis dua puluh dua tahun itu terlihat tegang dan tak perlu bertanya tentang alasan, Juan tahu jika istrinya itu kini dilanda takut."Kotak P3K di kamar ini, kan? Aku mau ambil," kata Senja."Buat apa? Ngobatin Gian?" tanya Juan sinis. "Enggak usah dimanja, luka dia enggak seberapa.""Enggak seberapa menurut kamu, tapi menurut aku beda," kata Senja. "Lagipula habis mukul adik sendiri bukannya merasa bersalah malah kaya gitu.""Gian yang mulai kenapa harus saya yang minta maaf?" tanya Juan. "Kalau dia enggak pukul duluan, saya enggak akan balas."Senja mendelik. "Iya, tapi harusnya sebagai kakak kamu ngalah, mas," ucapnya kemudian. "Kamu ini abang dan usia kamu enam belas tahun lebih tua dari dia. Jadi-""Berisi