***
Prak!Senja seketika meringis tatkala belasan atau mungkin puluhan foto cetak berukuran sedang mendarat di atas kepalanya. Tak melayang sendiri, foto-foto tersebut sengaja dilemparkan Juan sebagai bukti perselingkuhan Mentari yang katanya berlangsung selama setahun.Terjebak setelah sebelumnya terjerat, hal itulah yang terjadi pada Senja karena usai dibuat meleleh berkali-kali oleh sikap manis Juan, malam ini dia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang nasib dirinya yang sengaja dijadikan bahan balas dendam untuk pengkhianatan sang kakak."Itu bukti-bukti perselingkuhan kakak kamu dan silakan lihat satu-persatu biar kamu tahu seberapa menjijikannya perbuatan Mentari selama satu tahun terakhir."Tak buka suara, Senja yang sudah memakai bajunya kembali lantas mengambil satu-persatu foto di atas kasur untuk dia lihat. Mulai dari berpelukan bahkan berciuman, semua itu ada di foto dan hal tersebut membuat Senja tak habis pikir karena jika***"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad
***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj
***"Hey, bangun. Di sini bukan tempat buat malas-malasan."Tidur dengan posisi meringkuk, Senja perlahan membuka mata setelah suara Juan terdengar dari dekat. Mengerjap sambil meresapi rasa pusing, dia beringsut dan yang pertama didapatinya ketika duduk adalah; Juan.Berdiri layaknya bos, pria itu memasang raut wajah datar dan hal tersebut membuat Senja kembali teringat pada semua kejadian semalam termasuk fakta perselingkuhan Mentari yang dibongkar habis-habisan oleh Juan."Mas Juan.""Kamu emang semalas ini ya?" tanya Juan. "Jam udah ada di angka enam, tapi kamu belum bangun. Perempuan macam apa kamu?""Aku capek, Mas," kata Senja. "Lagian tidur di lantai bikin aku susah ngantuk semalam. Jadi aku baru bisa tidur jam-""Saya enggak peduli," potong Juan. "Apa pun alasannya, saya enggak mau tahu karena yang saya pengen, kamu bikinin sarapan buat anak-anak sebelum ke sekolah.""Sarapan?""Ya," kata Juan.
***"Mas enggak izinin kamu punya perasaan apa pun sama Senja karena dia istri Mas sekarang dan kamu harusnya ngerti itu."Setelah dilanda shock usai mendengar ungkapan sang adik, ucapan bernada serius lantas dilontarkan Juan pada Gian yang kini berdiri persis di depannya.Namun, alih-alih terintimidasi oleh ucapan yang dia katakan, Gian justru tersenyum miring—membuat Juan kembali buka suara."Kenapa senyum kamu? Ucapan Mas ada yang lucu?""Jelas ada," ucap Gian. "Mas bilang Senja istri Mas, tapi perilaku yang Mas tunjukin ke dia justru enggak mencerminkan kalau Mas suaminya. Mas perlakukan dia kaya pembantu. Padahal, ke Om Haikal Mas janji buat bahagiain dia. Apa itu enggak lucu?""Kamu enggak tahu apa yang Mas rasakan belakangan ini, Gian," ucap Juan. "Mentari selingkuhi Mas selama setahun bahkan sebelum meninggal, dia ciuman sama selingkuhannya dan-""Itu kesalahan Kak Mentari, Mas, bukan Senja!" ujar Gian dengan sua
***"Papa mau ke mana?"Barusaja sampai di tangga setelah sebelumnya memakai pakaian rapi, Juan mau tak mau berhenti setelah panggilan tersebut dilontarkan Caca—sang putri bungsu dari belakang."Caca," panggil Juan lembut. "Papa mau buka kunci gerbang nih, Caca udah siap?""Udah nih.""Ya udah samperin dulu Kak Kiran gih, nanti setelah Papa siap, Papa panggil Caca.""Oke, Pa."Sang putri bungsu manut, Juan melanjutkan langkahnya. Menuruni satu persatu undakkan tangga, tujuan dia sekarang adalah Senja yang dimintanya menunggu di post satpam.Selesai mandi selang beberapa menit pasca Gian datang, Juan memutuskan untuk bersiap-siap hingga di tengah kegiatannya memakai kemeja, entah kenapa keinginan untuk pergi ke balkon kamar tiba-tiba saja datang.Berjalan sambil mengancingkan kemeja, Juan pada akhirnya tahu alasan di balik keinginannya tersebut setelah melihat Senja berlari ke arah gerbang. Tak panik mes
***"Baik-baik ya di sini. Jangan coba kabur karena kalau nekad kaya tadi, hukumannya bakalan lebih berat."Berdiri dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang kini duduk di sebuah kursi di gudang.Tak bebas, kedua tangan Senja terikat kain bahkan tak hanya itu, Juan juga membekap mulut istrinya menggunakan sapu tangan agar ketika dia pergi, Senja tak akan kabur.Terlibat perdebatan dengan Senja beberapa waktu lalu, dua opsi memang diberikan Juan untuk adik mendiang Mentari tersebut. Tak langsung mendapat jawaban karena Senja yang katanya butuh waktu, Juan tak memaksa. Namun, untuk sekadar memberikan waktu pada sang istri, dia tak mau melakukannya secara gratis sehingga bayaran pun disebutkannya. Tak berbentuk uang, bayaran yang Juan maksud adalah; bersedianya Senja dikurung digudang sampai nanti sore.Bingung, Senja patuh sehingga tanpa perlawanan, dia pasrah diikat bahkan dibekap Juan tanpa ingat jika setelah ini dia akan merasa lapa
***"Om Gian lagi banyak pikiran ya? Daritadi aku perhatiin kayanya diam terus deh."Setelah sejak tadi suasana mobil hening, pertanyaan tersebut lantas Gian dapatkand dari sang keponakan yang berada persis di samping kirinya. Tak lagi bersama Caca, di mobil kini hanya tinggal Gian dan Kirania karena memang sang keponakan bungsu turun sepuluh menit lalu di sekolahnya.Tak banyak mengoceh, pagi ini di jalan Gian memang lebih banyak diam. Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi setelah sejak tadi informasi tentang di mana Senja tak didapatkannya—membuat rasa khawatir jelass datang.Bertanya pada Juan, hasilnya sia-sia karena alih-alih memberitahu keberadaan Senja, sang kakak justru berkilah tak tahu sehingga tak terus memaksa, Gian akhirnya menyerah untuk bertanya."Enggak," kata Gian. "Cuman ya lagi males ngomong aja. Enggak ada topik pembicaraan juga, kan?""Enggak ada masalah sama pacar?"Gian tersenyum mirin
***"Oke, aku akan tutup mata dan telinga setelah ini, tapi aku pun enggak akan tinggal diam kalau Mas keterlaluan sama Senja. Aku akan bertindak kalau seandainya Mas tega lakuin kekeras-"Belum selesai Gian bicara, Juan lebih dulu memutuskan sambungan telepon sebelum akhirnya menurunkan ponsel dari samping telinga. Tersenyum bahagia, itulah dia sekarang setelah misi yang dilakukannya pagi ini berjalan dengan lancar.Mengikat kemudian mengintimidasi Senja, memfitnah Gian di depan kedua mertua bahkan memojokkan sang adik agar tak mengganggu lagi urusannya, semua berhasil dilakukan oleh Juan sehingga setelah ini yang perlu dia lakukan adalah; melanjutkan hukuman pada sang istri."Gian beres, sekarang mungkin aku kerja dulu," ucap Juan. "Jam sebelas atau jam dua belas, aku baru cek Senja karena siapa tahu di jam itu dia nyerah.""Ah, Senja ... ayo kita lihat sampai jam berapa kamu bisa nahan lapar."Tak menetap lama di mobil, Juan y