***
"Kami pamit ya, Yah, Bun. Kalian jaga kesehatan di sini."Sambil mencium punggung tangan kedua mertua, ucapan tersebut lantas dikatakan Juan ketika sore ini dia dan Senja siap pulang ke Bandung.Patah hati pasca putus dari Davion, Senja mengambil keputusan untuk mulai menerima pernikahannya dengan Juan. Mengungkap niat untuk belajar mencintai suaminya tersebut, dia mengambil langkah awal dengan bersedia tinggal di Bandung bersama Juan dan karena senin besok sang suami harus kembali ke kantor. Jadi hari Minggu sore ini, Senja dan Juan berpamitan."Kalian hati-hati juga di jalan," ucap sang ayah pada mereka. Ia beralih pandang ke arah sang menantu, sambil berkata, "Titip Senja ya. Bimbing dia dan tegur dia secara baik kalau lakuin kesalahan. Meskipun Senja bukan anak kandung ayah, ayah harap kamu perlakukan dia seperti kamu memperlakukan Mentari.""Iya Ayah," kata Juan patuh. "Juan akan lakuin apa yang ayah minta."Tak lama mengobrol, setelahnya Juan juga Senja bergegas menuju mobil dan dalam hitungan menit, keduanya pergi meninggalkan rumah menuju jalan tol yang akan membawa mereka ke Bandung.Tak pulang bersama anak-anak, Juan dan Senja kini hanya berdua karena sebelum mereka pulang, kedua anak Juan lebih dulu dibawa supir menuju Bandung.Tak ada canggung, perjalanan sore ini mereka isi dengan obrolan santai. Melihat bagaimana sang suami bertutur, rasanya Senja semakin tertarik. Tanpa sadar, ia sesekali mencuri pandang ke arah Juan yang fokus mengemudi.
Menempuh perjalanan selama tiga jam nonstop, Senja dan Juan tiba sekitar pukul delapan malam di rumah. Dilanda rasa lelah, keduanya memutuskan untuk pergi ke kamar.Juan menyambut Senja dengan sangat baik bahkan lemari kosong untuk menyimpan pakaian pun disiapkan. Setelah beristirahat, Senja akhirnya memutuskan untuk beres-beres.
"Mas mandi dulu ya," ucap Juan di tengah kegiatan Senja membereskan pakaian. "Enggak mandi sebelum tidur rasanya enggak nyaman.""Iya, Mas. Nanti aku nyusul.""Enggak mau bareng aja?" tanya Juan yang membuat kedua pipi Senja bersemu merah. "Biar lebih irit waktu.""Mas, apa sih? Enggak usah ngaco deh.""Kenapa ngaco? Kita sah suami istri.""Ya iya, cuman kan ... ah, udah deh sana mandi. Nanti aku siapin baju tidur kamu di kasur," ucap Senja."Bisa emangnya?""Mas." Senja mendesah. "Aku emang jauh lebih muda dari Mas, tapi aku juga bukan remaja belasan tahun kali. Umurku dua puluh dua. Jadi bisalah. Aman.""Ya udah kalau gitu Mas mandi dulu.""Yang bersih."Juan tertawa. "Siap."Pria itu masuk ke kamar mandi, sementara Senja sendiri melanjutkan kegiatannya. Setelah semua selesai, dia beralih ke lemari pakaian milik Juan untuk memilah piyama tidur yang akan pria itu pakai.Mengambil piyama satin berwarna biru, Senja menyimpannya di kasur. Selang beberapa menit, Juan keluar dengan tubuh yang terlihat segar.Sempat merasa malu karena Juan bertelanjang dada, Senja pada akhirnya memberanikan diri untuk melihat sang suami. Ia tersipu.Setelahnya, mereka berinteraksi seperti biasa. Di tengah kegiatan sang suami memakai baju, Senja tiba-tiba saja dibuat kaget saat Juan mendadak berkata, "Mau tidur sama Mas enggak malam ini?"
"Bukannya aku emang tidur sama Mas ya di kamar ini?" tanya Senja dengan sikap polosnya—membuat Juan tentu saja tersenyum."Bukan itu, Nja," kata Juan mengoreksi. "Tidur yang Mas maksud tuh lain.""Hah?""Kayanya kita perlu mengawali hubungan kita dengan itu deh," kata Juan. "Orang bilang making love tuh bisa bikin perasaan cinta gampang tumbuhnya. Mas pikir enggak ada salahnya kita coba.""T-tap—""Enggak siap?" tanya Juan sambil mencondongkan badan ke arah Senja yang tentu saja membuat perempuan itu dilanda rasa kaget. "Mas bisa bimbing kamu. Mas berpengalaman dan Mas tahu gimana cara memperlakukan seorang perempuan di atas ranjang. Kamu enggak usah takut."
Tak menjawab, Senja hanya memandang Juan dengan perasaan gugup. Pertanyaan mau atau tidaknya berhubungan badan kembali dilontarkan pria itu—membuat Senja pada akhirnya mengangguk pelan.Setelah itu perintah untuk berdiri didapatnya, sehingga dia pun patuh dan dalam waktu yang cepat, Juan menarik pinggang Senja agar lebih rapat.
Seolah belum cukup rasa kaget Senja, setelahnya gadis dua puluh dua tahun itu kembali terbelalak setelah Juan mendaratkan ciuman di bibirnya. Tak sekadar menempel, ciuman tersebut perlahan semakin dalam.Kaget, awalnya Senja pasrah tanpa melakukan balasan apa-apa hingga pada akhirnya keberanian untuk membalas pun muncul—membuat dia pada akhirnya mulai melayani permainan Juan. Bahkan kedua tangan yang semula menganggur, perlahan naik kemudian berlabuh di pinggang sang suami.Ciuman itu semakin intens dan dalam. Juan membaringkan Senja di atas tempat tidur. Tak melakukan perlawanan, Senja pasrah pada apa yang dilakukan sang suami, bahkan ketika pada akhirnya Juan menanggalkan pakaian miliknya, Senja tak menolak.Hanyut, Senja semakin tenggelam dalam permainan Juan. Setiap sentuhan yang pria itu berikan rasanya mampu membuat dia terbakar. Senja semakin menikmati semua itu."Mas Juan..."Setelah puas dengan ciuman, perlahan Juan turun untuk menyentuh titik-titik sensitif Senja menggunakan bibirnya. Meskipun malu, desahan beberapa kali lolos dari bibir Senja.Saat Senja hampir mencapai puncak karena sentuhan yang dia berikan, Juan tiba-tiba berhenti. Hal tersebut tentunya membuat Senja memberikan tatapan penuh tanya.
"Mas?""Kenapa? Kaget ya karena saya mendadak berhenti?" tanya Juan yang kini duduk di depan Senja yang tentunya masih berbaring. "Apa kamu pikir malam ini akan ada kegiatan bercinta?""Maksud Mas apa?" tanya Senja. "Bukannya tadi Mas—""Kamu terjebak," celetuk Juan dengan senyuman miring bahkan raut wajah yang juga terlihat dingin. "Kamu berhasil masuk ke dalam jebakan saya Senja."
Kening Senja berkerut. "Mas—"
"Saya bahagia karena meskipun belum apa-apa, setidaknya saya sudah sedikit membalas rasa sakit hati saya pada Mentari."
Bingung sekaligus kaget, itulah yang Senja rasakan. Dia beringsut menutup tubuhnya menggunakan selimut sambil memandang Juan penuh tanya.
"Jelasin sama aku apa maksud dari ucapan Mas barusan," ucap Senja dengan suara bergetar. Gadis itu tidak bisa menutupi rasa terkejut dan gugupnya. "Jebakan, terjebak, sakit hati sama Kak Mentari. Itu maksudnya apa, Mas?"Juan kembali tersenyum miring sebelum berkata, "Kamu pikir tujuan saya menikahi kamu itu untuk membangun cinta? Enggak, Senja." Pria tampan itu mendenguskan tawa sinis. "Saya enggak punya niatan untuk mencintai kamu. Saya menikahi kamu untuk balas dendam."
"Apa?" tanya Senja dengan raut wajah takut yang kini begitu kentara. "Dendam? Aku ada salah apa sampai Mas Juan dendam sama aku?"***Prak!Senja seketika meringis tatkala belasan atau mungkin puluhan foto cetak berukuran sedang mendarat di atas kepalanya. Tak melayang sendiri, foto-foto tersebut sengaja dilemparkan Juan sebagai bukti perselingkuhan Mentari yang katanya berlangsung selama setahun.Terjebak setelah sebelumnya terjerat, hal itulah yang terjadi pada Senja karena usai dibuat meleleh berkali-kali oleh sikap manis Juan, malam ini dia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang nasib dirinya yang sengaja dijadikan bahan balas dendam untuk pengkhianatan sang kakak."Itu bukti-bukti perselingkuhan kakak kamu dan silakan lihat satu-persatu biar kamu tahu seberapa menjijikannya perbuatan Mentari selama satu tahun terakhir."Tak buka suara, Senja yang sudah memakai bajunya kembali lantas mengambil satu-persatu foto di atas kasur untuk dia lihat. Mulai dari berpelukan bahkan berciuman, semua itu ada di foto dan hal tersebut membuat Senja tak habis pikir karena jika
***"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad
***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj
***"Hey, bangun. Di sini bukan tempat buat malas-malasan."Tidur dengan posisi meringkuk, Senja perlahan membuka mata setelah suara Juan terdengar dari dekat. Mengerjap sambil meresapi rasa pusing, dia beringsut dan yang pertama didapatinya ketika duduk adalah; Juan.Berdiri layaknya bos, pria itu memasang raut wajah datar dan hal tersebut membuat Senja kembali teringat pada semua kejadian semalam termasuk fakta perselingkuhan Mentari yang dibongkar habis-habisan oleh Juan."Mas Juan.""Kamu emang semalas ini ya?" tanya Juan. "Jam udah ada di angka enam, tapi kamu belum bangun. Perempuan macam apa kamu?""Aku capek, Mas," kata Senja. "Lagian tidur di lantai bikin aku susah ngantuk semalam. Jadi aku baru bisa tidur jam-""Saya enggak peduli," potong Juan. "Apa pun alasannya, saya enggak mau tahu karena yang saya pengen, kamu bikinin sarapan buat anak-anak sebelum ke sekolah.""Sarapan?""Ya," kata Juan.
***"Mas enggak izinin kamu punya perasaan apa pun sama Senja karena dia istri Mas sekarang dan kamu harusnya ngerti itu."Setelah dilanda shock usai mendengar ungkapan sang adik, ucapan bernada serius lantas dilontarkan Juan pada Gian yang kini berdiri persis di depannya.Namun, alih-alih terintimidasi oleh ucapan yang dia katakan, Gian justru tersenyum miring—membuat Juan kembali buka suara."Kenapa senyum kamu? Ucapan Mas ada yang lucu?""Jelas ada," ucap Gian. "Mas bilang Senja istri Mas, tapi perilaku yang Mas tunjukin ke dia justru enggak mencerminkan kalau Mas suaminya. Mas perlakukan dia kaya pembantu. Padahal, ke Om Haikal Mas janji buat bahagiain dia. Apa itu enggak lucu?""Kamu enggak tahu apa yang Mas rasakan belakangan ini, Gian," ucap Juan. "Mentari selingkuhi Mas selama setahun bahkan sebelum meninggal, dia ciuman sama selingkuhannya dan-""Itu kesalahan Kak Mentari, Mas, bukan Senja!" ujar Gian dengan sua
***"Papa mau ke mana?"Barusaja sampai di tangga setelah sebelumnya memakai pakaian rapi, Juan mau tak mau berhenti setelah panggilan tersebut dilontarkan Caca—sang putri bungsu dari belakang."Caca," panggil Juan lembut. "Papa mau buka kunci gerbang nih, Caca udah siap?""Udah nih.""Ya udah samperin dulu Kak Kiran gih, nanti setelah Papa siap, Papa panggil Caca.""Oke, Pa."Sang putri bungsu manut, Juan melanjutkan langkahnya. Menuruni satu persatu undakkan tangga, tujuan dia sekarang adalah Senja yang dimintanya menunggu di post satpam.Selesai mandi selang beberapa menit pasca Gian datang, Juan memutuskan untuk bersiap-siap hingga di tengah kegiatannya memakai kemeja, entah kenapa keinginan untuk pergi ke balkon kamar tiba-tiba saja datang.Berjalan sambil mengancingkan kemeja, Juan pada akhirnya tahu alasan di balik keinginannya tersebut setelah melihat Senja berlari ke arah gerbang. Tak panik mes
***"Baik-baik ya di sini. Jangan coba kabur karena kalau nekad kaya tadi, hukumannya bakalan lebih berat."Berdiri dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang kini duduk di sebuah kursi di gudang.Tak bebas, kedua tangan Senja terikat kain bahkan tak hanya itu, Juan juga membekap mulut istrinya menggunakan sapu tangan agar ketika dia pergi, Senja tak akan kabur.Terlibat perdebatan dengan Senja beberapa waktu lalu, dua opsi memang diberikan Juan untuk adik mendiang Mentari tersebut. Tak langsung mendapat jawaban karena Senja yang katanya butuh waktu, Juan tak memaksa. Namun, untuk sekadar memberikan waktu pada sang istri, dia tak mau melakukannya secara gratis sehingga bayaran pun disebutkannya. Tak berbentuk uang, bayaran yang Juan maksud adalah; bersedianya Senja dikurung digudang sampai nanti sore.Bingung, Senja patuh sehingga tanpa perlawanan, dia pasrah diikat bahkan dibekap Juan tanpa ingat jika setelah ini dia akan merasa lapa
***"Om Gian lagi banyak pikiran ya? Daritadi aku perhatiin kayanya diam terus deh."Setelah sejak tadi suasana mobil hening, pertanyaan tersebut lantas Gian dapatkand dari sang keponakan yang berada persis di samping kirinya. Tak lagi bersama Caca, di mobil kini hanya tinggal Gian dan Kirania karena memang sang keponakan bungsu turun sepuluh menit lalu di sekolahnya.Tak banyak mengoceh, pagi ini di jalan Gian memang lebih banyak diam. Bukan tanpa alasan, hal tersebut terjadi setelah sejak tadi informasi tentang di mana Senja tak didapatkannya—membuat rasa khawatir jelass datang.Bertanya pada Juan, hasilnya sia-sia karena alih-alih memberitahu keberadaan Senja, sang kakak justru berkilah tak tahu sehingga tak terus memaksa, Gian akhirnya menyerah untuk bertanya."Enggak," kata Gian. "Cuman ya lagi males ngomong aja. Enggak ada topik pembicaraan juga, kan?""Enggak ada masalah sama pacar?"Gian tersenyum mirin