***
"Jangan nangis terus biar matanya enggak sembab. Kalau Ayah tahu kamu nangis, nanti Mas yang kena."Terus terisak sepanjang perjalanan, Senja menoleh setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dari balik kemudi.Tak sedang di kamar, saat ini dia dan sang suami tengah berada di perjalanan menuju sebuah hotel tempat Davion menginap, karena memang setelah tak bisa menghubungi sang kekasih sejak kemarin, pagi ini Senja mendapatkan informasi tentang keberadaan Davion bahkan foto-foto pria itu yang tengah terlelap dengan seorang perempuan tanpa menggunakan busana.
Melabrak Davion, itulah tujuan Senja sekarang. Diselingkuhi begini dia tentunya tak terima dan karena Juan tahu apa yang terjadi, pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya."Ya gimana enggak nangis? Pacar aku tidur sama perempuan lain!" ucap Senja sambil terus mengusap air mata di pipi menggunakan tisu yang dia bawa. "Aku sama Davi pacaran hampir setahun, Mas, dan sekarang aku sakit hati. Aku enggak nyangka dia sejahat itu sama aku."
"Sabar," ucap Juan menenangkan. Tak hanya dengan ucapan, sebuah usapan di bahu lantas dia berikan dan hal tersebut perlahan membuat Senja tenang."Ini mungkin jalan terbaik yang Tuhan kasih buat kamu. Tuhan sengaja kasih lihat kelakuan Davi biar kamu enggak terus lanjutin hubungan sama dia karena kalau terus berlanjut, kamu bakalan lebih sakit dari sekarang."
Tak menimpali lagi ucapan Juan, Senja hanya terus terisak hingga setelah setengah jam di jalan, dia juga Juan sampai di tempat tujuan. Tanpa banyak menunda, Senja pun turun diikuti sang suami yang kini mengikutinya.Masuk ke dalam lobi, tujuan Senja sekarang adalah meja resepsionis. Namun, belum sampai dia si sana, kedatangan Davion lebih dulu menarik atensi sehingga selanjutnya yang dia lakukan adalah; menghampiri sang kekasih dengan emosi mendidih."Senja."Plak!"Jahat kamu!" ujar Senja yang tanpa ragu mendaratkan tamparan di pipi Davion sesampainya dia di dekat sang kekasih. "Aku pikir kamu beneran setia sama aku, tapi nyatanya kamu malah lakuin hal semenjijikan ini. Brengsek!""Nja, kamu tahu dari mana?" tanya Davion—mengabaikan gelenyar perih di pipi yang diciptakan Senja beberapa detik lalu. "Aku bisa jelasin semuanya, Nja. Apa yang kamu lihat enggak—""Cukup, Davion!" bentak Senja tanpa ragu. "Aku enggak mau dengar penjelasan apa pun dari kamu karena buat aku semuanya udah jelas! Kamu tidur sama perempuan lain dan kamu enggak pake baju. Orang bodoh pun tahu apa yang kamu lakuin. Jadi enggak usah sok baik karena aku jijik sama kamu!"
"Nja, please!""Jangan sentuh aku!" bentak Senja sambil menjauhkan lengannya yang hampir di raih oleh Davion. "Aku pikir kamu tulus tahu enggak? Aku pikir kamu juga beneran cinta dan setia, tapi ternyata kamu khianatin aku. Aku enggak suka dikhianatin, Davion! Aku benci!""Nja, dengerin dulu aku, Nja. Aku—""Kita putus," potong Senja yang pada akhirnya mengambil keputusan. "Persetan apa pun alasan kamu sampai bisa tidur dengan perempuan lain, aku mau kita udahan dan mulai hari ini kita enggak ada hubungan apa pun. Jadi jangan pernah temui aku lagi karena aku muak sama kamu."
"Tolong jangan kaya gini, Nja, aku sayang sama kamu dan—""Mas, ayo kita pergi," ajak Senja pada Juan. Ia tanpa ragu meraih telapak tangan Juan, sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Davion begitu saja.
Mengabaikan panggilan sang kekasih, Senja terus menarik Juan menuju mobil. Setibanya di kendaraan yang mereka bawa, Senja segera masuk, tidak mengindahkan Davion yang mengejar untuk memberikan penjelasan."Ayo, Mas!""Iya sebentar, Nja. Mas nyalain dulu mesin."Sempat dilanda rasa gugup, pada akhirnya Juan berhasil membawa mobilnya pergi meninggalkan hotel. Tangis kembali pecah dari sang istri.Tak berusaha menenangkan, Juan memilih untuk terus fokus mengemudi. Ia baru berhenti saat menemukan jalanan sepi, membuat Senja tentunya buka suara."Kenapa berhenti, Mas?""Biar kamu bisa puasin dulu nangis di sini sebelum ke rumah. Kalau udah di rumah, kamu enggak akan bebas," ucap Juan sambil memandang Senja. "Ayah enggak tahu hubungan kamu sama Davi, jadi beliau akan nyangka kita ada masalah kalau lihat kamu nangis. Jadi di sini aja kalau mau nangis, Mas temenin.""Mas.""Butuh pelukan?" tanya Juan. "Semuanya pasti berat buat kamu.""Emang boleh?""Mas suami kamu sekarang, Senja. Of course boleh," kata Juan sambil tersenyum sehingga pada akhirnya Senja pun menerima tawaran untuk memeluk suaminya itu.Rasanya hangat.
Meskipun sakit yang diciptakan Davion masih terasa, sedikit demi sedikit Senja merasa kehangatan menjalar di tubuhnya tatkala tubuh besar Juan memberikan dekapan erat di tubuh kecilnya.Apa ini cinta? Ah, sepertinya tidak mungkin.Senja memang mengagumi sosok Juan, tapi rasanya terlalu tak masuk akal jika dia jatuh cinta pada Juan secepat ini karena kemarin ketika mereka menikah, Senja bahkan tak merasa bahagia sama sekali. Dia ingin menangis karena menikah dengan Juan membuatnya mengkhianati Davion.Namun, hari ini rasanya benar-benar berbeda karena pelukan Juan perlahan membuatnya nyaman."Mas."Setelah terisak untuk beberapa saat dengan Juan yang terus berusaha menenangkannya, Senja buka suara dan hal tersebut tentunya membuat sang suami lekas menjawab."Ya?""Mas serius mau belajar mencintai aku seperti yang Mas omongin seminggu lalu bahkan semalam?" tanya Senja—mengingat lagi beberapa penuturan Juan."Iya, Mas serius," ucap Juan. "Kenapa? Kamu juga mau buka hati buat Mas?""Boleh emang?"Juan terkekeh. "Ya bolehlah, masa enggak?" tanyanya. "Justru bagus karena kalau kamu juga mau belajar, Mas berarti enggak berjuang sendirian. Iya enggak?"Melepas pelukan Juan secara perlahan, itulah yang Senja lakukan sebelum akhirnya berkata sambil memandang Juan."Ajarin aku buat jatuh cinta sama kamu, Mas," kata Senja. "Aku janji bakalan serius belajar kalau kamu juga mau ajarin aku. Tapi mungkin enggak akan cepat karena aku masih ingat Davion.""Oke," kata Juan. "Mas bakalan bikin kamu jatuh cinta sama, Mas, tapi sebelum itu gimana kalau nanti sore kita pulang ke Bandung? Kita mulai rumah tangga kita di sana karena Mas pikir enggak ada alasan lagi kamu di sini.""Bandung?""Ya, Bandung, rumah Mas," kata Juan. "Mas mau kamu tinggal di sana biar kita bisa sama-sama belajar buat bangun rumah tangga yang baik."Tak menjawab, yang dilakukan Senja setelahnya justru memandang Juan dengan lekat sambil berpikir. Bukan keputusan mudah, rasanya dia harus benar-benar matang memikirkannya.Setelah beberapa detik berlalu, Juan kembali buka suara—melontarkan pertanyaan yang tentunya harus Senja jawab.
Pria tampan itu mengusap puncak kepala Senja dengan lembut. "Gimana, Nja, mau kan ikut dan tinggal sama Mas di Bandung?"
***"Kami pamit ya, Yah, Bun. Kalian jaga kesehatan di sini."Sambil mencium punggung tangan kedua mertua, ucapan tersebut lantas dikatakan Juan ketika sore ini dia dan Senja siap pulang ke Bandung.Patah hati pasca putus dari Davion, Senja mengambil keputusan untuk mulai menerima pernikahannya dengan Juan. Mengungkap niat untuk belajar mencintai suaminya tersebut, dia mengambil langkah awal dengan bersedia tinggal di Bandung bersama Juan dan karena senin besok sang suami harus kembali ke kantor. Jadi hari Minggu sore ini, Senja dan Juan berpamitan."Kalian hati-hati juga di jalan," ucap sang ayah pada mereka. Ia beralih pandang ke arah sang menantu, sambil berkata, "Titip Senja ya. Bimbing dia dan tegur dia secara baik kalau lakuin kesalahan. Meskipun Senja bukan anak kandung ayah, ayah harap kamu perlakukan dia seperti kamu memperlakukan Mentari.""Iya Ayah," kata Juan patuh. "Juan akan lakuin apa yang ayah minta."Tak lama mengobrol, setelahnya Juan juga Senja bergegas menuju mobil
***Prak!Senja seketika meringis tatkala belasan atau mungkin puluhan foto cetak berukuran sedang mendarat di atas kepalanya. Tak melayang sendiri, foto-foto tersebut sengaja dilemparkan Juan sebagai bukti perselingkuhan Mentari yang katanya berlangsung selama setahun.Terjebak setelah sebelumnya terjerat, hal itulah yang terjadi pada Senja karena usai dibuat meleleh berkali-kali oleh sikap manis Juan, malam ini dia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang nasib dirinya yang sengaja dijadikan bahan balas dendam untuk pengkhianatan sang kakak."Itu bukti-bukti perselingkuhan kakak kamu dan silakan lihat satu-persatu biar kamu tahu seberapa menjijikannya perbuatan Mentari selama satu tahun terakhir."Tak buka suara, Senja yang sudah memakai bajunya kembali lantas mengambil satu-persatu foto di atas kasur untuk dia lihat. Mulai dari berpelukan bahkan berciuman, semua itu ada di foto dan hal tersebut membuat Senja tak habis pikir karena jika
***"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad
***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj
***"Hey, bangun. Di sini bukan tempat buat malas-malasan."Tidur dengan posisi meringkuk, Senja perlahan membuka mata setelah suara Juan terdengar dari dekat. Mengerjap sambil meresapi rasa pusing, dia beringsut dan yang pertama didapatinya ketika duduk adalah; Juan.Berdiri layaknya bos, pria itu memasang raut wajah datar dan hal tersebut membuat Senja kembali teringat pada semua kejadian semalam termasuk fakta perselingkuhan Mentari yang dibongkar habis-habisan oleh Juan."Mas Juan.""Kamu emang semalas ini ya?" tanya Juan. "Jam udah ada di angka enam, tapi kamu belum bangun. Perempuan macam apa kamu?""Aku capek, Mas," kata Senja. "Lagian tidur di lantai bikin aku susah ngantuk semalam. Jadi aku baru bisa tidur jam-""Saya enggak peduli," potong Juan. "Apa pun alasannya, saya enggak mau tahu karena yang saya pengen, kamu bikinin sarapan buat anak-anak sebelum ke sekolah.""Sarapan?""Ya," kata Juan.
***"Mas enggak izinin kamu punya perasaan apa pun sama Senja karena dia istri Mas sekarang dan kamu harusnya ngerti itu."Setelah dilanda shock usai mendengar ungkapan sang adik, ucapan bernada serius lantas dilontarkan Juan pada Gian yang kini berdiri persis di depannya.Namun, alih-alih terintimidasi oleh ucapan yang dia katakan, Gian justru tersenyum miring—membuat Juan kembali buka suara."Kenapa senyum kamu? Ucapan Mas ada yang lucu?""Jelas ada," ucap Gian. "Mas bilang Senja istri Mas, tapi perilaku yang Mas tunjukin ke dia justru enggak mencerminkan kalau Mas suaminya. Mas perlakukan dia kaya pembantu. Padahal, ke Om Haikal Mas janji buat bahagiain dia. Apa itu enggak lucu?""Kamu enggak tahu apa yang Mas rasakan belakangan ini, Gian," ucap Juan. "Mentari selingkuhi Mas selama setahun bahkan sebelum meninggal, dia ciuman sama selingkuhannya dan-""Itu kesalahan Kak Mentari, Mas, bukan Senja!" ujar Gian dengan sua
***"Papa mau ke mana?"Barusaja sampai di tangga setelah sebelumnya memakai pakaian rapi, Juan mau tak mau berhenti setelah panggilan tersebut dilontarkan Caca—sang putri bungsu dari belakang."Caca," panggil Juan lembut. "Papa mau buka kunci gerbang nih, Caca udah siap?""Udah nih.""Ya udah samperin dulu Kak Kiran gih, nanti setelah Papa siap, Papa panggil Caca.""Oke, Pa."Sang putri bungsu manut, Juan melanjutkan langkahnya. Menuruni satu persatu undakkan tangga, tujuan dia sekarang adalah Senja yang dimintanya menunggu di post satpam.Selesai mandi selang beberapa menit pasca Gian datang, Juan memutuskan untuk bersiap-siap hingga di tengah kegiatannya memakai kemeja, entah kenapa keinginan untuk pergi ke balkon kamar tiba-tiba saja datang.Berjalan sambil mengancingkan kemeja, Juan pada akhirnya tahu alasan di balik keinginannya tersebut setelah melihat Senja berlari ke arah gerbang. Tak panik mes
***"Baik-baik ya di sini. Jangan coba kabur karena kalau nekad kaya tadi, hukumannya bakalan lebih berat."Berdiri dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan pada Senja yang kini duduk di sebuah kursi di gudang.Tak bebas, kedua tangan Senja terikat kain bahkan tak hanya itu, Juan juga membekap mulut istrinya menggunakan sapu tangan agar ketika dia pergi, Senja tak akan kabur.Terlibat perdebatan dengan Senja beberapa waktu lalu, dua opsi memang diberikan Juan untuk adik mendiang Mentari tersebut. Tak langsung mendapat jawaban karena Senja yang katanya butuh waktu, Juan tak memaksa. Namun, untuk sekadar memberikan waktu pada sang istri, dia tak mau melakukannya secara gratis sehingga bayaran pun disebutkannya. Tak berbentuk uang, bayaran yang Juan maksud adalah; bersedianya Senja dikurung digudang sampai nanti sore.Bingung, Senja patuh sehingga tanpa perlawanan, dia pasrah diikat bahkan dibekap Juan tanpa ingat jika setelah ini dia akan merasa lapa