***
"Hai, Sayang."Alih-alih membalas sapaan, Senja justru sedikit menggeram setelah di depan rumahnya kini—persis di balik sebuah pohon berukuran sedang, seorang pria berdiri dengan senyuman melengkung di bibir.Bukan orang lain, dia adalah Davion—kekasih Senja yang beberapa menit lalu menelepon dan tentunya karena panggilan dari dia, Senja mau tak mau berbohong dengan berkata jika ada kurir paket yang mencarinya sehingga tanpa banyak menunda, dia pergi meninggalkan keluarganya di ruang tengah."Kamu ngapain ke sini mendadak?" tanya Senja sesampainya di dekat Davion. Tak diam, dia meraih tangan kekasihnya itu bahkan memberikan tarikan agar menjauh dari area rumah. "Kan kamu tahu sendiri ayah enggak suka kamu. Kalau diusir gimana?""Aku mau ketemu sama ayah kamu," ucap Davion yang justru tersenyum. "Papa aku baru aja dapat warisan dari mendiang Opa dan aku dapat jatahnya seratus juta. Jadi rencananya aku mau lamar kamu. Gimana, mau, kan?""Bercanda kamu?" tanya Senja yang tentu saja dilanda rasa kaget."Kok bercanda sih, Nja? Seriuslah," kata Davion tanpa melunturkan senyuman di bibirnya. "Ayah kamu kan enggak ngerestuin aku karena aku enggak punya kerjaan. Nah, sekarang aku emang belum punya kerja, tapi aku ada uang buat nikahin kamu. Jadi ayo bawa aku ketemu Ayah dan-""Davion jangan," potong Senja yang refleks meraih lengan Davion usai kekasihnya tersebut melangkah begitu saja, dan apa yang dia lakukan tentunya berhasil membuat sang kekasih dilanda rasa penasaran."Kok jangan sih, Nja?" tanya Davion. "Kamu enggak mau emangnya nikah sama aku? Katanya cinta, diajak nikah kok enggak mau? Ada gebetan lain ya?""Enggak usah sembarangan deh!" seru Senja yang seketika dilanda rasa gugup karena pertanyaan Davion membuat dia teringat pada lamaran Juan bahkan keputusannya untuk mau dinikahi sang kakak ipar. "Mana ada aku punya gebetan.""Terus kenapa larang aku buat ketemu Ayah?" tanya Davion. "Baik lho niat aku ini. Masa dihalangi?""Ya aku tahu, tapi kalau niat kamu ketemu Ayah buat minta izin nikahin aku, waktunya enggak tepat karena Ayah lagi ada tamu.""Siapa?" tanya Davion sambil menaikkan sebelah alis. "Bukan cowok lain yang lagi lamar kamu, kan?""Apa sih kamu?!" tanya Senja dengan rasa kesal yang kini datang karena entah bagaimana bisa, tebakan-tebakan Davion benar.Namun, tentunya Senja tak bisa berkata jujur karena setidaknya sampai dia menemukan solusi untuk hubungannya dengan Davion, lamaran bahkan rencana pernikahan dia dan Juan harus dirahasiakan dari sang kekasih."Kok nyolot sih, Nja?" tanya Davion. "Mana gugup juga mukanya? Kaya beneran aja kamu lagi dilamar orang.""Enggak usah ngaco kamu," ucap Senja. "Siapa emang yang lamar aku orang kamu yang notabenenya pacar aku aja ada di sini. Aneh.""Ya udah kalau kamu emang enggak lagi dilamar orang, izinin aku masuk dan ketemu Ayah buat ungkapin niat baik aku," ucap Davion. "Enggak langsung nikah deh, tapi lamaran dulu. Gimana, setuju?"Tak menjawab, Senja justru diam dengan perasaan bingung dan hal tersebut tentunya membuat Davion kembali bertanya,"Kenapa diem? Enggak lagi sembunyiin sesuatu, kan? Kalau iya mendingan jujur karena bohong itu enggak ba-""Ada apa kok kaya lagi berantem?"Tak selesai Davion bicara, sebuah pertanyaan tiba-tiba saja terdengar dari jarak tak jauh—membuat dia mau pun Senja tentunya mengalihkan atensi dan di luar dugaan, yang datang menghampiri dia juga Senja sekarang adalah Juan.Entah bagaimana Juan bisa menyusul, Senja tak tahu. Namun, yang jelas rasa takut sang kakak ipar membongkar semuanya di depan Davion kini muncul—membuat degupan jantung perempuan dua puluh dua tahun tersebut seketika tak tenang."Mas Juan.""Kakak ipar kamu kan ya ini?" tanya Davion pada Senja. Tak menunggu jawaban, setelahnya dia beralih pada Juan kemudian tanpa canggung Davion mengulurkan tangan. "Davion, pacarnya Senja.""Juandra Bimasena," ucap Juan—ikut memperkenalkan diri."Oh ya, Mas Juan, ayah sama bunda ada enggak?" tanya Davion. "Saya pengen ketemu mereka buat lamar Senja.""Ayah sama Bunda?" tanya Juan. "Ada, tapi kami lagi ada pembahasan tentang mendiang kakaknya Senja. Jadi rasanya kurang tepat kalau kamu lamar Senja sekarang karena kondisi hati kedua orang tua Senja lagi enggak baik.""Oh gitu ya?" tanya Davion. Beralih pada Senja, setelahnya dia bertanya, "Kok enggak bilang sih kalau kamu sama orang tua kamu lagi bahas mendiang kakak kamu? Tahu gitu kan aku enggak akan maksa.""Gimana aku mau bilang kalau kamu maksa terus buat masuk?" tanya Senja. "Setiap aku mau jelasin, kamu selalu maksa pengen ketemu Ayah sama Bunda.""Iya deh iya aku yang salah," kata Davion. "Aku enggak tahu dan aku minta maaf.""Enggak apa-apa."Tak terlalu lama mengobrol, setelahnya Davion yang merasa sudah mengganggu obrolan serius Senja dan keluarganya memutuskan untuk berpamitan pulang dan dalam hitungan menit, pria itu pergi dengan kendaraannya—meninggalkan Senja dan Juan yang kini bersebelahan."Apa ini salah satu alasan kamu enggak mau menerima lamaran Mas, Nja?" tanya Juan yang seketika membuat Senja menoleh kemudian memandangnya."Iya," kata Senja. "Aku udah punya pacar makanya aku nolak lamaran Mas karena aku sayang sama pacar aku cuman ayah enggak setuju makanya aku pura-pura udah putus.""Kenapa ayah enggak setuju?""Karena dia belum kerja. Padahal, Davion juga lagi berusaha buat cari kerja," ucap Senja. "Aku udah yakinin ayah buat setuju, tapi ayah tetap enggak mau. Jadi aku bilangnya udah putus.""Dan tadi Davion mau bongkar hubungan kalian?""Iya," kata Senja. "Davi mau bongkar bahkan lamar aku ter-""Mau biayain kamu pake apa kalau kerjaan aja enggak punya?" tanya Juan dengan tatapan intensnya sebelum kemudian dia melakukan sesuatu di luar dugaan Senja yaitu; meraih telapak tangan gadis di depannya bahkan memberikan genggaman—membuat Senja tentu saja kaget.Namun, sialnya Senja seolah kehilangan kekuatan untuk melepaskan genggaman sang kakak ipar sehingga yang dia lakukan justru pasrah."Mas bisa jadi suami yang jauh lebih baik buat kamu setelah kita menikah nanti dan Mas janji akan memperlakukan kamu sebaik mungkin seperti Mas memperlakukan Mentari.""Mas," panggil Senja dengan degupan jantung yang lagi-lagi tak menentu bahkan tak hanya itu, gelenyar aneh pun kini muncul—membuat dia bingung dengan perasaannya sendiri."Ini berat buat kita, Nja, tapi mungkin ini yang dinamakan takdir dan Mas harap kamu mau menerima takdir yang udah digariskan Tuhan buat kita," ucap Juan yang rasanya membuat hati Senja menghangat. "Ayo belajar saling mencintai satu sama lain demi kebahagiaan kita dan mendiang kakak kamu karena inilah yang dia mau.""Aku punya pacar, Mas.""Dan Mas jauh lebih pantas buat kamu dari segi apa pun," ucap Juan."Tap-""Soal pertemuan kamu sama Davion, Mas pikir Ayah sama Bunda bakalan marah kalau tahu kamu masih punya hubungan sama dia.""Tolong jangan bilang ke ayah sama Bunda," kata Senja. "Seperti yang Mas lihat, Ayah lagi enggak baik dan-""Mas bisa jaga rahasia, tapi dengan satu syarat.""Apa?""Ayo menikah satu minggu dari sekarang dan Mas jamin hubungan kamu sama Davion aman.""Mas Juan..."***"Ish, Davion ke mana sih? Enggak biasanya deh dia ngilang seharian gini. Bikin khawatir aja."Duduk di tepi kasur, rutukan tersebut akhirnya dilontarkan Senja setelah Davion sang kekasih tak bisa dia hubungi baik itu lewat telepon mau pun chat yang bahkan sampai sekarang belum dibalas.Entah ke mana pria itu, Senja sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia dilanda rasa khawatir karena semenjak berpacaran dengannya, Davion tak pernah menghilang seharian penuh seperti sekarang."Kenapa sih? Mas dengar-dengar kayanya daritadi kamu ngerutuk terus."Sejak tadi fokus pada layar ponsel, selanjutnya Senja mengangkat pandangan setelah pertanyaan tersebut didapatkannya dari Juan yang kini duduk di depan meja belajar, dan alih-alih menjawab pertanyaan dari pria itu, Senja justru sedikit menunduk untuk memandang sebuah cincin yang kini tersemat di jari manis miliknya.Tak mau hubungan dia juga Davion terbongkar, minggu lalu Senja memang menerima tawaran dari Juan sehingga hari ini—tepatnya hari
***"Jangan nangis terus biar matanya enggak sembab. Kalau Ayah tahu kamu nangis, nanti Mas yang kena."Terus terisak sepanjang perjalanan, Senja menoleh setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dari balik kemudi. Tak sedang di kamar, saat ini dia dan sang suami tengah berada di perjalanan menuju sebuah hotel tempat Davion menginap, karena memang setelah tak bisa menghubungi sang kekasih sejak kemarin, pagi ini Senja mendapatkan informasi tentang keberadaan Davion bahkan foto-foto pria itu yang tengah terlelap dengan seorang perempuan tanpa menggunakan busana.Melabrak Davion, itulah tujuan Senja sekarang. Diselingkuhi begini dia tentunya tak terima dan karena Juan tahu apa yang terjadi, pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya."Ya gimana enggak nangis? Pacar aku tidur sama perempuan lain!" ucap Senja sambil terus mengusap air mata di pipi menggunakan tisu yang dia bawa. "Aku sama Davi pacaran hampir setahun, Mas, dan sekarang aku sakit hati. Aku enggak nyangka dia sejahat itu sa
***"Kami pamit ya, Yah, Bun. Kalian jaga kesehatan di sini."Sambil mencium punggung tangan kedua mertua, ucapan tersebut lantas dikatakan Juan ketika sore ini dia dan Senja siap pulang ke Bandung.Patah hati pasca putus dari Davion, Senja mengambil keputusan untuk mulai menerima pernikahannya dengan Juan. Mengungkap niat untuk belajar mencintai suaminya tersebut, dia mengambil langkah awal dengan bersedia tinggal di Bandung bersama Juan dan karena senin besok sang suami harus kembali ke kantor. Jadi hari Minggu sore ini, Senja dan Juan berpamitan."Kalian hati-hati juga di jalan," ucap sang ayah pada mereka. Ia beralih pandang ke arah sang menantu, sambil berkata, "Titip Senja ya. Bimbing dia dan tegur dia secara baik kalau lakuin kesalahan. Meskipun Senja bukan anak kandung ayah, ayah harap kamu perlakukan dia seperti kamu memperlakukan Mentari.""Iya Ayah," kata Juan patuh. "Juan akan lakuin apa yang ayah minta."Tak lama mengobrol, setelahnya Juan juga Senja bergegas menuju mobil
***Prak!Senja seketika meringis tatkala belasan atau mungkin puluhan foto cetak berukuran sedang mendarat di atas kepalanya. Tak melayang sendiri, foto-foto tersebut sengaja dilemparkan Juan sebagai bukti perselingkuhan Mentari yang katanya berlangsung selama setahun.Terjebak setelah sebelumnya terjerat, hal itulah yang terjadi pada Senja karena usai dibuat meleleh berkali-kali oleh sikap manis Juan, malam ini dia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang nasib dirinya yang sengaja dijadikan bahan balas dendam untuk pengkhianatan sang kakak."Itu bukti-bukti perselingkuhan kakak kamu dan silakan lihat satu-persatu biar kamu tahu seberapa menjijikannya perbuatan Mentari selama satu tahun terakhir."Tak buka suara, Senja yang sudah memakai bajunya kembali lantas mengambil satu-persatu foto di atas kasur untuk dia lihat. Mulai dari berpelukan bahkan berciuman, semua itu ada di foto dan hal tersebut membuat Senja tak habis pikir karena jika
***"Kalau nyucinya enggak selesai sekarang, besok lagi ya, Mas? Baju Mas Juan aja ini banyak, belum lagi baju anak-anak. Mesinnya enggak akan muat."Selesai membongkar pakaian Juan dari koper, Senja bertanya demikian pada sang suami yang kini duduk berselonjor di kasur. Tak boleh tidur sebelum mencuci pakaian, Senja pada akhirnya mematuhi perintah Juan karena tak sembarangan, ancaman pria itu adalah makam Mentari."Semua cucian harus selesai malam ini dan enggak cuman dicuci, kamu harus jemur semuanya, saya enggak mau tahu."Tak menoleh, Juan berkata demikian sambil fokus pada ponselnya dan hal tersebut membuat Senja mendengkus."Tapi ini udah malam, Mas.""Yang bilang siang memangnya siapa?" Juan balik bertanya. "Lagipula kamu ini istri dan mencuci pakaian sudah seharusnya jadi tugas kamu. Jadi jangan banyak protes dan lakuin aja apa yang saya minta."Dilanda rasa kesal, Senja meremas tumpukan baju Juan yang kini berad
***"Jadi kenapa kamu nangis? Suara kamu kedengaran sampai ke luar?"Tak langsung memberikan jawaban, yang Senja lakukan usai mendengar pertanyaan tersebut adalah; memandang Gian sambil terus mengusap air mata di kedua pipi.Berhenti menangis usai pria itu datang secara tiba-tiba, Senja dan Gian kini duduk berhadapan. Bukan orang asing, dia adalah adik kandung Juan yang selama ini tinggal bersama Juan dan Mentari."Enggak jawab lagi," ucap Gian setelah beberapa detik berlalu, Senja tak buka suara. "Kenapa, hey? Berantem sama Mas Juan?"Masih dengan raut wajah sendunya, Senja menggeleng. "Enggak," ucapnya bohong."Terus?"Senja menoleh ke arah kardus besar di belakangnya kemudian beralih pada Gian sambil memegang kardus tersebut. "Aku lagi nangisin ini.""Kardus?" tanya Gian dengan kening mengernyit. Sedikit beranjak untuk melihat, dia cukup terkejut setelah mendapati baju-baju Mentari di sana. "Lho, kok baju-baj
***"Hey, bangun. Di sini bukan tempat buat malas-malasan."Tidur dengan posisi meringkuk, Senja perlahan membuka mata setelah suara Juan terdengar dari dekat. Mengerjap sambil meresapi rasa pusing, dia beringsut dan yang pertama didapatinya ketika duduk adalah; Juan.Berdiri layaknya bos, pria itu memasang raut wajah datar dan hal tersebut membuat Senja kembali teringat pada semua kejadian semalam termasuk fakta perselingkuhan Mentari yang dibongkar habis-habisan oleh Juan."Mas Juan.""Kamu emang semalas ini ya?" tanya Juan. "Jam udah ada di angka enam, tapi kamu belum bangun. Perempuan macam apa kamu?""Aku capek, Mas," kata Senja. "Lagian tidur di lantai bikin aku susah ngantuk semalam. Jadi aku baru bisa tidur jam-""Saya enggak peduli," potong Juan. "Apa pun alasannya, saya enggak mau tahu karena yang saya pengen, kamu bikinin sarapan buat anak-anak sebelum ke sekolah.""Sarapan?""Ya," kata Juan.
***"Mas enggak izinin kamu punya perasaan apa pun sama Senja karena dia istri Mas sekarang dan kamu harusnya ngerti itu."Setelah dilanda shock usai mendengar ungkapan sang adik, ucapan bernada serius lantas dilontarkan Juan pada Gian yang kini berdiri persis di depannya.Namun, alih-alih terintimidasi oleh ucapan yang dia katakan, Gian justru tersenyum miring—membuat Juan kembali buka suara."Kenapa senyum kamu? Ucapan Mas ada yang lucu?""Jelas ada," ucap Gian. "Mas bilang Senja istri Mas, tapi perilaku yang Mas tunjukin ke dia justru enggak mencerminkan kalau Mas suaminya. Mas perlakukan dia kaya pembantu. Padahal, ke Om Haikal Mas janji buat bahagiain dia. Apa itu enggak lucu?""Kamu enggak tahu apa yang Mas rasakan belakangan ini, Gian," ucap Juan. "Mentari selingkuhi Mas selama setahun bahkan sebelum meninggal, dia ciuman sama selingkuhannya dan-""Itu kesalahan Kak Mentari, Mas, bukan Senja!" ujar Gian dengan sua