Rose mengerjap beberapa kali. Ia menelan ludah kasar ketika William menatap dirinya begitu dalam.
“Pak, bisakah Anda lepaskan saya?” katanya mencoba tidak terdengar gugup. Tubuhnya sudah tertahan di dinding dengan kedua tangan berada di atas kepala. “Ulangi apa yang kau katakan tadi?” Suara William terdengar parau, terlihat begitu menggoda dengan hidung mancungnya. “Pak, saya harus ke rumah Nicholas, ibunya–” “Ingin bertemu ibunya atau kekasihmu itu?” Rose menelan ludah lagi, ia gugup bukan karena merasa bersalah, tetapi karena aroma parfum William yang begitu lembut. “Saya sudah katakan, dia bukan kekasih saya lagi,” jelasnya, “tolong beri saya waktu beberapa jam untuk melihatnya.” William melepas cekalan tangannya pada lengan wanita yang baru saja dinikahi. Mundur beberapa langkah dan mengangguk. “Pergilah! Kau bisa meminta supir untuk menemanimu.” Rose melebarkan senyumnya, ia mengusap tangannya yang dicekal William. “Saya akan kembali sebelum tengah malam.” "Pergilah sebelum aku berubah pikiran." Tak ingin hal itu terjadi, Rose melewati William dengan langkah terburu. Wanita yang baru saja mengucap janji padanya seolah tak memedulikan status mereka. William memijat pangkal hidung dan berbalik. “Gadis itu, berapa sebenarnya usianya.” Ia berdecak, berjalan ke arah kursi kerjanya, kemudian menelpon Ethan untuk pekerjaan selanjutnya. Namun, ketika mengingat jika Rose keluar dari rumah bersama supir, ia kembali meminta Ethan untuk mengikuti secara diam-diam. ______ Di kediaman Nicholas, Diana bersedekap dengan wajah masam. Kegiatan mereka tertunda karena ibu Nicholas harus berdrama seperti biasa. “Ibu, makanlah satu sendok saja,” bujuk Nicholas mulai terlihat menyerah. “Bawa Rose ke hadapanku. Aku hanya ingin makan dari tangannya,” katanya menolak suapan dari sang putra. Nicholas berdiri, ia mengusap wajah kasar sembari mengumpat Rose diam-diam. Gadis kecil itu sudah mempengaruhi ibunya terlalu jauh. “Sayang,” rengek Diana seperti berbisik. “Tenang dulu, aku akan menelpon wanita kecil itu lagi,” katanya sudah merogoh ponsel, tetapi ketika pintu kamar terbuka, ia membuang napas lega. Diana berdecak, ia sungguh tidak menyukai kehadiran Rose di sekitarnya. Sementara itu, ibu Nicholas—Margaret begitu sumringah dengan kedua tangan menyambut kehadiran anak perempuannya. “Oh Sayang, aku sungguh merindukanmu,” katanya seperti ingin menangis. Rose melirik ke arah Nicholas dan Diana, keduanya seolah malas melihat kehadirannya. “Ibu, tolong maafkan aku,” kata Rose mengabaikan tatapan kesal Nicholas, “Ibu sudah makan?” Margaret menggeleng pelan. “Aku hanya ingin makan dari tanganmu, Nak. Lihatlah, bagaimana mereka memaksaku makan tetapi dengan tatapan mengerikan.” Rose melirik ke arah Nicholas dan Diana lagi. Keduanya bahkan dengan berani memamerkan kemesraan mereka di depan Margaret. Rose melirik meja, di sana sudah ada semangkuk sup dan nasi, hanya saja seketika Rose menyentuh permukaan mangkuk, ia bisa mengetahui jika sup tersebut sudah dingin. “Ibu, supnya sudah dingin. Bisakah Ibu menunggu beberapa menit sementara aku hangatkan?” Margaret mengangguk terharu. “Kau memang wanita yang baik, Rose. Sayang sekali, Nicholas tidak melihat itu darimu.” Rose tersenyum getir, ia begitu mencintai Nicholas, tetapi yang telah pria itu lakukan padanya, bukanlah hal yang harus dimaafkan. “Tunggu sebentar, ya Bu.” Rose meraih nampan yang berisi makanan dingin, kemudian Melawati Nicholas dan Diana begitu saja. Ia akan buktikan jika dirinya baik-baik saja setelah mereka berdua sakiti. Sampai di dapur, istri William itu langsung mengerjakan pekerjaannya. Ia tidak bisa membuang waktu lama, terlebih supir William masih menunggu di luar. “Aw!” Rose mengasih ketika tubuhnya terjatuh dan punggungnya membentur ujung kursi. Ia mendongak dan mendapati Diana menatap dirinya dengan tangan bersedekap di dada. “Apa kau sengaja datang untuk merebut hati Nicholas?” sinis Diana melangkah maju, ia menunduk dan mengapit dagu Rose dengan kuat. “Lepaskan tanganmu!” sentak Rose keras. “Kau!” tukas Diana kesal, “aku adukan pada Nicholas agar dia mengusirmu.” Rose berdiri dengan bantuan kursi di sebelahnya, kemudian membuang napas tak acuh. “Kau yang mendorongku, kenapa bersikap aku adalah penjahatnya.” Diana kembali membalik paksa punggung Rose yang membelakanginya. “Setelah tugasmu selesai, keluar dari rumah ini, kau tidak dibutuhkan lagi.” “Apa kau berguna?” balas Rose datar. Suara langkah seseorang menghentikan tangan Diana yang hendak menyentuh tubuh Rose lah, wanita itu berjalan mendekat ke arah Nicholas dengan memasang wajah yang masam. “Sayang, dia mengatakan aku tak terguna,” adunya pada Nicholas, “aku begitu sedih karena dia–” “Kau percaya jika aku mengatakan itu, Nich?” Nicholas dan Diana semakin maju. Sejak tadi, ia begitu penasaran dengan cincin di jari manis mantan kekasihnya. Berkilau dan juga elegan. “Cincin siapa yang kau pakai?” Nicholas meraih tangan Rose dan memperhatikan detail perhiasan yang ditaksir seharga jutaan dolar. “Menurutmu, apakah gadis yatim piatu sepertinya bisa mendapatkan barang semewah itu?” tanya Diana pada Nicholas, tatapannya tertuju pada cincin berlian yang bergitu berkilau. “Tentu saja tidak, kecuali dia mencurinya.” Rose menarik tangannya, kemudian menatap malas pada kedua pasangan yang semakin memuakkan. “Aku tidak seburuk itu.” Diana terkekeh, “Lalu, dari mana kau dapatkan?” “Bukan urusanmu!” Rose kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Ia abaikan Nicholas dan Diana yang seolah mengejek dirinya di belakang. “Sayang, apakah kau yakin jika dia wanita baik-baik? Saat bersamamu dia terlihat sangat buruk, tetapi ketika kau putuskan dia memakai cincin dijarinya.” Rose membuang napas pelan, ia tidak mungkin mengatakan pada Nicholas jika dia telah menikah. “Atau jangan-jangan dia menjual dirinya setelah kau putuskan?” Rose memejamkan mata, setelah makanan Margaret hangat, ia segera membawa ke dalam kamar. Mengabaikan ejekan Nicholas dan Diana yang tak ada hentinya. Setibanya di kamar, Margaret kembali menyambutnya dengan hangat. Rose duduk di hadapannya dan mulai menyendokkan sup. “Ibu, ayo buka mulutmu.” Margaret membuka mulut, ia tersenyum bahagia karena akhirnya bisa melihat Rose lagi. “Apakah kalian bertengkar?” tanyanya, “tolong jangan tinggalkan putraku, wanita itu tidak baik untuknya,” bisiknya melirik pada Diana yang memasuki kamar bersama Nicholas. “Ibu, kami baik-baik saja. Ayo habiskan makananmu dan minum obat, ya.” “Berjanjilah pada Ibu, Rose. Kau dan Nicholas harus menikah sebelum–” “Ibu, aku tidak bisa menikahinya. Aku mencintai Diana.” “Jangan membantah Nicholas. Ibu tidak menyukai wanita lain selain Rose menjadi istrimu,” tukas Margaret dengan tatapan marah. “Tapi, Ibu, aku tidak–”Di dalam kamar dengan cahaya yang tidak terlalu terang, di sisi pintu ada Nicholas dan Diana yang berdiri berdampingan. Sementara di sisi lain, ada Rose dan Margaret yang duduk di pinggir ranjang.Margaret mengangkat tangan tanda tak ingin mendengar apa pun lagi dari putranya. Wanita setengah abad itu, meminta Nicholas dan Diana keluar dari kamarnya.“Ibu …,” tolak Nicholas.“Aku ingin bicara dengan putriku Rose, kalian berdua tidak berhak mendengarnya,” ujar Margaret tanpa mengalihkan pandangan dari Rose yang terlihat menunduk.Diana menarik Nicholas keluar dengan paksa, tetapi pria itu, begitu penasaran apa yang akan ibunya katakan. Ia khawatir jika Rose berusaha mempengaruhi dengan kata-kata manis.“Ibu, tolong jangan membuatku bersamanya lagi. Aku tidak bisa mencintai wanita itu,” tegas Nicholas dengan nada yang begitu malas.Mendengar penolakan Nicholas yang begitu jelas, Rose hanya membuang napas pelan, bukankah selama enam bulan terakhir, kata-kata penolak sudah sering ia denga
“Lagi?” Rose menghentikan kunyahannya, ia menatap William yang mengangguk seraya tersenyum. Pria itu, seperti itu saja sudah sangat tampan.Sudah tiga Minggu setelah mereka menikah, semua terasa baik-baik saja sebelum William keluar kota dalam waktu yang begitu insten.“Pak, Anda baru saja kembali dan besok harus pergi lagi?” tanya Rose kembali, ia begitu terkejut.“Ada ada dengan ekspresimu?” William meletakan sendok dengan anggunnya, kemudian menatap Rose yang berdehem karena malu.“Dan kenapa masih memanggilku dengan sebutan pak? Kau adalah istriku jadi kewajibanmu memanggilmu dengan sebutan yang lebih akrab,” selorohnya.“Saya masih belum terbiasa,” jawab Rose, “jadi, Anda akan pergi lagi?” jawabnya seraya mengulang pertanyaan.“Hanya beberapa hari,” balas William, “pergilah ke rumah nenek jika bosan kau bisa melakukan apa pun di sana.”Rose menggeleng pelan. “Pak, saya merasa gugup setiap kali di dekat nenek.”“Kenapa? Bukankah kulihat kalian begitu akrab?” “Benar, tapi–”Rose m
Masih di dalam ruang kerja dengan warna hitam yang mendominasi. Ethan masih menatap serius pada pria tampan di hadapannya.“Singkirkan isi kepalamu itu, Ethan,” tukas William mendengus, “aku melakukan semua ini karena tidak ingin nenek mencurigaiku.”Entan mengangguk, ia menyandarkan tubuhnya pada badan sofa seraya menatap William dengan tatapan selidik. “Jika benar, tidak ada masalahnya juga Pak. Anda dan bu Rose sudah sah menjadi suami istri."“Ethan, jaga sikapmu. Aku adalah bosmu, bersikap sopanlah!” seru William dengan napas terengah. Aroma tubuh Rose begitu memabukkan.Ia menggosok leher dengan pelan, kemauan sesekali terlihat menatap pintu dengan gelisah.“Pak, naiklah ke kamar Anda, saya akan selesaikan ini sendiri,” kata Ethan mulai menyadari jika bosnya tengah menahan sesuatu.“Tidak perlu. Untuk apa naik, ini adalah tanggung jawabku juga,” tolak Willian serasa berdecak.“Ya mungkin saja–”William spontan berdiri, ia berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugup dala
Pagi telah bersambut, Rose terbangun dengan tubuh terasa remuk redam. Pertempuran semalam menguras semua tenaganya. Ia merentangkan tangan ke atas dengan ringisan kecil dari bibirnya yang kecil.“Oh tubuhku rasanya sakit semua,” desahnya dengan mata masih tertutup.Sesaat ia terdiam dengan tangan masih berada di atas kepala. Wajahnya langsung memerah saat mengingat kembali kejadian semalam. Sentuhan serta gerakan intens William begitu mendebarkan.Rose membuka mata, ia menatap sebelah sisinya, wangi William bahkan masih tercium begitu kuat.“Oh, andai saja pernikahan ini berlandaskan cinta. Aku sudah pasti menjadi wanita paling bahagia,” ucapnya dengan getir, “tapi kenyataannya aku bahkan merelakan diriku demi pekerjaan.”Rose bangkit dari tidurnya, duduk dengan wajah lesu. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Kamar besar, lemari kaca yang indah dengan segala macam keindahan di dalamnya.Seluruh gajinya bahkan tidak akan mampu membeli satu lampu tidur di kamar William."Sempurna.
Rose melangkah cepat. Ia memasuki koridor rumah sakit dengan wajah tegang. Beberapa menit yang lalu, ia harus membujuk William agar mengizinkan dirinya ke rumah sakit. Tak mudah, tetapi untungnya ia mendapatkannya.Ia berdiri di depan pintu kamar rawat Margaret. Namun sebelum ia masuk tak lupa dirinya berdoa.“Rose, ayo!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Pintu didorong dengan pelan, Rose menatap sekeliling dan mendapati Margaret seorang diri. Wanita itu langsung memasang wajah sumringah ketika melihat kehadirannya.“Ibu, kau sendiri?” Rose melangkah ke arah ranjang, memeluk wanita yang dirawatnya selama beberapa tahun terakhir.“Dengan siapa lagi? Bukankah selama ini, hanya kau yang bersamaku,” jawabnya seraya tersenyum hangat.Menghela napas pelan, Rose duduk di kursi dekat ranjang. Mengusap lengan keriput yang terlihat kurus.“Maaf karena terlambat datang, Ibu,” katanya, “di mana Nico?”Tersenyum lemah, Margaret menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. “Dia memutuskan kembali ke
“Kenapa terkejut?” Diana melebarkan senyumnya, “kau iri karena sebentar lagi, aku menjadi istrinya? Manager Nicholas dan Diana yang cantik,” katanya seraya tertawa menang.“Kau yakin di akan menikahimu?” tanya Rose dengan tatapan tak kalah mengejek.“Tentu saja,” balas Diana, “kau akan menjadi tamu undangan spesial kami. Tunggu saja, ya.”“Aku bahkan tidak tertarik.” Rose melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru, mengetahui jika Diana hamil, cukup melukai hatinya. Sebuah fakta jika Nicholas dan Diana memang telah lama berhubungan di belakang.“Dia pasti terluka,” desah Diana menatap punggung Rose yang semakin menjauh.Sementara itu, di dalam mobil. Rose berulang kali membuang napas panjang, ada sesuatu yang menjanggal dalam benaknya.“Mereka telah lama bersama,” katanya dengan lirih, “tetapi aku baru saja mengetahui kebenaran itu.”“Nico, kau …,” ucap Rose ingin menangis.“Untuk apa aku menunggu terlalu lama saat itu, dia … dia jelas telah memberi banyak tanda jika sudah tak mencint
“Ini kamarku?” Rose meletakkan tas kecil miliknya di atas sofa, kemauan melangkah maju menatap takjub pada kamar mereka.“Kamar kita!” seru William melepas jas miliknya dan duduk sembari membuka kancing baju.Rose menoleh pelan, ia menelan ludah kasar dengan pemandangan di hadapannya. William membuka baju hingga terpampang otot perut yang alot.“Ini kamar kita,” tegas William sekali lagi. Ia melangkah maju dengan tatapan lurus pada sang istri. “Pak …,” ucap Rose tergagap.“Aku lelah, bagaimana jika kita mandi berdua,” tawar William dengan seringai kecil di bibirnya.“Ti-tidak Pak. Saya bisa sendiri,” tolak Rose tergagap, tingginya yang hanya sepundak William membuatnya mendongak.“Tapi aku tidak bisa sendiri,” balas William menatap lurus istrinya.“Tidak bisa? Lalu bagaimana Anda mandi sebelumnya?” Rose bergeser sedikit demi sedikit. Namun, dengan cepat, William menahan tangannya.“Mau kemana?” tanya William menelengkan kepalanya.“Saya–”William menoleh tatkala pintu kamar mereka te
Wajah Rose memerah, permainan semalam masih membekas dengan jelas dalam benaknya. Ia berdehem mencoba menenangkan diri agar tidak gugup.“Ada apa?” William melepas kacamata miliknya, kemudian meminta Rose duduk di hadapannya.“Duduk. Kita sarapan bersama,” katanya, “aku ada pertemuan sampai siang kau bisa menunggu di kamar sebelum aku kembali.”“Boleh aku keluar? Jika di kamar aku pasti bosan,” balas Rose, ia sudah sejauh ini keluar dari rumah tidak mungkin hanya di kamar.“Kau tahu jalan kembali?” “Tentu saja. Aku penghafal yang baik Pak,” jawabnya, “boleh ya.”William terdiam sesaat. Ia menimbang apakah Rose boleh keluar sendiri atau tidak. Yang ia ketahui, kota ini terlalu besar, terlalu sulit mendapati gadis kecil ini jika hilang.“Usia saya 22 tahun. Tidak mungkin hilang,” katanya menebak isi kepala suaminya.“Baiklah,” pria William, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jas miliknya.“Jangan lepaskan cincin ini,” katanya seraya menyematkan di jari manis sang istri, “jika k
“Terima kasih,” kata Rose menerima susu dengan campuran peanut butter serta pisang madu.“Jika Anda membutuhkan yang lain, silakan pencet tombol seperti biasa Bu,” kata si pelayan dengan hormat.“Hum, terima kasih. Kau istirahatlah.”Si pelayan berbalik dan meninggalkan kamar dengan langkah terburu, diam-diam ia tersenyum kecil ketika susu buatannya diminum di depan mata.“Aku berharap di rumah ini ada penghuni baru,” katanya dengan suara seperti berbisik.Bersamaan dengan itu, Walliam sudah tiba di kediaman Matilda dengan Langkah yang tergesa. Ia merasa ada yang tidak beres dengan neneknya karena tak biasanya Matilda memanggilnya tanpa perantara asistennya.“Di mana nenekku?” tanyanya pada pria yang telah lama bekerja dengan Matilda. Pria yang paling setia di antara pekerja mereka yang lain.“Beliau ada di dalam,” katanya dengan sopan.William mengangguk kecil, kemudian tersenyum tipis pada pria yang masih setia berdiri di depan pintu, “Istirahatlah Paman, aku yang akan mengingatkan
Rose segera menggeleng cepat dengan jantung yang mulai tak karuan. “Tidak ada hal seperti itu, Willie. Aku hanya lelah saja.”William menyipitkan mata, kemudian dengan segera mengangguk. “Baiklah, aku percaya padamu.”Rose berada lega, ia melirik Nicholas yang berada di sebelah William, pria itu juga melirik ke arahnya dengan tatapan yang sulit dibaca.“Silakan Pak Nicholas,” panggil William karena pria itu tidak bergerak dari tempatnya, “kita satu lift bersama.”Tanpa ragu, Nicholas melangkahkan kaki masuk ke dalam, menatap Rose dengan tatapan sinis. Ia berdiri tidak jauh dari keduanya dengan tangan mengepal kuat.“Kau ingin makan apa setelah ini?” tanya William pada Rose, tak peduli di sana ada Nicholas dengan segala kecemasannya.“Aku makan yang sudah disediakan saja,” jawab Rose seadanya.“Kenapa jawabanmu seperti itu?” selidik William, “kau baik-baik saja kan?”William membuang napas pelan, ia menatap Rose yang langsung menampilkan senyum ke arahnya. “Katakan, apa yang mengganggu
“Maafkan aku,” kata Kanaya dengan wajah menyesal, “aku buatkan makanan cobalah!” William membuang napas pelan, ia menatap rantang yang ada di atas meja, “Bukankah kau masih sakit? Kenapa–” “Aku sudah sembuh, lihatlah sudah bisa memasak dan datang untukmu.” William menoleh ke arah pintu di mana Rose yang baru keluar dengan senyum tipis di bibirnya. Melihat itu, Kanaya pun berbalik dan mendesah kecewa. “Aku kira hanya kau saja yang di sini,” ungkap Kanaya merasa kesal. Rose berjalan ke arah keduanya, kemudian memilih duduk di sebelah William dengan tenang. “Hai Kanaya.” “Tidak bisakah kau tidak mengekor pada William?” ketus Kanaya. Rose menoleh pada suaminya, kemudian menatap Kanaya dalam kembali, “Maafkan aku, tapi salahnya di mana?” William tersenyum tipis, meraih tangan Rose dan mengecupnya. “Benar, tidak ada yang salah.” Mendengus kesal, Kanaya dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya menjadi ceria. Ia membuka rantang bawaannya dan membukanya di hadapan keduanya. “
Setibanya di kantor, William turun dengan sang istri di sebelahnya. Semua mata kembali tertuju pada wanita yang pernah bekerja sehari di kantor, semakin cantik dengan aura yang begitu terang.Edwin yang malam itu juga syok hanya mematung di sebelah Nicholas yang mengepalkan tangan.“Pantas saja, Bu Rose sangat cantik, dia istri pak William,” bisik Edwin seolah tak menerima kenyataan ini.Nicholas mencoba untuk memamerkan senyum ketika keduanya berjalan ke arah mereka.“Selamat siang Pak.” Nicholas membungkuk kecil sebagai penghormatan, “selamat siang, Bu Rose.”William mengangguk. “Setelah makan siang, masuk ke ruanganku.”Nicholas tersenyum tipis. Ia kembali menganggukkan kepala tanda hormatnya, membiarkan William dan Rose melewatinya begitu saja.“Aku masih tidak mengangka ini,” kata Edwin, tatatapan masih tetap lurus pada Rose yang begitu anggun.“Wanginya saja masih bisa tercium, pak William sangat beruntung.”Nicholas mengepalkan tangan tatkala tak sengaja melihat tangan William
Setelah memeriksa kesehatan Margaret, Rose mencari keberadaan Diana seperti yang Margaret inginkan. Akan tetapi, wanita yang akan menjadi istri Nicholas itu entah pergi ke mana.“Maaf Ibu, tapi sepertinya Diana sudah kembali,” lapor Rose merasa menyesal.“Bagaimana bisa dia meninggalkan kita dengan mobil putraku?” geram Margaret tak habis pikir.Rose melirik pada pria suruhan William yang hanya diam tak bergerak sejak tadi, “Ibu ikut saja dengan kami, aku akan antarkan ini kembali.”Margaret melirik pada pria tersebut, wajah datar dengan tubuh besar yang menakutkan, “Ibu bisa pulang dengan taksi saja, Rose.”“Tidak perlu, Ibu,” tolak Rose, “aku akan antarkan Ini sampai rumah, tapi sebelum itu, kita makan dulu, ya.”Margaret menggeleng cepat. “Tidak perlu Nak. Ibu tidak mau menjadi beban untukmu.”“Eh, tidak seperti itu, Bu. Ayo, aku juga sangat lapar,” ajak Rose dengan senyum hangat.Mereka meninggalkan rumah sakit saling bergandengan, tak melihat jika di sudut ruangan ada seseorang b
Di kediaman William, pria itu turun dengan tergesa ke lantai bawah karena tak biasanya Rose tidak menyiapkan pakaian kerjanya seperti biasa.“Di mana istriku?” tanyanya pada pelayan yang berada di ruang makan. Ia duduk dan menyesal teh miliknya yang masih hangat.Si pelayan menoleh dengan gugup. Ia tersenyum lembut sebelum menjawab. “Ibu keluar beberapa menit sebelum Anda kembali, Pak. Kemungkinan akan kembali malam hari."Sebelum bokongnya benar-benar menempel pada kursi, William terlihat mengerut kening. “Malam hari? Kenapa tidak memberitahuku lebih awal?”Si pelayan menelan ludah kasar, ia ingin menjelaskan, tetapi William lebih cepat meninggalkan ruang makan dan berjalan ke ruang kerjanya. Di ruang tengah, ia bertemu dengan Ethan yang terlihat menegang.“Katakan apa yang kau ketahui?”Ethan mencoba untuk tersenyum, “Saya tidak tahu apa-apa Pak.”“Cari dia dan bawa kembali!” pinta William tidak ingin tahu.“Pak, tapi kita ada pertemuan satu jam lagi. Bagaimana jika–”William memija
“Baiklah, kau kembali saja.” Ethan memijat pangkal hidung, merasa khawatir pada Rose yang kemungkinan pergi ke tempat yang tak disukai oleh William.Asisten William itu berjalan ke arah yang lebih sepi, meriah ponselnya dan menelpon seseorang dengan segera.“Halo, cari tahu kemana Bu Rose pergi,” perintah Ethan langsung pada seseorang di balik layar, ia tidak bisa membuang waktu lebih lama. “Periksa ke rumah mantan kekasihnya, aku curiga dia–”“Siapa yang kau telepon, Ethan?” Suara William mengejutkan Ethan yang tengah menelpon di balik ruangan.“Pak, Anda sudah kembali.” Ethan segera mematikan ponselnya dan dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya.William melangkah mendekati asistennya, pria itu menatap Ethan dalam-dalam. “Siapa yang pergi ke rumah mantannya, Ethan?”“Pak, Anda dari mana?” tanya Ethan balik, ia menatap William dengan penampilan yang berantakan.William berdecak, “Kanaya sakit, aku datang menjenguknya dan ketiduran di sana,” aku William, “katakan, siapa yang datang k
Rose menuruni anak tangga dengan tergesa, ia langsung ke arah ruang kerja William. Senyumnya ragu-ragu, bingung harus menjelaskan apa pada suaminya.Di depan pintu ruangan, ia berdiri cukup lama, mengolah kata-kata agar terdengar lebih masuk akal.“Ayo, Rose!” serunya pada diri sendiri. Rose melangkah masuk dengan kepala tertunduk, berharap William menyambutnya dengan senyuman.Langkahnya terhenti di tengah ruangan, ketika menyadari jika William tidak tercium di ruangan ini. “William, kau tidak di dalam?” tanya Rose tidak yakin. Ia menoleh ke belakang berharap jika William tiba-tiba masuk dan menyambut dirinya.Hening.Ruangan ini terasa lebih dingin ketika sang pemilik tidak berada di dalamnya.“Di mana dia?” gumam Rose mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Gak ada tanda-tanda bahwa William memasuki ruangan meski itu semalam.Tidak ingin berlama-lama, ia keluar dari ruangan dan langsung ke halaman belakang tempat yang kemungkinan William berada dengan peliharaan mereka.“Selamat
William meletakkan ponselnya di atas meja, lalu beranjak masuk ke dalam kamar dan langsung menuju kamar mandi.Tidak berselang lama, ia sudah kembali dengan tubuh yang lebih segar. Ia berjalan masuk ke ruang ganti dengan langkah tanpa suara.Memilih pakaian yang harus dikenakan dan merapikan dirinya dengan cepat. “Aku akan minta maaf padanya besok pagi,” ujarnya mendesah pelan, ia meninggalkan kamar dengan hati yang gelisah.Sampai di tempat tujuan, William masuk dengan tergesa, ia bahkan tak perlu menunggu tuan rumah untuk membukakan pintu. William masuk ke dalam kamar dan mendapati wanita muda terbaring dengan selimut tebal.“Akhirnya kau datang juga, William,” katanya dengan senyuman lembut, “kemarilah!”William menghembuskan napas panjang, kemudian melepaskan pakaian tebalnya. Ia duduk di kursi dekat dengan ranjang, memperhatikan wajah wanita muda yang menatapnya lembut.William mengulurkan tangan, memeriksa suhu tubuh yang ternyata memang benar terasa panas.“Siapkan dirimu, kit