Rose duduk dengan jantung berdebar. Di hadapan ada William menatap dirinya begitu tajam dan dingin.
“Saya tidak tahu jika Anda adalah pemilik dari perusahaan itu,” katanya setelah sama-sama terdiam. Dengan susah payah, akhirnya William berhasil membawa Rose keluar dari rumah neneknya. Akan tetapi, dengan persyaratan keduanya harus tinggal di rumah yang sudah Matilda siapkan. “Apakah kau tidak ingin minta maaf?” tanya William. “Minta maaf?” Rose berusaha untuk tenang. “Kau tidak merasa bersalah atas apa yang telah terjadi?” Rose menelan ludah kasar, ia meremas tangannya dengan kuat. “Saya sudah menebus kesalahan saya dengan pernikahan ini, kan?” “Kau menganggapnya seperti itu?” tanya William, “bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu bekerja di kantor?” “Tidak boleh!” Rose berdiri protes. “Kenapa?” William bersedekap. “Pak, saya setuju menikah dengan Anda karena tujuan pekerjaan. Jika saya tidak boleh bekerja, lalu untuk apa–” “Untuk menebus kesalahanmu. Kau telah menyeretku dalam kesalahan besar, kau lupa?” Rose duduk dengan perlahan, ia kembali meremas tangannya tak tenang. “Pak, saya membutuhkan pekerjaan ini. Tolong pertimbangkan.” William menaikkan sebelah alisnya. “Aku membaca surat lamaran yang kau masukkan, sejujurnya kami tidak membutuhkan bagian tersebut.” “Kalau begitu–” “Untuk sementara diamlah di rumah. Jika bosan, kau bisa ke rumah nenek untuk menemaninya berkebun.” Menghela napas berat, Rose kembali menatap William yang juga menatapnya. “Baiklah, kalau begitu bisakah Anda keluar, aku lelah.” William menyeringai, ia bersedekap dengan wajah arogan. “Keluar? Ini adalah kamar kita, kenapa aku harus keluar?” Ia menelan ludah kasar, jantungnya berdebar setiap kali mengingat kemungkinan apa yang pernah mereka berdua lakukan. “Maafkan saya. Malam itu, saya merasa sangat hancur, karena itulah saya terjerumus dan membawa Anda." “Ini lebih baik. Yang bersalah memang harus minta maaf.” William menyandarkan punggungnya, menatap serius pada Rose yang masih membuang muka. “Apakah pria yang menelponmu tadi adalah kekasihmu?” selidik William. Ia masih mengingat nomor yang terus masuk. “Bukan kekasih lagi,” jawabnya tersenyum kecil. “Bukan kekasih tapi kau menyimpan kontaknya dengan bentuk hati,” sindir William berhasil mencubit hati Rose. Dalam situasi yang tegang, pintu kamar mereka di ketuk. Rose berdiri dan melangkah ke arah pintu. “Bu, makan malam Anda sudah siap,” lapor wanita dengan pakaian khusus. Rose mengangguk, ia menoleh kebelakang, tapi sudah tidak menemukan siapa pun di sana. “Baiklah, kami akan turun beberapa menit lagi.” “Baik, Bu.” Rose mengangguk, ia kembali menutup pintu setelah wanita yang bekerja sebagai pelayan turun kembali. Sementara dirinya, kembali masuk ke dalam. ________ Setelah makan malam penuh dengan kecanggungan, kini Rose dan William sudah berada di rumah keluarga. Keduanya duduk bersebelahan menonton acara televisi. Sekali lagi, ponsel Rose berdering. William bisa melihat nomor yang sama kembali tertera. “Kekasihmu mungkin saja rindu, kenapa tidak menerima panggilan darinya?” Rose menatap ponselnya, ia membuang napas dan berdiri menjauh. Setelah menguasai perasaannya sendiri, ia menerima panggilan Nicholas dengan jantung berdebar. “Hal–” “[Kau kemana saja, hah!]” teriak Nicholas dengan lantang. William mengerutkan kening tatkala melihat Rose yang menjauhkan ponsel dari telinganya. Terlihat juga wajah wanita yang dinikahinya menegang. “[Kau di mana? Apa kau sengaja ingin menyakiti ibuku?]” Rose menoleh ke arah William yang berjalan mendekat ke arahnya. Ia berbalik agar pembicaraan mereka tak terdengar, tetapi dengan cepat, William merebut dan mengaktifkan speaker. “[Aku tidak mau tahu, kau segera datang ke rumah dan bujuk ibuku makan!]” Rose ingin merebut ponselnya lagi, tetapi William sengaja menjauhkan tangannya darinya. “[Rose, kau dengar aku!]” “Kenapa tidak minta kekasihmu saja? Bukankah wanita itu adalah pilihanmu?” sinis Rose masih kesal ketika mengingat Diana mendorongnya. “[Jangan kekanakan. Ibuku hanya menginginkan dirimu, Rose. Kembali atau aku–]” Panggilan terputus, William berdecak kemudian menghapus nama Nicholas tanpa persetujuan pemilik. “Pak, apa yang Anda lakukan?” kesal Rose. “Siapa dia? Kau bekerja dengannya?” William menyerahkan ponsel yang sudah mati. “Dia Nicholas, saya memang terbiasa merawat ibunya yang sedang sakit,” akunya, merasa khawatir. “Dia kekasihmu? Mengapa namanya harus diberikan bentuk hati?” tanya William meski sudah tahu sebelumnya dari Ethan. “Hubungan kami sudah berakhir, Pak. Dia telah menemukan wanita impiannya selama ini,” jawanya dengan wajah sedih. William berdecak, “Nasibmu sangat malang, pergilah tidur. Aku akan ke ruang kerja.” Saat tubuh kekar itu berbalik, Rose mengeluarkan suara, “Bisakah saya menemui ibu Nicholas, beliau mungkin saja membutuhkan aku malam ini.” William terdiam, ia menyeringai kecil dan menggeleng pelan. “Kau tidak akan kemana pun, Rose. Tidur dan lupakan semuanya.” “Tapi, Pak?” William melangkah menjauh, tidak membiarkan Rose mengatakan apa pun lagi. “Pak, saya akan kembali lebih cepat, tolong–” “Tidur atau kau tidak akan diizinkan bekerja.” Rose menggigit bibir bawahnya, ia sangat menginginkan pekerjaan ini. Jika ia melanggar, ia khawatir jika William akan mempersulit langkahnya. Ia menatap ponselnya yang kembali berdering. Tak ada nama Nicholas, tetapi Rose menghapal nomornya dengan jelas. Dengan tangan bergetar, ia membuka pesan yang Nicholas kirimkan, terdapat foto ibu Nicholas yang terbaring dengan wajah pucat. “Bagaimana bisa dia tidak membujuk ibunya untuk makan,” kesal Rose dengan wajah khawatir. Ia melangkah cepat keluar dari kamar. Lama terdiam bingung, Rose melihat ke sekeliling, mencari keberadaan William yang entah di mana. “Bu, apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanya pelayan yang tiba-tiba sudah berada di belakang Rose. Wanita cantik dengan riasan tipis itu, terkejut dan memegang dada. Ia berbalik dan melihat pelayan wanita tersenyum. “Di mana ruangan pak William?” tanya Rose setelah merasa lega. “Pak William di rumah kerja, Bu. Saya akan membawa Anda ke sana,” ujarnya merasa menyesal setelah melihat wajah terkejut istri bosnya. Rose mengangguk, ia melangkah di belakang pelayan suaminya. Di dalam hati, ia memuji keindahan rumah yang Matilda berikan. Rumah ini, bahkan lebih besar dibandingkan rumah Nicholas. Setibanya di depan pintu dengan cat berwarna coklat gelap. Si pelayan mengetuk beberapa kali, kemudian memutar gagang pintu dengan perlahan. “Silakan Bu, saya akan membawa teh untuk Anda,” ujarnya mempersilakan. Rose mengangguk, ia melangkah masuk dengan ragu. Tatapan matanya langsung tertuju pada William yang langsung berbalik ke arahnya. “Pak, maafkan saya karena–” Rose menghentikan langkah tatkala William berjalan ke arahnya. Wanita cantik itu meremas kedua sisi gaun dengan jantung berdebar. “Ada apa?” tanya William ketika jaraknya dan Rose hanya beberapa Senti saja. “Pak saya ingin minta izin,” jawab Rose menundukkan kepala, ia tak bisa menerima kemarahan William. “Kemana?” Rose menelan ludah kasar, ia mencoba mengangkat wajah. “Ibu Nicholas terlihat sangat pucat, saya khawatir–”Rose mengerjap beberapa kali. Ia menelan ludah kasar ketika William menatap dirinya begitu dalam.“Pak, bisakah Anda lepaskan saya?” katanya mencoba tidak terdengar gugup. Tubuhnya sudah tertahan di dinding dengan kedua tangan berada di atas kepala.“Ulangi apa yang kau katakan tadi?” Suara William terdengar parau, terlihat begitu menggoda dengan hidung mancungnya.“Pak, saya harus ke rumah Nicholas, ibunya–”“Ingin bertemu ibunya atau kekasihmu itu?” Rose menelan ludah lagi, ia gugup bukan karena merasa bersalah, tetapi karena aroma parfum William yang begitu lembut.“Saya sudah katakan, dia bukan kekasih saya lagi,” jelasnya, “tolong beri saya waktu beberapa jam untuk melihatnya.”William melepas cekalan tangannya pada lengan wanita yang baru saja dinikahi. Mundur beberapa langkah dan mengangguk. “Pergilah! Kau bisa meminta supir untuk menemanimu.”Rose melebarkan senyumnya, ia mengusap tangannya yang dicekal William. “Saya akan kembali sebelum tengah malam.”"Pergilah sebelum aku
Suara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer. “Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya meng
“Ah …,” lenguhan lembut terdengar begitu indah. Tubuh yang masih dipenuhi dengan keringat terbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka. “Nicholas, aku sudah katakan, aku bukan wanita bodoh, aku hebat,” gumamnya dengan bibir tersenyum kecil. Si pria yang masih berada di atasnya kini membaringkan tubuh, menempelkan kulit basah mereka berdua. “Dia bermain denganku, tetapi masih menyebut nama pria lain,” decaknya dengan napas yang sama memburu. Karena lelah, ia memejamkan mata dengan sebelah tangan berada di atas kepala. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan panasnya permainan mereka. “Gadis bodoh,” imbuhnya sekali lagi sebelum ia benar-benar tak tertidur karena kantuk. Di tempat yang lain, Nicholas tengah mengumpat karena mendapatkan telepon dari ibunya. “Kemana dia?” geram Nicholas mematikan ponselnya, berjalan ke arah kamar di mana masih ada Diana dengan wajah yang muram. “Kenapa masih saja memikirkan dia, Nich. Bukankah kau sudah memutus
William mengangguk, tak ada yang bisa membantah kemauan neneknya. Mereka memasuki rumah mewah dengan interior yang begitu megah. Beberapa pelayan wanita berbaris sembari menundukkan kepala. Ini adalah hari yang sangat besar, kehadiran William adalah perayaan yang luar biasa. “Aku tidak bisa berlama-lama, Nek. Aku ada banyak pekerjaan.” William duduk di sebelah wanita cantik yang sudah tak lagi muda. “Nenek tidak peduli dengan pekerjaanmu. Ada Ethan yang bisa kamu minta, Willie.” Ethan yang namanya disebut lantas mendongak, ia menatap William yang berdecak mengabaikan. “Dia sudah banyak pekerjaan. Aku tidak mungkin membebani dirinya dengan pekerjaan lain,” celetuknya kasihan pada Ethan. “Lupakan itu. Nenek sudah mengurus kencan buta untukmu, malam nanti datanglah ke–” “Ini kencang buta yang ke-99 Nek. Apa tidak malu melihatku melakukan hal kekanakan ini?” William meraih cangkir teh miliknya lalu menyesapnya sedikit. “Aku menolak, aku tidak ingin melakukan apa yang Nenek
Rose berdiri dengan canggung di hadapan pria asing yang masih diingatnya dengan benar. Ia menelan ludah kasar dan melangkah ke arahnya dengan kepala tertunduk. “Kau pasti sudah dijelaskan dengan baik oleh Ethan,” kata William. Rose mendongak, ia mengangguk dengan tangan saling meremas. Ia menyembunyikan rasa gugup yang melanda. “Hum, saya … saya akan bekerja dengan baik Pak.” William mengangguk. Ia melangkah lebih dahulu ke dalam gedung yang akan mengubah kehidupannya. Rose menghela napas panjang, pengkhianatan Nicholas dan cacian yang diberikan untuknya sebentar lagi akan terbalas. “Kau harus tunjukkan pada Nicholas jika kau pantas menjadi wanita karier Rose,” katanya penuh semangat. Ia melangkah dengan yakin setelah Ethan memintanya untuk masuk ke dalam. Sekali lagi, Rose membuang napas pelan. Sesampainya di dalam, berbagai prosedur telah dilakukan dengan baik. William bernapas lega ketika memegang berkas berharga di tangannya. “Selamat atas pernikahan Anda, Pak.” E
Rose mengerjap beberapa kali. Ia menelan ludah kasar ketika William menatap dirinya begitu dalam.“Pak, bisakah Anda lepaskan saya?” katanya mencoba tidak terdengar gugup. Tubuhnya sudah tertahan di dinding dengan kedua tangan berada di atas kepala.“Ulangi apa yang kau katakan tadi?” Suara William terdengar parau, terlihat begitu menggoda dengan hidung mancungnya.“Pak, saya harus ke rumah Nicholas, ibunya–”“Ingin bertemu ibunya atau kekasihmu itu?” Rose menelan ludah lagi, ia gugup bukan karena merasa bersalah, tetapi karena aroma parfum William yang begitu lembut.“Saya sudah katakan, dia bukan kekasih saya lagi,” jelasnya, “tolong beri saya waktu beberapa jam untuk melihatnya.”William melepas cekalan tangannya pada lengan wanita yang baru saja dinikahi. Mundur beberapa langkah dan mengangguk. “Pergilah! Kau bisa meminta supir untuk menemanimu.”Rose melebarkan senyumnya, ia mengusap tangannya yang dicekal William. “Saya akan kembali sebelum tengah malam.”"Pergilah sebelum aku
Rose duduk dengan jantung berdebar. Di hadapan ada William menatap dirinya begitu tajam dan dingin. “Saya tidak tahu jika Anda adalah pemilik dari perusahaan itu,” katanya setelah sama-sama terdiam. Dengan susah payah, akhirnya William berhasil membawa Rose keluar dari rumah neneknya. Akan tetapi, dengan persyaratan keduanya harus tinggal di rumah yang sudah Matilda siapkan. “Apakah kau tidak ingin minta maaf?” tanya William. “Minta maaf?” Rose berusaha untuk tenang. “Kau tidak merasa bersalah atas apa yang telah terjadi?” Rose menelan ludah kasar, ia meremas tangannya dengan kuat. “Saya sudah menebus kesalahan saya dengan pernikahan ini, kan?” “Kau menganggapnya seperti itu?” tanya William, “bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu bekerja di kantor?” “Tidak boleh!” Rose berdiri protes. “Kenapa?” William bersedekap. “Pak, saya setuju menikah dengan Anda karena tujuan pekerjaan. Jika saya tidak boleh bekerja, lalu untuk apa–” “Untuk menebus kesalahanmu. Kau telah m
Rose berdiri dengan canggung di hadapan pria asing yang masih diingatnya dengan benar. Ia menelan ludah kasar dan melangkah ke arahnya dengan kepala tertunduk. “Kau pasti sudah dijelaskan dengan baik oleh Ethan,” kata William. Rose mendongak, ia mengangguk dengan tangan saling meremas. Ia menyembunyikan rasa gugup yang melanda. “Hum, saya … saya akan bekerja dengan baik Pak.” William mengangguk. Ia melangkah lebih dahulu ke dalam gedung yang akan mengubah kehidupannya. Rose menghela napas panjang, pengkhianatan Nicholas dan cacian yang diberikan untuknya sebentar lagi akan terbalas. “Kau harus tunjukkan pada Nicholas jika kau pantas menjadi wanita karier Rose,” katanya penuh semangat. Ia melangkah dengan yakin setelah Ethan memintanya untuk masuk ke dalam. Sekali lagi, Rose membuang napas pelan. Sesampainya di dalam, berbagai prosedur telah dilakukan dengan baik. William bernapas lega ketika memegang berkas berharga di tangannya. “Selamat atas pernikahan Anda, Pak.” E
William mengangguk, tak ada yang bisa membantah kemauan neneknya. Mereka memasuki rumah mewah dengan interior yang begitu megah. Beberapa pelayan wanita berbaris sembari menundukkan kepala. Ini adalah hari yang sangat besar, kehadiran William adalah perayaan yang luar biasa. “Aku tidak bisa berlama-lama, Nek. Aku ada banyak pekerjaan.” William duduk di sebelah wanita cantik yang sudah tak lagi muda. “Nenek tidak peduli dengan pekerjaanmu. Ada Ethan yang bisa kamu minta, Willie.” Ethan yang namanya disebut lantas mendongak, ia menatap William yang berdecak mengabaikan. “Dia sudah banyak pekerjaan. Aku tidak mungkin membebani dirinya dengan pekerjaan lain,” celetuknya kasihan pada Ethan. “Lupakan itu. Nenek sudah mengurus kencan buta untukmu, malam nanti datanglah ke–” “Ini kencang buta yang ke-99 Nek. Apa tidak malu melihatku melakukan hal kekanakan ini?” William meraih cangkir teh miliknya lalu menyesapnya sedikit. “Aku menolak, aku tidak ingin melakukan apa yang Nenek
“Ah …,” lenguhan lembut terdengar begitu indah. Tubuh yang masih dipenuhi dengan keringat terbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka. “Nicholas, aku sudah katakan, aku bukan wanita bodoh, aku hebat,” gumamnya dengan bibir tersenyum kecil. Si pria yang masih berada di atasnya kini membaringkan tubuh, menempelkan kulit basah mereka berdua. “Dia bermain denganku, tetapi masih menyebut nama pria lain,” decaknya dengan napas yang sama memburu. Karena lelah, ia memejamkan mata dengan sebelah tangan berada di atas kepala. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan panasnya permainan mereka. “Gadis bodoh,” imbuhnya sekali lagi sebelum ia benar-benar tak tertidur karena kantuk. Di tempat yang lain, Nicholas tengah mengumpat karena mendapatkan telepon dari ibunya. “Kemana dia?” geram Nicholas mematikan ponselnya, berjalan ke arah kamar di mana masih ada Diana dengan wajah yang muram. “Kenapa masih saja memikirkan dia, Nich. Bukankah kau sudah memutus
Suara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer. “Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya meng