Masih di dalam ruang kerja dengan warna hitam yang mendominasi. Ethan masih menatap serius pada pria tampan di hadapannya.“Singkirkan isi kepalamu itu, Ethan,” tukas William mendengus, “aku melakukan semua ini karena tidak ingin nenek mencurigaiku.”Entan mengangguk, ia menyandarkan tubuhnya pada badan sofa seraya menatap William dengan tatapan selidik. “Jika benar, tidak ada masalahnya juga Pak. Anda dan bu Rose sudah sah menjadi suami istri."“Ethan, jaga sikapmu. Aku adalah bosmu, bersikap sopanlah!” seru William dengan napas terengah. Aroma tubuh Rose begitu memabukkan.Ia menggosok leher dengan pelan, kemauan sesekali terlihat menatap pintu dengan gelisah.“Pak, naiklah ke kamar Anda, saya akan selesaikan ini sendiri,” kata Ethan mulai menyadari jika bosnya tengah menahan sesuatu.“Tidak perlu. Untuk apa naik, ini adalah tanggung jawabku juga,” tolak Willian serasa berdecak.“Ya mungkin saja–”William spontan berdiri, ia berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugup dala
Pagi telah bersambut, Rose terbangun dengan tubuh terasa remuk redam. Pertempuran semalam menguras semua tenaganya. Ia merentangkan tangan ke atas dengan ringisan kecil dari bibirnya yang kecil.“Oh tubuhku rasanya sakit semua,” desahnya dengan mata masih tertutup.Sesaat ia terdiam dengan tangan masih berada di atas kepala. Wajahnya langsung memerah saat mengingat kembali kejadian semalam. Sentuhan serta gerakan intens William begitu mendebarkan.Rose membuka mata, ia menatap sebelah sisinya, wangi William bahkan masih tercium begitu kuat.“Oh, andai saja pernikahan ini berlandaskan cinta. Aku sudah pasti menjadi wanita paling bahagia,” ucapnya dengan getir, “tapi kenyataannya aku bahkan merelakan diriku demi pekerjaan.”Rose bangkit dari tidurnya, duduk dengan wajah lesu. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Kamar besar, lemari kaca yang indah dengan segala macam keindahan di dalamnya.Seluruh gajinya bahkan tidak akan mampu membeli satu lampu tidur di kamar William."Sempurna.
Rose melangkah cepat. Ia memasuki koridor rumah sakit dengan wajah tegang. Beberapa menit yang lalu, ia harus membujuk William agar mengizinkan dirinya ke rumah sakit. Tak mudah, tetapi untungnya ia mendapatkannya.Ia berdiri di depan pintu kamar rawat Margaret. Namun sebelum ia masuk tak lupa dirinya berdoa.“Rose, ayo!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Pintu didorong dengan pelan, Rose menatap sekeliling dan mendapati Margaret seorang diri. Wanita itu langsung memasang wajah sumringah ketika melihat kehadirannya.“Ibu, kau sendiri?” Rose melangkah ke arah ranjang, memeluk wanita yang dirawatnya selama beberapa tahun terakhir.“Dengan siapa lagi? Bukankah selama ini, hanya kau yang bersamaku,” jawabnya seraya tersenyum hangat.Menghela napas pelan, Rose duduk di kursi dekat ranjang. Mengusap lengan keriput yang terlihat kurus.“Maaf karena terlambat datang, Ibu,” katanya, “di mana Nico?”Tersenyum lemah, Margaret menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. “Dia memutuskan kembali ke
“Kenapa terkejut?” Diana melebarkan senyumnya, “kau iri karena sebentar lagi, aku menjadi istrinya? Manager Nicholas dan Diana yang cantik,” katanya seraya tertawa menang.“Kau yakin di akan menikahimu?” tanya Rose dengan tatapan tak kalah mengejek.“Tentu saja,” balas Diana, “kau akan menjadi tamu undangan spesial kami. Tunggu saja, ya.”“Aku bahkan tidak tertarik.” Rose melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru, mengetahui jika Diana hamil, cukup melukai hatinya. Sebuah fakta jika Nicholas dan Diana memang telah lama berhubungan di belakang.“Dia pasti terluka,” desah Diana menatap punggung Rose yang semakin menjauh.Sementara itu, di dalam mobil. Rose berulang kali membuang napas panjang, ada sesuatu yang menjanggal dalam benaknya.“Mereka telah lama bersama,” katanya dengan lirih, “tetapi aku baru saja mengetahui kebenaran itu.”“Nico, kau …,” ucap Rose ingin menangis.“Untuk apa aku menunggu terlalu lama saat itu, dia … dia jelas telah memberi banyak tanda jika sudah tak mencint
“Ini kamarku?” Rose meletakkan tas kecil miliknya di atas sofa, kemauan melangkah maju menatap takjub pada kamar mereka.“Kamar kita!” seru William melepas jas miliknya dan duduk sembari membuka kancing baju.Rose menoleh pelan, ia menelan ludah kasar dengan pemandangan di hadapannya. William membuka baju hingga terpampang otot perut yang alot.“Ini kamar kita,” tegas William sekali lagi. Ia melangkah maju dengan tatapan lurus pada sang istri. “Pak …,” ucap Rose tergagap.“Aku lelah, bagaimana jika kita mandi berdua,” tawar William dengan seringai kecil di bibirnya.“Ti-tidak Pak. Saya bisa sendiri,” tolak Rose tergagap, tingginya yang hanya sepundak William membuatnya mendongak.“Tapi aku tidak bisa sendiri,” balas William menatap lurus istrinya.“Tidak bisa? Lalu bagaimana Anda mandi sebelumnya?” Rose bergeser sedikit demi sedikit. Namun, dengan cepat, William menahan tangannya.“Mau kemana?” tanya William menelengkan kepalanya.“Saya–”William menoleh tatkala pintu kamar mereka te
Wajah Rose memerah, permainan semalam masih membekas dengan jelas dalam benaknya. Ia berdehem mencoba menenangkan diri agar tidak gugup.“Ada apa?” William melepas kacamata miliknya, kemudian meminta Rose duduk di hadapannya.“Duduk. Kita sarapan bersama,” katanya, “aku ada pertemuan sampai siang kau bisa menunggu di kamar sebelum aku kembali.”“Boleh aku keluar? Jika di kamar aku pasti bosan,” balas Rose, ia sudah sejauh ini keluar dari rumah tidak mungkin hanya di kamar.“Kau tahu jalan kembali?” “Tentu saja. Aku penghafal yang baik Pak,” jawabnya, “boleh ya.”William terdiam sesaat. Ia menimbang apakah Rose boleh keluar sendiri atau tidak. Yang ia ketahui, kota ini terlalu besar, terlalu sulit mendapati gadis kecil ini jika hilang.“Usia saya 22 tahun. Tidak mungkin hilang,” katanya menebak isi kepala suaminya.“Baiklah,” pria William, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jas miliknya.“Jangan lepaskan cincin ini,” katanya seraya menyematkan di jari manis sang istri, “jika k
William mengancing kemeja miliknya seraya tersenyum puas. Ia menatap Rose dari pantulan cermin. Wanitanya masih tertidur dengan pulas dengan wajah lelah yang menggemaskan.Dering ponselnya mengejutkan Rose yang akhirnya membuka mata dengan perlahan. Ia membuka mata dengan perlahan dengan tatapan lurus pada William yang juga menatapnya.“Kau sudah bangun?” tanya William berjalan ke arahnya. Wangi William begitu memabukkan.“Anda sudah mandi?”“Ya. Kau ingin kita mandi berdua?” goda William menyeringai.Rose mengerucutkan bibir, ia mengeratkan selimutnya dan menggeleng pelan. “Tidak. Aku bisa melakukan semuanya sendiri.”Terkekeh kecil, William mengusap rambut sang istri lembut. “Aku mungkin kembali terlambat. Kau bisa keluar jika ingin tapi, ingat ya, jangan sampai hilang.”Rose mengangguk pelan, ia merasa di sayang selama bersama William. Mereka tak saling kenal sebelumnya, tetapi perhatian William membuatnya seperti wanita yang berharga.“Pak, bisa saya pinjam beberapa rupiah? Saya t
Rose mencoba menengahi, tetapi Nicholas masih tetap kekeh untuk mengetahui siapa pria asing yang memanggil Rose begitu sopan.“Kau pria yang malam itu? Kau kekasih bayarannya?” tanya Nicholas selidik.“Nicholas, jaga bicaramu!” sentak Rose kesal.Ia menoleh pada mantan kekasihnya, “Apakah dia lelaki yang malam itu menjemputmu di rumah? Dia yang memberikan semua perhiasan padamu, Rose?”Rose mencoba tenang, mencoba tidak terpancing dengan mata melotot Nicholas, “Bukan urusanmu. Bukankah kita sudah tidak ada hubungan?”“Oh my God, Rose,” kata Nicholas dengan wajah terkejut, “dibandingkan dia, aku jauh lebih kaya. Kau–”“Setidaknya dia jauh lebih baik darimu, Nico. Pergilah, kau merusak hari bahagiaku,” usir Rose dengan nada rendah.“Kau berani padaku, Rose?”Membuang napas pelan, Rose menoleh. Ia menatap Nicholas yang wajahnya sudah merah dengan mata melotot. “Tidak ada yang harus kita bicarakan. Aku tidak mengikutimu, itu yang benar,” kata Rose, “aku akan kunjungi ibu setelah kembali d
Rose menuruni anak tangga dengan tergesa, ia langsung ke arah ruang kerja William. Senyumnya ragu-ragu, bingung harus menjelaskan apa pada suaminya.Di depan pintu ruangan, ia berdiri cukup lama, mengolah kata-kata agar terdengar lebih masuk akal.“Ayo, Rose!” serunya pada diri sendiri. Rose melangkah masuk dengan kepala tertunduk, berharap William menyambutnya dengan senyuman.Langkahnya terhenti di tengah ruangan, ketika menyadari jika William tidak tercium di ruangan ini. “William, kau tidak di dalam?” tanya Rose tidak yakin. Ia menoleh ke belakang berharap jika William tiba-tiba masuk dan menyambut dirinya.Hening.Ruangan ini terasa lebih dingin ketika sang pemilik tidak berada di dalamnya.“Di mana dia?” gumam Rose mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Gak ada tanda-tanda bahwa William memasuki ruangan meski itu semalam.Tidak ingin berlama-lama, ia keluar dari ruangan dan langsung ke halaman belakang tempat yang kemungkinan William berada dengan peliharaan mereka.“Selamat
William meletakkan ponselnya di atas meja, lalu beranjak masuk ke dalam kamar dan langsung menuju kamar mandi.Tidak berselang lama, ia sudah kembali dengan tubuh yang lebih segar. Ia berjalan masuk ke ruang ganti dengan langkah tanpa suara.Memilih pakaian yang harus dikenakan dan merapikan dirinya dengan cepat. “Aku akan minta maaf padanya besok pagi,” ujarnya mendesah pelan, ia meninggalkan kamar dengan hati yang gelisah.Sampai di tempat tujuan, William masuk dengan tergesa, ia bahkan tak perlu menunggu tuan rumah untuk membukakan pintu. William masuk ke dalam kamar dan mendapati wanita muda terbaring dengan selimut tebal.“Akhirnya kau datang juga, William,” katanya dengan senyuman lembut, “kemarilah!”William menghembuskan napas panjang, kemudian melepaskan pakaian tebalnya. Ia duduk di kursi dekat dengan ranjang, memperhatikan wajah wanita muda yang menatapnya lembut.William mengulurkan tangan, memeriksa suhu tubuh yang ternyata memang benar terasa panas.“Siapkan dirimu, kit
Diana merebahkan punggungnya pada badan sofa. Mengingat penampilan Rose yang tampak luar bisa menambah rasa bencinya pada mantan kekasih dari Nicholas.“Dia pasti merayakan pak William dengan cara yang kotor,” umpat Diana tidak terima.Nicholas tidak mengatakan apa pun lagi. Ia menutup mata, tetapi bayangan Rose dan William yang begitu mesra mengganggu dirinya.“Aku tidak mengira, kedatangannya di kantor saat itu memang sengaja ingin menunjukkan siapa dirinya,” kata William, “dan pak Ethan dekat dengannya karena Rose adalah istri dari pak William.”Nicholas mengerang marah, ia memukul pegangan sofa dengan kuat karena tidak terima dengan pencapaian Rose yang lebih unggul darinya.Diana menoleh, ia bisa melihat wajah ekspresi kecewa Nicholas dengan jelas. Dalam hati, Diana mulai merasa ketakutan, khawatir jika Nicholas memaksa Rose untuk kembali padanya.“Jangan berpikir untuk kembali padanya, Nico. Kau sudah berjanji akan menikahiku bukan?” Diana meremas lengan Nicholas yang hendak ber
Diana menarik tangan Nicholas pelan, ia melirik ke segala arah dengan wajah malu. “Nico, jangan mulai,” katanya, “biarkan saja dia melakukan apa pun yang dia mau,” bisik Diana mulai jengah. “Kau mau kemana? Kau tidak lihat ini acara besar?” Nico mencoba memelankan suaranya, “di atas saja, ada istri pak Nicholas, jika dia tahu siapa dirimu–” “Rose, baiklah!” Suara William terdengar begitu jelas di telinga semua orang. Nicholas menegang, ia melepaskan tangannya yang memegang tangan mantannya. Kemudian menatap bingung pada Rose yang terlihat tak bereaksi. “Kemarilah!” seru William lagi menarik atensi semua orang ke arah wanita cantik di hadapan Nicholas dan Diana. “Permisi,” ujar Rose melambaikan tangan ke arah Diana yang masih tercengang. “Apa yang terjadi?” bisik Diana masih bingung dengan situasi ini. Nicholas tidak menjawab, ia terus menatap Rose dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada kebingungan yang paling jelas terlihat. Di depan sana, Rose dengan gaun indah dan
“Nicholas, apa maksudmu?” Diana mencegah keinginan kekasihnya yang terkesan berlebihan.“Tunggu sebentar saja. Aku akan kembali lebih cepat untukmu.” Nicholas mengusap lengan Diana lembut.“Tidak mau,” tolak Diana, “jika kau pergi dengannya, aku akan kembali dan kita berakhir.”Nicholas mendesah khawatir, ia melirik bawaannya yang berada di tangan, kemudian menatap Diana dan Rose secara bergantian.“Rose, tolong jangan buat kekacauan,” tegas Nicholas, “aku tidak bisa menolongmu jika pemilik rumah keberatan dengan dirimu.”Rose menarik napas pelan, ia menatap Diana dan Nicholas secara bersama, “Aku tidak butuh perhatian kalian berdua,” kayanya, “jika kau tidak suka dengan keberadaanku, maka menjauhlah!”“Rose!” geram Nicholas mulai terpancing, “kau bukan siapa-siapa. Bukan berarti kau dekat dengan pak Ethan lantas kau berani berada di tempat ini, ya.”Rose memutar mata malas, “Terima kasih karena sudah mengingatkan siapa aku. Tapi, dari pada kau bersusah payah, lebih kalian berdua masu
William memicingkan mata ketika Rose mencoba melepaskan pelukan mereka, “Apa kau marah? Kau cemburu?” tanya William mulai menggoda.“Tidak, untuk apa aku cemburu padanya,” ketus Rose memalingkan wajah.“Kalau begitu jelaskan padaku kenapa wajahmu masam?” William menahan tawa.“Tidak,” bantahnya.William tersenyum tipis, lalu dengan lembut mengapit dagu Rose agar kembali menatapnya. “Lalu kenapa memalingkan wajahmu dariku?”Rose melepas tangan William lembut, ia menarik napas pelan dan berkata, “Jangan mengada-ada. Aku hanya tidak suka melihatmu terlalu dekat dengannya.”William menarikkan sebelah alisnya. “Jadi, kau hanya tidak suka atau melihatku dengan, atau itu kata lain dari kata cemburu?”Rose menggigit bibir dalam, ia kembali memalingkan wajah menyembunyikan rona yang semakin memerah. “Berhenti menggodaku Willie.”“Tidak sebelum kau mengakui perasaanmu.” William semakin kekeh, ia kembali memeluk Rose semakin eratnya.Jantung keduanya berdebar begitu kencang. Tidak ada di antara
“Katakan saja kenapa kau datang selarut ini?” William yang belum sempat membersihkan diri melepas kemeja miliknya dan menyampirkan di badan kursi.Melihat otot tangan William yang kekar serta leher yang begitu kokoh, Kanaya menelan ludah kasar. Ia mendekat dengan tanpa sadar, meremas tangan William dengan erat.“William, ototmu–”“Kanaya,” tegur William membaca isi kepala temannya.Wanita kru mengerucutkan bibir, ia melepas tangan William dan duduk di sofa. “Sebelum menikah dengannya, kau tidak pernah seperti ini. Sekarang, aku merasa kau semakin jauh.”“Coba cari kekasih, Kanaya. Hidupmu akan lebih baik ketika mendapatkan seseorang yang paham dengan dirimu.”“Mana bisa aku mencari pria lagi, aku, kan–”“Jangan macam-macam. Kau sudah seperti adik bagiku,” kata William.“Tapi, aku menginginkanmu, William. Katakan saja padaku jika pernikahan kalian hanya pernikahan palsu, ya kan?”William menarik napas panjang sebelum menatap Kanya datar, “Jangan bicara omong kosong.”Kanaya menggigit b
Tawa William pecah, seketika rasa ingin mengolok Nicholas lenyap begitu saja. Mantan kekasih Rose itu hanya bisa menyembunyikan rasa malunya dari balik senyum kecil.“Maafkan saya jika telah lancang, Pak. Saya mengira, istri Anda cemburu karena Anda dekat dengan wanita lain,” ujar Nicholas.“Hum, kau benar,” kata William, kehadiran Kanaya mungkin saja mengganggu Rose, sehingga wanitanya merasa rendah diri.“Kalau begitu, apa yang bisa kuberikan padanya. Aku ingin dia melihat bahwa aku ini begitu mencintainya,” terang William berterus terang.Nicholas terdiam sesaat. Ini bukan hal sulit untuknya, apalagi dia juga memiliki wanita yang mudah marah jika cemburu.“Wanita menyukai barang-barang mewah,” kata Nicholas, “istri Anda mungkin saja telah mendapatkan semua, untuk itu saya menyarankan membawanya untuk berlibur.”“Berlibur?” ulang William memikirkan, “ini tidak bisa, kita memiliki banyak agenda di kemudian hari.”Nicholas tersenyum memahami, “Anda benar. Tapi, tidak ada salahnya memb
“Buka mulutmu.” Rose menyodorkan sendok berisi makanan di depan mulut sang suami. Ia sengaja ingin menghindari suasana panas karena begitu lelah.“Rose, aku tahu kau sengaja melakukan ini. Kau tidak rindu padaku?” decak William kesal.“Buka dulu mulutmu. Kau harus mencoba masakan istrimu,” paksa Rose masih tetap sabar.Menarik napas panjang, William membuka mulut dan menerima suapan istrinya. Ia tersenyum lembut dengan tatapan hangat, “Aku merasa pernikahan kita adalah yang paling luar biasa,” ungkapnya, “kau paket komplit.”“Artinya ini enak?”“Hum tentu saja. Ini enak,” jawabnya kembali membuka mulut.“Syukurlah. Aku senang karena kau suka masakanku,” desahnya, mengingat ke belakang, Nicholas tak pernah sekalipun memuji masakannya.“Ini enak, kau juru masak terbaik setelah masakan ibuku,” sambung William seiring dengan tatapan matanya mulai berubah.Sesaat ruang makan terasa aneh, William terlihat tak bersemangat dalam kunyahannya, “Andai saja ibu masih ada, dia akan memuji dirimu j