Nathaniel terkekeh, tetapi ia masih berpikir jika wanita yang ditemuinya masih sendiri.Mereka berdua terlihat akrab satu sama lain, Nathaniel yang memang mudah bergaul dengan siapa pun. Ia selalu bisa mencairkan suasana yang sempat dingin.“Ah, sudahlah. Ini sangat memalukan karena membicarakan wanita yang bahkan saya tidak tahu apakah sudah menjadi milik orang atau masih sendiri,” kata Nathaniel merasa menyesal.“Hum, lebih baik kita bicarakan tentang pekerjaan kita yang lebih pasti saja,” balas William pada akhirnya."Anda benar, Pak. Sekali lagi, terima kasih atas pernikahan Anda. Saya dan keluarga turut bahagia mendengarkan berita baik ini," katanya dengan setulus hati."Terima kasih Pak Nathaniel. Saya pun berdoa semoga Anda menemukan belahan jiwa Anda secepatnya.""Ya. saya masih tetap berharap, wanita tadi belum menjadi milik siapa pun. Jika itu terjadi, saya akan langsung menikahinya dan mengundang Anda secara langsung."William tertawa ramah, setelahnya kembali serius dengan
Rose masuk ke dalam mobil dengan jantung berdebar. Takut jika Nicholas mendapatkan ancaman dari orang William.“Bagaimana harimu?” William menatap istrinya dengan tatapan penuh tanya. Ia menahan diri untuk tidak membahas soal pria di sana untuk kenyamanan Rose.Ia menoleh dengan senyum. “Hum, menyenangkan.”William mengangguk, ia menatap dengan seksama wajah Rose yang masih terlihat tegang. “Ada apa dengan wajahmu? Kau melihat hantu?”“Hantu?” ulang Rose, “ya, hantu jadi-jadian,” imbuhnya terkekeh geli.Mendadak suasana terasa kaku, tatapan mata William seolah menembus ke dalam jantung.“Pak, eh. Maksud saya, Willie,” katanya, “ke-kenapa Anda menatap saya seperti itu?”William memajukan tubuhnya, mendekatkan wajahnya dengan wajah Rose yang semakin pucat. “Kenapa, aku adalah suamimu, tidak ada yang bisa melarang menatap dan memelukmu sesuka hati.”Rose menelan ludah kasar, kata-kata terdengar begitu menusuk, seolah pria itu mengaskan bahwa dirinya hanya milik William seorang.Tangan pr
“Selamat datang kembali, Bu.” Para pelayan berdiri dengan tangan berada di depan. Mereka memasang wajah cerah dengan senyum yang lebar.“Terima kasih,” jawab Rose tersenyum lembut, ia melirik William yang mengangguk kecil seraya melangkah masuk ke dalam rumah.“Pak, Anda ditunggu oleh seseorang sejak beberapa menit yang lalu,” lapor salah satu pelayan memberanikan diri untuk memberitahu.William dan Rose menoleh bersama, sebab mereka tidak melihat ada mobil lain di parkiran.“Siapa?” tanya William.“Nona Kanaya,” jawab mereka ragu. Rose menatap bingung pada William yang terlihat tersenyum kecil dengan berita yang didengarnya. Ia mengusap lengan William lembut. “Pergi temui.”William mengangguk. “Naik lebih dahulu dan tunggu aku dengan gaun hitam.”Wajah Rose kembali memerah bersemu, ia mengangguk malu-malu. “Baiklah.”Wanita cantik itu berbalik dan membawa langkah menaiki anak tangga dengan lesu. Ia begitu lelah hingga tak akan berpikir siapa tamu suaminya.Sampai di kamarnya, Rose l
Si pelayan menelan ludah kasar, “Itu, saya hanya tidak ingin Anda salah paham,” katanya, “nona Kanaya hanya teman baik Pak William.”Rose mengangguk mengerti, ia pun tak berpikir jika William memiliki wanita lain, sedangkan mereka telah menikah.“Tenang saja. Aku tidak seperti itu,” ujar Rose seraya tersenyum kecil, “ayo kita temui dia.”“Silakan Bu. Kamar nona Kanaya di sana.”Rose mengangguk, ia tak sabar melihat tamu suaminya yang seumuran dengannya. Rose yakin, Kanaya yang William maksud adalah wanita baik dan juga manis.Setibanya di depan kamar Kanaya, Rose mengetuk dengan pelan, lalu membuka pintu dengan hati-hati.Di dalam sana, Kanaya yang baru selesai dengan riasannya menoleh ke arah wanita cantik dengan gaun indah.“Selamat malam,” sapa Rose ramah, “aku adalah Rose—istri William,” imbuhnya masih dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya yang tipis.Kanaya masih terpaku di tempatnya, wajah bulat Rose serta bola mata yang indah berhasil mencuri perhatiannya.“Aku … kenalkan,
Nicholas memijat pangkal hidung kuat, masalah dengan Rose belum selesai, kini kembali mendapat masalah dari Diana.“Ibuku jangan kau beritahu, aku–”“Ibumu sudah tahu, Nico.” Diana mengusap wajah pelan. “aku tidak tahu, kenapa kau tidak mau kita memiliki anak.”Nicholas menoleh dengan tatapan tak percaya. Akan tetapi, ketika menatap wajah melas Diana, ia luluh dan meminta untuk mendekat.“Maafkan aku,” ujar Nico lembut, “aku terlalu terkejut dengan berita ini.”Diana mendongak. “Kau senang, kan Jika aku hamil, ini adalah anakmu, Nico.”“Hum, kita akan menikah, tapi beri aku waktu untuk membujuk ibuku,” pinta Nicholas memikirkan cara untuk meluluhkan hati ibunya.“Dia harus merestui kita. Aku akan memberikan cucu yang pintar agar dia tidak memikirkan wanita itu lagi,” dengus Diana.“Hum, kalau begitu aku kembali dulu.” Nicholas melerai pelukan mereka dan mengecup kening Diana lembut.“Kau tidak menginap?” Diana bersedekap dengan bibir mengerucut.“Lain kali saja. Ibu pasti sedang menun
“William, kau sadar dengan keputusanmu? Kau membiarkan dia ke kantor dengan pakaian … oh, ya ampun, William.” Kanaya memijat pangkal hidung, ia tak bisa membayangkan omongan orang lain terhadapmu William karena kebodohan Rose.“Jangan khawatir. Aku tidak akan semobil dengan Willie,” ujar Rose, “aku bisa pergi dengan angkatan umum.”“Tidak!” protes William.Ethan masih berdiri memantau semua, ia tidak ingin ikut campur, tetapi ia siap menjaga Rose dengan baik.“Benar kata Kanaya, akan terlihat aneh jika aku naik mobil denganmu, Willie,” ucap Rose menatap suaminya.Menurutnya tak ada yang salah dengan penampilannya, ia cantik dan juga rapi. Ya, mungkin yang Kanaya minat adalah Rose tidak mengenakan dres yang ketat.“Tapi, Rose. Ini bukan ide yang bagus, kau … aku tidak bisa melihatmu dengan angkutan umum.” William menggeleng tak setuju.Membuang napas pelan, Rose harus tetap sabar sebelum William membatalkan dirinya bekerja di kantor.“Tapi, William. Bagaimana jika ada yang mengetahui k
Nicholas turun dari mobilnya. Ia menatap takjub pada pemandangan di hadapannya. Gedung tinggi yang kokoh dengan nama nama yang besar terukir megah.Ia membenarkan jas miliknya dan melangkah begitu wibawa. Tak pernah menyangka akan dipindahkan pada perusahaan induk yang menjadi incaran semua orang.“Hidupku sangat beruntung,” katanya bangga pada dirinya sendiri.Melangkah masuk untuk yang pertama kalinya. Nicholas disambut hangat lantaran semua sudah mengetahui tentang kepindahan beberapa hari sebelum ia menginjakkan kaki di tempat ini.“Apakah Anda Pak Nicholas?” Edwin berdiri di sebelah Nico yang hendak memasuki lift. Ia menoleh dan menatap pria dengan tubuh tidak terlalu bagus di sebelahnya.“Benar. Saya dipindahkan beberapa hari yang lalu,” ujarnya seraya tersenyum hangat.Edwin mengangguk paham. “Kamu semua sudah mengetahui hal itu. Bahkan beberapa diantara kami tidak sabar untuk bertemu.”Nicholas tersenyum begitu kecil, hatinya semakin tenang karena tempat ini langsung menyambut
William menaikkan sebelah alisnya, ia menatap Rose yang terlihat lebih gugup dari sebelumnya. Tak tahan dengan tingkah keduanya, Kanaya berdiri dari duduknya. Ia meraih tasnya dengan kasar dan langsung meninggalkan ruangan William.Melihat itu, Rose hanya mendesah seraya berjalan ke arah William yang terlihat tak acuh. “Dia sepertinya sangat marah, Willie.”William menarik lembut Rose dalam pangkuannya, mendudukkan istri kecilnya yang semakin cantik. “Biarkan saja. Dia yang memaksa ingin ikut.”“Tapi, sepertinya dia menyukaimu, kau tidak tahu?” Rose menahan diri untuk tidak mendesah dengan kelakuan William yang semakin menjadi.“Tahu. Aku berteman dengannya sudah lama. Aku tahu semuanya,” jujur William tetapi tangannya terus bergerilya ke tubuh sang istri.Rose memicingkan mata menggemaskan, “Bukankah ini akan membuatnya sakit hati, kau memilih menikah wanita asing dibandingkan dengan teman lama?”Mengedikkan bahu tak acuh, William berdecak, ia mengulurkan tangan pada wajah Rose dan
“Dari mana saja kau?”Rose berhenti di depan pintu, ia mendongak dan mendapati William sudah berdiri di tengah tangga dengan tatapan dingin ke arahnya. Di sebelah sana, ada Matilda dan Kanaya duduk dengan santai menikmati adegan suami istri yang belakangan terjadi kesenjangan. Rose membuang napas dan melangkah ragu. Ia merasa bersalah karena kembali terlambat, tetapi ia bisa pastikan bahwa dia tidak bersalah sepenuhnya.“Aku mencari buku,” jawab Rose jujur, ia bahkan menunjukkan barang belanjaannya yang begitu banyak.“Wah, kau habiskan banyak uang William dengan barang yang tidak penting,” timpal Kanaya dengan sinis.“Aku tidak menggunaan uang William. Ini semua kudapatkan dari sisa tabunganku,” balas Rose membalas tatapan Kanaya.“Kau ingin katakan jika William tidak memberikan uang padamu? kata Kanaya, ia berdiri. “kau keterlaluan.”Mendesah lelah, Rose menatap William yang masih berdiri mematung ke arahnya, “Maafkan aku karena pulang terlambat. Supir yang--”“Kau ingin menyalahka
Matilda meminta Kanaya membawanya ke dalam kamar. Ia merasa pusing mendadak setelah meninggikan suara. Diam-diam Kanya merasa senang, ia yakin sebentar lagi, William akan mengusir Rose karena menyebabkan nenek mereka sampai seperti ini.Sementara Rose, ia tetap tinggal di ruang keluarga, menatap Matilda yang semakin menjauh bersama Kanaya, “Bagaimana nenek bisa mengetahuinya,” resahnya, ia ketakutannya terjadi ketika menyadari ada yang mencoba mengambil gambarnya kala itu.“Aku harus bagaimana sekarang. Bagaimana jika William tahu dan dia semakin marah padaku,” katanya semakin merasa gelisah.Tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan, Rose kembali ke kamar atas untuk meraih tas dan ponselnya. Ia sudah memiliki janji dengan seseorang yang tidak bisa diabaikan.Langkahnya pelan menuruni tangga, ia sedikit nyeri ketika mengingat adegan film yang menayangkan seseorang terjatuh di tangga sampai terguling. Ia memegang perutnya untuk menjaga diri. Sampai di lantai bawah, dua pelayan yang bia
William menoleh sekilas. “Mungkin kembali malam, Nek.”Matilda mengangguk, ia kembali fokus pada Rose yang terlihat canggung dengan mata yang sembab. Ia mengerutkan kening. “Ada apa dengan matamu?”Rose mengusap wajahnya seraya tersenyum tipis. “Semalam tidur terlambat, mungkin karena hal itu.”“Kau tidak berbohong padaku?” Matilda membenarkan duduknya semakin anggun.“Tidak mungkin aku berani berbohong, Nek.”Matilda membuang napas perlahan, kemudian menatap kedatangan Kanaya yang terlihat canggung. Wanita cantik itu tidak melihat ke arah Rose sama sekali.“Nenek, apa aku bisa duduk di sini. Di luar aku merasa kesepian,” kata Kanaya dengan suara lembut.“Duduklah, aku ini manja sekali,” balas Matilda tersenyum lembut. Melihat itu, Rose merasa cemburu. Semenjak surat perjanjian itu, Matilda memang terasa lebih berbeda, lebih menjaga jarak darinya.Fokus dengan tatapan kosong Rose, Matilda segera menyadarkan wanita baik di sebelahnya. Ia menepuk pelan paha Rose untuk membuatnya kembali
William terdiam di tempatnya, ia bahkan tidak bisa menggerakkan kaki sekedar untuk menenangkan sang istri yang sudah berlalu dengan kemarahan.“Ya ampun, William,” ujarnya frustasi, “kenapa dia tidak bisa mencerna kata-kataku dengan baik.”William mengusap wajah kasar, kemudian keluar dari kamar mandi dan merenung di dalam kamar miliknya. Sementera itu, di lantai atas. Rose tengah menangis seraya memasukkan ponsel ke dalam tas miliknya. Kata-kata William terlalu menyakitkan baginya. Pria itu dengan tanpa perasaan langsung berkata kasar padanya.“Sudah diingatkan sejak awal, tapi kau memang keras kepala Rose,” ucapnya sambil sesegukan.Ia menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat. Hati kecilnya masih berharap William luluh seperti kemarin dan meminta maaf padanya, tetapi sampai beberapa menit menunggu, tidak ada seorang pun yang membuka pintu.Rose menatap ke arah nakas, memperhatikan tanggal dengan mata sebabnya. Ia berdiri dan segera beranjak ke kamar mandi dengan tubuh yang lem
“Tentu saja, kau meragukan kemampuanku dan aku tersinggung.”Rose memutar mata malas, ia mengambil pisau dan memotong roti dengan tidak sabar. “Ini sangat enak dari wangi ya.”William mengangguk. “Tentu saja, sudah aku katakan, aku berbakat dalam apa pun.”Satu potong kecil masuk ke dalam mulut. Rose menatap William dengan tatapan curiga, “Ini enak.”William menjentikkan jari dengan semangat. “Sudah tidak diragukan lagi bukan, ini enak Nyonya.”Rose terkekeh kembali, “Terima kasih, kau pasti sudah berjuang dengan sangat keras untuk roti yang enak ini.” William menarik kursi untuk istrinya, membantu Rose untuk duduk dengan ayam sembari menikmati roti panggang yang masih panas. “Ah, aku melupakan sesuatu,” kata William segera beranjak dari posisinya.Dengan mulut yang masih terisi dengan roti hangat, Rose kembali dikejutkan dengan apa yang ada di tangan William saat ini. Dua gelas minuman yang keduanya sangat ia sukai.“Willie, kau yang membuat ini semua?” Rose meraih gelas susu yang
Di gedung tinggi yang menjulang kokoh, pria dengan kemeja abu-abu mengusap wajah dengan kasar. Ia membuang napas berulang kali setiap kali mengingat sang istri dan ibunya yang tidak bisa akur. Pintu ruangan terbuka setelah diketuk. Nicholas menyambut tamunya dengan senyum tipis.“Apakah saya mengganggu Anda?” Edwin masuk dan menatap wajah Nicholas yang terlihat kusut, “apa ada masalah serius?”Nicholas mempersilakan Edwin duduk, “Duduklah! Saya merasa tatapan Anda semakin terlihat aneh.”Edwin terkekeh, ia semakin menggeser duduknya lebih dekat. “Aku datang ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Anda Pak.”Nicholas mengerutkan kening, bingung karena Edwin bisa tahu sebelum ia menyebarkannya sendiri. Sekarang ia tahu, kenapa karyawan lainnya menatapnya seraya berbisik sejak kedatangannya.“Saya dan anak-anak yang lain sudah sepakat untuk merayakan ini, Pak,” sambung Edwin dengan wajah cerah, “sepulang kerja nanti, kita semua makan bersama dan Anda yang traktir.”Nicholas sampai terb
William dengan tergesa turun dari lantai atas setelah membersihkan diri. Sudah hampir setengah jam, tetapi Ethan belum juga menelpon dan memberinya kabar tentang keberadaan Rose.“Pak sarapan Anda,” kata pelayan mengingatkan.William berbalik, ia menatap dingin pada pelayan wanita yang diminta untuk memenuhi kebutuhan Rose selama ini. “Apa kau tidak bisa mencegahnya untuk tidak pergi?”“Maafkan saya Pak,” katanya seraya menunduk.William membuang napas panjang, ia kembali meneruskan langkahnya karena ada acara penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ia juga yakin jika Ethan sudah siap menunggunya di tempat tujuan.“Aku akan memaafkanmu jika itu bukan rumah ibu Nicholas, Rose. Tapi, jika itu rumah wanita itu, aku berjanji akan mengirim mereka semakin jauh dari tempat ini.”William meminta supir membawanya ke tempat yang telah dijanjikan. Urusan Rose biar anak buah Ethan yang mencarinya hingga ketemu.Di tempat yang berbeda, Rose yang sudah sampai beberapa menit yang lalu, terlihat menikm
“Kau yakin?” tanya William dengan wajah mengetat.Dokter dengan usia separuh dari usia neneknya itu mengangguk. “Jika kau tidak percaya, lebih baik bawa dia langsung ke rumah sakit. Aku khawatir pada kondisinya.”William mengusap wajah kasar, ia tidak mengira jika rasa khawatirnya semakin membuatnya sesak napas. Ia berdiri, menatap dokter keluarganya yang ikut berdiri mengikuti dirinya.“Aku akan kirim tagihannya,” kata William berjalan lebih dahulu ke lantai atas.“Apa apa dengannya, kenapa wajahnya tidak terlihat senang,” kata sang dokter kebingungan. Ia meraih tas miliknya kemudian berjalan keluar dengan langkah yang pasti.Sementaa itu, di lantai atas. William yang baru saja membuka pintu di kejutkan oleh Rose yang baru saja kedua dari kamar mandi. Wanita itu menatapnya bingung.“Ada apa?” tanya Rose berjalan dengan handuk kecil di tangannya.“Bagaimana keadaanmu?” William berjalan ke arah sang istri yang masih terlihat pucat. Ia masih bingung, kenapa Rose bisa hamil sedangkan di
“Apa katamu?”Diana terbelalak dengan ucapan Nicholas yang begitu mengejutkan, “Kita akan menjadi orang tua. Anak kita akan lahir dan kau bilang aku tidak waras?”“Aku tidak mau tahu, kita harus mencari rumah dan menyiapkan semua kebutuhan anak kita,” putus Diana sepihak.Nicholas membuang napas kasar, melirik perut Diana yang makin terlihat, sementara ia masih terganggu dengan ucapan Tiana beberapa saat yang lalu, “Biarkan aku bicarakan ini pada ibu dulu, dia sudah tua dan—”“Terserah kau saja, tapi aku tidak ingin ibu serumah dengan kita.”Nicholas menoleh cepat. “Apa kau bilang?”Membuang napas frustasi, Diana membalas tatapan Nicholas, “Ibu tidak menyukaiku, aku khawatir kehamilanku terganggu karena kami saling bersitegang.”“Kau tidak berusaha dengan baik, Diana. Ibu sangat baik jika kau bisa merebut hatinya seperti Rose,” kata Nicholas tanpa sadar.“Rose?” ulang Diana geram, “kita baru saja menikah dan kau bisa menyebut Namanya di hadapanku?”Tersadara dengan kata-katanya, Nicho