Rose berdiri dengan canggung di hadapan pria asing yang masih diingatnya dengan benar. Ia menelan ludah kasar dan melangkah ke arahnya dengan kepala tertunduk.
“Kau pasti sudah dijelaskan dengan baik oleh Ethan,” kata William. Rose mendongak, ia mengangguk dengan tangan saling meremas. Ia menyembunyikan rasa gugup yang melanda. “Hum, saya … saya akan bekerja dengan baik Pak.” William mengangguk. Ia melangkah lebih dahulu ke dalam gedung yang akan mengubah kehidupannya. Rose menghela napas panjang, pengkhianatan Nicholas dan cacian yang diberikan untuknya sebentar lagi akan terbalas. “Kau harus tunjukkan pada Nicholas jika kau pantas menjadi wanita karier Rose,” katanya penuh semangat. Ia melangkah dengan yakin setelah Ethan memintanya untuk masuk ke dalam. Sekali lagi, Rose membuang napas pelan. Sesampainya di dalam, berbagai prosedur telah dilakukan dengan baik. William bernapas lega ketika memegang berkas berharga di tangannya. “Selamat atas pernikahan Anda, Pak.” Ethan datang membawa kotak kecil dan menyerahkan pada William. “Ambil ini,” katanya pada Rose yang seperti menyesal. Ia mendongak dan menerima kotak kecil dengan sebelah tangannya. “Pak, ini hanya sementara kan?” William menaikkan sebelah alisnya dan melangkah lebih dekat, memajukan wajah dan berbisik. “Tidak pantas membicarakan ini padaku, Rose.” Rose tersentak, wangi William menghalau rasa gugupnya seketika. Ia berdehem dan mundur selangkah. “Maksud saya, kita hanya menikah beberapa bulan saja, kan. Setelah itu–” “Cepatlah, kita harus menemui seseorang,” katanya mengajak Rose yang masih terpaku. “Bu,” tegur Ethan menyadarkan istri bosnya. Rose menoleh. “Bu?” Ethan mengangguk kecil. “Anda sudah sah menjadi istri bos saya.” Rose kembali membuang napas, “Kenapa tidak mengatakan jika pria itu adalah bosmu? Bisa saja kan saat itu aku menolak,” sesalnya. “Silakan Bu.” Ethan meminta Rose melangkah mengikuti langkah lebar bosnya. “Rose, kau masuk di tempat yang salah. Kau akan habis setelah ini,” gumamnya, “selain Nicholas, pria itu juga ingin dihindari. Rose membenarkan duduknya, ia memalingkan wajah karena masih merasa malu. “Kau boleh meminta apa pun padaku sebagai hadiah,” kata William sibuk dengan tablet di tangannya. Rose menoleh dan terdengar helaan napas pelan. “Saya lelah, bisakah Anda membawa saya kembali?” “Apakah Ethan tidak memberitahu semuanya?” William menatap punggung Ethan yang terlihat menegang. “Jangan menatap pak Ethan seperti itu, Pak,” protes Rose, “dia sudah melakukan banyak tugas untuk Anda.” Ethan semakin menegang, ia menelan ludah kasar mendengarkan penuturan Rose di belakangnya. “Mulai hari ini, kau tidak akan kembali ke kontrakan kecil itu,” tukas William tanpa menoleh, “aku sudah menyiapkan semua keperluan selama menjadi istriku.” “Boleh saya tahu selama apa saya menjadi istri Anda?” tanyanya menahan gugup. “Kita baru saja menikah, Rose. Tidak bisakah kau tahan untuk menanyakan hal ini?” William menoleh dengan tatapan dingin. “Maafkan saya,” jawabnya, “jadi apakah besok saya sudah boleh masuk ke kantor?” Di depan kemudi, Ethan menahan napas, ia tidak menduga jika gadis yang bosnya nikahi sangat keras kepala. “Kita akan bicarakan ini setelah bertemu dengan seseorang,” jawab William menahan kesal. Rose mengangguk, ia menatap kotak kecil di tangannya. Entah apa isinya di dalam, tetapi tak sedikit pun, ia berniat membukanya Beberapa hari yang lalu, ia sudah menolak permintaan Ethan untuk rencana pernikahan ini. Akan tetapi, setelah kembali dihina oleh Nicholas, ia memutuskan semua. William menoleh tatkala melihat ponsel Rose berdering. Terlihat bentuk hati berwarna merah di sana. Tidak berselang lama, mobil mereka telah sampai. William membenarkan jas miliknya dan keluar dari mobil. “Bu, silakan!” Ethan membuka pintu dan mempersilahkan Rose berdiri di sebelah William. “Apakah ini rumah Anda, Pak?” tanya Rose pada William. Ia sampai tak berkedip melihat kemewahan yang terpancar. “Rumah keluargaku,” jawabnya, “bersikap baiklah padanya, ingat jangan sampai membuatnya tersinggung atau kau–” “Saya mengerti Pak,” potongnya cepat. “Panggil William. Aku adalah suamimu jika di hadapan orang lain,” jelasnya. “Baik Pak. Maksud saya William.” Masih dengan kecanggungan di antara mereka. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Rose seketika berdiri dengan tegap, ia memasang senyuman dan bersiap menyapa. “Selamat siang, Ibu,” sapanya hormat. Matilda berdiri lebih dekat, memperhatikan Rose dengan teliti, kemudian menatap cucunya yang terlihat sangat tak acuh. “Berapa yang anak nakal ini bayar padamu?” tanyanya langsung pada Rose. “Bayar?” Matilda mengangguk kecil. “Aku tahu jika Willie membayarmu untuk menjadi istri pura-pura, kan?” Rose melirik ke arah William yang terlihat terkejut. Rose tersenyum kecil dan hangat, “Sepertinya Anda salah paham pada kami, Ibu,” jawabnya, “Pak Willian tidak–” “Pak?” ucap Matilda dengan senyum kecil. Rose terkekeh gugup. Ia meraih tangan Matilda dan mengusapnya dengan lembut. “Saya lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan itu, Ibu. William juga tak keberatan, benarkan?” Ethan dan yang lain menunduk menahan takut, mereka seolah bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. William berdehem, “Kau boleh memanggilku apa saja, Sayang. Tapi, panggil wanita cantik ini dengan sebutan Nenek, bukan Ibu.” ‘Apa ini, dia memanggilku Sayang,’ batin Rose semakin khawatir dengan pekerjaan mereka. William menatap neneknya yang masih terlihat curiga, “Nek, aku sudah menepati janjiku. Aku sudah menikah,” katanya mengingatkan. “Ah, maafkan saya Nek. Saya mengira Anda adalah Ibu dari William, Anda masih sangat muda dan cantik,” puji Rose tanpa canggung. “Benarkah? Kau juga sangat manis,” balas Matilda. Matilda membalas pegangan tangan Rose, kemudian membawa cucu perempuannya ke ruang tamu. “Kemarilah, aku akan tunjukkan padamu sesuatu,” kata Matilda membawa Rose semakin masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, William segera mencegah. “Nek, kami harus kembali,” cegahnya. “Kembali?” Matilda melepas pegangan tangan Rose dan menatap kesal pada cucunya. “Apakah kalian menyembunyikan sesuatu dariku?” William mendengus kecil, “Nenek, kenapa tidak percaya padaku? Aku sudah menikah seperti yang nenek inginkan, bukan?” William memijat pangkal hidung, ia pening. “Karena kalian berdua sudah menikah, Nenek sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian berdua,” terang Matilda menatap Rose yang kebingungan. “Kemarilah, Nak. Kaki tuaku sudah tidak bisa berdiri terlalu lama,” ujar Matilda membawa Rose duduk di sofa. “Nek, apakah kakimu sakit, biar aku yang memijatnya.” Rose berjongkok setelah Matilda duduk dengan nyaman di sofa. “Eh, apa yang kau lakukan, tidak perlu,” tolaknya meminta Rose duduk di sebelahnya. “Tidak apa Nek. Kau adalah nenekku sekarang, jadi aku berkewajiban merawatmu, kan?” Matilda tersenyum, ia mengusap kepala Rose dengan lembut. Sementara William ia hanya mengedikkan bahu. “Kau memilih gadis yang tepat, Willie. Setidaknya, kau lebih unggul dari ayahmu. Jadi mulai besok kalian--"Rose duduk dengan jantung berdebar. Di hadapan ada William menatap dirinya begitu tajam dan dingin. “Saya tidak tahu jika Anda adalah pemilik dari perusahaan itu,” katanya setelah sama-sama terdiam. Dengan susah payah, akhirnya William berhasil membawa Rose keluar dari rumah neneknya. Akan tetapi, dengan persyaratan keduanya harus tinggal di rumah yang sudah Matilda siapkan. “Apakah kau tidak ingin minta maaf?” tanya William. “Minta maaf?” Rose berusaha untuk tenang. “Kau tidak merasa bersalah atas apa yang telah terjadi?” Rose menelan ludah kasar, ia meremas tangannya dengan kuat. “Saya sudah menebus kesalahan saya dengan pernikahan ini, kan?” “Kau menganggapnya seperti itu?” tanya William, “bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu bekerja di kantor?” “Tidak boleh!” Rose berdiri protes. “Kenapa?” William bersedekap. “Pak, saya setuju menikah dengan Anda karena tujuan pekerjaan. Jika saya tidak boleh bekerja, lalu untuk apa–” “Untuk menebus kesalahanmu. Kau telah m
Rose mengerjap beberapa kali. Ia menelan ludah kasar ketika William menatap dirinya begitu dalam.“Pak, bisakah Anda lepaskan saya?” katanya mencoba tidak terdengar gugup. Tubuhnya sudah tertahan di dinding dengan kedua tangan berada di atas kepala.“Ulangi apa yang kau katakan tadi?” Suara William terdengar parau, terlihat begitu menggoda dengan hidung mancungnya.“Pak, saya harus ke rumah Nicholas, ibunya–”“Ingin bertemu ibunya atau kekasihmu itu?” Rose menelan ludah lagi, ia gugup bukan karena merasa bersalah, tetapi karena aroma parfum William yang begitu lembut.“Saya sudah katakan, dia bukan kekasih saya lagi,” jelasnya, “tolong beri saya waktu beberapa jam untuk melihatnya.”William melepas cekalan tangannya pada lengan wanita yang baru saja dinikahi. Mundur beberapa langkah dan mengangguk. “Pergilah! Kau bisa meminta supir untuk menemanimu.”Rose melebarkan senyumnya, ia mengusap tangannya yang dicekal William. “Saya akan kembali sebelum tengah malam.”"Pergilah sebelum aku
Suara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer. “Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya meng
“Ah …,” lenguhan lembut terdengar begitu indah. Tubuh yang masih dipenuhi dengan keringat terbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka. “Nicholas, aku sudah katakan, aku bukan wanita bodoh, aku hebat,” gumamnya dengan bibir tersenyum kecil. Si pria yang masih berada di atasnya kini membaringkan tubuh, menempelkan kulit basah mereka berdua. “Dia bermain denganku, tetapi masih menyebut nama pria lain,” decaknya dengan napas yang sama memburu. Karena lelah, ia memejamkan mata dengan sebelah tangan berada di atas kepala. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan panasnya permainan mereka. “Gadis bodoh,” imbuhnya sekali lagi sebelum ia benar-benar tak tertidur karena kantuk. Di tempat yang lain, Nicholas tengah mengumpat karena mendapatkan telepon dari ibunya. “Kemana dia?” geram Nicholas mematikan ponselnya, berjalan ke arah kamar di mana masih ada Diana dengan wajah yang muram. “Kenapa masih saja memikirkan dia, Nich. Bukankah kau sudah memutus
William mengangguk, tak ada yang bisa membantah kemauan neneknya. Mereka memasuki rumah mewah dengan interior yang begitu megah. Beberapa pelayan wanita berbaris sembari menundukkan kepala. Ini adalah hari yang sangat besar, kehadiran William adalah perayaan yang luar biasa. “Aku tidak bisa berlama-lama, Nek. Aku ada banyak pekerjaan.” William duduk di sebelah wanita cantik yang sudah tak lagi muda. “Nenek tidak peduli dengan pekerjaanmu. Ada Ethan yang bisa kamu minta, Willie.” Ethan yang namanya disebut lantas mendongak, ia menatap William yang berdecak mengabaikan. “Dia sudah banyak pekerjaan. Aku tidak mungkin membebani dirinya dengan pekerjaan lain,” celetuknya kasihan pada Ethan. “Lupakan itu. Nenek sudah mengurus kencan buta untukmu, malam nanti datanglah ke–” “Ini kencang buta yang ke-99 Nek. Apa tidak malu melihatku melakukan hal kekanakan ini?” William meraih cangkir teh miliknya lalu menyesapnya sedikit. “Aku menolak, aku tidak ingin melakukan apa yang Nenek
Rose mengerjap beberapa kali. Ia menelan ludah kasar ketika William menatap dirinya begitu dalam.“Pak, bisakah Anda lepaskan saya?” katanya mencoba tidak terdengar gugup. Tubuhnya sudah tertahan di dinding dengan kedua tangan berada di atas kepala.“Ulangi apa yang kau katakan tadi?” Suara William terdengar parau, terlihat begitu menggoda dengan hidung mancungnya.“Pak, saya harus ke rumah Nicholas, ibunya–”“Ingin bertemu ibunya atau kekasihmu itu?” Rose menelan ludah lagi, ia gugup bukan karena merasa bersalah, tetapi karena aroma parfum William yang begitu lembut.“Saya sudah katakan, dia bukan kekasih saya lagi,” jelasnya, “tolong beri saya waktu beberapa jam untuk melihatnya.”William melepas cekalan tangannya pada lengan wanita yang baru saja dinikahi. Mundur beberapa langkah dan mengangguk. “Pergilah! Kau bisa meminta supir untuk menemanimu.”Rose melebarkan senyumnya, ia mengusap tangannya yang dicekal William. “Saya akan kembali sebelum tengah malam.”"Pergilah sebelum aku
Rose duduk dengan jantung berdebar. Di hadapan ada William menatap dirinya begitu tajam dan dingin. “Saya tidak tahu jika Anda adalah pemilik dari perusahaan itu,” katanya setelah sama-sama terdiam. Dengan susah payah, akhirnya William berhasil membawa Rose keluar dari rumah neneknya. Akan tetapi, dengan persyaratan keduanya harus tinggal di rumah yang sudah Matilda siapkan. “Apakah kau tidak ingin minta maaf?” tanya William. “Minta maaf?” Rose berusaha untuk tenang. “Kau tidak merasa bersalah atas apa yang telah terjadi?” Rose menelan ludah kasar, ia meremas tangannya dengan kuat. “Saya sudah menebus kesalahan saya dengan pernikahan ini, kan?” “Kau menganggapnya seperti itu?” tanya William, “bagaimana jika aku tidak mengizinkanmu bekerja di kantor?” “Tidak boleh!” Rose berdiri protes. “Kenapa?” William bersedekap. “Pak, saya setuju menikah dengan Anda karena tujuan pekerjaan. Jika saya tidak boleh bekerja, lalu untuk apa–” “Untuk menebus kesalahanmu. Kau telah m
Rose berdiri dengan canggung di hadapan pria asing yang masih diingatnya dengan benar. Ia menelan ludah kasar dan melangkah ke arahnya dengan kepala tertunduk. “Kau pasti sudah dijelaskan dengan baik oleh Ethan,” kata William. Rose mendongak, ia mengangguk dengan tangan saling meremas. Ia menyembunyikan rasa gugup yang melanda. “Hum, saya … saya akan bekerja dengan baik Pak.” William mengangguk. Ia melangkah lebih dahulu ke dalam gedung yang akan mengubah kehidupannya. Rose menghela napas panjang, pengkhianatan Nicholas dan cacian yang diberikan untuknya sebentar lagi akan terbalas. “Kau harus tunjukkan pada Nicholas jika kau pantas menjadi wanita karier Rose,” katanya penuh semangat. Ia melangkah dengan yakin setelah Ethan memintanya untuk masuk ke dalam. Sekali lagi, Rose membuang napas pelan. Sesampainya di dalam, berbagai prosedur telah dilakukan dengan baik. William bernapas lega ketika memegang berkas berharga di tangannya. “Selamat atas pernikahan Anda, Pak.” E
William mengangguk, tak ada yang bisa membantah kemauan neneknya. Mereka memasuki rumah mewah dengan interior yang begitu megah. Beberapa pelayan wanita berbaris sembari menundukkan kepala. Ini adalah hari yang sangat besar, kehadiran William adalah perayaan yang luar biasa. “Aku tidak bisa berlama-lama, Nek. Aku ada banyak pekerjaan.” William duduk di sebelah wanita cantik yang sudah tak lagi muda. “Nenek tidak peduli dengan pekerjaanmu. Ada Ethan yang bisa kamu minta, Willie.” Ethan yang namanya disebut lantas mendongak, ia menatap William yang berdecak mengabaikan. “Dia sudah banyak pekerjaan. Aku tidak mungkin membebani dirinya dengan pekerjaan lain,” celetuknya kasihan pada Ethan. “Lupakan itu. Nenek sudah mengurus kencan buta untukmu, malam nanti datanglah ke–” “Ini kencang buta yang ke-99 Nek. Apa tidak malu melihatku melakukan hal kekanakan ini?” William meraih cangkir teh miliknya lalu menyesapnya sedikit. “Aku menolak, aku tidak ingin melakukan apa yang Nenek
“Ah …,” lenguhan lembut terdengar begitu indah. Tubuh yang masih dipenuhi dengan keringat terbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka. “Nicholas, aku sudah katakan, aku bukan wanita bodoh, aku hebat,” gumamnya dengan bibir tersenyum kecil. Si pria yang masih berada di atasnya kini membaringkan tubuh, menempelkan kulit basah mereka berdua. “Dia bermain denganku, tetapi masih menyebut nama pria lain,” decaknya dengan napas yang sama memburu. Karena lelah, ia memejamkan mata dengan sebelah tangan berada di atas kepala. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan panasnya permainan mereka. “Gadis bodoh,” imbuhnya sekali lagi sebelum ia benar-benar tak tertidur karena kantuk. Di tempat yang lain, Nicholas tengah mengumpat karena mendapatkan telepon dari ibunya. “Kemana dia?” geram Nicholas mematikan ponselnya, berjalan ke arah kamar di mana masih ada Diana dengan wajah yang muram. “Kenapa masih saja memikirkan dia, Nich. Bukankah kau sudah memutus
Suara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer. “Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya meng