Malam itu, Eve duduk di kamar kosnya yang remang, hanya ditemani lampu meja kecil yang mulai meredup dimakan usia. Dia memandangi ponselnya dengan cemas, berharap ada kabar dari Clara. Meski harapannya terasa tipis, Eve tidak punya pilihan selain menunggu.
Ponselnya akhirnya bergetar dan nama Clara muncul di layar, membuat hati Eve sedikit berdegup kencang. Eve segera menjawab panggilan itu sigap. "Halo Clara?" Di ujung sana, Clara menghela napas sebelum berbicara. "Eve, aku punya kabar" Eve menegakkan punggung, harapannya tumbuh. "Iya? Ada lowongan kerja?" "Ya, ada" jawab Clara pelan, suaranya terdengar ragu. "Tapi... aku nggak yakin ini pekerjaan yang cocok untuk kamu" Eve mengerutkan kening. "Kenapa? Clara, aku butuh pekerjaan apa pun saat ini. Tolong, kamu bisa memberitahuku" "Masalahnya bukan aku nggak mau ngasih tahu" Clara menjelaskan. "Tapi pekerjaan ini... tingkat kesulitannya tinggi, dan aku nggak mau kamu tambah stres. Tapi kalau kamu maksa, aku akan memberi tahu" Eve menggenggam ponselnya erat. "Clara, aku nggak punya pilihan lain. Aku butuh kerja. Tolong beri tahu padaku" Clara menghela napas lagi, seolah masih mempertimbangkan. "Oke, dengar baik-baik.. Aktor terkenal bernama Adam Valentino. Kamu pasti pernah mendengar namanya kan?" "Adam...Valentino?" Eve mengerutkan kening, mencoba mengingat. Nama itu terdengar familiar. "Ya, Adam Valentino Belmont lebih tepatnya" lanjut Clara. "Dia terkenal, tapi juga problematik. Skandal di sana-sini, banyak media nggak suka dia, dan dia punya reputasi yang kau tahulah...agak buruk. Manager pribadinya baru saja mengundurkan diri pagi ini, padahal baru dua minggu bekerja padanya" Eve membelalakkan mata. "Dua minggu?" "Ya" Clara menjawab tegas. "Dan bukan karena gajinya kecil atau apa. Tapi karena Adam terkenal sebagai 'klien beracun.' Selama ini nggak banyak yang tahan bekerja di bawahnya, hanya dirahasiakan dari media saja" Eve terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Dia merasa gentar, tapi dia tahu dia tak punya banyak pilihan. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?" Clara terdengar ragu-ragu lagi sebelum menjawab. "Kalau kamu mau, aku bisa coba rekomendasikanmu. Mereka butuh manager baru secepatnya, dan kamu bisa langsung mulai besok pagi. Tapi Eve, aku nggak mau kamu ambil ini kalau kamu nggak yakin" Eve menghela napas panjang. Tawaran ini terdengar seperti jebakan, tapi di sisi lain dia tahu bahwa dia membutuhkan pekerjaan apapun secepatnya. Sewa kos, biaya hidupnya juga ibu dan kedua adiknya tidak bisa menunggu. "Aku ambil" kata Eve akhirnya. "Yakin?" Clara bertanya, suaranya penuh kekhawatiran. "Aku nggak punya pilihan Clara. Aku ambil" ulang Eve, kali ini lebih tegas. Clara terdiam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Aku akan bicara dengan kenalanku di manajemen Adam. Aku akan pastikan kamu ada di daftar kandidat besok pagi. Tapi Eve... hati-hati ya. Jangan biarkan dia menginjak-injak kamu. Kalau ada apa-apa, kamu harus mengabariku" "Terima kasih, Clara" ucap Eve tulus, suaranya penuh rasa syukur meskipun hatinya penuh kekhawatiran. Malam itu terasa begitu panjang bagi Eve. Setelah menutup panggilan dengan Clara, dia memandangi langit-langit kamar kosnya yang sempit. Bunyi kipas angin yang berputar pelan menjadi satu-satunya pengisi keheningan. Pikirannya berputar, mencoba meraba-raba kemungkinan apa yang akan terjadi esok. “Manager pribadi Adam Valentino?” gumamnya lagi, suara lirihnya tenggelam dalam ruang kecil itu. Nama pria itu semakin memenuhi kepalanya. Adam Valentino bukan sekadar aktor terkenal. Dia adalah ikon media yang penuh kontroversi. Eve masih ingat beberapa berita besar tentangnya, pesta-pesta mewah yang berujung keributan, komentar pedasnya yang kerap jadi sorotan, hingga hubungan asmaranya yang berakhir dengan drama besar. Adam Valentino adalah sosok yang sulit dihindari dari berita hiburan. Eve meraih ponselnya lagi, kali ini mencari nama aktor yang akan menjadi bosnya di internet. Gambar pertama yang muncul adalah potret Adam dalam setelan mahal dan menatap kamera dengan tatapan tajam. Wajahnya sempurna, hampir seperti pahatan patung yang hidup. Namun di balik semua itu, berita-berita di bawahnya penuh dengan kata-kata seperti "kontroversial" "skandal" dan "bermasalah" Eve mendesah berat, jemarinya menggulir layar hingga menemukan artikel tentang manager-manager sebelumnya. Ada foto beberapa orang, semuanya terlihat sangat profesional, namun entah kenapa tak ada satu pun yang bertahan lama. Beberapa hanya sebulan, yang lain bahkan lebih singkat. Satu artikel menyebutkan bahwa Adam memiliki “ekspektasi yang tidak masuk akal” terhadap stafnya. “Apa yang sudah aku setujui?” pikirnya sambil menutup ponselnya dengan kesal. Namun, meskipun ketakutan mulai menyergapnya, rasa putus asa untuk tetap bertahan hidup lebih besar. Dia tak punya banyak waktu untuk berpikir panjang. Lusa adalah tanggal jatuh tempo biaya sewa kosnya, dan ibunya di kampung sudah menghubunginya untuk meminta bantuan biaya sekolah adiknya bulan ini segera dikirimkan. Eve akhirnya berdiri dan berjalan ke jendela. Dia menarik tirai tipisnya, memandangi lampu-lampu jalanan yang berpendar redup. Pemandangan di luar jendela malam itu terasa seperti dunia yang asing, penuh tantangan yang siap menghantamnya kapan saja. “Ini hanya pekerjaan" bisiknya kepada dirinya sendiri. “Aku hanya perlu bertahan sampai aku menemukan pekerjaan yang lebih baik”Pagi datang terlalu cepat. Alarm di ponselnya berbunyi nyaring, memaksa Eve bangun dari tidur yang nyaris tak nyenyak. Walau matanya masih terasa berat Eve tahu dia tidak boleh terlambat di hari pertamanya. Eve segera mandi lalu memakai blazer terbaik yang dia miliki. Saat Eve berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, dia mencoba tersenyum untuk meyakinkan dirinya sendiri. Tapi bayangan di cermin itu malah memperlihatkan seorang wanita yang terlihat lelah dan gugup. “Eve, kamu pasti bisa melakukan ini” ucapnya pelan, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. Dia mengambil tasnya, memasukkan dokumen-dokumen penting, lalu melangkah keluar dengan hati yang penuh kecemasan. Di luar matahari pagi mulai menyingsing, menerangi jalanan kota yang mulai ramai. Ketika Eve tiba di gedung perusahaan tempat Adam Elias bernaung, dia merasa tubuhnya menegang. Gedung itu tinggi, dengan kaca-kaca besar
Eve menghabiskan sebagian besar pagi itu dengan membenahi meja kerja Adam. Dokumen berserakan di atas meja, jadwal yang tidak jelas, dan beberapa kontrak penting yang bahkan belum ditandatangani. Dia bekerja dengan cepat dan efisien, mencoba menata semuanya sebelum Adam selesai dengan naskah di tangannya. Meskipun matanya mulai lelah dan jari-jarinya kaku Eve berusaha keras untuk tetap fokus Namun belum juga setengah jalan, Adam tiba-tiba muncul di sebelah meja dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat tidak senang. "Nona Eve" panggilnya tajam. Eve menoleh, entah kenapa merasa gugup. "Ya tuan Adam?" Adam berjalan mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. Di layar itu ada sebuah artikel gosip online yang baru saja dipublikasikan, lengkap dengan foto Adam di sebuah klub malam bebe
Keesokan paginya, Eve baru saja selesai sarapan di kamar kosnya ketika ponselnya berdering. Nama Adam Valentino tertera di layar, membuatnya tertegun. Ini pertama kalinya pria itu menghubunginya setelah meminta nomer kontaknya kemarin. Dengan rasa penasaran Eve menjawab panggilan itu. "Eve saya butuh kamu di rumah saya sekarang. Saya akan mengirimkan alamatnya" Tanpa menunggu jawaban, Adam langsung mengirimkan pesan berisi alamat rumahnya dan menutup telepon begitu saja. Eve menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Apa yang mendesak sekali sampai pria itu memintanya datang ke alamat pribadinya di hari kedua bekerja? pikirnya. Eve segera berganti pakaian dan memesan transportasi online menuju alamat yang diberikan Adam cepat. Ketika tiba di sana Eve terkejut melihat rumah besar bergaya modern yang tampak megah namun terlihat sunyi. Tidak ada tanda-tanda aktivitas dari luar, hanya halaman yang tertata rapi dan pintu ruang tamu besar yang menjulang tinggi. Dengan ragu Eve
Setelah mencuci piring bekas sarapan Adam, Eve mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan ke ruang tamu di mana Adam sudah menunggunya di sofa seraya memainkan ponselnya. "Sudah selesai?" tanyanya tanpa menoleh, tatapan pria itu tetap terpaku pada ponselnya. Eve menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa jengkelnya. 'Sedikit apresiasi tidak akan membunuhmu Tuan Adam'"Ya, sudah" jawabnya singkat. Tanpa berkata apa-apa lagi Adam berbalik dan berjalan menuju koridor, memaksa Eve untuk mengikuti di belakang. Mereka melewati beberapa ruangan sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran modern. Adam membuka pintu itu dan masuk, sementara Eve berdiri terpaku di ambang pintu, matanya melebar saat melihat isi ruangan di dalamnya.'Astaga' Ruang ganti Adam ternyata lebih besar dari kamar kos Eve sendiri. Di dalamnya terda
Setelah Adam menyelesaikan meetingnya, dia segera bangkit dari kursinya, merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum menoleh ke arah Eve yang sedang membereskan dokumen di meja yang tak jauh dari mejanya. "Ayo kita pergi" ucapnya singkat. Eve mendongak dengan ekspresi bingung. "Ke mana?" "Lokasi syuting" jawab Adam sambil mengambil jasnya. "Ada jadwal syuting drama hari ini, sebagai manager kamu tidak melupakannya bukan?" Eve mengangguk tanpa banyak bertanya. Meskipun dia masih belajar tentang pekerjaannya sebagai manajer Adam, dia tahu bahwa menemani aktor ke lokasi syuting adalah bagian dari tugasnya. Di dalam mobil menuju lokasi, Adam lebih banyak sibuk dengan ponselnya, sementara Eve hanya duduk diam di kursi penumpang sambil sesekali melirik ke arah jalanan. Dalam hati, dia bertanya-tanya seperti apa dunia syuting sebenarnya. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya mengunjungi lokasi produksi sebuah drama bes
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai yang tertutup, menyoroti wajah Eve yang perlahan terbangun dari tidurnya. Dia mengerjapkan mata cepat, mencoba memahami dimana dirinya berada saat ini. Begitu tubuhnya bangkit dari posisi berbaring, hawa dingin dari pendingin ruangan yang masih menyala menyentuh kulitnya, membuat Eve sadar bahwa ia tidak mengenakan sehelai kainpun saat ini. Dengan cepat Eve menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Jantungnya berdegup kencang, sementara matanya berkeliling mencari penjelasan. Di sebelahnya, seorang pria tertidur lelap. Wajahnya tampak damai, bertolak belakang dengan kekacauan yang memenuhi pikiran Eve. Itu Alex, atasannya. CEO perusahaan tempat Eve bekerja selama lima tahun terakhir. Kilasan ingatan kejadian semalam mulai berputar dalam kepalanya. Pesta perayaan ulang tahun perusahaan, anggur yang berjajar memenuhi meja, lalu tatapan Alex yang tiba-tiba terasa lebih lembut dari biasanya. Eve menggigit bibir, mencoba m
Langkah Eve terasa berat saat meninggalkan hotel. Dia berjalan menelusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi mereka. Matanya sembab sementara pikirannya berkecamuk, hatinya juga hancur berkeping-keping. Namun Eve tahu dengan sangat, rasa sakit itu harus disingkirkannya sejenak karena ada masalah lain yang menantinya saat ini yaitu biaya hidupnya ke depannya. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kecemasan, Eve akhirnya sampai di kos kecilnya di pinggiran kota. Bangunan tua itu terasa semakin suram sama seperti suasana hatinya. Eve berhenti di depan pintu kamar, mencoba merogoh kunci di tasnya dengan tangan gemetar. Namun sebelum kunci itu sempat ditemukan, sebuah suara menghentikannya. "Eve" panggil suara itu tegas dan dingin. Eve mendongak dan mendapati ibu kosnya berdiri di ambang pintu kamar sebelah. Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap ke arahnya tajam. "Kamu belum bayar sewa bulan ini" ucapnya ta
Setelah Adam menyelesaikan meetingnya, dia segera bangkit dari kursinya, merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum menoleh ke arah Eve yang sedang membereskan dokumen di meja yang tak jauh dari mejanya. "Ayo kita pergi" ucapnya singkat. Eve mendongak dengan ekspresi bingung. "Ke mana?" "Lokasi syuting" jawab Adam sambil mengambil jasnya. "Ada jadwal syuting drama hari ini, sebagai manager kamu tidak melupakannya bukan?" Eve mengangguk tanpa banyak bertanya. Meskipun dia masih belajar tentang pekerjaannya sebagai manajer Adam, dia tahu bahwa menemani aktor ke lokasi syuting adalah bagian dari tugasnya. Di dalam mobil menuju lokasi, Adam lebih banyak sibuk dengan ponselnya, sementara Eve hanya duduk diam di kursi penumpang sambil sesekali melirik ke arah jalanan. Dalam hati, dia bertanya-tanya seperti apa dunia syuting sebenarnya. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya mengunjungi lokasi produksi sebuah drama bes
Setelah mencuci piring bekas sarapan Adam, Eve mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan ke ruang tamu di mana Adam sudah menunggunya di sofa seraya memainkan ponselnya. "Sudah selesai?" tanyanya tanpa menoleh, tatapan pria itu tetap terpaku pada ponselnya. Eve menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa jengkelnya. 'Sedikit apresiasi tidak akan membunuhmu Tuan Adam'"Ya, sudah" jawabnya singkat. Tanpa berkata apa-apa lagi Adam berbalik dan berjalan menuju koridor, memaksa Eve untuk mengikuti di belakang. Mereka melewati beberapa ruangan sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran modern. Adam membuka pintu itu dan masuk, sementara Eve berdiri terpaku di ambang pintu, matanya melebar saat melihat isi ruangan di dalamnya.'Astaga' Ruang ganti Adam ternyata lebih besar dari kamar kos Eve sendiri. Di dalamnya terda
Keesokan paginya, Eve baru saja selesai sarapan di kamar kosnya ketika ponselnya berdering. Nama Adam Valentino tertera di layar, membuatnya tertegun. Ini pertama kalinya pria itu menghubunginya setelah meminta nomer kontaknya kemarin. Dengan rasa penasaran Eve menjawab panggilan itu. "Eve saya butuh kamu di rumah saya sekarang. Saya akan mengirimkan alamatnya" Tanpa menunggu jawaban, Adam langsung mengirimkan pesan berisi alamat rumahnya dan menutup telepon begitu saja. Eve menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Apa yang mendesak sekali sampai pria itu memintanya datang ke alamat pribadinya di hari kedua bekerja? pikirnya. Eve segera berganti pakaian dan memesan transportasi online menuju alamat yang diberikan Adam cepat. Ketika tiba di sana Eve terkejut melihat rumah besar bergaya modern yang tampak megah namun terlihat sunyi. Tidak ada tanda-tanda aktivitas dari luar, hanya halaman yang tertata rapi dan pintu ruang tamu besar yang menjulang tinggi. Dengan ragu Eve
Eve menghabiskan sebagian besar pagi itu dengan membenahi meja kerja Adam. Dokumen berserakan di atas meja, jadwal yang tidak jelas, dan beberapa kontrak penting yang bahkan belum ditandatangani. Dia bekerja dengan cepat dan efisien, mencoba menata semuanya sebelum Adam selesai dengan naskah di tangannya. Meskipun matanya mulai lelah dan jari-jarinya kaku Eve berusaha keras untuk tetap fokus Namun belum juga setengah jalan, Adam tiba-tiba muncul di sebelah meja dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat tidak senang. "Nona Eve" panggilnya tajam. Eve menoleh, entah kenapa merasa gugup. "Ya tuan Adam?" Adam berjalan mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. Di layar itu ada sebuah artikel gosip online yang baru saja dipublikasikan, lengkap dengan foto Adam di sebuah klub malam bebe
Pagi datang terlalu cepat. Alarm di ponselnya berbunyi nyaring, memaksa Eve bangun dari tidur yang nyaris tak nyenyak. Walau matanya masih terasa berat Eve tahu dia tidak boleh terlambat di hari pertamanya. Eve segera mandi lalu memakai blazer terbaik yang dia miliki. Saat Eve berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, dia mencoba tersenyum untuk meyakinkan dirinya sendiri. Tapi bayangan di cermin itu malah memperlihatkan seorang wanita yang terlihat lelah dan gugup. “Eve, kamu pasti bisa melakukan ini” ucapnya pelan, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. Dia mengambil tasnya, memasukkan dokumen-dokumen penting, lalu melangkah keluar dengan hati yang penuh kecemasan. Di luar matahari pagi mulai menyingsing, menerangi jalanan kota yang mulai ramai. Ketika Eve tiba di gedung perusahaan tempat Adam Elias bernaung, dia merasa tubuhnya menegang. Gedung itu tinggi, dengan kaca-kaca besar
Malam itu, Eve duduk di kamar kosnya yang remang, hanya ditemani lampu meja kecil yang mulai meredup dimakan usia. Dia memandangi ponselnya dengan cemas, berharap ada kabar dari Clara. Meski harapannya terasa tipis, Eve tidak punya pilihan selain menunggu. Ponselnya akhirnya bergetar dan nama Clara muncul di layar, membuat hati Eve sedikit berdegup kencang. Eve segera menjawab panggilan itu sigap. "Halo Clara?" Di ujung sana, Clara menghela napas sebelum berbicara. "Eve, aku punya kabar" Eve menegakkan punggung, harapannya tumbuh. "Iya? Ada lowongan kerja?" "Ya, ada" jawab Clara pelan, suaranya terdengar ragu. "Tapi... aku nggak yakin ini pekerjaan yang cocok untuk kamu" Eve mengerutkan kening. "Kenapa? Clara, aku butuh pekerjaan apa pun saat ini. Tolong, kamu bisa memberitahuku" "Masalahnya bukan aku nggak mau ngasih tahu" Clara menjelaskan. "Tapi pekerjaan ini... tingkat kesulitannya tinggi, dan aku nggak mau kamu tambah stres. Tapi kalau kamu maksa, aku akan memberi
Langkah Eve terasa berat saat meninggalkan hotel. Dia berjalan menelusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi mereka. Matanya sembab sementara pikirannya berkecamuk, hatinya juga hancur berkeping-keping. Namun Eve tahu dengan sangat, rasa sakit itu harus disingkirkannya sejenak karena ada masalah lain yang menantinya saat ini yaitu biaya hidupnya ke depannya. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kecemasan, Eve akhirnya sampai di kos kecilnya di pinggiran kota. Bangunan tua itu terasa semakin suram sama seperti suasana hatinya. Eve berhenti di depan pintu kamar, mencoba merogoh kunci di tasnya dengan tangan gemetar. Namun sebelum kunci itu sempat ditemukan, sebuah suara menghentikannya. "Eve" panggil suara itu tegas dan dingin. Eve mendongak dan mendapati ibu kosnya berdiri di ambang pintu kamar sebelah. Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap ke arahnya tajam. "Kamu belum bayar sewa bulan ini" ucapnya ta
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai yang tertutup, menyoroti wajah Eve yang perlahan terbangun dari tidurnya. Dia mengerjapkan mata cepat, mencoba memahami dimana dirinya berada saat ini. Begitu tubuhnya bangkit dari posisi berbaring, hawa dingin dari pendingin ruangan yang masih menyala menyentuh kulitnya, membuat Eve sadar bahwa ia tidak mengenakan sehelai kainpun saat ini. Dengan cepat Eve menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Jantungnya berdegup kencang, sementara matanya berkeliling mencari penjelasan. Di sebelahnya, seorang pria tertidur lelap. Wajahnya tampak damai, bertolak belakang dengan kekacauan yang memenuhi pikiran Eve. Itu Alex, atasannya. CEO perusahaan tempat Eve bekerja selama lima tahun terakhir. Kilasan ingatan kejadian semalam mulai berputar dalam kepalanya. Pesta perayaan ulang tahun perusahaan, anggur yang berjajar memenuhi meja, lalu tatapan Alex yang tiba-tiba terasa lebih lembut dari biasanya. Eve menggigit bibir, mencoba m