Ponsel Eve berdering nyaring, membuat Eve yang baru selesai mandi dan tengah merapikan penampilannya meraih benda itu cepat. Saat melihat nama yang muncul di layar, dia mengernyit.
Adam 'Bisa-bisanya pria itu memilih untuk menelepon walaupun kami satu atap' Eve berdecak dalam hati. Eve mengangkat telepon dan berucap malas. "Ada apa?" "Aku sakit" suara Adam di seberang telepon terdengar serak dan lemah. Eve menahan tawa. "Aku udah bilang kan semalam?" "Jangan nyalahin aku sekarang Eve. Aku butuh bantuan" Adam mengeluh. "Aku nggak bisa bangun. Badanku panas banget" Eve menghela napas panjang lalu melirik jadwal Adam hari ini. Untungnya tidak ada jadwal penting, hanya meeting dengan tim produksi dan syuting yang bisa ditunda.Gumaman Adam terdengar sayup-sayup, membangunkan Eve dari tidurnya yang gelisah. Eve membuka mata dan mendapati Adam masih terbaring dengan mata terpejam. Tubuh besarnya bergetar hebat di balik selimut. Eve mengumpulkan kesadarannya lalu bangkit dari kursinya dan menyentuh dahi Adam cemas. "Astaga, panasmu tinggi banget" ujar Eve panik. Adam hanya menggumam pelan, sepertinya terlalu lemah untuk merespons. Tanpa pikir panjang, Eve mengambil kain basah dan mulai mengompres Adam. Dia juga menyiapkan botol air dingin dan mencoba menurunkan suhu tubuh pria itu dengan menaruhnya di beberapa bagian tubuh Adam. Namun yang membuat Eve benar-benar panik adalah ketika Adam mulai meracau dalam tidurnya. "Eve…" Eve menegang. Adam kembali bergumam, kali ini lebih lirih. "Jangan pergi"
Jantung Eve berdegup kencang saat melihat pria itu berbicara dengan beberapa kru dengan ekspresi serius. Sudah lama sejak terakhir kali Eve bertemu Alex… Kenangan yang selama ini ia kubur mulai menyeruak tanpa izin. Hubungan mereka di masa lalu juga malam pertamanya dengan Alex bukan sesuatu yang bisa ia lupakan dengan mudah, dan sekarang pria itu berdiri hanya berjarak beberapa meter darinya. Seakan merasakan tatapan Eve, Alex menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Mata pria itu sedikit membesar seakan tidak percaya, tapi hanya dalam hitungan detik, ekspresi terkejut itu berubah menjadi tatapan tajam yang sulit diterjemahkan. Eve menelan ludah, tatapan Alex terasa menusuk membuatnya ingin mundur, tapi kakinya tetap terpaku tak mau bergerak. Sebelum Eve sempat menghindar, Alex sudah melangkah menghampirinya. “Eve?” suara Alex terdengar dalam dan dingin.
Setelah 2 jam perjalanan mereka tiba di rumah sakit besar yang berada di kota sebelah. Adam bergegas membawa Eve ke ruang praktik seorang dokter yang tampaknya sudah sangat dikenalnya. "Adam, ini dokter kepercayaanmu?" tanya Eve pelan. Adam mengangguk. "Aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja" Tak lama, seorang dokter pria paruh baya masuk ke dalam ruangan dengan senyum ramah. "Adam! Lama nggak ketemu. Siapa ini?" tanyanya, melirik Eve dengan penuh ketertarikan. "Ini manajerku, Eve" jawab Adam. "Dia tiba-tiba mual dan muntah. Aku mau tahu dia kenapa atau sakit apa dok" Sang dokter mengangguk dan segera melakukan pemeriksaan mendetail. Eve merasa sedikit canggung karena ini pertama kalinya dia diperiksa seintens ini, tapi dia tetap menurut dan mengikuti prosedur yang diminta. Setelah serangkaian pemeriksaan panjang, dokter akhirnya kembali dengan hasilnya.
Adam melipat tangan di dada. "Dan aku orang yang bertanggung jawab. Aku bakal jadi ayah yang baik. Aku bisa gendong bayi, bisa bikin susu, bisa...." "Kamu bahkan nggak bisa masak mie instan tanpa bikin dapur kebakaran" potong Eve tajam. Adam mengerjap sebentar lalu berkata santai penuh percaya diri. "...Itu kan kemarin. Mulai sekarang aku bakal belajar dan berusaha" "Oh ya? Buktiin" Eve tertawa sinis. Adam berpikir sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. "Kamu ngapain?" Eve melangkah mendekat dan melirik ponsel Adam curiga. "Aku mau cari tutorial cara jadi ayah yang baik di YouTube" sahutnya santai, sibuk menggulir jarinya di layar ponsel. Eve menepuk dahinya sendiri. 'Pria ini sungguhan gila!' batinnya frustasi. "Eve, serius" Adam mendongak dari layar ponselnya, kali ini suaranya lebih le
“Kamu terlalu dramatis" Eve mendecakkan lidah. “Aku kan aktor, wajar kalau aku dramatis" Adam menyeringai kecil. Eve mendengus, tapi tidak bisa menyangkal kalau ucapan Adam memang terdengar masuk akal, walaupun alasan itu terasa dibuat-buat. “Aku masih bisa manggil pembantu kalau ada apa-apa. Aku akan tetap tidur di kamarku” dalih Eve. Adam menggeleng lagi. “Kalau kamu ngotot tidur di situ, aku yang bakal tidur di kamarmu. Aku lebih percaya diri kalau aku sendiri yang ada di dekatmu” “Ranjangnya sempit Adam, nggak muat buat kita berdua" Eve memijat pelipisnya lelah. "Aku nggak masalah" Adam mengangguk santai. Eve ingin membantah, tapi dia tahu Adam. Pria itu tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Oke, aku tidur di kamarmu" gumam Eve akhirnya. “Tapi
Mendengar pertanyaan tiba-tiba Adam, tangan Eve mengepal di pangkuannya, menahan rasa sakit, marah juga kecewa yang kembali muncul. Eve menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pelan. "Adam…." Adam meliriknya sekilas, ekspresi wajah pria itu tak terbaca. "Aku butuh jawaban Eve" Suaranya lebih dalam kali ini, nyaris seperti bisikan. Eve menggigit bibir, hatinya berdebar kencang. Apa yang harus dia katakan? Eve menatap Adam tajam, mencoba menahan gejolak emosinya sebelum akhirnya membuka mulutnya dan bertanya ragu. "Boleh aku bertan
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai yang tertutup, menyoroti wajah Eve yang perlahan terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya berkedut, menyesuaikan diri dengan cahaya samar di kamar yang terasa asing. Begitu tubuhnya bangkit dari posisi berbaring, hawa dingin dari pendingin ruangan yang masih menyala menyentuh kulitnya, membuat Eve sadar bahwa ia tidak mengenakan sehelai kainpun saat ini. Dengan cepat Eve menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Jantungnya berdegup kencang, sementara matanya berkeliling mencari penjelasan. Di sebelahnya, seorang pria tertidur lelap. Wajahnya tampak damai, bertolak belakang dengan kekacauan yang memenuhi pikiran Eve. Itu Alex, atasannya. CEO perusahaan tempat Eve bekerja selama lima tahun terakhir. Kilasan ingatan kejadian semalam mulai berputar dalam kepalanya. Pesta perayaan ulang tahun perusahaan, anggur yang berjajar memenuhi meja, lalu tatapan Alex yang tiba-tiba terasa lebih lembut dari biasanya. Eve menggigit bib
Langkah Eve terasa berat saat meninggalkan hotel. Dia berjalan menelusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi mereka. Matanya sembab sementara pikirannya berkecamuk, hatinya juga hancur berkeping-keping. Namun Eve tahu dengan sangat, rasa sakit itu harus disingkirkannya sejenak karena ada masalah lain yang menantinya saat ini yaitu biaya hidupnya ke depannya. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kecemasan, Eve akhirnya sampai di kos kecilnya di pinggiran kota. Bangunan tua itu terasa semakin suram sama seperti suasana hatinya. Eve berhenti di depan pintu kamar, mencoba merogoh kunci di tasnya dengan tangan gemetar. Namun sebelum kunci itu sempat ditemukan, sebuah suara menghentikannya. "Eve" panggil suara itu tegas dan dingin. Eve mendongak dan mendapati ibu kosnya berdiri di ambang pintu kamar sebelah. Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap ke arahnya tajam. "Kamu belum bayar sewa bulan ini" ucapnya ta
Mendengar pertanyaan tiba-tiba Adam, tangan Eve mengepal di pangkuannya, menahan rasa sakit, marah juga kecewa yang kembali muncul. Eve menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pelan. "Adam…." Adam meliriknya sekilas, ekspresi wajah pria itu tak terbaca. "Aku butuh jawaban Eve" Suaranya lebih dalam kali ini, nyaris seperti bisikan. Eve menggigit bibir, hatinya berdebar kencang. Apa yang harus dia katakan? Eve menatap Adam tajam, mencoba menahan gejolak emosinya sebelum akhirnya membuka mulutnya dan bertanya ragu. "Boleh aku bertan
“Kamu terlalu dramatis" Eve mendecakkan lidah. “Aku kan aktor, wajar kalau aku dramatis" Adam menyeringai kecil. Eve mendengus, tapi tidak bisa menyangkal kalau ucapan Adam memang terdengar masuk akal, walaupun alasan itu terasa dibuat-buat. “Aku masih bisa manggil pembantu kalau ada apa-apa. Aku akan tetap tidur di kamarku” dalih Eve. Adam menggeleng lagi. “Kalau kamu ngotot tidur di situ, aku yang bakal tidur di kamarmu. Aku lebih percaya diri kalau aku sendiri yang ada di dekatmu” “Ranjangnya sempit Adam, nggak muat buat kita berdua" Eve memijat pelipisnya lelah. "Aku nggak masalah" Adam mengangguk santai. Eve ingin membantah, tapi dia tahu Adam. Pria itu tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Oke, aku tidur di kamarmu" gumam Eve akhirnya. “Tapi
Adam melipat tangan di dada. "Dan aku orang yang bertanggung jawab. Aku bakal jadi ayah yang baik. Aku bisa gendong bayi, bisa bikin susu, bisa...." "Kamu bahkan nggak bisa masak mie instan tanpa bikin dapur kebakaran" potong Eve tajam. Adam mengerjap sebentar lalu berkata santai penuh percaya diri. "...Itu kan kemarin. Mulai sekarang aku bakal belajar dan berusaha" "Oh ya? Buktiin" Eve tertawa sinis. Adam berpikir sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. "Kamu ngapain?" Eve melangkah mendekat dan melirik ponsel Adam curiga. "Aku mau cari tutorial cara jadi ayah yang baik di YouTube" sahutnya santai, sibuk menggulir jarinya di layar ponsel. Eve menepuk dahinya sendiri. 'Pria ini sungguhan gila!' batinnya frustasi. "Eve, serius" Adam mendongak dari layar ponselnya, kali ini suaranya lebih le
Setelah 2 jam perjalanan mereka tiba di rumah sakit besar yang berada di kota sebelah. Adam bergegas membawa Eve ke ruang praktik seorang dokter yang tampaknya sudah sangat dikenalnya. "Adam, ini dokter kepercayaanmu?" tanya Eve pelan. Adam mengangguk. "Aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja" Tak lama, seorang dokter pria paruh baya masuk ke dalam ruangan dengan senyum ramah. "Adam! Lama nggak ketemu. Siapa ini?" tanyanya, melirik Eve dengan penuh ketertarikan. "Ini manajerku, Eve" jawab Adam. "Dia tiba-tiba mual dan muntah. Aku mau tahu dia kenapa atau sakit apa dok" Sang dokter mengangguk dan segera melakukan pemeriksaan mendetail. Eve merasa sedikit canggung karena ini pertama kalinya dia diperiksa seintens ini, tapi dia tetap menurut dan mengikuti prosedur yang diminta. Setelah serangkaian pemeriksaan panjang, dokter akhirnya kembali dengan hasilnya.
Jantung Eve berdegup kencang saat melihat pria itu berbicara dengan beberapa kru dengan ekspresi serius. Sudah lama sejak terakhir kali Eve bertemu Alex… Kenangan yang selama ini ia kubur mulai menyeruak tanpa izin. Hubungan mereka di masa lalu juga malam pertamanya dengan Alex bukan sesuatu yang bisa ia lupakan dengan mudah, dan sekarang pria itu berdiri hanya berjarak beberapa meter darinya. Seakan merasakan tatapan Eve, Alex menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Mata pria itu sedikit membesar seakan tidak percaya, tapi hanya dalam hitungan detik, ekspresi terkejut itu berubah menjadi tatapan tajam yang sulit diterjemahkan. Eve menelan ludah, tatapan Alex terasa menusuk membuatnya ingin mundur, tapi kakinya tetap terpaku tak mau bergerak. Sebelum Eve sempat menghindar, Alex sudah melangkah menghampirinya. “Eve?” suara Alex terdengar dalam dan dingin.
Gumaman Adam terdengar sayup-sayup, membangunkan Eve dari tidurnya yang gelisah. Eve membuka mata dan mendapati Adam masih terbaring dengan mata terpejam. Tubuh besarnya bergetar hebat di balik selimut. Eve mengumpulkan kesadarannya lalu bangkit dari kursinya dan menyentuh dahi Adam cemas. "Astaga, panasmu tinggi banget" ujar Eve panik. Adam hanya menggumam pelan, sepertinya terlalu lemah untuk merespons. Tanpa pikir panjang, Eve mengambil kain basah dan mulai mengompres Adam. Dia juga menyiapkan botol air dingin dan mencoba menurunkan suhu tubuh pria itu dengan menaruhnya di beberapa bagian tubuh Adam. Namun yang membuat Eve benar-benar panik adalah ketika Adam mulai meracau dalam tidurnya. "Eve…" Eve menegang. Adam kembali bergumam, kali ini lebih lirih. "Jangan pergi"
Ponsel Eve berdering nyaring, membuat Eve yang baru selesai mandi dan tengah merapikan penampilannya meraih benda itu cepat. Saat melihat nama yang muncul di layar, dia mengernyit. Adam 'Bisa-bisanya pria itu memilih untuk menelepon walaupun kami satu atap' Eve berdecak dalam hati. Eve mengangkat telepon dan berucap malas. "Ada apa?" "Aku sakit" suara Adam di seberang telepon terdengar serak dan lemah. Eve menahan tawa. "Aku udah bilang kan semalam?" "Jangan nyalahin aku sekarang Eve. Aku butuh bantuan" Adam mengeluh. "Aku nggak bisa bangun. Badanku panas banget" Eve menghela napas panjang lalu melirik jadwal Adam hari ini. Untungnya tidak ada jadwal penting, hanya meeting dengan tim produksi dan syuting yang bisa ditunda.
Setelah melalui serangkaian wawancara dan pemotretan yang melelahkan sepanjang pagi hingga siang hari, jadwal terakhir Adam hari ini adalah syuting dramanya bersama Zara, aktris yang dulu sempat menjahili Eve di hari keduanya bekerja. Eve sebenarnya tidak ingin terlalu banyak berinteraksi dengan Zara, tapi karena dia adalah manajer Adam, suka atau tidak dia harus tetap profesional. Setibanya mereka di lokasi syuting, Eve langsung melihat Zara yang tengah duduk di kursi rias, tengah mengobrol dengan managernya. Tatapannya beralih pada Adam yang sedang berbincang dengan sutradara tentang adegan yang akan mereka lakukan. "Hei, Eve!" Eve yang baru saja duduk di kursi sudut ruangan menoleh. Zara berjalan mendekatinya seraya tersenyum cerah, seolah-olah mereka adalah sepasang teman lama. "Hai, Zara" Eve membalas dengan anggukan kecil. "Santai dong, kamu masih kesal
Pagi harinya, Eve bangun dengan perasaan kesal yang masih membara. Bukan hanya karena Adam telah menciumnya semalam meskipun itu kecelakaan, tapi karena pria itu salah mengiranya sebagai Casey. 'Dasar pria menyedihkan!' batinnya kesal. Setelah mandi dan bersiap dengan cepat, Eve keluar dari kamarnya seraya membawa laptopnya yang terdapat jadwal Adam juga keperluan wawancara dan pemotretan hari ini. Saat menuruni anak tangga dia mendapati Adam sudah duduk santai di sofa ruang televisi, tengah menonton televisi sambil memegang secangkir kopi. Pria itu terlihat segar seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Sementara Eve? Dia masih ingin melempar sesuatu ke kepala Adam. Namun Eve memilih diam dan langsung menuju ke dapur. Saat Eve kembali dari dapur dan duduk di meja makan seraya membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri, Adam tiba-tiba muncul dan menyodorkan roti panggang yang telah dibaluri selai ke arahnya. "Apa ini?" Eve melirik roti itu curiga. "Roti" Adam menjaw