Eve yang sedang menyeruput sup hampir tersedak. Dia buru-buru meletakkan sendoknya dan menoleh ke sekeliling, memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka lalu menatap Adam dengan mata membesar. "Adam! Kalau ada yang dengar gimana?"
Adam tertawa renyah. "Kalaupun ada yang dengar juga nggak papa. Semua juga tau turn on karena pasangan sendiri di pagi hari itu hal yang wajar" Eve terdiam selama tiga detik sebelum memalingkan wajah menutupi semburat merah di kedua pipinya. "Kamu kayak gitu karena kita udah jadi pasangan? Perasaan kemarin pagi nggak begitu deh kamu." Adam mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai dengan santai. "Kemarin juga seperti itu" akunya dengan nada datar. "Cuma aku nggak berani bertindak seperti tadi pagi aja, khawatir kamu ilfeel" lanjutnya Eve terkikikEve menatap Adam dengan lembut. “Bukan itu. Aku cuma ingin menyelesaikan semuanya dengan baik. Pagi itu aku langsung pergi gitu aja, dan Alex juga langsung mengusirku ketika dia baru saja bangun” Adam memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi aku ikut" Eve mengangkat alis. “Adam—” “Ini bukan tawaran Eve” Adam menatapnya serius. “Aku nggak bakal ngebiarin kamu sendirian ketemu sama dia lalu berubah fikiran dan.... berakhir meninggalkanku" ucapnya dengan suara lirih di bagian akhir kalimatnya. Eve yang mendengar ucapan lirih Adam tersenyum tipis lalu memberi isyarat pada pria itu untuk lebih mendekat padanya. Adam yang mengerti menurut dan mencondongkan tubuhnya, memudahkan Eve untuk melingkarkan kedua lengannya di tubuh Adam. "Aku nggak mungkin kembali padanya Adam. Kami tidak pe
Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai yang tertutup, menyoroti wajah Eve yang perlahan terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya berkedut, menyesuaikan diri dengan cahaya samar di kamar yang terasa asing. Begitu tubuhnya bangkit dari posisi berbaring, hawa dingin dari pendingin ruangan yang masih menyala menyentuh kulitnya, membuat Eve sadar bahwa ia tidak mengenakan sehelai kainpun saat ini. Dengan cepat Eve menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Jantungnya berdegup kencang, sementara matanya berkeliling mencari penjelasan. Di sebelahnya, seorang pria tertidur lelap. Wajahnya tampak damai, bertolak belakang dengan kekacauan yang memenuhi pikiran Eve. Itu Alex, atasannya. CEO perusahaan tempat Eve bekerja selama lima tahun terakhir. Kilasan ingatan kejadian semalam mulai berputar dalam kepalanya. Pesta perayaan ulang tahun perusahaan, anggur yang berjajar memenuhi meja, lalu tatapan Alex yang tiba-tiba terasa lebih lembut dari biasanya. Eve menggigit bib
Langkah Eve terasa berat saat meninggalkan hotel. Dia berjalan menelusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi mereka. Matanya sembab sementara pikirannya berkecamuk, hatinya juga hancur berkeping-keping. Namun Eve tahu dengan sangat, rasa sakit itu harus disingkirkannya sejenak karena ada masalah lain yang menantinya saat ini yaitu biaya hidupnya ke depannya. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kecemasan, Eve akhirnya sampai di kos kecilnya di pinggiran kota. Bangunan tua itu terasa semakin suram sama seperti suasana hatinya. Eve berhenti di depan pintu kamar, mencoba merogoh kunci di tasnya dengan tangan gemetar. Namun sebelum kunci itu sempat ditemukan, sebuah suara menghentikannya. "Eve" panggil suara itu tegas dan dingin. Eve mendongak dan mendapati ibu kosnya berdiri di ambang pintu kamar sebelah. Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap ke arahnya tajam. "Kamu belum bayar sewa bulan ini" ucapnya ta
Malam itu, Eve duduk di kamar kosnya yang remang, hanya ditemani lampu meja kecil yang mulai meredup dimakan usia. Dia memandangi ponselnya dengan cemas, berharap ada kabar dari Clara. Meski harapannya terasa tipis, Eve tidak punya pilihan selain menunggu. Ponselnya akhirnya bergetar dan nama Clara muncul di layar, membuat Eve berdegup kencang. Eve segera menjawab panggilan itu sigap. "Halo Clara?" Di ujung sana, Clara menghela napas sebelum berbicara. "Eve, aku punya kabar untukmu" Eve menegakkan punggung, harapannya tumbuh. "Iya? Ada lowongan kerja?" "Ya, ada" jawab Clara pelan, suaranya terdengar ragu. "Tapi... aku nggak yakin ini pekerjaan yang cocok untukmu" Eve mengerutkan kening. "Kenapa? Clara, aku butuh pekerjaan apa pun saat ini. Tolong, kamu bisa memberitahuku" "Masalahnya bukan aku nggak mau ngasih tahu" Clara menjelaskan. "Tapi pekerjaan ini... tingkat kesulitannya tinggi, dan aku nggak mau kamu tambah stres. Tapi kalau kamu maksa, aku akan memberi tahu" E
Eve menghabiskan sebagian besar pagi itu dengan membenahi meja kerja Adam. Dokumen berserakan di atas meja, jadwal yang tidak jelas, dan beberapa kontrak penting yang bahkan belum ditandatangani. Dia bekerja dengan cepat dan efisien, mencoba menata semuanya sebelum Adam selesai dengan naskah di tangannya. Meskipun matanya mulai lelah dan jari-jarinya terasa kaku Eve berusaha keras untuk tetap fokus Namun belum juga setengah jalan, Adam tiba-tiba muncul di sebelah meja dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat tidak senang. "Nona Eve" panggilnya tajam. Eve menoleh, entah kenapa merasa gugup. "Ya tuan Adam?" Adam berjalan mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. Di layar itu ada sebuah artikel gosip online yang baru saja dipublikasikan, lengkap dengan foto Adam di sebuah klub malam beberapa hari lalu dengan judul mencolok "Aktor Kontroversional Adam Terlihat Mabuk dan Membuat Keributan di Klub Eksklusif!" "Ini pekerjaan pertamamu" perintah Adam dengan nada tajam. "Bereskan
Setelah mencuci piring bekas sarapan Adam, Eve mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan ke ruang tamu di mana Adam sudah menunggunya di sofa seraya memainkan ponselnya. "Udah selesai?" tanyanya tanpa menoleh, tatapan pria itu tetap terpaku pada ponselnya. Eve menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa jengkelnya. 'Sedikit apresiasi tidak akan membunuhmu Tuan Adam' "Ya, sudah" jawabnya singkat. Tanpa berkata apa-apa lagi Adam berdiri dan berjalan menuju koridor, memaksa Eve untuk mengikuti di belakang. Mereka melewati beberapa ruangan sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran modern. Adam membuka pintu itu dan masuk, sementara Eve berdiri terpaku di ambang pintu, matanya melebar saat melihat isi ruangan di dalamnya. 'Astaga' Ruang ganti Adam dua kali lipat lebih besar dari kamar kos Eve. Di dalamnya ada rak-rak kayu tinggi yang dipenuhi jas, kemeja, celana, dan sepatu yang tersusun rapi berdasarkan warna dan jenis. Di sisi sebel
Setelah syuting selesai, Eve merasa lelah secara fisik dan mental. Hari ini dia tidak hanya harus menangani permintaan sok perfeksionis Adam, tetapi juga harus menghadapi sikap Zara yang menyebalkan. Di dalam mobil, selama perjalanan pulang suasana terasa hening. Adam duduk di kursi belakang dengan mata terpejam, sementara Eve duduk menyupir di depan. Tak tahan dengan keheningan yang membosankan, Eve akhirnya menghela napas dan bergumam pelan, “Hari ini benar-benar melelahkan…” Adam yang awalnya diam, membuka matanya sedikit dan bergumam membalas. “Kamu memang terlihat payah” Eve melotot ke kaca spion tengah, menatap Adam kesal. “Aku baru bekerja dua hari dan sudah dikerjai oleh rekan aktris anda habis-habisan! Wajar kalau aku lelah” Adam hanya mengangkat bahu cuek. “Itu salahmu sendiri. Kalau sejak awal kamu bilang ‘tidak’, dia nggak akan berani menyuruhmu terus” Eve menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak membantah. Dia tahu Adam ada benarnya, tapi tetap saja, bukank
Malam itu setelah sampai di kamar kosnya, Eve langsung mulai mengemasi barang-barangnya. Tidak banyak yang harus dia bawa, hanya pakaian, perlengkapan mandi, dan barang-barang kecil penting lainnya. Dia sudah mempertimbangkan tawaran Adam selama di perjalanan pulang, tawaran pria itu tidak terasa buruk. Eve hanya perlu pindah tempat tidur dan uang yang seharusnya dipakainya untuk membayar kos bisa digunaka untuk menambah transferannya pada keluarga di kampung. Saat dia tengah sibuk melipat bajunya ke dalam koper, ponselnya bergetar di atas kasur. Nama Clara muncul di layar. Eve mengernyit, merasa sedikit aneh karena sahabatnya itu biasanya menelepon hanya jika ada sesuatu yang penting. Begitu dia mengangkatnya, suara Clara terdengar antusias di seberang sana. “Eve! Kamu udah liat berita hari ini? Alex mau nikah bulan depan!” Eve terdiam sejenak. Tangannya yang sedang melipat baju pun ikut berhenti. "Alex?" “Iya! Alex atasanmu dulu! Media lagi heboh banget! Kamu nggak buka
Eve menatap Adam dengan lembut. “Bukan itu. Aku cuma ingin menyelesaikan semuanya dengan baik. Pagi itu aku langsung pergi gitu aja, dan Alex juga langsung mengusirku ketika dia baru saja bangun” Adam memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi aku ikut" Eve mengangkat alis. “Adam—” “Ini bukan tawaran Eve” Adam menatapnya serius. “Aku nggak bakal ngebiarin kamu sendirian ketemu sama dia lalu berubah fikiran dan.... berakhir meninggalkanku" ucapnya dengan suara lirih di bagian akhir kalimatnya. Eve yang mendengar ucapan lirih Adam tersenyum tipis lalu memberi isyarat pada pria itu untuk lebih mendekat padanya. Adam yang mengerti menurut dan mencondongkan tubuhnya, memudahkan Eve untuk melingkarkan kedua lengannya di tubuh Adam. "Aku nggak mungkin kembali padanya Adam. Kami tidak pe
Eve yang sedang menyeruput sup hampir tersedak. Dia buru-buru meletakkan sendoknya dan menoleh ke sekeliling, memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka lalu menatap Adam dengan mata membesar. "Adam! Kalau ada yang dengar gimana?" Adam tertawa renyah. "Kalaupun ada yang dengar juga nggak papa. Semua juga tau turn on karena pasangan sendiri di pagi hari itu hal yang wajar" Eve terdiam selama tiga detik sebelum memalingkan wajah menutupi semburat merah di kedua pipinya. "Kamu kayak gitu karena kita udah jadi pasangan? Perasaan kemarin pagi nggak begitu deh kamu." Adam mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai dengan santai. "Kemarin juga seperti itu" akunya dengan nada datar. "Cuma aku nggak berani bertindak seperti tadi pagi aja, khawatir kamu ilfeel" lanjutnya Eve terkikik
Eve langsung diam. Dia sudah cukup tahu betapa keras kepalanya seorang Adam. Setelah beberapa saat tanpa perlawanan, Adam tertawa kecil. "Nah gitu dong. Lebih enak kan?" Eve hanya mendengus. Tapi harus diakui, kehangatan Adam membuatnya merasa nyaman. Beberapa detik kemudian, Adam tiba-tiba bicara lagi. "Eve" "Hmm?" "Kamu yakin nggak nyesel kan ya?" Eve diam sejenak sebelum menjawab, "Tanya lagi besok pagi. Kalau aku masih di sini dan belum kabur, berarti aku nggak nyesel" "Deal" Adam tertawa pelan dan mengecup puncak kepala Eve hangat.
Adam tertawa renyah, kembali menjadi Adam yang biasa. "Nggak Eve. Aku nggak mau kamu kecapekan. Jadi kamu cukup mantau aku dari rumah aja mulai sekarang. Aku pergi dulu ya, kamu baik-baik di rumah" Cup! Tanpa aba-aba Adam mengecup kening Eve singkat lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan sebelum Eve tersadar dan berteriak protes. ***** Siang harinya Eve tidak bisa tidur siang. Dia berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan perasaan yang tak menentu. Percakapan dengan Adam tadi pagi terus terngiang di kepalanya. Kata-katanya, tatapan matanya, bagaimana dia mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Alex merebutnya… Sejak kapan Adam menjadi bagian dari hidupn
Eve tersenyum kecil menahan tawa mendengar ucapannya, bisa-bisanya pria ini masih mengatakan bayi 'kita' di saat seperti ini. "Aku nggak bisa menjanjikan apapun Adam. Aku... aku nggak tahu...." ucapnya pelan, dia sendiri juga masih belum yakin dengan perasaannya. Adam menghela nafas panjang, lalu tersenyum kecil. “Ya udah, aku nggak bisa maksa juga. Tapi kalau nanti kamu udah tahu jawabannya, kasih tahu aku ya?" Eve hanya mengangguk pelan, dan mereka kembali duduk di sofa depan televisi. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Keheningan yang menggantung di udara bukan sesuatu yang canggung, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Setelah beberapa saat, Adam tiba-tiba berkata, “Aku sangat membencinya" Eve menoleh. “Alex?” A
"Pergi sana! Nggak usah drama!" Eve langsung mendorong Adam menjauh. Adam tertawa kecil lalu bangkit dan mencium puncak kepala Eve singkat sebelum berlari cepat ke kamar mandi. Sementara itu, Eve memejamkan mata dan tersenyum kecil. Jika terus menghadapi Adam yang seperti ini Eve yakin hatinya akan mencair dalam waktu yang tak lama. ***** Pagi harinya, Eve terbangun lebih dulu. Biasanya dia bukan tipe orang yang bangun pagi dengan penuh energi, tapi pagi ini berbeda. Mungkin karena semalam dia tidur dengan cukup nyaman... atau karena ada sosok di belakangnya yang masih memeluknya erat. Eve melirik ke belakang. Adam masih tidur, wajahnya tenang, dan nafasnya teratur. Tapi... ada sesuatu yang aneh. "Adam..." Eve mengerutkan dahi, mencoba menarik tangann
Mendengar pertanyaan tiba-tiba Adam, tangan Eve mengepal di pangkuannya, menahan rasa sakit, marah juga kecewa yang kembali muncul. Eve menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pelan. "Adam…." Adam meliriknya sekilas, ekspresi wajah pria itu tak terbaca. "Aku butuh jawaban Eve" Suaranya lebih dalam kali ini, nyaris seperti bisikan. Eve menggigit bibir, hatinya berdebar kencang. Apa yang harus dia katakan? Eve menatap Adam tajam, mencoba menahan gejolak emosinya sebelum akhirnya membuka mulutnya dan bertanya ragu. "Boleh aku bertan
“Kamu terlalu dramatis" Eve mendecakkan lidah. “Aku kan aktor, wajar kalau aku dramatis" Adam menyeringai kecil. Eve mendengus, tapi tidak bisa menyangkal kalau ucapan Adam memang terdengar masuk akal, walaupun alasan itu terasa dibuat-buat. “Aku masih bisa memanggil pembantu kalau ada apa-apa. Aku akan tetap tidur di kamarku” Eve berdalih. Adam menggeleng lagi. “Kalau kamu bersikeras tidur di situ, biar aku yang tidur di kamarmu. Aku lebih percaya diri kalau aku sendiri yang ada di dekatmu dibanding seorang pembantu” “Ranjangnya sempit Adam, nggak muat untuk kita berdua" Eve memijat pelipisnya lelah. "Aku tidak masalah" Adam mengangguk santai. Eve ingin membantah, tapi dia tahu Adam. Pria itu tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Oke, aku tidur di kamarmu" gumam Eve akhirnya. “Tapi aku tidur di sofa" “Sofa? Serius? Itu nggak nyaman buat ibu hamil” Adam mengangkat sebelah alisnya, tampak tak setuju. “Bayiku baru enam minggu Adam” “
Adam melipat tangan di dada. "Dan aku orang yang bertanggung jawab. Aku bakal jadi ayah yang baik. Aku bisa gendong bayi, bisa bikin susu, bisa...." "Kamu bahkan nggak bisa masak mie instan tanpa bikin dapur kebakaran" potong Eve tajam. Adam mengerjap sebentar lalu berkata santai penuh percaya diri. "...Itu kan kemarin. Mulai sekarang aku bakal belajar dan berusaha" "Oh ya? Buktiin" Eve tertawa sinis. Adam berpikir sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. "Kamu ngapain?" Eve melangkah mendekat dan melirik ponsel Adam curiga. "Aku mau cari tutorial cara jadi ayah yang baik di YouTube" sahutnya santai, sibuk menggulir jarinya di layar ponsel. Eve menepuk dahinya sendiri. 'Pria ini sungguhan gila!' batinnya frustasi. "Eve, serius" Adam mendongak dari layar ponselnya, kali ini suaranya lebih le