Langkah Eve terasa berat saat meninggalkan hotel. Dia berjalan menelusuri trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang yang melakukan aktivitas pagi mereka. Matanya sembab sementara pikirannya berkecamuk, hatinya juga hancur berkeping-keping. Namun Eve tahu dengan sangat, rasa sakit itu harus disingkirkannya sejenak karena ada masalah lain yang menantinya saat ini yaitu biaya hidupnya ke depannya.
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan kecemasan, Eve akhirnya sampai di kos kecilnya di pinggiran kota. Bangunan tua itu terasa semakin suram sama seperti suasana hatinya. Eve berhenti di depan pintu kamar, mencoba merogoh kunci di tasnya dengan tangan gemetar. Namun sebelum kunci itu sempat ditemukan, sebuah suara menghentikannya. "Eve" panggil suara itu tegas dan dingin. Eve mendongak dan mendapati ibu kosnya berdiri di ambang pintu kamar sebelah. Wanita paruh baya itu menyilangkan tangan di depan dada dan menatap ke arahnya tajam. "Kamu belum bayar sewa bulan ini" ucapnya tanpa basa-basi. "Sudah tiga hari terlambat. Kuharap kamu tidak melupakan kewajibanmu membayarnya Eve" Eve merasa dadanya semakin sesak. "Ibu Ratih, saya... saya akan bayar secepatnya. Saya baru saja..." Kalimatnya terhenti. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa dia baru saja dipecat? "Secepatnya itu kapan Eve? Kamu tahu peraturannya. Kalau telat lebih dari seminggu, kamu harus keluar" potong Ibu Ratih dengan nada tegas. Eve menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh lagi. Dia mencoba menjelaskan meskipun dengan suara bergetar, "Saya akan cari cara, Bu. Lusa seharusnya saya gajian... tapi ada masalah di kantor" Ibu Ratih mengangkat alis, seolah tidak terlalu peduli dengan penjelasan itu. "Yang penting uangnya ada atau tidak? Kalau lusa kamu belum bayar jangan salahkan saya kalau barang-barangmu saya keluarkan" peringatnya tegas. Wanita itu melangkah pergi, meninggalkan Eve yang berdiri dengan tubuh lemas di depan pintu kamar kosnya. Eve menahan napas, mencoba mengendalikan emosinya yang hampir meledak. Setelah beberapa saat Eve akhirnya berhasil membuka pintu dan masuk ke kamar kosnya yang kecil. Tempat itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada siapa-siapa yang menunggunya, tidak ada suara tawa atau obrolan, hanya ada suara helaan nafasnya dan jam dinding yang berdetak teratur. Eve tinggal seorang diri selama 5 tahun ini tapi baru hari ini dia merasa kesepian dan sendirian. Eve menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tipis yang menjadi satu-satunya tempat nyaman di kamar itu. Matanya menatap langit-langit kamar kosong. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pada dirinya sendiri. Seharusnya lusa dia menerima gaji, uang yang sudah dia rencanakan untuk membayar sewa kos, tagihan listrik, membeli makanan juga untuk mengirim keluarganya di kampung. Tapi setelah pernyataan Alex pagi ini, Eve ragu apakah dia akan menerima gaji itu. Jika Alex benar-benar tidak ingin melihat wajahnya lagi, bukankah itu berarti semua akses keuangan dari perusahaan akan terputus? Eve memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang merayap, bukan dari udara tetapi dari kenyataan hidup yang menghimpitnya. Semua yang dia miliki, semua yang dia andalkan, menghilang begitu saja dalam satu malam. Namun di tengah rasa putus asa itu, sebuah pikiran muncul. Dia tidak boleh menyerah! "Aku harus mencari jalan keluar" gumam Eve pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Eve mulai memikirkan cara untuk bertahan. Dia pantang meminta uang pada orang lain apalagi meminjam jadi dia harus segera mencari pekerjaan baru secepatnya. Pekerjaan apapun yang setidaknya bisa untuk membayar biaya sewa kosnya bulan ini. Eve menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar tanpa henti. Setelah beberapa saat menatap ponselnya yang tergeletak di meja, dia akhirnya mengambilnya dengan ragu. Ada satu orang yang mungkin bisa membantunya, seseorang yang selalu dia percaya selama ini. Clara, sahabatnya sejak kuliah yang kini bekerja sebagai wartawan di sebuah media terkenal. Dengan jari gemetar Eve menekan nomor Clara. Dia tidak yakin bagaimana harus memulai pembicaraan ini, tetapi Eve tahu dia tidak punya pilihan lain. Panggilan tersambung setelah beberapa nada dering. "Halo Eve? Tumben telepon pagi-pagi" suara ceria Clara terdengar di ujung sana. Eve mencoba tersenyum meskipun Clara tidak bisa melihatnya. "Hai Clara... Maaf ganggu. Aku... aku butuh bantuanmu" ucapnya pelan. Clara langsung menangkap nada cemas di suara Eve. "Ada apa? Kamu baik-baik saja?" Eve menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah lagi. "Aku dipecat tadi pagi" "Apa?!" Clara terdengar kaget. "Kenapa? Bukannya kamu selalu jadi tangan kanan bosmu? Apa yang terjadi?" Eve terdiam sejenak, berpikir apakah dia harus menceritakan semuanya. Tapi akhirnya Eve memutuskan untuk menyimpan detail menyakitkan itu untuk dirinya sendiri. "Aku nggak bisa jelasin semuanya sekarang Clara. Aku cuma... aku butuh kerjaan. Apa ada lowongan kerja di tempatmu? atau di mana saja juga tak apa. Apa pun akan aku lakukan" Clara terdiam beberapa detik, lalu suaranya berubah menjadi lebih serius. "Aku mengerti Eve. Aku tahu ini berat untukmu. Aku nggak bisa janji langsung, tapi aku akan cari tahu. Aku kenal beberapa orang yang mungkin bisa bantu. Kamu butuh kerjaan apa pun, kan?" "Ya, apa pun Clara. Aku butuh untuk bayar sewa kos bulan ini dan mengirimi keluargaku di kampung... Aku benar-benar nggak tahu harus gimana lagi" jawab Eve dengan suara parau. Clara menghela napas. "Tenang Eve. Kamu nggak sendiri. Aku akan tanya-tanya hari ini juga. Kalau ada kabar terbaru aku pasti langsung kabarin kamu, oke?" Eve merasa sedikit lega mendengar respons Clara. Meskipun belum ada solusi pasti setidaknya ada seseorang yang peduli dan berjanji akan membantunya. "Terima kasih Clara. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu" "Jangan ngomong gitu, kita sahabat kan? Aku nggak akan biarin kamu jatuh sendirian. Nanti aku kabari ya. Sementara itu, coba tenangin diri dulu" kata Clara sebelum menutup telepon. Eve meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Ada sedikit rasa lega di hatinya, meskipun masalahnya masih jauh dari selesai. Setidaknya dia merasa bahwa dia tidak sepenuhnya sendirian. Namun di balik rasa syukur itu, ada rasa khawatir yang terus menghantui. Jika Clara tidak menemukan apa-apa, apa yang harus dia lakukan? Dunia terasa begitu keras dan tak adil sekarang, tetapi Eve tahu dia tidak punya waktu untuk menyerah pada keputusasaan. "Demi ibu dan kedua adikku" gumamnya pelan, "aku harus terus mencoba" Dengan tekad yang mulai tumbuh kembali, Eve mulai mencari opsi lain. Dia membuka laptopnya, memeriksa platform lowongan pekerjaan dan mulai mengirimkan lamaran ke mana pun dia bisa. Meskipun rasa takut dan ragu terus menghantui Eve tahu satu hal, dia tidak boleh berhenti bergerak. Di luar jendela, matahari mulai bergeser ke puncak langit, memberikan secercah harapan kecil di tengah hari yang berat.Malam itu, Eve duduk di kamar kosnya yang remang, hanya ditemani lampu meja kecil yang mulai meredup dimakan usia. Dia memandangi ponselnya dengan cemas, berharap ada kabar dari Clara. Meski harapannya terasa tipis, Eve tidak punya pilihan selain menunggu. Ponselnya akhirnya bergetar dan nama Clara muncul di layar, membuat Eve berdegup kencang. Eve segera menjawab panggilan itu sigap. "Halo Clara?" Di ujung sana, Clara menghela napas sebelum berbicara. "Eve, aku punya kabar untukmu" Eve menegakkan punggung, harapannya tumbuh. "Iya? Ada lowongan kerja?" "Ya, ada" jawab Clara pelan, suaranya terdengar ragu. "Tapi... aku nggak yakin ini pekerjaan yang cocok untukmu" Eve mengerutkan kening. "Kenapa? Clara, aku butuh pekerjaan apa pun saat ini. Tolong, kamu bisa memberitahuku" "Masalahnya bukan aku nggak mau ngasih tahu" Clara menjelaskan. "Tapi pekerjaan ini... tingkat kesulitannya tinggi, dan aku nggak mau kamu tambah stres. Tapi kalau kamu maksa, aku akan memberi tahu" E
Eve menghabiskan sebagian besar pagi itu dengan membenahi meja kerja Adam. Dokumen berserakan di atas meja, jadwal yang tidak jelas, dan beberapa kontrak penting yang bahkan belum ditandatangani. Dia bekerja dengan cepat dan efisien, mencoba menata semuanya sebelum Adam selesai dengan naskah di tangannya. Meskipun matanya mulai lelah dan jari-jarinya terasa kaku Eve berusaha keras untuk tetap fokus Namun belum juga setengah jalan, Adam tiba-tiba muncul di sebelah meja dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat tidak senang. "Nona Eve" panggilnya tajam. Eve menoleh, entah kenapa merasa gugup. "Ya tuan Adam?" Adam berjalan mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. Di layar itu ada sebuah artikel gosip online yang baru saja dipublikasikan, lengkap dengan foto Adam di sebuah klub malam beberapa hari lalu dengan judul mencolok "Aktor Kontroversional Adam Terlihat Mabuk dan Membuat Keributan di Klub Eksklusif!" "Ini pekerjaan pertamamu" perintah Adam dengan nada tajam. "Bereskan
Setelah mencuci piring bekas sarapan Adam, Eve mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan ke ruang tamu di mana Adam sudah menunggunya di sofa seraya memainkan ponselnya. "Udah selesai?" tanyanya tanpa menoleh, tatapan pria itu tetap terpaku pada ponselnya. Eve menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa jengkelnya. 'Sedikit apresiasi tidak akan membunuhmu Tuan Adam' "Ya, sudah" jawabnya singkat. Tanpa berkata apa-apa lagi Adam berdiri dan berjalan menuju koridor, memaksa Eve untuk mengikuti di belakang. Mereka melewati beberapa ruangan sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar dengan ukiran modern. Adam membuka pintu itu dan masuk, sementara Eve berdiri terpaku di ambang pintu, matanya melebar saat melihat isi ruangan di dalamnya. 'Astaga' Ruang ganti Adam dua kali lipat lebih besar dari kamar kos Eve. Di dalamnya ada rak-rak kayu tinggi yang dipenuhi jas, kemeja, celana, dan sepatu yang tersusun rapi berdasarkan warna dan jenis. Di sisi sebel
Setelah syuting selesai, Eve merasa lelah secara fisik dan mental. Hari ini dia tidak hanya harus menangani permintaan sok perfeksionis Adam, tetapi juga harus menghadapi sikap Zara yang menyebalkan. Di dalam mobil, selama perjalanan pulang suasana terasa hening. Adam duduk di kursi belakang dengan mata terpejam, sementara Eve duduk menyupir di depan. Tak tahan dengan keheningan yang membosankan, Eve akhirnya menghela napas dan bergumam pelan, “Hari ini benar-benar melelahkan…” Adam yang awalnya diam, membuka matanya sedikit dan bergumam membalas. “Kamu memang terlihat payah” Eve melotot ke kaca spion tengah, menatap Adam kesal. “Aku baru bekerja dua hari dan sudah dikerjai oleh rekan aktris anda habis-habisan! Wajar kalau aku lelah” Adam hanya mengangkat bahu cuek. “Itu salahmu sendiri. Kalau sejak awal kamu bilang ‘tidak’, dia nggak akan berani menyuruhmu terus” Eve menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak membantah. Dia tahu Adam ada benarnya, tapi tetap saja, bukank
Malam itu setelah sampai di kamar kosnya, Eve langsung mulai mengemasi barang-barangnya. Tidak banyak yang harus dia bawa, hanya pakaian, perlengkapan mandi, dan barang-barang kecil penting lainnya. Dia sudah mempertimbangkan tawaran Adam selama di perjalanan pulang, tawaran pria itu tidak terasa buruk. Eve hanya perlu pindah tempat tidur dan uang yang seharusnya dipakainya untuk membayar kos bisa digunaka untuk menambah transferannya pada keluarga di kampung. Saat dia tengah sibuk melipat bajunya ke dalam koper, ponselnya bergetar di atas kasur. Nama Clara muncul di layar. Eve mengernyit, merasa sedikit aneh karena sahabatnya itu biasanya menelepon hanya jika ada sesuatu yang penting. Begitu dia mengangkatnya, suara Clara terdengar antusias di seberang sana. “Eve! Kamu udah liat berita hari ini? Alex mau nikah bulan depan!” Eve terdiam sejenak. Tangannya yang sedang melipat baju pun ikut berhenti. "Alex?" “Iya! Alex atasanmu dulu! Media lagi heboh banget! Kamu nggak buka
Malam harinya Adam dan Eve menghadiri acara penghargaan yang digelar di salah satu hotel mewah di pusat kota. Adam sebagai salah satu nominasi, duduk bersama para aktor lain di barisan depan, sementara Eve ditempatkan di meja staf yang lebih jauh dari panggung utama. Sepanjang acara mereka nyaris tidak berinteraksi. Adam sibuk berbincang dengan rekan-rekan sesama aktornya sambil sesekali tersenyum ke arah kamera, sementara Eve hanya memperhatikan jalannya acara sambil menikmati makanan ringan di mejanya. Acara berlangsung cukup panjang, dengan berbagai kategori diumumkan satu per satu. Adam tidak memenangkan penghargaan malam itu, tapi dia tetap memasang ekspresi santai dan profesional. Setelah acara selesai, para tamu mulai beranjak keluar dari ballroom. Eve yang berjalan menuju pintu keluar bertemu Adam di lobi hotel, tepat saat pria itu baru selesai berbicara dengan beberapa rekannya. Namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, seseorang menghampiri mereka. "Adam?" Sua
Pagi harinya, Eve bangun dengan perasaan kesal yang masih membara. Bukan hanya karena Adam telah menciumnya semalam meskipun itu kecelakaan, tapi karena pria itu salah mengiranya sebagai Casey. 'Dasar pria menyedihkan!' batinnya kesal. Setelah mandi dan bersiap dengan cepat, Eve keluar dari kamarnya seraya membawa laptopnya yang terdapat jadwal Adam juga keperluan wawancara dan pemotretan hari ini. Saat menuruni anak tangga dia mendapati Adam sudah duduk santai di sofa ruang televisi, tengah menonton televisi sambil memegang secangkir kopi. Pria itu terlihat segar seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Sementara Eve? Dia masih ingin melempar sesuatu ke kepala Adam. Namun Eve memilih diam dan langsung menuju ke dapur. Saat Eve kembali dari dapur dan duduk di meja makan seraya membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri, Adam tiba-tiba muncul dan menyodorkan roti panggang yang telah dibaluri selai ke arahnya. "Apa ini?" Eve melirik roti itu curiga. "Roti" Adam menjaw
Setelah melalui serangkaian wawancara dan pemotretan yang melelahkan sepanjang pagi hingga siang hari, jadwal terakhir Adam hari ini adalah syuting dramanya bersama Zara, aktris yang dulu sempat menjahili Eve di hari keduanya bekerja. Eve sebenarnya tidak ingin terlalu banyak berinteraksi dengan Zara, tapi karena dia adalah manajer Adam, suka atau tidak dia harus tetap profesional. Setibanya mereka di lokasi syuting, Eve langsung melihat Zara yang tengah duduk di kursi rias, tengah mengobrol dengan managernya. Tatapannya beralih pada Adam yang sedang berbincang dengan sutradara tentang adegan yang akan mereka lakukan. "Hei, Eve!" Eve yang baru saja duduk di kursi sudut ruangan menoleh. Zara berjalan mendekatinya seraya tersenyum cerah, seolah-olah mereka adalah sepasang teman lama. "Hai, Zara" Eve membalas dengan anggukan kecil. "Santai dong, kamu masih kesal
Mendengar pertanyaan tiba-tiba Adam, tangan Eve mengepal di pangkuannya, menahan rasa sakit, marah juga kecewa yang kembali muncul. Eve menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pelan. "Adam…." Adam meliriknya sekilas, ekspresi wajah pria itu tak terbaca. "Aku butuh jawaban Eve" Suaranya lebih dalam kali ini, nyaris seperti bisikan. Eve menggigit bibir, hatinya berdebar kencang. Apa yang harus dia katakan? Eve menatap Adam tajam, mencoba menahan gejolak emosinya sebelum akhirnya membuka mulutnya dan bertanya ragu. "Boleh aku bertan
“Kamu terlalu dramatis" Eve mendecakkan lidah. “Aku kan aktor, wajar kalau aku dramatis" Adam menyeringai kecil. Eve mendengus, tapi tidak bisa menyangkal kalau ucapan Adam memang terdengar masuk akal, walaupun alasan itu terasa dibuat-buat. “Aku masih bisa manggil pembantu kalau ada apa-apa. Aku akan tetap tidur di kamarku” dalih Eve. Adam menggeleng lagi. “Kalau kamu ngotot tidur di situ, aku yang bakal tidur di kamarmu. Aku lebih percaya diri kalau aku sendiri yang ada di dekatmu” “Ranjangnya sempit Adam, nggak muat buat kita berdua" Eve memijat pelipisnya lelah. "Aku nggak masalah" Adam mengangguk santai. Eve ingin membantah, tapi dia tahu Adam. Pria itu tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Oke, aku tidur di kamarmu" gumam Eve akhirnya. “Tapi
Adam melipat tangan di dada. "Dan aku orang yang bertanggung jawab. Aku bakal jadi ayah yang baik. Aku bisa gendong bayi, bisa bikin susu, bisa...." "Kamu bahkan nggak bisa masak mie instan tanpa bikin dapur kebakaran" potong Eve tajam. Adam mengerjap sebentar lalu berkata santai penuh percaya diri. "...Itu kan kemarin. Mulai sekarang aku bakal belajar dan berusaha" "Oh ya? Buktiin" Eve tertawa sinis. Adam berpikir sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. "Kamu ngapain?" Eve melangkah mendekat dan melirik ponsel Adam curiga. "Aku mau cari tutorial cara jadi ayah yang baik di YouTube" sahutnya santai, sibuk menggulir jarinya di layar ponsel. Eve menepuk dahinya sendiri. 'Pria ini sungguhan gila!' batinnya frustasi. "Eve, serius" Adam mendongak dari layar ponselnya, kali ini suaranya lebih le
Setelah 2 jam perjalanan mereka tiba di rumah sakit besar yang berada di kota sebelah. Adam bergegas membawa Eve ke ruang praktik seorang dokter yang tampaknya sudah sangat dikenalnya. "Adam, ini dokter kepercayaanmu?" tanya Eve pelan. Adam mengangguk. "Aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja" Tak lama, seorang dokter pria paruh baya masuk ke dalam ruangan dengan senyum ramah. "Adam! Lama nggak ketemu. Siapa ini?" tanyanya, melirik Eve dengan penuh ketertarikan. "Ini manajerku, Eve" jawab Adam. "Dia tiba-tiba mual dan muntah. Aku mau tahu dia kenapa atau sakit apa dok" Sang dokter mengangguk dan segera melakukan pemeriksaan mendetail. Eve merasa sedikit canggung karena ini pertama kalinya dia diperiksa seintens ini, tapi dia tetap menurut dan mengikuti prosedur yang diminta. Setelah serangkaian pemeriksaan panjang, dokter akhirnya kembali dengan hasilnya.
Jantung Eve berdegup kencang saat melihat pria itu berbicara dengan beberapa kru dengan ekspresi serius. Sudah lama sejak terakhir kali Eve bertemu Alex… Kenangan yang selama ini ia kubur mulai menyeruak tanpa izin. Hubungan mereka di masa lalu juga malam pertamanya dengan Alex bukan sesuatu yang bisa ia lupakan dengan mudah, dan sekarang pria itu berdiri hanya berjarak beberapa meter darinya. Seakan merasakan tatapan Eve, Alex menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Mata pria itu sedikit membesar seakan tidak percaya, tapi hanya dalam hitungan detik, ekspresi terkejut itu berubah menjadi tatapan tajam yang sulit diterjemahkan. Eve menelan ludah, tatapan Alex terasa menusuk membuatnya ingin mundur, tapi kakinya tetap terpaku tak mau bergerak. Sebelum Eve sempat menghindar, Alex sudah melangkah menghampirinya. “Eve?” suara Alex terdengar dalam dan dingin.
Gumaman Adam terdengar sayup-sayup, membangunkan Eve dari tidurnya yang gelisah. Eve membuka mata dan mendapati Adam masih terbaring dengan mata terpejam. Tubuh besarnya bergetar hebat di balik selimut. Eve mengumpulkan kesadarannya lalu bangkit dari kursinya dan menyentuh dahi Adam cemas. "Astaga, panasmu tinggi banget" ujar Eve panik. Adam hanya menggumam pelan, sepertinya terlalu lemah untuk merespons. Tanpa pikir panjang, Eve mengambil kain basah dan mulai mengompres Adam. Dia juga menyiapkan botol air dingin dan mencoba menurunkan suhu tubuh pria itu dengan menaruhnya di beberapa bagian tubuh Adam. Namun yang membuat Eve benar-benar panik adalah ketika Adam mulai meracau dalam tidurnya. "Eve…" Eve menegang. Adam kembali bergumam, kali ini lebih lirih. "Jangan pergi"
Ponsel Eve berdering nyaring, membuat Eve yang baru selesai mandi dan tengah merapikan penampilannya meraih benda itu cepat. Saat melihat nama yang muncul di layar, dia mengernyit. Adam 'Bisa-bisanya pria itu memilih untuk menelepon walaupun kami satu atap' Eve berdecak dalam hati. Eve mengangkat telepon dan berucap malas. "Ada apa?" "Aku sakit" suara Adam di seberang telepon terdengar serak dan lemah. Eve menahan tawa. "Aku udah bilang kan semalam?" "Jangan nyalahin aku sekarang Eve. Aku butuh bantuan" Adam mengeluh. "Aku nggak bisa bangun. Badanku panas banget" Eve menghela napas panjang lalu melirik jadwal Adam hari ini. Untungnya tidak ada jadwal penting, hanya meeting dengan tim produksi dan syuting yang bisa ditunda.
Setelah melalui serangkaian wawancara dan pemotretan yang melelahkan sepanjang pagi hingga siang hari, jadwal terakhir Adam hari ini adalah syuting dramanya bersama Zara, aktris yang dulu sempat menjahili Eve di hari keduanya bekerja. Eve sebenarnya tidak ingin terlalu banyak berinteraksi dengan Zara, tapi karena dia adalah manajer Adam, suka atau tidak dia harus tetap profesional. Setibanya mereka di lokasi syuting, Eve langsung melihat Zara yang tengah duduk di kursi rias, tengah mengobrol dengan managernya. Tatapannya beralih pada Adam yang sedang berbincang dengan sutradara tentang adegan yang akan mereka lakukan. "Hei, Eve!" Eve yang baru saja duduk di kursi sudut ruangan menoleh. Zara berjalan mendekatinya seraya tersenyum cerah, seolah-olah mereka adalah sepasang teman lama. "Hai, Zara" Eve membalas dengan anggukan kecil. "Santai dong, kamu masih kesal
Pagi harinya, Eve bangun dengan perasaan kesal yang masih membara. Bukan hanya karena Adam telah menciumnya semalam meskipun itu kecelakaan, tapi karena pria itu salah mengiranya sebagai Casey. 'Dasar pria menyedihkan!' batinnya kesal. Setelah mandi dan bersiap dengan cepat, Eve keluar dari kamarnya seraya membawa laptopnya yang terdapat jadwal Adam juga keperluan wawancara dan pemotretan hari ini. Saat menuruni anak tangga dia mendapati Adam sudah duduk santai di sofa ruang televisi, tengah menonton televisi sambil memegang secangkir kopi. Pria itu terlihat segar seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Sementara Eve? Dia masih ingin melempar sesuatu ke kepala Adam. Namun Eve memilih diam dan langsung menuju ke dapur. Saat Eve kembali dari dapur dan duduk di meja makan seraya membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri, Adam tiba-tiba muncul dan menyodorkan roti panggang yang telah dibaluri selai ke arahnya. "Apa ini?" Eve melirik roti itu curiga. "Roti" Adam menjaw