Setelah kejadian tadi di Toko Ice Cream, Vindy hanya diam saja tidak ada pembicaraan apa-apa dari ketiganya. Baik Amilia, Vindy, dan Alland semuanya hening. Amilia menatap kedua kakak-kakaknya, dan dia sedang memikirkan sesuatu agar kedua kakaknya itu saling berbincang-bincang satu sama lain. Tak lama kemudian Amilia tersenyum tipis, karena dia telah menemukan ide yang bagus. Amilia mengambil Tablet miliknya lalu bermain game, Vindy mulai tertarik dengan apa yang dimainkan oleh seorang gadis berusia 12 tahun itu. Alland juga mulai tertarik dengan kedua gadis dihadapannya, Amilia bersorak gembira dalam batinnya dan dia mulai mematikan tabletnya. Alland dan Vindy langsung diam seketika, lalu menatap Amilia.
"Ami. Kenapa dimatikan gamenya?" tanya Vindy.
"Bosan kakak. Bagaimana kalau kita main di tempat lain saja?" balas Amilia.
"Mau main di mana? Apa mau ke Toko Bunga," ujar Alland.
Amilia menggeleng pelan, Vindy jadi gemas dan memeluk erat Amilia. Amilia tersenyum dan membalas pelukan Vindy.
"Kita pulang ke Mansion saja kakak. Aku akan menentukan permainannya ketika sampai," balas Amilia.
"Ya baiklah," ujar Alland tenang.
Amilia mulai mengantuk dan tanpa sadar tertidur dipangkuan Vindy. Vindy mengusap lembut rambut Amilia, dia sangat menyayangi adik dari Alland pria yang diam-diam telah merebut hati serta perhatiannya.
”Sini biar aku yang menggendong," ujar Alland.
"Jangan, Tuan. Biarkan saja Amilia tidur dipangkuan ku," sahut Vindy.
"Kita saat ini tidak berada di Kantor, Amilia. Panggil saya dengan nama saja," ujar Alland.
"Baiklah, Alland."
"Good," ujar Alland.
Tak terasa mereka sudah memasuki halaman Mansion Allard Edbert Edric, Vindy terpesona dengan kemegahan dan kemewahan Mansion keluarga dari Owner Perusahaan Harrison Corporation. Vindy tersadar dari rasa kagumnya, karena Alland tiba-tiba menyentuh bahunya untuk membuatnya tersadar.
”Kamu punya kebiasaan melamun ya?" tanya Alland.
”Tidak Alland. Aku tadi hanya kagum saja," balas Vindy dengan jujur.
Alland atau Erland tidak menyukai kebohongan dan sangat benci bila dibohongi. Bekerja dengan Alland diharuskan untuk jujur serta terbuka.
"Ayo masuk karena sebentar lagi kita makan siang. Daddy dan Mommy sudah menunggu kita," ujar Alland.
Alland membuka pintu untuk Amilia dan Vindy, setelah kedua gadis itu keluar kini giliran dirinya.
"Ayo masuk," ujar Alland.
Alland menggenggam tangan Vindy, Amilia sangat senang luar biasa. Saat sampai di depan pintu, pintu langsung terbuka lalu keluarlah Tuan dan Nyonya besar Edric.
"Selamat siang Daddy, Mommy," sapa ketiganya secara bersamaan.
”Selamat siang juga nak. Silahkan masuk kita makan siang dahulu," sahut Allard.
Allard memperhatikan tangan Alland dan Vindy yang saling menggenggam, lalu dia melirik kearah Amilia agar berjalan bersamanya.
Allard menatap Carlina dan mereka saling melemparkan senyuman.
"Ayo masuk. Aku sudah lapar," ujar Amilia.
Allard dan Carlina saling menggenggam, lalu mereka pun memutuskan untuk masuk. Saat ini mereka sudah duduk di tempat masing-masing, di ruangan itu ada Allard sebagai kepala keluarga beserta Carlina pendampingnya, Alvian, Alland, Vindy, dan Amilia juga hadir. Alvian hanya menatap sinis kepada Alland.
"Aku hanya ada di sini seminggu sekali, kau tidak perlu memandang sinis kepadaku. Diriku tidak akan lama dan hanya ingin mengambil barang-barang penting milikku saja!" tegas Alland.
"Aku juga kemari atas perintah Daddy dan Mommy."
"Alvian sudahlah. Jangan memancing keributan!" tegas Allard.
Alvian palsu hanya menghela nafas panjang, tanpa sadar mengepalkan tangannya.
Setelah makan siang selesai, Carlina mengajak Vindy untuk mengunjungi kamar Alland.
Sesampai di kamar Alland...
Carlina membukakan pintunya, Vindy terpesona kembali dengan kamar Alland yang di dominasi dengan warna Hijau, Putih, dan Biru.
"Ayo masuk nak," ujar Carlina.
Vindy pun masuk ke dalam dan Carlina menutup pintunya.
"Kamar ini sangat indah ya Mommy. Sangat terawat dan wangi," ujar Vindy.
"Kamu benar nak. Alland menyukai kebersihan dan keindahan sejak kecil. Dia sangat sederhana dan tidak suka menonjolkan kekayaan miliknya," jelas Carlina.
Vindy semakin kagum dengan Alland, pria yang diam-diam dia cintai.
"Kamu tahu nak. Alland menyukai wangi mint untuk parfum favoritnya," ujar Carlina.
"Aku juga menyukai aroma mint Mommy," sahut Vindy.
"Benarkah?" tanya Carlina dengan nada lembut.
"Benar, Mommy. Aku tidak berbohong karena tidak suka berbohong dan dibohongi,” balas Vindy.
Carlina tersenyum bahagia dan mengusap rambut hitam halus milik Vindy.
"Suatu saat jika kalian berjodoh dan menikah nantinya, kamar ini akan menjadi *milik kalian berdua*."
Carlina tersenyum hangat membayangkan hal itu terjadi.
"Sebentar ya nak. Mommy akan memperlihatkan sesuatu yang berkaitan dengan masa kecil Alland," ujar Carlina.
Carlina pun bangkit, membuka lemari, dan mengambil peti emas berukuran sedang.
"Di dalam peti ini. Ada beberapa barang yang disukai oleh Alland,” ujar Carlina.
"Apa aku boleh membukanya?" tanya Vindy.
"Tentu saja nak. Saat kalian pulang nanti bawalah peti ini," balas Carlina.
Vindy membuka peti emas tersebut dan dia sangat terkejut dengan isinya. Setelan pakaian khas Kerajaan dilengkapi mahkota, pedang, dan perhiasannya.
”Sepertinya aku kenal dengan pakaian ini. Apakah Raja kecil itu kamu Alland?" tanya Vindy dalam hati.
Vindy tersenyum kecil membayangkan masa kecilnya, yang penuh dengan keindahan. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, Alland masuk dan terkejut karena Vindy menyentuh kostum Raja miliknya.
"Vindy. Bawa barang itu ke bagasi mobil ya. Benda-benda itu adalah kenangan terindahku," ujar Alland.
Vindy mengangguk dan tersenyum tipis.
"Mommy. Aku kira kau sudah membuangnya ketika Daddy mengusirku saat lumpuh,” ujar Alland.
"Tentu saja tidak nak. Semua kenangan mu tetap aman di kamar ini. Mommy sudah merawatnya agar tidak rusak," ujar Carlina.
"Terimakasih, Mommy. Aku sangat menyayangimu," ujar Alland.
Alland langsung memeluk Carlina dengan erat, disaksikan oleh Vindy yang merasa sangat terharu dengan kehangatan Alland dan Ibunya.
"Mommy. Aku dan Vindy harus kembali ke Mansion diriku. Kami akan datang lagi nanti," pamit Alland.
"Mommy. Kami pamit ya," ujar Vindy.
"Rasanya baru sebentar kalian di sini. Anak-anak Mommy sudah mau pergi lagi," ujar Carlina sedih.
Vindy memeluk erat Carlina, dan mencium pipinya dengan lembut.
"Aku akan datang lagi Mommy. Jaga dirimu baik-baik ya," ujar Vindy.
Carlina mengecup kening Vindy dan juga putranya Alland.
"Kalian hati-hati ya. Jangan lupa pamitan pada Daddy Allard," ujar Carlina.
"Baik Mommy. Kami pamit dulu," ujar Alland dan Vindy.
Carlina pun mengantarkan Alland dan Vindy menemui Allard. Saat ini Allard sedang asik dengan ponsel miliknya, mengambil alih pekerjaan yang selama ini diabaikan oleh Alvian palsu.
Carlina menatap kedua anaknya dan tersenyum.
"Daddy," ujar Vindy.
Allard melirik kearah Carlina, Alland, dan Vindy.
"Daddy. Kami ingin pamit untuk pulang,” ujar Alland dan Vindy.
"Apa? Pulang kemana bukankah ini juga rumahmu," ujar Allard.
"Aku dan Vindy punya tugas masing-masing serta Mansion sendiri Daddy. Jadi kami harus segera kembali," balas Alland.
Allard paham maksud Alland, putranya itu seakan-akan ingin menjauh darinya sejak dirinya mengusir Alland.
"Baiklah. Kalian hati-hati di jalan ya," ujar Allard.
Alland dan Vindy pun pergi, baru beberapa langkah berjalan. Tiba-tiba...
Bara tiba-tiba saja datang dari kamarnya, dia menatap Alland dan Vindy dengan penuh kemarahan. Vindy mundur beberapa langkah, saat Bara mulai berjalan kearahnya. Vindy tidak tahu apa maksud dari Bara, dengan mendekati dirinya seperti ini, menimbulkan rasa takut yang dalam dihatinya. Erland mengerti dengan isyarat tatapan mata Vindy, dengan gerakan cepat dirinya sudah berhadapan dengan Bara. Allard yang merasakan suasana hati Alland yang penuh emosi dan kemarahan langsung mendekat, Carlina juga mendekati Bara. Saat ini ketiga pria dan dua wanita saling berhadapan, Bara tersenyum nakal pada Vindy. Vindy langsung bersembunyi dibalik tubuh kekar, seorang Erland Dallin Harrison. Erland memberikan isyarat kepada Vindy, untuk masuk ke dalam mobil mewah miliknya. Vindy yang mengerti isyarat tersebut, cepat-cepat masuk ke dalam mobil.Erland kembali menatap Bara, kedua tangannya mengepal kuat. "Jangan menatapnya seperti itu. Kau tahu dia tidak nyaman saat ditatap olehmu!"Bara tersenyum menyer
Allard memikirkan perkataan Alland, yang meragukan bahwa yang saat ini tinggal bersamanya bukanlah kakaknya melainkan orang lain. Allard berusaha untuk berfikir jernih, agar dia tidak gegabah dalam memutuskan hal yang sangat sensitif bagi kedua belah pihak, istrinya dan juga Alvian putranya. Allard sendiri juga tidak menyangka, bagaimana bisa Alland bisa berkata seperti itu. Apa yang selama ini terjadi padanya di masa lalu, waktu ketika dirinya tega membuang serta mengusir putra keduanya yang lumpuh karena kecelakaan. Bodohnya dia tidak bisa berfikir jernih, justru mengikuti kehendak anak pertamanya yang sangat dia sayangi. Alland putra keduanya seperti menutup diri padanya, menjauh, dan menciptakan dinding pembatas terhadap dirinya. Allard memijat keningnya, yang terus berdenyut nyeri. Pertanyaan demi pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya, muncul secara tiba-tiba dalam pikirannya. Allard sadar bahwa Alland saat ini telah berubah menjadi lebih dingin, tidak tersentuh, cuek, dan t
Alvian palsu masuk ke dalam Mansion dengan cara bersembunyi, dia berfikir bahwa Allard tidak akan tahu dan sudah tidur terlelap bersama sang istri tercinta. Dari kejauhan Allard tampak tersenyum menyeringai, ketika putra tertuanya itu bersembunyi seperti maling. Perlahan namun pasti, dia mendekat kearah saklar dan tap. Lampu seketika hidup, hal tersebut membuat Alvian palsu salah tingkah dan cemas. Dengan tubuh yang lemah berbau alkohol dan mabuk, Allard pasti menghajarnya habis-habisan karena pria itu tidak suka anak-anaknya menyentuh minuman keras. Suara tepuk tangan tiga kali, yang dilakukan dengan keras membuat Alvian mundur dan ingin kabur. Namun sebuah ancaman tidak terduga dari Allard, membuat Alvian terdiam karena saat ini pria itu menodongkan pistol Glock 17 kepadanya.Alvian palsu mundur beberapa langkah. "BERHENTI! JIKA TIDAK AKAN KU TEMBAK KAMU ALVIAN!"Suara Allard yang tegas dan menggelar itu, membuat Carlina terbangun dan langsung menemui suaminya."Pergi kemana kamu, A
Saat Allard sedang fokus menatap tajam putra tertuanya, tiba-tiba saja muncullah seorang pria yang sangat menyeramkan dan sangat dingin tidak tersentuh. Dialah Aaron Matthew Wycliff berusia 39 tahun, dialah anggota termuda yang Allard miliki di kelompok Gangster Mafia Golden Lion. Gangster Mafia terkuat dan terhebat di dunia, memiliki dua ratus anggota inti dan banyak sekali anggota cadangan yang tersebar di mana-mana. Aaron menatap Bara dengan nada menusuk, seperti sedang merencanakan sesuatu di dalam pikirannya. Bara mulai merasa tidak nyaman ditatap itu, lalu memutuskan untuk mundur beberapa langkah agar tidak berkontak mata dengan Aaron. Aaron yang melihat hal tersebut hanya tersenyum tipis, benar dugaannya pria muda dihadapannya ini bukanlah putra kandung sahabatnya. Aaron mendekati Allard, lalu menepuk pundak pria berusia lima puluh lima tahun itu dengan tegas. "Bagaimana kabarmu, Allard? Maaf aku datang terlambat karena gadisku susah sekali diatur." Allard tersenyum dan mengan
Tak terasa hari sudah pagi, Alland sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan seseorang yang memiliki darah sama seperti dirinya. Pagi ini Alland menggenakan setelan jas formal berwarna biru, sepatu hitam mewah, jam tangan mahal, dan kacamata hitam pekat yang selalu menambah ketampanannya. Aroma parfum beraroma mint semakin membuat dirinya wangi, menambah ketegasan, kewibawaan, dan aura kepemimpinannya. Tak lama kemudian Allard, Carlina, dan Amilia datang, gadis itu mengenakan gaun biru panjang dan bando bunga. Amilia menatap kagum Alland, kakaknya itu benar-benar sangat tampan dan penuh wibawa. Allard dan Carlina justru saling pandang, tidak biasanya pria dingin seperti Alland tampil dengan sempurna pagi ini tapi mereka juga pernah muda. Amilia berlari mendekati Alland, lalu memberikan kedua jempolnya. "Kakak sangat tampan sekali. Kakak Vindy pasti langsung terpesona melihat kakak." Alland menggelengkan kepalanya, tidak percaya adiknya bisa bicara seperti itu. "Jangan keras-keras. Jik
Sesampainya di Cafe XV23...Vindy dan Amilia turun duluan, sedangkan Alland memutuskan untuk memarkirkan mobil di tempat khusus. Vindy dan Amilia tampak antusias berada di halaman utama Cafe tersebut, sampai akhirnya Alland datang dan mengajak mereka untuk masuk. Amilia selalu menggenggam erat tangan Vindy, gadis itu seperti tidak mau kehilangan Vindy. Alland yang memperhatikan hal tersebut, diam-diam tersenyum hangat. Vindy tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, saat dia melihat pria yang sangat kasar terhadap keponakannya sendiri. Alland yang mengetahui kehadiran pria yang bernama Kelvin, langsung membawa pergi Vindy dan adiknya ke ruangan VIP yang sudah ia pesan.Sesampainya di ruangan VIP...Alland meminta Vindy untuk duduk di sebelahnya, sedangkan Amilia duduk disebelah Vindy. Gadis itu masih memeluk erat tangan Vindy, Vindy hanya tersenyum dan mengusap lembut rambut Amilia.Tak lama kemudian pelayan pun datang, lalu membungkuk hormat kepada Alland."Selamat datang, Tuan Alland.
Allard langsung mengangkat teleponnya dan terdengarlah suara asing dari seberang sana. Allard bahkan tidak mengenali siapa penelepon asing tersebut.[Kau pasti sedang bersenang-senang bukan atas kembalinya Alvian? Dirimu pasti tidak menyadari bahaya yang akan datang kepada Alland dan Vindy! Hahaha!]Pria asing yang menelepon Allard langsung memutuskan sambungan teleponnya. Allard terkejut bukan main, lalu menatap Carlina dan Alvian."Ada apa, Daddy?" tanya Alvian."Iya, Baby. Ada apa dengan kamu?" tanya Carlina."Mereka dalam bahaya. Musuhku yang dulu dia kembali lagi dan aku tidak tahu apa yang direncanakan olehnya," balas Allard.Alvian dan Carlina terkejut bukan main."Seharusnya aku tidak meninggalkan mereka," batin Alvian.Tak lama kemudian telepon Allard berdering kembali.[Bom peledak itu akan segera meledak, Allard! Mereka akan mati, kau tidak akan bisa menyelamatkan keduanya. Hanya ada waktu sepuluh menit lagi. Hahaha!][Brengsek kau!]Allard memutuskan sambungan teleponnya.
Tiga hari pun berlalu dengan sangat cepat, setelah insiden bom peledak yang disimpan di dalam Alland. Alland telah bangkit untuk memperkuat dirinya, melindungi keluarga, membangun kekuatan untuk melawan musuh-musuh besar Allard Edbert Edric, dan menjaga cinta sejatinya. Saat ini Alland sedang duduk bersama ketujuh pria lainnya, di ruangan yang minim penerangan. Tak lama kemudian seorang pria dengan setelan jas formal berwarna hitam bangkit, pria itu mengenakan kacamata hitam. Pria itu tampak sedang memainkan pistol, hingga sebuah letusan peluru mengejutkan sahabat-sahabatnya. Alland mengambil pistol miliknya di meja, tak lama kemudian tersenyum menyeringai. Dia menatap sahabatnya, lalu membisikkan sesuatu hal yang sangat penting."Aku mengerti, Alland. Lebih baik kita memulai rapatnya dan menyusun rencana matang-matang," ujar pria itu.Aldo Mackenzie, pria berusia 29 tahun. Pemilik Perusahaan Mackenzie Corporation, dia ahli dalam hal tembak-menembak dan membuat senjata api legal berba