Happy reading..."Silakan duduk!"Hera mengikuti saja apa yang dikatakan pria itu. Dia melihat sekeliling apartemen seakan mencari keberadaan Haidar. Namun tidak ada tanda-tanda pria itu ada di sana. Sebenarnya ke mana Haidar?Hera menghela napas berat lalu menyandarkan tubuhnya yang entah kenapa terasa begitu lelah."Silakan minum, Bu Hera," kata pria tadi menyodorkan segelas jus ke arah Hera, dia lalu duduk di depan wanita itu sambil tersenyum manis."Tidak perlu seformal itu. Aku jadi merasa canggung," kata Hera tersenyum kikuk.Pria itu lantas terkekeh. "Justru saya yang akan merasa canggung dan kurang ajar jika memperlakukan calon nyonya Pratama dengan tidak sopan."Kata-kata pria itu membuat pipi Hera merona. Ridwan memang sangat pandai membuat orang tersipu malu dan salah tingkah dengan kata-katanya."Oh iya, Anda ke sini pasti mencari Pak Haidar, bukan?" tanya Ridwan setelah hening beberapa saat.Hera hanya mengangguk perlahan seraya menaruh kembali gelas jus yang telah ia mi
Happy reading...."Apakah dia anakmu?" tanya Shila dingin.Hera mengerjabkan matanya beberapa kali sebelum mendongak untuk menatap Ibunda dari kekasihnya itu. Wanita itu menarik dua sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman yang begitu menawan."Ya, Bu Shila. Juan putra saya," jawab Hera dengan nada begitu bangga.Berbohong? Yang benar saja. Hera tidak mungkin berbohong apalagi hal itu menyangkut Juan. Hera sudah memikirkan konsekuensi terburuk dalam skenario ini. Di mana Shila mungkin tidak akan merestui hubungannya dengan Haidar setelah mengetahui statusnya.Mengingat hal itu membuat hati Hera berdenyut sakit hingga membuat senyum bangga yang sempat terpancar berubah getir.Keduanya membiarkan hening mendominasi untuk beberapa saat. Terkejut. Shila begitu terkejut akan pengakuan Hera. Sejak wanita itu datang dengan seorang bayi dalam gendongannya, Shila sudah menebak jika bayi itu adalah anak Hera. Namun dia menepisnya dan berpikir jika bayi itu adalah adik Hera. Walau hal i
Happy reading..."Apakah Dokter Emi dipindahtugaskan kemari, Sayang?" tanya Elena menoleh ke arah Jayden setelah melihat bangunan rumah sakit dengan warna putih dan hijau yang mendominasi di depannya. "Kita tidak akan menemui Dokter Emi," ujar Jayden membantu Elena melepas sabuk pengamannya. Perlakuan kecil yang membuat semburat merah menjalar di pipi Elena. "Kenapa kita tidak menemui Dokter Emi? Bukankah kita ingin konsultasi tentang rencana kehamilanku?" Dahi Elena membentuk sebuah kerutan halus. Bingung. Karena selama ini yang dia tahu Dokter Emi adalah dokter kepercayaan keluarga Xavier. Lalu kenapa harus menemui dokter lain?Jayden tak langsung menjawab. Pria itu malah lebih dulu turun lalu membuka pintu untuk Elena. Senyum manis terpancar jelas di wajah Elena. Sungguh dia sangat bahagia dengan semua perlakuan manis Jayden. Inilah Jayden yang Elena kenal. Sosok pria yang sangat menyayangi dan menyanjungnya."Aku punya dokter kenalan yang kebetulan bekerja di sini. Dia salah sat
Happy reading...Elena tersenyum bangga melihat jajaran piring berisi masakannya. Sambil bersenandung kecil, Elena menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menatanya sedemikian rupa. Saking indahnya meja makan sederhana itu seakan disulap menjadi meja makan restoran mewah.Elena melirik ke arah jam. Jayden sebentar lagi akan pulang. Sekarang tinggal Elena merubah penampilannya untuk menyambut sang suami.Tidak perlu berlebihan. Cukup dengan pakaian seksi yang pasti akan membuat Jayden tergoda. Entah pria itu akan memakan makanannya atau justru 'memakan' Elena. Mengingat hal itu membuat Elena terkekeh sendiri. Jika bersama dirinya Jayden memang sangat sulit menolak.Elena sudah duduk dengan manis di kursi meja makan. Sesekali merilik jam dinding. Hingga tiga puluh menit berlalu, Jayden belum juga menampakkan batang hidungnya. Elena mulai merasa gelisah membuat dia memutuskan menghubungi pria itu."Halo, Sayang," kata Elena saat sambungan telponnya diterima."Oh, halo," balas Jayden."K
Happy reading..."Kau masih punya aku, Vio."Perkataan Haidar tadi terus bergema dalam kepala Hera. 'Kau masih punya aku', apa maksudnya? Dalam artian apa? Saudara? Atau yang lainnya?Hera tahu bagaimana perasaan Viona terhadap Haidar. Dan Hera juga tahu bagaimana perasaan Haidar terhadap Viona. Namun rasa cemburu itu selalu saja timbul. Bahkan dia berada di sini juga karena rasa cemburunya.Hera menghela napas pelan lalu memejamkan matanya. Berharap perasaannya yang kacau bisa kembali normal. Dia mencoba untuk membatasi diri agar jangan sampai jatuh lebih dalam lagi. Hera sudah pernah merasakan bagaimana rasanya sakit hati karena orang yang ia cintai dan Hera tidak ingin hal seperti itu terulang lagi. Hera sudah kapok, sungguh. Hera bukannya tidak percaya pada Haidar, tapi tidak ada salahnya tetap waspada bukan?Di tengah kegelisahan dan rasa kacaunya, pintu kamar itu diketuk. Dengan langkah sedikit malas, Hera beranjak untuk membuka pintu."Hera!" Kata pertama yang sosok itu ucapkan
Happy reading....Alatha Center.Tempat yang dulunya dipandang sebelah mata. Tempat yang dulunya disebut orang-orang sebagai tempat kumuh di mana para orang-orang kurang beruntung berkumpul menjadikannya pemukiman. Walau berada dekat dengan pusat kota, entah kenapa tidak ada yang memandangnya istimewa. Tempat itu seakan tidak punya potensi atau pada dasarnya orang-orang tidak ada yang peduli.Namun siapa sangka Alatha Center kini disulap oleh Jayden menjadi tempat dengan harga saham tertinggi. Sekarang orang-orang berlomba agar bisa menanam saham di sana. Alatha Center kini setara atau bahkan lebih tinggi derajatnya dari pada tempat di sekitarnya.Apartemen mewah yang digadang-gadang akan menjadi salah satu bangunan termewah dan termegah di kota Alatha mencuri perhatian semua orang."Kurasa kini nama Alatha Center sangat cocok dengan tempat ini," komentar Jayden menatap bangga ke arah pembangunan apartemen mewahnya yang masih berlangsung. Dia pun tidak mengerti kenapa nama Alatha Cent
Happy reading...Tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran Hera jika dirinya akan menghadapi suasana dengan atmosfer begitu berat bersama keluarga Haidar. Salahnya sendiri karena dengan mudah menerima ajakan Haidar untuk menemui orangtuanya.Tapi Hera tidak mungkin menghindar juga. Memangnya mau sampai kapan? Selama dia masih ingin bersama Haidar, dia harus siap menghadapi suasana seperti ini. Cepat atau lambat. Tak peduli bagaimana Shila tak ingin menatapnya lagi. Sungguh sikap wanita itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada lagi tatapan hangat, senyum ramah serta belaian kasih sayang. Namun Hera berusaha untuk tetap tenang. Tak ingin terusik sama sekali."Anakmu sudah tidur?" tanya Thomas setelah Hera dan Haidar duduk bersama mereka di ruang keluarga selama beberapa menit. Pertanyaan itu ditujukan untuk Hera."Sudah," jawab Hera singkat dengan perasaan yang mulai campur aduk. Ternyata ayah Haidar itu juga sudah tahu statusnya."Ah, syukurlah," tutur Thomas tersenyum si
Happy reading...Cukup lama Haidar hanya terdiam di dalam kamarnya. Menatap ubin berwarna putih itu tanpa berpaling. Pikirannya kacau, dipenuhi oleh perjanjian konyol yang Hera dan ibunya lakukan.Kenapa mereka melakukan hal itu? Tidakkah mereka memikirkan perasaan Haidar? Semakin memikirkannya, pikiran Haidar malah semakin tak karuan. Pria itu bangkit lalu mengusak-usak rambutnya yang sedikit panjang hingga berantakan.Setelah mendengar ucapan Hera tadi, tanpa pikir panjang Haidar segera beranjak masuk ke dalam kamar. Bahkan dia sempat membanting pintu sebagai bentuk protesnya. Sungguh dia sangat kecewa namun sulit meluangkannya. Apalagi pada kedua sosok wanita yang sangat ia cintai dan hargai. Membuat pria itu memilih melarikan diri.Dan di sinilah Haidar sekarang. Terkurung di dalam kamar dengan emosi yang terpendam. Segelas wine kini bertengger di tangannya. Haidar meneguk minumannya hingga menyisakan sedikit di dasar gelas tinggi itu.Tok ... Tok ... Tok ...Haidar hanya menoleh