Naresh melangkahkan kakinya di gedung pencakar langit bertuliskan Mahendra Company dengan hati berdebar. Pagi ini ia sengaja datang lebih awal, tidak sabar rasanya membongkar semua kebusukan kekasihnya."Selamat pagi, Tuan," sapa Delon yang sudah menunggunya di samping lift."Bagaimana?" tanyanya langsung.Delon mengulas senyum lebar, "mari kita bahas di ruangan Anda, Tuan."Ah, Naresh hanya mampu menggelengkan kepala. Sikap gegabahnya sangat kentara sekali, padahal ia sudah berencana untuk kalem dan tenang. Setelah sampai di ruangannya, Naresh langsung mendudukkan diri di sofa dengan Delon di sebelahnya.Pandangan matanya menatap awas kepada Delon yang tengah mengeluarkan benda kecil seperti flashdisk, asisten pribadinya tersebut mulai menancapkan benda itu ke laptop, dan beberapa saat kemudian menampilkan sebuah video."Ini rekaman CCTV pada ruang khusus tempat penelitian DNA, Tuan. Nona Bella seperti menukar tabung milik Anda dengan milik orang lain."Naresh hanya mengangguk, rahan
Bella pulang menuju apartemennya dengan senyum yang mengembang lebar, bibirnya terus bernyanyi tanpa tahu bahaya apa yang menantinya di depan sana. Setelah membuka pintu di unit apartemennya, wanita itu lantas masuk. Hingga setelah membalik badan, tubuhnya mendadak kaku."Dari mana, Bell?""Oh, Sayang. Aku kira siapa, kamu dari tadi?" Bella langsung memeluk tubuh kekar Naresh. "Yeah, aku menunggumu karena ingin memberikan hadiah.""Hadiah? Bukannya kamu bilang dua bulan lagi? Ah, apa kamu ingin mempercepat proses perceraian dengan Clara?" tanyanya antusias.Sementara Naresh, lelaki itu tidak menjawab. Tangannya lantas menyodorkan kotak besar berwarna merah dengan pita di atasnya. Tanpa basa-basi, Bella langsung membuka kotak tersebut. Senyuman manis tidak lekang dari bibirnya, hingga penutup kotak itu terangkat, matanya sontak membelalak lebar bersama senyumannya yang menghilang."Sayang, ini apa maksudnya?""Kamu tanya?"Bella mengangguk. Beberapa jenis pisau dan satu pistol glock
Naresh langsung berlari memasuki rumah, lelaki itu menegang kaku saat mendapati sang Mama, Anne, juga berada di rumahnya tengah terduduk di ruang tamu dengan kepala menunduk. Perlahan Naresh menghampirinya, ia siap kalau harus di marahi lagi."Kenapa Clara bisa pergi?" "Maaf, Mah. Aku juga baru denger dari Bibi.""Cari istrimu sampai dapat, Naresh. Jangan pulang kalau Clara belum ketemu, Mama nggak akan memaafkan kamu kalau sesuatu yang buruk terjadi kepada Clara.""Maaf, Mah.""Sebelum kamu keluar, cek dulu CCTV. Mungkin di sana ada jawaban kenapa Clara memilih pergi."Naresh mengangguk dan berjalan menuju kamarnya. Langkah kakinya berhenti di depan meja dengan komputer di atasnya, gegas jemarinya langsung menari di atas keyboard dengan tatapan mata serius.Beberapa menit kemudian, rahang tegasnya mengeras sempurna. Tangannya menggebrak meja karena kemarahannya yang membuncah."Bahkan saat kau sudah mati tetap saja merepotkan ku, Bella!" ucapnya geram.Naresh langsung berlari ke lua
"Ada apa, Nak?" tanya Bibi Ayu.Wanita paruh baya itu membawa Clara masuk ke rumahnya, ia juga menyiapkan minuman panas dan beberapa camilan untuk menenangkan hati wanita cantik itu. Ah, Bibi Ayu begitu iba melihat kondisi Clara.. "Mereka tadi anak buah suamiku, Bi. Aku kabur dari rumah Mas Naresh, pernikahanku nggak seindah yang aku bayangkan. Aku sudah berjuang, tapi aku hanya di bohongi. Aku lelah, Bi. Aku mau menyerah.""Kenapa nggak coba bertahan satu kali lagi?""Beberapa kali aku bertahan dan berdoa, tapi hasilnya selalu mengecewakan. Mas Naresh memang nggak menyakiti fisikku, Bi. Tapi dia menyakiti hatiku.""Dia nggak melakukan kekerasan padamu?"Clara menggeleng dengan kepala yang masih menunduk."Kalau begitu, apa alasan dia mencarimu, Nak? Bisa saja dia sudah menyesal 'kan?"Clara lagi-lagi menggeleng, "aku nggak tahu."Bibi Ayu hanya bisa menghela napas, tangannya masih mengusuk-usuk bahu wanita cantik di sebelahnya itu. Pandangannya iba, pantas saja Clara datang ke desa
Clara menatap suaminya dari kaca pintu ruang ICU. Ia menatap sosok yang tengah tergolek lemah di ranjang pesakitan itu. Banyak alat medis terpasang di badannya, juga perban di sekujur kepala. Ingatannya masih merekam jelas kerasnya suara dentuman itu, pasti sangat sakit tabrakan pagi tadi."Maaf, Mas. Aku bingung! Aku harus percaya siapa? Maaf sudah menjadikanmu seperti ini," gumamnya lirih.Berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya begitu mengganggu, pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Oh, Tuhan ... atau memang dirinya yang selama ini salah menduga? Pikir Clara."Nak."Clara menoleh, menatap kepada Bibi Ayu yang membelai lembut pundaknya."Sudah hubungi mertuamu?" tanyanya yang hanya di tanggapi gelengan lemah oleh Clara.Bibi Ayu lantas menghela napas."Kenapa?""Aku takut, Bi. Aku nggak bisa cerita.""Kenapa, Nak? Katakan saja apa yang terjadi, mertuamu berhak tahu, Nak."Clara menatap lurus ke dalam manik mata wanita yang sudah berumur separuh abad tersebut, beberapa menit kemu
Ceklek! Clara sontak menoleh, wanita cantik itu langsung menangis saat mendapati Mama mertuanya berada di ruangan ini. Wanita cantik itu langsung bangkit dan membiarkan Anne menghambur ke pelukan Naresh, sementara ia hanya mampu menatap nanar pemandangan di depannya."Bagaimana keadaan kamu, Sayang?" tanya Anne."Aku baik-baik saja, Mah." Clara langsung menunduk. Benar, hanya dia saja yang tidak di kenali suaminya. Apakah ingatan sang suami belum mengukir namanya? Huh, Clara hanya mampu menarik napas dalam beberapa kali. Hatinya sungguh sesak.Selanjutnya Anne beralih kepada Clara, wanita paruh baya itu memeluk tubuh mungil sang menantu. Beberapa kali ia juga melabuhkan banyak kecupan sayang di wajah sembab tersebut."Apa kabar, Sayang?""Aku baik-baik saja, Mah. Hanya saja ...," ucapnya terhenti."Hanya saja apa?""Mas Naresh nggak mengenali aku."Deg!Anne terhenyak, raut wajahnya syok mendengar penuturan menantunya. Ia tahu kalau kepala putranya mengalami benturan dahsyat, tetapi
"Eh, kamu belum sembuh, Mas!""Lalu, kau pikir aku lemah? Begitu?"Clara menggeleng sambil mengalungkan tangannya ke leher suaminya, sedangan Naresh menggendong sang istri ke bath up. Ruang rawat VIP bak hotel tersebut memiliki kamar mandi sangat mewah, fasilitas di dalamnya juga tidak main-main. Bahkan bisa di katakan setara dengan hotel.Naresh mulai menurunkan tubuh mungil tersebut ke dalam bath up yang masih kering. Jemarinya mulai melepas satu demi satu kancing baju sembari bibirnya terus memberikan kuluman hangat pada bibir manis sang istri. Hinnga semua kancing sudah berhasil dilepaskan, hanya tinggal membuang kain itu saja.Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar mandi.Tok! Tok! Tok!Naresh tidak peduli, ia tetap meneruskan kegiatannya memberikan remasan lembut pada dua gundukan favoritnya tersebut.Tok! Tok! Tok!"Naresh, kamu di dalam?""Mas, itu suara Mama," ujar Clara dengan suara berbisik."Beruntung itu Mama, kalau orang lain pasti aku sudah memat
Sekitar pukul sembilan pagi, mobil mewah keluaran terbaru tersebut baru saja terparkir di halaman kediaman utama. Naresh dan Clara langsung keluar dan melangkah bersama ke dalam kediaman mewah tersebut. "Tenang, Mas. Nggak akan terjadi sesuatu yang bahaya kepada Mama. Pikirkan saja yang baik-baik, kamu 'kan juga baru sembuh," ujar Clara saat melihat suaminya masih gelisah."Iya. Maaf sudah membuatmu khawatir," jawab Naresh.Clara lantas mengangguk, selanjutnya ia menggamit lengan lelaki tampan itu dan meneruskan lagi langkahnya. Hingga saat keduanya tiba di pintu, banyak pelayan yang menghampiri, dan menuntun keduanya menuju ruang tengah.Naresh dan Clara tidak ada yang menolak, keduanya menurut tanpa berbicara apapun, hingga sampailah mereka berdua di ruang tengah. Ternyata di sana sudah ada Anne dan beberapa jajaran petinggi perusahaan."Tuan Naresh," ucap Delon, asisten pribadinya yabg sedari tadi ada di ruangan tersebut."Ada apa, Delon?"Delon melirik sebentar kepada Anne, semen