"Janin dalam kandungan Nona Bella cocok dengan DNA Anda, Tuan. Anda bisa baca keterangannya di sana, tingkat kemiripannya sangat tinggi. Sehingga dapat di simpulkan, Anda adalah Ayah biologis dari janin tersebut."Apa ini? Apa tidak salah? Tiba-tiba seperti ada dentuman keras yang menghantam rongga dadanya, kenyataan yang memukulnya ini sangat memilukan. Apakah para tenaga medis tidak salah meneliti? Naresh enggan percaya, bahkan sampai keluar ruangan pun tatapannya masih kosong. Lelaki tampan itu menolak semua fakta yang ada di depannya, sejenak kemudian pikirannya berputar. Apakah mungkin ada sabotase?Ah, sungguh! Pikirannya kacau."Nak, gimana hasilnya?" tanya Anne.Naresh tidak menjawab. Tangannya mengulur memberikan amplop tersebut kepada Mamanya. Anne yang bingung, tetapi urung untuk bertanya langsung memutuskan membuka amplop tersebut. Sejurus kemudian tangannya bergetar, wanita paruh baya itu nampak kesusahan menelan salivanya."A-Apa ini, Naresh?! Mama kira kamu nggak akan
Clara masih menatap tajam pada sosok laki-laki di depannya tersebut. Kilas balik kejadian beberapa bulan lalu langsung terputar dibenaknya. Ia teringat saat Kenzie menawarkan kebahagiaan dengan cara menjalin kasih dengannya, entah kenapa itu membuatnya ketakutan."Cla, kamu ngapain di situ?" tanya Naresh.Clara menoleh, menatap penuh mohon kepada suaminya. Sedangkan Naresh menyipitkan matanya, seolah mengenali sosok yang masih berdiri di depan pintu tersebut."Oh, kau sudah sembuh? Mau apa ke mari?""Kenapa memangnya? Nggak boleh?" Kenzie balik bertanya."Boleh, memangnya siapa yang melarang mu. Masuklah!"Naresh mengalihkan pandangannya kepada Clara, "masuk ke kamar sekarang juga, Cla. Nanti makanannya biar Bibi antar ke atas."Baru saja Clara ingin menjawab, tetapi Kenzie langsung menyahut."Kenapa? Kau khawatir Clara dekat denganku? Ah, kau ini! Ke mana rasa percaya dirimu? Sudah hilang?""Jangan memancingku, sialan! Aku sedang pusing dan bisa saja langsung membunuhmu di sini!"Kenz
Naresh membawa nampan berisi makanan dan susu hangat, lantas lelaki itu mengantarkannya ke kamar Clara. Tangannya terangkat guna mengetuk pintu, sampai beberapa detik kemudian pintu di depannya terbuka."Loh, Mas. Kok kamu sendiri yang naik? Kenapa nggak minta antar Bibi?""Nggak papa, sekalian aku juga mau makan di sini." Naresh langsung masuk dan Clara pun mengikutinya dari belakang.Clara yang melihat Naresh mendudukkan diri di sofa lantas mengikutinya, wanita cantik itu dengan senang menerima setiap suapan demi suapan makanan dari tangan suaminya."Kamu nggak makan?""Aku sudah makan, Cla, tadi di bawah."Clara mengernyit bingung, "oh, iya? Aku kira belum, berarti Kenzie sudah dari tadi pulangnya?"Naresh hanya mengangguk, sambil tangannya terus menyuapi sang istri."Dia ngomongin apa?""Dia titip salam buat kamu sama minta maaf, suatu saat kamu juga akan tahu, kok."Wanita cantik itu lantas mengangguk, tidak etis rasanya jika terus bertanya. Apalagi suaminya yang seperti enggan m
Naresh melangkahkan kakinya di gedung pencakar langit bertuliskan Mahendra Company dengan hati berdebar. Pagi ini ia sengaja datang lebih awal, tidak sabar rasanya membongkar semua kebusukan kekasihnya."Selamat pagi, Tuan," sapa Delon yang sudah menunggunya di samping lift."Bagaimana?" tanyanya langsung.Delon mengulas senyum lebar, "mari kita bahas di ruangan Anda, Tuan."Ah, Naresh hanya mampu menggelengkan kepala. Sikap gegabahnya sangat kentara sekali, padahal ia sudah berencana untuk kalem dan tenang. Setelah sampai di ruangannya, Naresh langsung mendudukkan diri di sofa dengan Delon di sebelahnya.Pandangan matanya menatap awas kepada Delon yang tengah mengeluarkan benda kecil seperti flashdisk, asisten pribadinya tersebut mulai menancapkan benda itu ke laptop, dan beberapa saat kemudian menampilkan sebuah video."Ini rekaman CCTV pada ruang khusus tempat penelitian DNA, Tuan. Nona Bella seperti menukar tabung milik Anda dengan milik orang lain."Naresh hanya mengangguk, rahan
Bella pulang menuju apartemennya dengan senyum yang mengembang lebar, bibirnya terus bernyanyi tanpa tahu bahaya apa yang menantinya di depan sana. Setelah membuka pintu di unit apartemennya, wanita itu lantas masuk. Hingga setelah membalik badan, tubuhnya mendadak kaku."Dari mana, Bell?""Oh, Sayang. Aku kira siapa, kamu dari tadi?" Bella langsung memeluk tubuh kekar Naresh. "Yeah, aku menunggumu karena ingin memberikan hadiah.""Hadiah? Bukannya kamu bilang dua bulan lagi? Ah, apa kamu ingin mempercepat proses perceraian dengan Clara?" tanyanya antusias.Sementara Naresh, lelaki itu tidak menjawab. Tangannya lantas menyodorkan kotak besar berwarna merah dengan pita di atasnya. Tanpa basa-basi, Bella langsung membuka kotak tersebut. Senyuman manis tidak lekang dari bibirnya, hingga penutup kotak itu terangkat, matanya sontak membelalak lebar bersama senyumannya yang menghilang."Sayang, ini apa maksudnya?""Kamu tanya?"Bella mengangguk. Beberapa jenis pisau dan satu pistol glock
Naresh langsung berlari memasuki rumah, lelaki itu menegang kaku saat mendapati sang Mama, Anne, juga berada di rumahnya tengah terduduk di ruang tamu dengan kepala menunduk. Perlahan Naresh menghampirinya, ia siap kalau harus di marahi lagi."Kenapa Clara bisa pergi?" "Maaf, Mah. Aku juga baru denger dari Bibi.""Cari istrimu sampai dapat, Naresh. Jangan pulang kalau Clara belum ketemu, Mama nggak akan memaafkan kamu kalau sesuatu yang buruk terjadi kepada Clara.""Maaf, Mah.""Sebelum kamu keluar, cek dulu CCTV. Mungkin di sana ada jawaban kenapa Clara memilih pergi."Naresh mengangguk dan berjalan menuju kamarnya. Langkah kakinya berhenti di depan meja dengan komputer di atasnya, gegas jemarinya langsung menari di atas keyboard dengan tatapan mata serius.Beberapa menit kemudian, rahang tegasnya mengeras sempurna. Tangannya menggebrak meja karena kemarahannya yang membuncah."Bahkan saat kau sudah mati tetap saja merepotkan ku, Bella!" ucapnya geram.Naresh langsung berlari ke lua
"Ada apa, Nak?" tanya Bibi Ayu.Wanita paruh baya itu membawa Clara masuk ke rumahnya, ia juga menyiapkan minuman panas dan beberapa camilan untuk menenangkan hati wanita cantik itu. Ah, Bibi Ayu begitu iba melihat kondisi Clara.. "Mereka tadi anak buah suamiku, Bi. Aku kabur dari rumah Mas Naresh, pernikahanku nggak seindah yang aku bayangkan. Aku sudah berjuang, tapi aku hanya di bohongi. Aku lelah, Bi. Aku mau menyerah.""Kenapa nggak coba bertahan satu kali lagi?""Beberapa kali aku bertahan dan berdoa, tapi hasilnya selalu mengecewakan. Mas Naresh memang nggak menyakiti fisikku, Bi. Tapi dia menyakiti hatiku.""Dia nggak melakukan kekerasan padamu?"Clara menggeleng dengan kepala yang masih menunduk."Kalau begitu, apa alasan dia mencarimu, Nak? Bisa saja dia sudah menyesal 'kan?"Clara lagi-lagi menggeleng, "aku nggak tahu."Bibi Ayu hanya bisa menghela napas, tangannya masih mengusuk-usuk bahu wanita cantik di sebelahnya itu. Pandangannya iba, pantas saja Clara datang ke desa
Clara menatap suaminya dari kaca pintu ruang ICU. Ia menatap sosok yang tengah tergolek lemah di ranjang pesakitan itu. Banyak alat medis terpasang di badannya, juga perban di sekujur kepala. Ingatannya masih merekam jelas kerasnya suara dentuman itu, pasti sangat sakit tabrakan pagi tadi."Maaf, Mas. Aku bingung! Aku harus percaya siapa? Maaf sudah menjadikanmu seperti ini," gumamnya lirih.Berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya begitu mengganggu, pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Oh, Tuhan ... atau memang dirinya yang selama ini salah menduga? Pikir Clara."Nak."Clara menoleh, menatap kepada Bibi Ayu yang membelai lembut pundaknya."Sudah hubungi mertuamu?" tanyanya yang hanya di tanggapi gelengan lemah oleh Clara.Bibi Ayu lantas menghela napas."Kenapa?""Aku takut, Bi. Aku nggak bisa cerita.""Kenapa, Nak? Katakan saja apa yang terjadi, mertuamu berhak tahu, Nak."Clara menatap lurus ke dalam manik mata wanita yang sudah berumur separuh abad tersebut, beberapa menit kemu