"Celine, Presdir memanggilmu!"
"Lagi?"Sedikit kesal rasanya mendengar kalimat perintah yang sama berulang kali. Sudah dua minggu dari kejadian di toko kue itu, tetapi agaknya dendam sang presdir belum surut juga.Berulang kali Celine dipanggil. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya. Padahal dirinya baru keluar dari ruangan itu sepuluh menit yang lalu.Tak ingin mendapat masalah, Celine pun segera pergi ke ruangan Presdir yang terkenal diktator itu."Kali ini dia ingin aku mengerjakan apa lagi?" gumam Celine dengan bahu yang melorot.Kendati begitu, gadis itu tetap mengulas senyum ketika menghadap sang presdir. Sementara Earl, pria itu hanya tersenyum tipis seraya menyodorkan sebuah map kepada Celine."Aku sudah mengatur posisi baru untukmu!" kata Earl.Celine pun menerima map itu dan membacanya perlahan. Semuanya baik-baik saja sampai Celine tahu ke mana Earl melemparnya sekarang."Presdir, tolong jangan bercanda!" Matanya refleks memelotot.Tentu saja kabar ini kabar buruk. Sebab, Earl berencana mengirimnya ke lapangan, di mana sedang terjadi konflik di sana.Kabarnya, warga memiliki temperamen yang buruk karena menolak tanahnya dibeli oleh LLOYD GROUP. Mereka bahkan menyewa preman untuk menghalau siapapun yang masuk.Dan sekarang Earl malah mengirimnya ke sana dan meminta Celine menyelesaikan masalah yang bahkan tak bisa diselesaikan oleh tim lapangannya yang elit. Kalau bukan bercanda, apa pria itu benar-benar berencana membunuhnya?"Oh, kamu menolak?" Alis pria itu menukik tajam menatap Celine.Tidak mau kalah, wajah gadis itu mengeras. Kali ini, dia bersikukuh menolak. "Tentu saja aku menolak. Kenapa kamu selalu memintaku menyelesaikan hal yang mustahil kulakukan?"Hilang sudah sopan santun yang Celine pertahankan sebelumnya. Tapi Earl tidak peduli. Dia adalah pengambil keputusan sekaligus pemilik perusahaan. Dia bebas mengatur semuanya sesuka hatinya, bukan?"Terserah aku memerintah kamu melakukan apa." Pria itu mendengus. “Di sini, aku bosnya.”Pria itu pun bangkit dan mendekati Celine yang langsung terkena serangan mental hanya dengan mendengar suara sol sepatunya.Tepat di samping Celine, Earl berhenti. Dia meletakkan tangannya di saku celana sembari berbisik pelan di telinga karyawan itu, "Tak apa kalau kamu menolak. Tapi bereskan barangmu dan angkat kaki dari tempat ini secepatnya!"Setelah mengatakan kata-kata itu, Earl pun pergi meninggalkan Celine dengan kekesalannya.Pada akhirnya, gadis itu memang tidak punya pilihan lain, selain menuruti bosnya yang otoriter. "Sialan!" **Keesokan harinya, Celine bergabung dengan timnya yang baru. Mereka akan melakukan negoisasi terakhir sesuai arahan Felix. Sayangnya tak ada kata sepakat meskipun mereka telah berdiskusi cukup lama.Tepat saat itulah seorang pria yang merupakan pemilik lahan terluas dan berwatak paling keras berdiri.Di saat Earl bersedia menambah biaya ganti rugi agar warga bersedia menjual tanahnya, pria itu justru menjanjikan sebaliknya.“Aku yang akan membayar kalian, asalkan kalian tidak menjualnya pada mereka!” ujar pria itu begitu lantang.Melihat semua orang sangat patuh padanya, Celine yakin bahwa pria itulah yang menjadi tetuanya di sini.Pria itu kemudian memindai satu per satu utusan perusahaan, seraya berkata, "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kami tidak akan pernah menjualnya meskipun kalian menaikkan harganya!"Seketika, Celine mulai ketakutan. Diskusi yang semula alot dan dingin itu kini berubah panas dengan orasi warga yang kompak mengusir mereka."Gawat, apa mereka akan membuat onar?"Apa yang ditakutkan Celine pun terjadi. Hanya dengan satu aba-aba dari pria tetua itu, preman-preman yang sejak tadi menunggu di luar merangsek masuk untuk mengusir perawakilan perusahaan.Di saat itulah, ketika dirinya nyaris terdorong … Celine berteriak. "Tunggu, mari kita bicarakan baik-baik!"Sayang, suaranya yang tidak seberapa lantang dibanding berpuluh-puluh warga yang sedang mengamuk. Kericuhan pun tak dapat dihindari.Tubuh Celine yang kecil pun terjepit di antara pria-pria berbadan besar. Salah satu sepatunya hilang entah ke mana dan dia terpisah dari timnya.Lalu entah apa yang terjadi, tapi yang jelas Celine tersungkur setelah mendapat dorongan dari belakang."Hentikan!" teriak Celine.Sayangnya, tak ada yang mendengar teriakannya. Karena kesal diperlakukan seperti itu, Celine pun melepas sepatunya yang tersisa.Kemudian, dia menggunakan sepatu itu untuk memukul lantai sebagai ekspresi untuk menunjukkan kekesalannya."Kenapa kalian sangat kasar. Lihat saja nanti, aku pasti akan mengadukan perbuatan kalian pada papaku!" teriak Celine lagi. Volume suara itu sebenarnya tidak lebih lantang dari sebelumnya. Tapi pria tetua itu justru memberikan respon tak terduga.Hanya dengan mengangkat satu tangannya ke atas, tak ada seorang pun lagi yang berani bergerak. Pria itu bahkan mencari sumber suara dan mendapati Celine duduk melantai dengan wajah cemberut dan kondisi mengenaskan. Lututnya berdarah, seluruh tubuhnya sakit dan penampilannya acak-acakan.Pandangan pria itu seketika berubah. Tidak ada pandangan garang seperti tadi dia memandang perwakilan perusahaan yang lain.Namun, didekati tetua preman—setidaknya begitu Celine berpikiran, jantung gadis itu mulai berdegup cepat. Ada perasaan takut, kalau-kalau pria itu akan berbuat hal jahat padanya."Mau apa pria ini?" batin Celine.Tidak lama, pria itu berlutut hadapan Celine dan menyibak poni untuk melihat sesuatu di pucuk rambutnya. Semua warga yang melihat kompak menunjukkan ekspresi bingungnya melihat sang pemimpin bersikap tidak biasa.Sebuah senyum pun terukir di sudut-sudut bibir pria itu ketika melihat sebuah bekas luka di dahi Celine. Ada sorot kerinduan yang terpancar di sana, seolah mereka pernah mengenal dan terpisah cukup lama.‘K-kenapa dia memandangku seperti itu?’ Celine tidak kuasa bertanya-tanya.Di luar dugaan, pria itu mengulurkan tangannya yang penuh dengan bekas luka ke kepala Celine. Tatapan matanya semakin melembut, seiring suaranya yang begitu menenangkan. "Celine, bagaimana kabar ayahmu?""I-itu … darimana paman tahu namaku?"***"Ayahmu."Celine termangu mengetahui ada seseorang yang mengenal ayahnya."P-paman kenal ayahku?" Mata gadis itu mengerjap tidak percaya.Pria tersebut tersenyum tipis sembari terus memperhatikan Celin tanpa berkedip.“Namaku Jehian, dan ya, aku mengenal dekat ayahmu.” Jehian kemudian mengerutkan dahinya, menyadari sesuatu. “Di mana ayahmu sekarang? Lalu, apa kamu bekerja sama dengan mereka?” tunjuk pria itu ke arah perwakilan perusahaan.Tiba-tiba ekspresi Celine berubah. Calon air mata bahkan sudah menggenang di sudut-sudut matanya. Dia jadi punya sebuah ide brilian, kendati dia terus berdoa supaya ayahnya merestui karena ia akan menggunakan ayahnya sebagai dalih."A-ayah sakit.” Dia mulai terisak pelan. “Aku kerja di perusahaan itu, Paman. Dan ini proyek penentuan untukku. Aku bisa dipecat jika gagal dalam Upaya pembebasan lahan ini. Sedangkan … Aku butuh banyak uang untuk biaya rumah sakit.”Sesaat, Celine menghentikan ucapannya. Dia menatap lekat-lekat Jehian dan ekspresi di waja
Sementara Celine tengah terlibat nostalgia, di perusahaan Earl—sang presdir, tengah panik usai mendengar kabar pegawainya hilang."Belum ada kabar?" tanya pria itu pada bawahan kepercayaannya, Felix. "Belum, haruskah kita lapor polisi dan menambah personil untuk mencarinya?" Sebenarnya puluhan orang sengaja dikirim untuk memastikan keamanan Celine dan teman-temannya. Tapi siapa yang menyangka pria bernama Jehian itu malah membawa Celine kabur dan tidak satu pun orang suruhan mereka bisa menemukan jejaknya.Jehian dikenal sebagai ketua preman yang begitu dihormati. Kegarangan dan ketegasan pria tambun itu bukan lagi isapan jempol semata. Pengaruhnya benar-benar kuat, sebab sekali dia berkata … seluruh preman di bawahnya akan langsung tunduk.Spekulasi buruk pun mulai memenuhi pikiran mereka, tidak terkecuali Earl."Lakukan saja!" kata pria itu pada akhirnya.Felix pun menghubungi pihak terkait untuk membuat laporan. Tak lupa meminta bawahannya menambah anggota untuk mencari Celine.S
Hari ini adalah hari pertama Celine menjadi sekretaris. Bukannya grogi, wanita itu terlihat sangat antusias, terlebih setelah dia mengubah penampilannya habis-habisan. "Rasanya seperti mimpi. Apa ini masih diriku?" Wanita itu tersenyum lebar, mengagumi kecantikannya melalui cermin kecil yang dia pegang. Agaknya, dia sendiri pun terkejut dengan penampilannya yang sekarang. Rambut panjangnya sengaja dipangkas sebahu. Pakaian longgar nan usang itu sudah ia ganti dengan pakaian trendi yang menonjolkan bentuk tubuh proporsionalnya. Dengan penampilan seperti itu, ditambah make-up natural yang menghias wajahnya, siapa yang tak akan terpesona melihatnya? "Sebastian Earl Sanders, mulai hari ini aku pasti akan menunjukkan betapa luar biasanya janda yang kamu anggap menjijikkan ini." Wanita itu segera menyimpan cerminnya. Sebagai sekretaris baru, Celine harus aktif. Tidak boleh hanya diam dan menunggu perintah atasan. Jadi, dia memutuskan untuk pergi ke ruangan Earl sekarang. Tok tok tok ..
"Luna?" Mata Celine membesar melihat siapa yang memanggilnya. Dia adalah Luna-sahabat baik, sekaligus guru El Baldwin-putranya. "Apa yang kamu lakukan disini?"Wanita itu mendekat, tak percaya bisa bertemu dengannya di tempat itu."Aku baru saja menemui suamiku." Luna menunjuk gedung yang berdiri kokoh di belakangnya "Dia bekerja disana." "Benarkah?" Matanya memelotot. Takjub dengan pengakuan Luna barusan. "Itu sangat keren!""Kamu juga sangat keren," puji Luna.Wanita itu memperhatikan Celine sebentar. Hanya beberapa minggu sejak pertemuan terakhir mereka, tapi Celine sudah banyak berubah. "Bagaimana kabarmu?""Aku baik." Celine tersenyum manis, tak lupa menyodorkan tangannya pada Luna. "Terimakasih ya, atas semuanya?""Untuk?" Luna memicingkan salah satu matanya. Seingatnya, dia tidak melakukan apa pun. Lalu, kenapa Celine mengucapkan terimakasih?"Ehh ... i-itu, karena tanpa bantuanmu, aku tidak mu
"Tidurku nyenyak sekali."Bangun tidur, Celine langsung duduk. Perempuan itu menggosok matanya, lalu merenggangkan tubuh sembari mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.Tapi, sebuah kejutan langsung menyambutnya ketika dia membuka matanya ... "Ini ... dimana?"Mata elangnya menyapu seluruh ruangan. Tempat ini begitu asing. Bingung, kaget, semuanya bercampur jadi satu. Terlebih setelah melihat logo yang terpampang di nakas.Seingatnya, dia pergi ke bar semalam. Tapi kenapa sudah ada di kamar hotel saat dia bangun? "Apa aku memesan kamar dalam keadaan mabuk?"Masih dalam keadaan bingung, Celine melangkah. Tujuannya adalah jendela yang masih tertutup gorden. Tapi, langkahnya terhenti ketika dia melihat pantulan dirinya di cermin."T-tunggu ... apa yang terjadi?" Matanya memelotot. Dia bahkan langsung menutup mulutnya karena kaget. "Kemana perginya pakaianku?"Glek.Celine menelan ludahnya dengan kasar. Wajahnya memucat. "Apakah aku tidur dengan pria hidung belang?"Celin
"Akhirnya sampai juga."Begitu turun dari taksi, Celine menyusuri jalanan sekitar untuk mencari alamat yang menjadi tempat janjian mereka. Matanya awas melihat sekeliling. Sementara mulutnya sibuk mengulum permen."Apa ini tempatnya?"Celine memeriksa kembali alamat pemberian Earl. Tidak salah, tapi membuat Celine heran. Dari sekian banyak tempat, kenapa harus tempat ini yang menjadi tempat janjian mereka? "Memangnya, dia ingin aku melakukan apa?"Awalnya, Celine ragu. Tapi seorang perempuan berpakaian rapi keluar dari gedung untuk menyambutnya. "Nona, Anda Nona Celine, kan?""Ah ... darimana kamu tahu namaku?" "Tuan Earl bilang akan datang membawa seseorang. Dan ciri-cirinya persis sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Jadi, kupikir orang itu adalah kamu."" ... ""Mari."Ternyata, perempuan itu adalah salah satu asisten designer terkenal di kota ini. Karena teman pelanggan setianya sudah datang, dia pun
"Presdir, aku sangat jelek saat memakai gaun." Celine mencari alasan. Sepertinya dia masih belum menyerah di detik-detik terakhirnya. "Selain itu, aku juga tidak pandai berbohong. Bagaimana kalau kita mencari perempuan lain saja?"Gadis itu memasang wajah penuh harap. Berdoa di dalam hatinya agar Earl membatalkan niatnya untuk menjadikannya pacar bohongan. Sayangnya, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. "Aku tidak sempat melakukan semua itu."Suara pria itu sangat datar. Sedatar wajahnya saat membuka pintu ruangan yang akan mempertemukan mereka dengan perancang busana terbaik di kota ini."Selamat sore, Tuan Ivan. Maaf membuatmu menunggu." Earl tersenyum. Menyapa Ivan yang sudah menunggunya sejak tadi."Selamat datang." Ivan tersenyum, menyambut Earl dengan hangat sebelum menoleh ke arah Celine. "Jadi, Anda ingin memesan gaun untuk Nona ini, Tuan Earl?" "Benar. Bisakah membantuku memilihkan gaun yang cocok untuknya?""Tentu saja." Ivan terseyum dengan optimis. "Dengan senang ha
Beberapa jam kemudian."Presdir, aku sudah siap." Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya Celine selesai juga. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta pendapat Earl tentang riasan di wajahnya."Bagaimana? Tidak terlalu menor, kan?" Gadis itu tersenyum, ingin memamerkan kecantikan alaminya untuk mengejutkan Earl. Tapi sayang, waktunya kurang tepat."Tunggu sebentar." Sedikitpun, Earl tak menoleh. Pria itu berdiri membelakangi Celine. Ternyata dia masih sibuk memperbaiki tatanan rambutnya.Maklum, Earl baru bersiap setengah jam yang lalu. Berbeda dengan Celine yang memulainya lebih awal. Jadi, wajar kalau pria itu belum siap.Selesai dengan rambutnya, Earl mengambil parfum dan menyemprotkannya di beberapa titik. Pria itu juga sempat merapikan dasinya sebelum memakai jas berwarna hitam yang tergantung di sebelahnya."Masih lama?" tanya Celine.Wanita itu maju beberapa langkah. Tapi disaat yang bersamaan, Earl memutar tubuhnya dan melakukan hal yang sama. "Oke, aku j