"Akhirnya sampai juga."
Begitu turun dari taksi, Celine menyusuri jalanan sekitar untuk mencari alamat yang menjadi tempat janjian mereka. Matanya awas melihat sekeliling. Sementara mulutnya sibuk mengulum permen."Apa ini tempatnya?"Celine memeriksa kembali alamat pemberian Earl. Tidak salah, tapi membuat Celine heran. Dari sekian banyak tempat, kenapa harus tempat ini yang menjadi tempat janjian mereka? "Memangnya, dia ingin aku melakukan apa?"Awalnya, Celine ragu. Tapi seorang perempuan berpakaian rapi keluar dari gedung untuk menyambutnya. "Nona, Anda Nona Celine, kan?""Ah ... darimana kamu tahu namaku?""Tuan Earl bilang akan datang membawa seseorang. Dan ciri-cirinya persis sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Jadi, kupikir orang itu adalah kamu."" ... ""Mari."Ternyata, perempuan itu adalah salah satu asisten designer terkenal di kota ini. Karena teman pelanggan setianya sudah datang, dia pun membawa Celine masuk."Tuan Earl belum datang. Jadi, silahkan duduk." Wanita itu mempersilahkan Celine duduk. Tak lupa memanggil pelayan untuk menyajikan teh untuknya. "Silahkan diminum.""Terimakasih."Selagi menunggu, Celine memperhatikan ruangan berukuran besar itu. Berbagai model gaun tampak berjejer rapi. Iseng, Celine mendekati gaun yang terletak tidak jauh dari tempatnya untuk melihat harganya. "Mahal sekali."Celine menjauhi gaun itu, lalu melihat sekeliling. Ternyata, dia bukanlah satu-satunya pengunjung. Apes, dia malah bertemu dengan pria asing yang membuatnya tak nyaman."Nona, kamu cantik sekali!" Pria itu mendekat. Mungkin, dia pikir dia keren. Karena dengan percaya diri mulai menebarkan pesonanya."Nona, apa kamu sudah punya pacar?" Pria itu tersenyum. Lalu menambahkan, "Bagaimana kalau kamu jadi pacarku?"Sebuah senyum tipis terukir di bibir Celine. Mereka tidak saling kenal. Lalu, tiba-tiba pria ini menawarinya agar jadi pacarnya. Bukankah itu sangat menyebalkan?"Maaf, Tuan! Tapi aku-""Pria gendut sepertimu bukanlah tipenya," potong Earl.Sebastian Earl Sanders, entah kapan pria itu datang. Tapi yang jelas, dia sudah berdiri di samping Celine sekarang. "Kamu sangat mengganggu. Pergi sana!"Hari ini bukanlah pertemuan pertama mereka. Meskipun tidak saling kenal, tapi kalau hanya nama dan apa pekerjaannya, mereka sama-sama tahu.Tak ingin mencari masalah dengan cucu keluarga Sanders yang terhormat, pria asing itu pun pergi. "Mohon maafkan sikap saya yang lancang, Tuan, dan ... Nona."Akhirnya pria asing itu pergi. Saat ini, tersisa Celine dan Earl di tempat itu."Presdir, kamu terlambat." Celine menoleh. Memperlihatkan jamnya yang menunjukkan pukul 15.10 sore."Hanya 10 menit saja. Kenapa kamu sangat perhitungan?" Pria itu menarik tangan Celine. Membawanya masuk ke ruangan yang hanya diperuntukkan untuk tamu VVIP sepertinya.Tapi, Celine menolak. Setidaknya, Celine ingin tahu apa yang akan mereka lakukan di tempat ini. "Presdir, sebenarnya apa yang akan kita lakukan di tempat ini?" "Memilih gaun yang cocok untukmu," jawab Earl singkat."Ha?" Dahi Celine mengkerut. Melihat Earl dengan tatapan penuh tanda tanya. "Gaun untukku?"" ... "Seulas senyum terukir di ujung bibirnya. Gadis itu mulai berpikiran negatif sekarang. Kenapa juga dia harus memilih gaun? Memangnya untuk apa? Jangan bilang dia sendiri yang harus membayar gaun itu nanti.Daripada menghamburkan uangnya untuk hal semacam itu, bukankah lebih baik menggunakannya untuk membayar tagihan biaya rumah sakit ayahnya yang semakin membengkak?"Presdir, kamu belum menjawab pertanyaanku.""Cerewet." Pria arogan itu berpindah posisi. Kali ini dia berdiri tepat di hadapan Celine. "Kakekku ingin menjodohkan aku dengan seseorang. Aku menolaknya.""Lalu?""Aku mau kamu berpura-pura jadi pacarku."Tiba-tiba suasana sunyi. Dua anak manusia itu saling berpandangan, tapi sama-sama diam. Earl tampak tenang dan santai, sementara Celine mencoba memahami situasinya."Presdir, jadi kamu belum menikah?""Apa itu penting?" Satu alisnya terangkat. "Memangnya kenapa kalau aku belum menikah?""Tidak penting, sih." Celine menoleh ke arah lain. Tak lupa menggaruk pipinya yang tidak gatal. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya mulai bertanya-tanya.Jika memang Earl belum menikah, lalu darimana bocah berusia lima tahun bernama El Sanders itu berasal?"Presdir, jangan-jangan kamu-""Apa?" potong Earl.Celine memonyongkan bibirnya. Sempat mundur beberapa langkah sebelum menuduh Earl tanpa bukti. "Jangan-jangan, kamu adalah pria sialan yang lari dari tanggung jawab.""Apa katamu?" Alis Earl menukik tajam. "Aku ... pria sialan yang lari dari tanggung jawab?""Jelas-jelas kamu punya anak. Tapi kamu tidak menikahi wanita yang telah melahirkan anakmu. Kalau bukan pria sialan, lalu apa namanya?""Tunggu?" Mata Earl memelotot. Terkejut mendengar keluhan Celine. "Anak apa?""Presdir!" Celine meletakkan tangannya di pinggang. Lalu menghentakkan satu kakinya karena kesal. "Anak kecil bernama El Sanders yang kamu belikan kue hari itu, kamu tidak mungkin melupakannya, kan?""Dia?" Dahi Earl mengkerut. Mencoba mencerna ucapan Celine.Lalu, tiba-tiba ...Tuk"Aduh!" Celine berteriak, memegangi dahinya yang mendapat sentilan keras dari Earl. "Ini sakit, Presdir!""Jangan sembarangan bicara, Celine!""Sudahlah, Presdir. Jangan berbohong." Kali ini, Celine melihat Earl dengan tatapan mengejek. "Kisah cinta CEO memang seperti itu. Mereka lebih suka punya anak duluan, lalu menikah kemudian.""Jangan salah paham." Pria itu menghela nafas. Kesal dengan pikiran bawahannya yang semakin liar. "Bukan seperti itu ceritanya, Celine.""Lalu seperti apa?" Celine menatap tajam. Tak sabar menunggu jawaban Earl."Dengarkan aku. Jadi, sebenarnya aku punya pacar. Tapi ... " Pria itu tampak berpikir, lalu memijit keningnya. Sepertinya dia sendiri pun bingung harus mengatakan apa."Intinya, aku belum menikah. Dan aku membutuhkan bantuanmu. Kamu mau berpura-pura jadi pacarku, kan?"Celine diam saja ketika Earl menepuk pundaknya. Tidak, lebih tepatnya memutar otaknya mencari alasan yang tepat untuk menolak.Disisi lain, Earl semakin kesal karena Celine tidak memberikan respons."Apalagi sekarang?" Earl memindai wajah Celine. Berusaha menebak apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Kamu pasti sedang mencari alasan untuk menolak, kan?""Tentu saja aku menolak. Kamu punya pacar, bahkan sudah punya anak. Lalu kenapa memintaku berpura-pura jadi pacarmu?""Kalau begitu, anggap saja aku tidak punya pacar. Toh aku hanya memintamu berpura-pura jadi pacarku sekali saja."Begitulah akhirnya, percuma saja melayangkan protes. Karena tanpa menunggu persetujuan darinya, Earl sudah membawa Celine menemui designer langganannya di dalam."T-tunggu dulu. Aku belum setuju.""Aku tidak peduli dengan itu."***"Presdir, aku sangat jelek saat memakai gaun." Celine mencari alasan. Sepertinya dia masih belum menyerah di detik-detik terakhirnya. "Selain itu, aku juga tidak pandai berbohong. Bagaimana kalau kita mencari perempuan lain saja?"Gadis itu memasang wajah penuh harap. Berdoa di dalam hatinya agar Earl membatalkan niatnya untuk menjadikannya pacar bohongan. Sayangnya, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. "Aku tidak sempat melakukan semua itu."Suara pria itu sangat datar. Sedatar wajahnya saat membuka pintu ruangan yang akan mempertemukan mereka dengan perancang busana terbaik di kota ini."Selamat sore, Tuan Ivan. Maaf membuatmu menunggu." Earl tersenyum. Menyapa Ivan yang sudah menunggunya sejak tadi."Selamat datang." Ivan tersenyum, menyambut Earl dengan hangat sebelum menoleh ke arah Celine. "Jadi, Anda ingin memesan gaun untuk Nona ini, Tuan Earl?" "Benar. Bisakah membantuku memilihkan gaun yang cocok untuknya?""Tentu saja." Ivan terseyum dengan optimis. "Dengan senang ha
Beberapa jam kemudian."Presdir, aku sudah siap." Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya Celine selesai juga. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta pendapat Earl tentang riasan di wajahnya."Bagaimana? Tidak terlalu menor, kan?" Gadis itu tersenyum, ingin memamerkan kecantikan alaminya untuk mengejutkan Earl. Tapi sayang, waktunya kurang tepat."Tunggu sebentar." Sedikitpun, Earl tak menoleh. Pria itu berdiri membelakangi Celine. Ternyata dia masih sibuk memperbaiki tatanan rambutnya.Maklum, Earl baru bersiap setengah jam yang lalu. Berbeda dengan Celine yang memulainya lebih awal. Jadi, wajar kalau pria itu belum siap.Selesai dengan rambutnya, Earl mengambil parfum dan menyemprotkannya di beberapa titik. Pria itu juga sempat merapikan dasinya sebelum memakai jas berwarna hitam yang tergantung di sebelahnya."Masih lama?" tanya Celine.Wanita itu maju beberapa langkah. Tapi disaat yang bersamaan, Earl memutar tubuhnya dan melakukan hal yang sama. "Oke, aku j
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!" ajak Earl."Baiklah."Akhirnya, mereka pun memasuki rumah dimana Andreas merayakan hari jadi pernikahannya. Kedatangan mereka tampaknya mencuri perhatian.Karena ini adalah pertama kalinya Earl membawa seorang gadis. Belum terbiasa, Celine pun berbisik pelan. "Presdir, kenapa mereka terus melihat kita?""Entahlah." Earl menoleh. Berpura-pura merapikan anting Celine dan bicara tak kalah pelan. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu di hadapan mereka.""Maafkan aku." Celine menghela nafas. Menjadi pusat perhatian nyatanya tidak membuat dirinya gentar. Justru sebaliknya, dia sangat antusias memainkan peran sebagai kekasih Earl."Sayang, jadi yang mana kakekmu? Aku tidak sabar bertemu dengannya." Gadis itu tersenyum manis. Tak ragu memamerkan kemesraan di hadapan semua orang."Kamu lihat pria tua yang berdiri disana?" Earl menunjuk ke tengah-tengah ruangan. "Dia adalah kakekku."Seketika, Celine melihat ke arah itu. Dia melihat sesosok pria tua te
Akhirnya, perayaan ulang tahun pernikahan Andreas dan Sarah pun dimulai. Dua pembawa acara tampak kompak memandu jalannya acara. Diawali dengan sambutan, pesan dari pasangan, penayangan video, pemotongan kue hingga pesta dansa.Sejauh ini, semuanya berjalan sangat lancar. Setidaknya, tidak ada yang berpikir bahwa Celine dan Earl hanyalah sepasang kekasih palsu."Tidak ingin berdansa, Earl?" Sarah memegang tangan Earl. Memberi kesempatan pada cucu kesayangannya sebelum sesi dansa berakhir."Tidak." Earl menggelengkan kepala. "Aku tidak menyukai hal-hal seperti itu."Mendengar jawaban itu, Sarah tersenyum. Lalu bertanya pada Celine yang saat itu sedang memperhatikan mereka. "Bagaimana denganmu, Celine?"Kali ini, tangan Sarah berpindah ke tangan Celine. Menimbang sebentar, Celine menggenggam tangan itu dengan mengulas senyum.Ini bukanlah pertama kalinya Celine menghadiri sebuah pesta. Tapi kalau dansa, Celine belum pernah melakukannya. Jadi, lebih baik dia menolak."Aku mau, tapi ... "
"Hampir saja." Di balik pintu itu, Celine menghela nafas lega. Mungkin, dia pikir dia sudah aman. Padahal, pengakuannya justru menimbulkan masalah baru untuk Earl.Pria itu merapatkan tubuh Celine ke dinding. Satu tangannya menekan dinding, sementara tangan yang lain menyentuh dagu Celine. "Apa kamu sangat ingin menikah denganku, Celine?" "Hah?" Dahi Celine mengkerut. "Jangan terlalu percaya diri."Gadis itu menghempaskan tangan Earl, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya, dia marah karena Earl sudah berprasangka buruk padanya."Hei, aku sedang bicara denganmu." Earl kembali menyentuh dagu Celine, memaksa gadis itu untuk melihatnya. Tapi, Celine justru menggigit tangannya. "Apa yang kamu lakukan, Celine?"Earl menarik tangannya. Tidak sakit, tapi bekas gigitan Celine tercetak jelas diatasnya. "Kenapa kamu menggigitku?""Karena kamu sangat menyebalkan." Celine mendorong pria itu agar menjauh. "Siapa juga yang ingin menikah denganmu?""Lalu kenapa kamu mengatakan kalau kamu
Keesokan harinya.Ting Tong ...Celine masih terbuai dalam mimpi ketika seseorang menekan bel pintu. Bel pertama, Celine mengabaikannya. Bel kedua, Celine menutup telinganya. Baru di bel ketiga, Celine bangun dari tidurnya."Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" gerutu Celine.Dengan malas, Celine turun dari ranjang. Wanita itu meraih gagang pintu dengan mata setengah terbuka. "Siapa?" "Aku," jawab seorang pria yang tak lain adalah Sebastian Earl Sanders."P-presdir?" Akhirnya mata Celine terbuka sepenuhnya. "Apa yang kamu lakukan disini, Presdir? Bukankah ini hari minggu?"Celine buru-buru merapikan rambutnya. Sementara Earl tampak mendorong pintu. "Setidaknya, biarkan aku masuk dulu.""Jangan masuk!" Celine menahan pintu. "Kamarku berantakan.""Kalau aku bilang ingin masuk, ya masuk." Sepertinya, pria itu tidak ingin mengalah. Disaat Celine berusaha menutup pintu, Earl justru melakukan sebaliknya. Dia bahkan hanya membutuhkan satu tangan untuk membuka pintu itu seluruhnya."Kamu tin
DEGMeski jantungnya berdetak lebih cepat, tapi Celine merasa waktu berjalan sangat lambat. Itu karena tiba-tiba Earl menyebut nama putranya yang sudah lama tidak dia lihat."Presdir, tolong jangan bercanda." Celine tersenyum nanar, lalu menyeka buliran air yang mulai menggenang di sudut-sudut mata. "Itu tidak mungkin."Dave-mantan suaminya memiliki pekerjaan yang mapan dan berpendidikan. Selain itu, dia berasal dari keluarga yang terpandang. Dibandingkan dengannya, Celine bukanlah apa-apa. Dengan perbedaan sebesar itu, ditambah sederet alasan lain, apakah masih ada cara agar Celine mendapatkan kembali anak itu? Pada tahap ini, bisa bertemu dengannya saja sudah seperti keajaiban. "Benarkah?" Satu bibir Earl terangkat ke atas. Pria itu mendekati Celine dengan percaya diri, lalu berbisik pelan, "Bagimu, mungkin hal itu mustahil. Tapi bagiku, tidak ada yang tidak mungkin, Celine!"Setelah membisikkan kata-kata itu, Earl mengambil ponsel dan kunci mobil yang dia letakkan di meja. Tapi, s
Entah itu Earl ataupun Celine, dua-duanya langsung turun dari mobil. Perasaan Celine jadi tak menentu, apalagi setelah melihat tiga buah motor besar yang terparkir di halaman samping rumahnya. "Jangan-jangan ... "Celine segera berlari-takut. Mengira Hilda diam-diam meminjam uang kepada rentenir untuk membantu biaya pengobatan ayahnya dan tidak sanggup membayar hutang itu."Sialan!" Celine mendengus pelan. "Lihat saja, aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kamu berani melukai bibiku."Dalam situasi genting itu, nyatanya Celine masih bisa berpikiran jernih. Dia tidak lupa bahwa dia tidak datang sendirian. "Presdir, ayo masuk!""Aku akan segera menyusul!" sahut Earl.Celine pun menoleh. Mendapati Earl sibuk memperhatikan ketiga motor besar itu. Yah, Earl memang tidak mengenal dua motor lainnya. Tapi untuk motor yang terparkir di tengah itu, Earl sepertinya tahu siapa pemiliknya.Kecuali, pemilik yang lama menjual motor itu kepada orang lain. "Apa yang dia lakukan disini? Dia tidak akan
"Apa kamu melihat ekspresi tanteku?" Di balik kemudi itu, Earl tak bisa menahan tawa. Apalagi setelah mengingat bagaimana ekspresi Laudya dan Chintya saat mereka melihat bekas gigitan Earl di leher Celine."Lain kali, kita harus sering-sering melakukannya, Celine!" pinta Earl.Sepertinya, pria itu masih larut dalam euforia. Sangat berbeda dengan Celine yang tampak biasa saja. "Tidak mau!" tolak Celine.Gadis itu melihat lehernya yang kemerahan dari sebuah cermin berukuran kecil. Lalu mengambil ponsel miliknya dan mencari tutorial untuk menghilangkan bekas itu di internet.Earl yang saat ini sedang menyetir pun langsung menoleh begitu mendengar penolakan. "Apa kamu pikir kamu bisa menolak?" tanyanya.Pria itu tersenyum tipis, lalu kembali melihat ke depan. "Ingat, Celine. Kita sudah sepakat. Jadi tolong kerjasamanya, okay?"Untuk beberapa detik, suasana menjadi hening. Earl fokus menyetir sementara Celine menyimpan ponselnya ke dalam tas."Iya, aku tahu!" Celine menoleh. Memberikan lir
"Ah. I-itu ... " Celine segera menarik tangannya. Menggaruk pipinya yang tidak gatal dan bertingkah seolah tidak pernah menyentuh apapun. "Sebenarnya, aku hanya ... ""Menggodaku?" potong Earl.Pria itu bangkit dan mendekati Celine. Tak apa kalau hanya mendekat. Masalahnya, pria itu malah memamerkan tubuh atletisnya tanpa rasa malu.Bahkan, secara terang-terangan menarik tangan Celine agar Celine menyentuh perut itu untuk yang kedua kali. "Jangan khawatir, aku tidak akan tergoda. Jadi, kalau mau menyentuh, silahkan saja!""Siapa juga yang mau menggodamu." Celine kembali menarik tangannya. Lalu pergi membereskan barang-barangnya yang tak seberapa. "Oh, benarkah?" tanya Earl.Sepertinya, pria itu akan terus bertanya sampai mendapat jawaban yang dia inginkan. Tapi, Celine tidak perlu menjawab pertanyaan itu karena waktu yang semakin mepet.Wanita itu tersenyum lebar. Menunjuk kearah jam dinding sembari berkata, "Presdir, bukankah sebaiknya kamu segera mandi? Mereka sudah menunggu, lho!"
Pagi itu, matahari sudah mulai meninggi. Tapi tak ada tanda-tanda kalau sepasang pengantin itu akan membuka mata. Entah Celine atau Earl, dua-duanya masih terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.Di atas ranjang berukuran besar itu, Earl tidur di sisi kanan. Pria itu menelungkupkan tubuhnya dengan posisi kepala menoleh ke kiri. Hening ... dan tak ada suara. Yang ada hanyalah hembusan nafas yang nyaris tak terdengar.Tapi, tiba-tiba ... dering alarm berbunyi."Apa itu?" Setengah sadar, Earl meraih ponselnya. Tapi ponsel itu gelap. "Bukan punyaku? Lalu punya siapa?"Bingung, pria itu diam sesaat. Dan setelah lima detik, akhirnya dia ingat kalau dia tidak sendirian. "Ah, pasti itu milik Celine."Earl pun menoleh dan membangunkan Celine. "Celine, matikan alarmnya. Berisik, tahu?"Tapi, Earl dikejutkan dengan posisi tidur Celine yang tak biasa. Seharusnya Earl melihat wajah Celine, atau mungkin rambutnya karena gadis itu tidur di sampingnya. Namun, bukan itu yang Earl lihat. Gadis itu meringk
"Ti-tidur denganku?" Tiba-tiba Celine gugup, sementara otak kecilnya mulai berpikiran liar.Saat Earl mengambil bantalnya tadi, Celine pikir pria itu akan mengusirnya pindah ke sofa. Siapa yang menyangka pria itu malah ingin tidur dengannya di ranjang yang sama?"Tapi aku tidak mau tidur denganmu." Meskipun sudah mengucapkan itu, nyatanya Celine masih duduk manis di ranjang. Sementara Earl pura-pura tidak mendengar.Pria itu sibuk menata bantalnya. Kemudian mencari posisi yang nyaman dengan duduk bersandar. "Apa kamu mau lanjut menonton, Celine?" tawarnya."Hah?" Celine melongo.Mana mungkin Celine menjawab 'iya'? Mereka berdua sama-sama normal. Bagaimana kalau mereka terbawa suasana lalu ingin mencobanya?"Tidak mau!" tolak Celine."Tidak mau?" Earl menoleh. Lalu kembali melihat ke arah layar. "Ya sudah. Kalau begitu aku akan menontonnya sendiri. Kalau kamu ngantuk, kamu tidur saja duluan," kata Earl sembari menepuk-nepuk kasur menggunakan tangan kanannya.Pria itu tersentum tipis, me
"Aku sudah selesai."Keluar dari kamar mandi, Celine mendapati Earl mengambil baju ganti. Rambutnya acak-acakan, tapi penampilannya yang seperti itu justru membuatnya terlihat ganteng maksimal.Sadar diperhatikan, Earl pun menoleh dan bertanya, "Ada apa?""Ah. Oh, tidak kok! Tidak ada apa-apa." Celine, berpaling. Bersiul meskipun tak ada suara siulan dari mulutnya."Lalu, kenapa kamu melihatku seperti itu?" Seperti biasa, Earl mulai kesal.Pria itu hampir menyentil dahi Celine. Tapi, sebelum Earl melakukannya, Celine sudah lebih dulu menutupi dahinya. "Aku hanya ingin bertanya, apa kamu butuh bantuanku?"Dengan cepat, Earl menggeleng. "Tidak. Lain kali saja!""Kalau kamu butuh bantuan, katakan saja!" Celine mendekatkan diri. Memeluk pria itu dan berbisik, "Aku kan istrimu.""Sudah kubilang tidak perlu." Earl melepas tangan Celine yang melingkar di perut atletisnya. Sepertinya dia mulai kewalahan menghadapi tingkah Celine yang semakin bar-bar.Akhirnya, Earl pergi ke kamar mandi. Sement
"Aku duluan!" teriak Celine."Tidak bisa. Aku duluan!" Earl bersikeras.Di kamar pengantin yang penuh bunga itu, jangankan adegan romantis, sifat malu-malu kucing antara Earl dan Celine pun tak terlihat. Sebaliknya, mereka malah berdebat untuk menentukan siapa yang akan menggunakan kamar mandi duluan."Apa kamu tidak tahu kata pepatah, sayang?" Celine mulai naik darah. Gadis itu meletakkan ujung gaunnya yang berat. Berdiri di ambang pintu agar Earl tidak mendahuluinya. "Ladies first. Kamu tahu artinya, kan?"Earl tersenyum tipis, lalu mendesis pelan. Candaan macam apa itu. Tentu saja dia tahu. Tapi masalahnya, Earl tidak sanggup lagi menahan panggilan alam yang sejak tadi dia tahan.Pelan-pelan, Earl menyingkirkan gaun Celine yang menjuntai. "Aku tahu, sayang." Pria itu melewati Celine, menjangkau kloset yang terletak beberapa langkah di belakang Celine. "Tapi aku kebelet pipis," katanya."Astaga!" Celine memelotot. Terkejut melihat Earl mulai menarik resleting celananya. Celine pun be
Satu bulan kemudian.Tak terasa, hari pernikahan itu pun tiba. Acara pernikahan itu sendiri digelar disebuah ballroom hotel berbintang sesuai permintaan Andreas Sanders.Beberapa hari sebelum pesta digelar, Andreas sempat mendatangi Celine secara pribadi. Pria itu meminta maaf karena pesta pernikahan antara Earl dan dirinya diselenggarakan secara sederhana karena kurangnya waktu persiapan.Faktanya, Celine tidak menemukan apa pun yang terlihat sederhana. Semuanya terlihat sangat mewah, bahkan meskipun itu hanya sebuah gelas. Fantastis. Hanya kata itulah yang bisa menggambarkan betapa megahnya pesta pernikahan hari ini."Ya Tuhan, kakek memang tahu bagaimana caranya menghamburkan uang." Celine melirik Jehian yang saat ini berdiri di sampingnya. "Iya, kan, Paman?""Iya." Jehian mengangguk, lalu menoleh ke arah Celine. "Bukankah lebih baik kalau kamu benar-benar mengandung anak Earl, Celine? Dengan begitu, tak akan ada satupun mendung yang menghalangi masa depanmu yang cerah."Celine han
"Kenapa?" tanya Celine.Gadis itu memandang Jehian dan Hilda lekat-lekat. Suaranya bergetar, bersamaan dengan buliran air yang mulai menggenang di sudut mata. "Kenapa kalian tidak mau mengerti?" Agaknya, gadis itu kecewa. Celine marah, tapi tidak berani membantah. Dan itu membuat Jehian serba salah."Bukan seperti itu, Celine!" Jehian menghela nafas, lalu menyeka air mata Celine yang nyaris tumpah. "Membiayai pengobatan ayahmu, paman masih sanggup. Paman juga berjanji akan membantumu menemukan Baldwin jika itu yang kamu mau. Jadi, mari kita pikirkan cara lain dan jangan menikah dengannya meskipun itu hanya pura-pura."Seketika, Celine menggigit ujung bibirnya. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin dalam, sembari mengenang pertemuan pertamanya dengan Jehian. Sejak hari itu, Jehian selalu membantunya.Jehian tidak hanya memindahkan ayahnya ke rumah sakit yang lebih besar, tapi juga melunasi semua hutang ayahnya. Pria itu bahkan meminta Celine tinggal di rumahnya meskipun Celine menola
Entah itu Earl ataupun Celine, dua-duanya langsung turun dari mobil. Perasaan Celine jadi tak menentu, apalagi setelah melihat tiga buah motor besar yang terparkir di halaman samping rumahnya. "Jangan-jangan ... "Celine segera berlari-takut. Mengira Hilda diam-diam meminjam uang kepada rentenir untuk membantu biaya pengobatan ayahnya dan tidak sanggup membayar hutang itu."Sialan!" Celine mendengus pelan. "Lihat saja, aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kamu berani melukai bibiku."Dalam situasi genting itu, nyatanya Celine masih bisa berpikiran jernih. Dia tidak lupa bahwa dia tidak datang sendirian. "Presdir, ayo masuk!""Aku akan segera menyusul!" sahut Earl.Celine pun menoleh. Mendapati Earl sibuk memperhatikan ketiga motor besar itu. Yah, Earl memang tidak mengenal dua motor lainnya. Tapi untuk motor yang terparkir di tengah itu, Earl sepertinya tahu siapa pemiliknya.Kecuali, pemilik yang lama menjual motor itu kepada orang lain. "Apa yang dia lakukan disini? Dia tidak akan