Beberapa jam kemudian."Presdir, aku sudah siap." Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya Celine selesai juga. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta pendapat Earl tentang riasan di wajahnya."Bagaimana? Tidak terlalu menor, kan?" Gadis itu tersenyum, ingin memamerkan kecantikan alaminya untuk mengejutkan Earl. Tapi sayang, waktunya kurang tepat."Tunggu sebentar." Sedikitpun, Earl tak menoleh. Pria itu berdiri membelakangi Celine. Ternyata dia masih sibuk memperbaiki tatanan rambutnya.Maklum, Earl baru bersiap setengah jam yang lalu. Berbeda dengan Celine yang memulainya lebih awal. Jadi, wajar kalau pria itu belum siap.Selesai dengan rambutnya, Earl mengambil parfum dan menyemprotkannya di beberapa titik. Pria itu juga sempat merapikan dasinya sebelum memakai jas berwarna hitam yang tergantung di sebelahnya."Masih lama?" tanya Celine.Wanita itu maju beberapa langkah. Tapi disaat yang bersamaan, Earl memutar tubuhnya dan melakukan hal yang sama. "Oke, aku j
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!" ajak Earl."Baiklah."Akhirnya, mereka pun memasuki rumah dimana Andreas merayakan hari jadi pernikahannya. Kedatangan mereka tampaknya mencuri perhatian.Karena ini adalah pertama kalinya Earl membawa seorang gadis. Belum terbiasa, Celine pun berbisik pelan. "Presdir, kenapa mereka terus melihat kita?""Entahlah." Earl menoleh. Berpura-pura merapikan anting Celine dan bicara tak kalah pelan. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu di hadapan mereka.""Maafkan aku." Celine menghela nafas. Menjadi pusat perhatian nyatanya tidak membuat dirinya gentar. Justru sebaliknya, dia sangat antusias memainkan peran sebagai kekasih Earl."Sayang, jadi yang mana kakekmu? Aku tidak sabar bertemu dengannya." Gadis itu tersenyum manis. Tak ragu memamerkan kemesraan di hadapan semua orang."Kamu lihat pria tua yang berdiri disana?" Earl menunjuk ke tengah-tengah ruangan. "Dia adalah kakekku."Seketika, Celine melihat ke arah itu. Dia melihat sesosok pria tua te
Akhirnya, perayaan ulang tahun pernikahan Andreas dan Sarah pun dimulai. Dua pembawa acara tampak kompak memandu jalannya acara. Diawali dengan sambutan, pesan dari pasangan, penayangan video, pemotongan kue hingga pesta dansa.Sejauh ini, semuanya berjalan sangat lancar. Setidaknya, tidak ada yang berpikir bahwa Celine dan Earl hanyalah sepasang kekasih palsu."Tidak ingin berdansa, Earl?" Sarah memegang tangan Earl. Memberi kesempatan pada cucu kesayangannya sebelum sesi dansa berakhir."Tidak." Earl menggelengkan kepala. "Aku tidak menyukai hal-hal seperti itu."Mendengar jawaban itu, Sarah tersenyum. Lalu bertanya pada Celine yang saat itu sedang memperhatikan mereka. "Bagaimana denganmu, Celine?"Kali ini, tangan Sarah berpindah ke tangan Celine. Menimbang sebentar, Celine menggenggam tangan itu dengan mengulas senyum.Ini bukanlah pertama kalinya Celine menghadiri sebuah pesta. Tapi kalau dansa, Celine belum pernah melakukannya. Jadi, lebih baik dia menolak."Aku mau, tapi ... "
"Hampir saja." Di balik pintu itu, Celine menghela nafas lega. Mungkin, dia pikir dia sudah aman. Padahal, pengakuannya justru menimbulkan masalah baru untuk Earl.Pria itu merapatkan tubuh Celine ke dinding. Satu tangannya menekan dinding, sementara tangan yang lain menyentuh dagu Celine. "Apa kamu sangat ingin menikah denganku, Celine?" "Hah?" Dahi Celine mengkerut. "Jangan terlalu percaya diri."Gadis itu menghempaskan tangan Earl, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya, dia marah karena Earl sudah berprasangka buruk padanya."Hei, aku sedang bicara denganmu." Earl kembali menyentuh dagu Celine, memaksa gadis itu untuk melihatnya. Tapi, Celine justru menggigit tangannya. "Apa yang kamu lakukan, Celine?"Earl menarik tangannya. Tidak sakit, tapi bekas gigitan Celine tercetak jelas diatasnya. "Kenapa kamu menggigitku?""Karena kamu sangat menyebalkan." Celine mendorong pria itu agar menjauh. "Siapa juga yang ingin menikah denganmu?""Lalu kenapa kamu mengatakan kalau kamu
Keesokan harinya.Ting Tong ...Celine masih terbuai dalam mimpi ketika seseorang menekan bel pintu. Bel pertama, Celine mengabaikannya. Bel kedua, Celine menutup telinganya. Baru di bel ketiga, Celine bangun dari tidurnya."Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" gerutu Celine.Dengan malas, Celine turun dari ranjang. Wanita itu meraih gagang pintu dengan mata setengah terbuka. "Siapa?" "Aku," jawab seorang pria yang tak lain adalah Sebastian Earl Sanders."P-presdir?" Akhirnya mata Celine terbuka sepenuhnya. "Apa yang kamu lakukan disini, Presdir? Bukankah ini hari minggu?"Celine buru-buru merapikan rambutnya. Sementara Earl tampak mendorong pintu. "Setidaknya, biarkan aku masuk dulu.""Jangan masuk!" Celine menahan pintu. "Kamarku berantakan.""Kalau aku bilang ingin masuk, ya masuk." Sepertinya, pria itu tidak ingin mengalah. Disaat Celine berusaha menutup pintu, Earl justru melakukan sebaliknya. Dia bahkan hanya membutuhkan satu tangan untuk membuka pintu itu seluruhnya."Kamu tin
DEGMeski jantungnya berdetak lebih cepat, tapi Celine merasa waktu berjalan sangat lambat. Itu karena tiba-tiba Earl menyebut nama putranya yang sudah lama tidak dia lihat."Presdir, tolong jangan bercanda." Celine tersenyum nanar, lalu menyeka buliran air yang mulai menggenang di sudut-sudut mata. "Itu tidak mungkin."Dave-mantan suaminya memiliki pekerjaan yang mapan dan berpendidikan. Selain itu, dia berasal dari keluarga yang terpandang. Dibandingkan dengannya, Celine bukanlah apa-apa. Dengan perbedaan sebesar itu, ditambah sederet alasan lain, apakah masih ada cara agar Celine mendapatkan kembali anak itu? Pada tahap ini, bisa bertemu dengannya saja sudah seperti keajaiban. "Benarkah?" Satu bibir Earl terangkat ke atas. Pria itu mendekati Celine dengan percaya diri, lalu berbisik pelan, "Bagimu, mungkin hal itu mustahil. Tapi bagiku, tidak ada yang tidak mungkin, Celine!"Setelah membisikkan kata-kata itu, Earl mengambil ponsel dan kunci mobil yang dia letakkan di meja. Tapi, s
Entah itu Earl ataupun Celine, dua-duanya langsung turun dari mobil. Perasaan Celine jadi tak menentu, apalagi setelah melihat tiga buah motor besar yang terparkir di halaman samping rumahnya. "Jangan-jangan ... "Celine segera berlari-takut. Mengira Hilda diam-diam meminjam uang kepada rentenir untuk membantu biaya pengobatan ayahnya dan tidak sanggup membayar hutang itu."Sialan!" Celine mendengus pelan. "Lihat saja, aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kamu berani melukai bibiku."Dalam situasi genting itu, nyatanya Celine masih bisa berpikiran jernih. Dia tidak lupa bahwa dia tidak datang sendirian. "Presdir, ayo masuk!""Aku akan segera menyusul!" sahut Earl.Celine pun menoleh. Mendapati Earl sibuk memperhatikan ketiga motor besar itu. Yah, Earl memang tidak mengenal dua motor lainnya. Tapi untuk motor yang terparkir di tengah itu, Earl sepertinya tahu siapa pemiliknya.Kecuali, pemilik yang lama menjual motor itu kepada orang lain. "Apa yang dia lakukan disini? Dia tidak akan
"Kenapa?" tanya Celine.Gadis itu memandang Jehian dan Hilda lekat-lekat. Suaranya bergetar, bersamaan dengan buliran air yang mulai menggenang di sudut mata. "Kenapa kalian tidak mau mengerti?" Agaknya, gadis itu kecewa. Celine marah, tapi tidak berani membantah. Dan itu membuat Jehian serba salah."Bukan seperti itu, Celine!" Jehian menghela nafas, lalu menyeka air mata Celine yang nyaris tumpah. "Membiayai pengobatan ayahmu, paman masih sanggup. Paman juga berjanji akan membantumu menemukan Baldwin jika itu yang kamu mau. Jadi, mari kita pikirkan cara lain dan jangan menikah dengannya meskipun itu hanya pura-pura."Seketika, Celine menggigit ujung bibirnya. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin dalam, sembari mengenang pertemuan pertamanya dengan Jehian. Sejak hari itu, Jehian selalu membantunya.Jehian tidak hanya memindahkan ayahnya ke rumah sakit yang lebih besar, tapi juga melunasi semua hutang ayahnya. Pria itu bahkan meminta Celine tinggal di rumahnya meskipun Celine menola