"Ayahmu."
Celine termangu mengetahui ada seseorang yang mengenal ayahnya.
"P-paman kenal ayahku?" Mata gadis itu mengerjap tidak percaya.
Pria tersebut tersenyum tipis sembari terus memperhatikan Celin tanpa berkedip.
“Namaku Jehian, dan ya, aku mengenal dekat ayahmu.” Jehian kemudian mengerutkan dahinya, menyadari sesuatu. “Di mana ayahmu sekarang? Lalu, apa kamu bekerja sama dengan mereka?” tunjuk pria itu ke arah perwakilan perusahaan.
Tiba-tiba ekspresi Celine berubah. Calon air mata bahkan sudah menggenang di sudut-sudut matanya. Dia jadi punya sebuah ide brilian, kendati dia terus berdoa supaya ayahnya merestui karena ia akan menggunakan ayahnya sebagai dalih.
"A-ayah sakit.” Dia mulai terisak pelan. “Aku kerja di perusahaan itu, Paman. Dan ini proyek penentuan untukku. Aku bisa dipecat jika gagal dalam Upaya pembebasan lahan ini. Sedangkan … Aku butuh banyak uang untuk biaya rumah sakit.”
Sesaat, Celine menghentikan ucapannya. Dia menatap lekat-lekat Jehian dan ekspresi di wajahnya.
Ketika dilihat pria itu masih menatapnya dengan lembut, Celine kembali melanjutkan. “Presdirku bersedia menambah uang ganti rugi, untuk itu … bisakah Paman mempertimbangkannya?”
Mata gadis itu mengerjap-ngerjap, tatapannya menyorot polos dengan ekspresi ingin dikasihani.
Tidak lama, ekspresi ramah Jehian menghilang, berganti dengan rahangnya yang mengetat.Bahkan, Celine bisa melihat aura kebengisan yang menguar dari wajah Jehian saat ini. Dan itu sanggup membuatnya kembali takut.
“Di mana ayahmu?” ujarnya lebih tegas. “Ada banyak hal yang ingin aku katakan padanya.”
“A-ayah ada di ….”Setelah itu, Jehian membawanya pergi secara paksa. Pria itu mengajak Celine untuk melihat langsung kondisi ayahnya, Hans yang kini terbaring koma di rumah sakit.
“Siapa yang melakukan ini padanya?” tanya Jehian, lagi-lagi menunjukkan aura bengis.
“M-mantan suamiku.” Dengan gagap, Celine lantas bercerita jika Hans begini karena dikeroyok oleh pria bayaran yang disewa oleh mantan menantunya sendiri.
Setelah melihat kondisi Hans yang menyedihkan dan Celine yang ternyata mengalami kesulitan, akhirnya Jehian pun memutuskan untuk melepas lahan itu.
"Baiklah, paman akan menjual tanah itu untukmu!" kata Jehian membuat ekspresi Celine cerah bukan main.
"Paman serius??” Binar di matanya tidak bisa ditutupi jika dia begitu senang."Tentu," jawab Jehian yakin. “Apa kamu tidak mengingat Paman?” Kerutan di dahi pria itu timbul kemudian.
Celine menelengkan kepala. Dia mencoba memutar memori yang lalu, mencari figure Jehian dalam tiap kenangan. Namun, kosong. Dia tidak menemukan apa pun tentang pria itu.Gadis itu menggeleng, kepalanya menunduk lesu. “Maaf, Paman….”
Jehian kemudian tersenyum, kendati wajahnya masih menunjukkan sedikit keheranan. “Ayahmu tidak pernah bercerita?” Lagi, gadis itu menggeleng. Jehian mengembuskan napas panjang. “Lalu, apa kamu tahu kenapa ayahmu membawamu pergi dan tidak memberi paman kabar?"
“Tidak juga, Paman.”
Dari semua pertanyaan Jehian, tidak satupun dia bisa menjawab. Apalagi, terlihat Jehian seperti menahan kesal karena dia bagai tidak berguna.
Melihat Jehian begitu frustasi, Celine pun merasa bersalah. Beruntung Celine mengingat satu hal yang belum sempat ia ceritakan."Tunggu dulu, Paman. Ada satu hal yang ingin kusampaikan!" kata Celine.
"Apa itu?" tanya Jehian, satu alisnya menukik dengan tatapan menilai. "Sebenarnya….” Ragu, Celine memintal ujung pakaiannya. “Ayah amnesia!""Kenapa kamu tidak mengatakannya dari awal?" protes Jehian disertai decakan.
Gadis itu tertawa kosong, "Hehe. Celine lupa!" Tepat saat itu, seorang wanita muncul. Dialah orang yang membantu Hans merawat Celine sewaktu kecil dan kini membantunya merawat Hans saat pria itu koma. "Celine, siapa dia?" tanya perempuan itu. "Bibi Hilda, kenalkan, ini Paman Jehian. Dia temannya Ayah!""Teman?" Hilda tampak tidak langsung percaya.
"Benar. Kami berteman sewaktu muda.” Jehian menyengir tipis, menatap ke arah Hans yang masih berbaring tidak berdaya. “Kupikir dia sudah mati karena tidak ada kabar setelah."
Kemudian, mereka bertiga terlibat nostalgia. Jehian bercerita seputar hubungan pertemanannya denan Hans, dan Hilda menceritakan kenapa Hans hilang hingga berakhir malang. Sementara Celine, menjadi pendengar baik sambil sesekali menimpali cerita bibinya.
20 tahun lalu, Celine yang masih kanak-kanak itu ditemukan tengah menangis di samping ayahnya yang tidak sadarkan diri. Dibantu warga, Hilda melarikan Hans ke rumah sakit.
Malang, ketika sadar pria itu tidak mengingat apa pun. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah Celine—anak semata wayangnya.
Celine kecil kemudian mengalami trauma. Melihat ayahnya sekarat dan nyaris meregang nyawa membuat Celine yang ceria berubah jadi pendiam. Dia juga sulit percaya dengan orang. Hanya Hildalah satu-satunya orang asing yang berhasil mendekatinya.
"Jadi begitu ceritanya."
Jehian itu melirik Hans yang terbaring di ranjang. Pria itu sempat melamun sampai pertanyaan Hilda membuyarkan lamunannya.
"Apa kamu tahu siapa keluarganya?"Suasana menjadi hening seketika. Entah itu Hilda maupun Celine, keduanya sangat penasaran dengan jawaban Jehian. Jehian kemudian menatap Celine dengan pandangan sulit terbaca. Dia berkata dengan lirih, "Dia tidak punya keluarga. Satu-satunya yang dia punya hanyalah Celine.”
Sementara Celine tengah terlibat nostalgia, di perusahaan Earl—sang presdir, tengah panik usai mendengar kabar pegawainya hilang."Belum ada kabar?" tanya pria itu pada bawahan kepercayaannya, Felix. "Belum, haruskah kita lapor polisi dan menambah personil untuk mencarinya?" Sebenarnya puluhan orang sengaja dikirim untuk memastikan keamanan Celine dan teman-temannya. Tapi siapa yang menyangka pria bernama Jehian itu malah membawa Celine kabur dan tidak satu pun orang suruhan mereka bisa menemukan jejaknya.Jehian dikenal sebagai ketua preman yang begitu dihormati. Kegarangan dan ketegasan pria tambun itu bukan lagi isapan jempol semata. Pengaruhnya benar-benar kuat, sebab sekali dia berkata … seluruh preman di bawahnya akan langsung tunduk.Spekulasi buruk pun mulai memenuhi pikiran mereka, tidak terkecuali Earl."Lakukan saja!" kata pria itu pada akhirnya.Felix pun menghubungi pihak terkait untuk membuat laporan. Tak lupa meminta bawahannya menambah anggota untuk mencari Celine.S
Hari ini adalah hari pertama Celine menjadi sekretaris. Bukannya grogi, wanita itu terlihat sangat antusias, terlebih setelah dia mengubah penampilannya habis-habisan. "Rasanya seperti mimpi. Apa ini masih diriku?" Wanita itu tersenyum lebar, mengagumi kecantikannya melalui cermin kecil yang dia pegang. Agaknya, dia sendiri pun terkejut dengan penampilannya yang sekarang. Rambut panjangnya sengaja dipangkas sebahu. Pakaian longgar nan usang itu sudah ia ganti dengan pakaian trendi yang menonjolkan bentuk tubuh proporsionalnya. Dengan penampilan seperti itu, ditambah make-up natural yang menghias wajahnya, siapa yang tak akan terpesona melihatnya? "Sebastian Earl Sanders, mulai hari ini aku pasti akan menunjukkan betapa luar biasanya janda yang kamu anggap menjijikkan ini." Wanita itu segera menyimpan cerminnya. Sebagai sekretaris baru, Celine harus aktif. Tidak boleh hanya diam dan menunggu perintah atasan. Jadi, dia memutuskan untuk pergi ke ruangan Earl sekarang. Tok tok tok ..
"Luna?" Mata Celine membesar melihat siapa yang memanggilnya. Dia adalah Luna-sahabat baik, sekaligus guru El Baldwin-putranya. "Apa yang kamu lakukan disini?"Wanita itu mendekat, tak percaya bisa bertemu dengannya di tempat itu."Aku baru saja menemui suamiku." Luna menunjuk gedung yang berdiri kokoh di belakangnya "Dia bekerja disana." "Benarkah?" Matanya memelotot. Takjub dengan pengakuan Luna barusan. "Itu sangat keren!""Kamu juga sangat keren," puji Luna.Wanita itu memperhatikan Celine sebentar. Hanya beberapa minggu sejak pertemuan terakhir mereka, tapi Celine sudah banyak berubah. "Bagaimana kabarmu?""Aku baik." Celine tersenyum manis, tak lupa menyodorkan tangannya pada Luna. "Terimakasih ya, atas semuanya?""Untuk?" Luna memicingkan salah satu matanya. Seingatnya, dia tidak melakukan apa pun. Lalu, kenapa Celine mengucapkan terimakasih?"Ehh ... i-itu, karena tanpa bantuanmu, aku tidak mu
"Tidurku nyenyak sekali."Bangun tidur, Celine langsung duduk. Perempuan itu menggosok matanya, lalu merenggangkan tubuh sembari mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.Tapi, sebuah kejutan langsung menyambutnya ketika dia membuka matanya ... "Ini ... dimana?"Mata elangnya menyapu seluruh ruangan. Tempat ini begitu asing. Bingung, kaget, semuanya bercampur jadi satu. Terlebih setelah melihat logo yang terpampang di nakas.Seingatnya, dia pergi ke bar semalam. Tapi kenapa sudah ada di kamar hotel saat dia bangun? "Apa aku memesan kamar dalam keadaan mabuk?"Masih dalam keadaan bingung, Celine melangkah. Tujuannya adalah jendela yang masih tertutup gorden. Tapi, langkahnya terhenti ketika dia melihat pantulan dirinya di cermin."T-tunggu ... apa yang terjadi?" Matanya memelotot. Dia bahkan langsung menutup mulutnya karena kaget. "Kemana perginya pakaianku?"Glek.Celine menelan ludahnya dengan kasar. Wajahnya memucat. "Apakah aku tidur dengan pria hidung belang?"Celin
"Akhirnya sampai juga."Begitu turun dari taksi, Celine menyusuri jalanan sekitar untuk mencari alamat yang menjadi tempat janjian mereka. Matanya awas melihat sekeliling. Sementara mulutnya sibuk mengulum permen."Apa ini tempatnya?"Celine memeriksa kembali alamat pemberian Earl. Tidak salah, tapi membuat Celine heran. Dari sekian banyak tempat, kenapa harus tempat ini yang menjadi tempat janjian mereka? "Memangnya, dia ingin aku melakukan apa?"Awalnya, Celine ragu. Tapi seorang perempuan berpakaian rapi keluar dari gedung untuk menyambutnya. "Nona, Anda Nona Celine, kan?""Ah ... darimana kamu tahu namaku?" "Tuan Earl bilang akan datang membawa seseorang. Dan ciri-cirinya persis sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Jadi, kupikir orang itu adalah kamu."" ... ""Mari."Ternyata, perempuan itu adalah salah satu asisten designer terkenal di kota ini. Karena teman pelanggan setianya sudah datang, dia pun
"Presdir, aku sangat jelek saat memakai gaun." Celine mencari alasan. Sepertinya dia masih belum menyerah di detik-detik terakhirnya. "Selain itu, aku juga tidak pandai berbohong. Bagaimana kalau kita mencari perempuan lain saja?"Gadis itu memasang wajah penuh harap. Berdoa di dalam hatinya agar Earl membatalkan niatnya untuk menjadikannya pacar bohongan. Sayangnya, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. "Aku tidak sempat melakukan semua itu."Suara pria itu sangat datar. Sedatar wajahnya saat membuka pintu ruangan yang akan mempertemukan mereka dengan perancang busana terbaik di kota ini."Selamat sore, Tuan Ivan. Maaf membuatmu menunggu." Earl tersenyum. Menyapa Ivan yang sudah menunggunya sejak tadi."Selamat datang." Ivan tersenyum, menyambut Earl dengan hangat sebelum menoleh ke arah Celine. "Jadi, Anda ingin memesan gaun untuk Nona ini, Tuan Earl?" "Benar. Bisakah membantuku memilihkan gaun yang cocok untuknya?""Tentu saja." Ivan terseyum dengan optimis. "Dengan senang ha
Beberapa jam kemudian."Presdir, aku sudah siap." Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya Celine selesai juga. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta pendapat Earl tentang riasan di wajahnya."Bagaimana? Tidak terlalu menor, kan?" Gadis itu tersenyum, ingin memamerkan kecantikan alaminya untuk mengejutkan Earl. Tapi sayang, waktunya kurang tepat."Tunggu sebentar." Sedikitpun, Earl tak menoleh. Pria itu berdiri membelakangi Celine. Ternyata dia masih sibuk memperbaiki tatanan rambutnya.Maklum, Earl baru bersiap setengah jam yang lalu. Berbeda dengan Celine yang memulainya lebih awal. Jadi, wajar kalau pria itu belum siap.Selesai dengan rambutnya, Earl mengambil parfum dan menyemprotkannya di beberapa titik. Pria itu juga sempat merapikan dasinya sebelum memakai jas berwarna hitam yang tergantung di sebelahnya."Masih lama?" tanya Celine.Wanita itu maju beberapa langkah. Tapi disaat yang bersamaan, Earl memutar tubuhnya dan melakukan hal yang sama. "Oke, aku j
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!" ajak Earl."Baiklah."Akhirnya, mereka pun memasuki rumah dimana Andreas merayakan hari jadi pernikahannya. Kedatangan mereka tampaknya mencuri perhatian.Karena ini adalah pertama kalinya Earl membawa seorang gadis. Belum terbiasa, Celine pun berbisik pelan. "Presdir, kenapa mereka terus melihat kita?""Entahlah." Earl menoleh. Berpura-pura merapikan anting Celine dan bicara tak kalah pelan. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu di hadapan mereka.""Maafkan aku." Celine menghela nafas. Menjadi pusat perhatian nyatanya tidak membuat dirinya gentar. Justru sebaliknya, dia sangat antusias memainkan peran sebagai kekasih Earl."Sayang, jadi yang mana kakekmu? Aku tidak sabar bertemu dengannya." Gadis itu tersenyum manis. Tak ragu memamerkan kemesraan di hadapan semua orang."Kamu lihat pria tua yang berdiri disana?" Earl menunjuk ke tengah-tengah ruangan. "Dia adalah kakekku."Seketika, Celine melihat ke arah itu. Dia melihat sesosok pria tua te
"Apa kamu melihat ekspresi tanteku?" Di balik kemudi itu, Earl tak bisa menahan tawa. Apalagi setelah mengingat bagaimana ekspresi Laudya dan Chintya saat mereka melihat bekas gigitan Earl di leher Celine."Lain kali, kita harus sering-sering melakukannya, Celine!" pinta Earl.Sepertinya, pria itu masih larut dalam euforia. Sangat berbeda dengan Celine yang tampak biasa saja. "Tidak mau!" tolak Celine.Gadis itu melihat lehernya yang kemerahan dari sebuah cermin berukuran kecil. Lalu mengambil ponsel miliknya dan mencari tutorial untuk menghilangkan bekas itu di internet.Earl yang saat ini sedang menyetir pun langsung menoleh begitu mendengar penolakan. "Apa kamu pikir kamu bisa menolak?" tanyanya.Pria itu tersenyum tipis, lalu kembali melihat ke depan. "Ingat, Celine. Kita sudah sepakat. Jadi tolong kerjasamanya, okay?"Untuk beberapa detik, suasana menjadi hening. Earl fokus menyetir sementara Celine menyimpan ponselnya ke dalam tas."Iya, aku tahu!" Celine menoleh. Memberikan lir
"Ah. I-itu ... " Celine segera menarik tangannya. Menggaruk pipinya yang tidak gatal dan bertingkah seolah tidak pernah menyentuh apapun. "Sebenarnya, aku hanya ... ""Menggodaku?" potong Earl.Pria itu bangkit dan mendekati Celine. Tak apa kalau hanya mendekat. Masalahnya, pria itu malah memamerkan tubuh atletisnya tanpa rasa malu.Bahkan, secara terang-terangan menarik tangan Celine agar Celine menyentuh perut itu untuk yang kedua kali. "Jangan khawatir, aku tidak akan tergoda. Jadi, kalau mau menyentuh, silahkan saja!""Siapa juga yang mau menggodamu." Celine kembali menarik tangannya. Lalu pergi membereskan barang-barangnya yang tak seberapa. "Oh, benarkah?" tanya Earl.Sepertinya, pria itu akan terus bertanya sampai mendapat jawaban yang dia inginkan. Tapi, Celine tidak perlu menjawab pertanyaan itu karena waktu yang semakin mepet.Wanita itu tersenyum lebar. Menunjuk kearah jam dinding sembari berkata, "Presdir, bukankah sebaiknya kamu segera mandi? Mereka sudah menunggu, lho!"
Pagi itu, matahari sudah mulai meninggi. Tapi tak ada tanda-tanda kalau sepasang pengantin itu akan membuka mata. Entah Celine atau Earl, dua-duanya masih terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.Di atas ranjang berukuran besar itu, Earl tidur di sisi kanan. Pria itu menelungkupkan tubuhnya dengan posisi kepala menoleh ke kiri. Hening ... dan tak ada suara. Yang ada hanyalah hembusan nafas yang nyaris tak terdengar.Tapi, tiba-tiba ... dering alarm berbunyi."Apa itu?" Setengah sadar, Earl meraih ponselnya. Tapi ponsel itu gelap. "Bukan punyaku? Lalu punya siapa?"Bingung, pria itu diam sesaat. Dan setelah lima detik, akhirnya dia ingat kalau dia tidak sendirian. "Ah, pasti itu milik Celine."Earl pun menoleh dan membangunkan Celine. "Celine, matikan alarmnya. Berisik, tahu?"Tapi, Earl dikejutkan dengan posisi tidur Celine yang tak biasa. Seharusnya Earl melihat wajah Celine, atau mungkin rambutnya karena gadis itu tidur di sampingnya. Namun, bukan itu yang Earl lihat. Gadis itu meringk
"Ti-tidur denganku?" Tiba-tiba Celine gugup, sementara otak kecilnya mulai berpikiran liar.Saat Earl mengambil bantalnya tadi, Celine pikir pria itu akan mengusirnya pindah ke sofa. Siapa yang menyangka pria itu malah ingin tidur dengannya di ranjang yang sama?"Tapi aku tidak mau tidur denganmu." Meskipun sudah mengucapkan itu, nyatanya Celine masih duduk manis di ranjang. Sementara Earl pura-pura tidak mendengar.Pria itu sibuk menata bantalnya. Kemudian mencari posisi yang nyaman dengan duduk bersandar. "Apa kamu mau lanjut menonton, Celine?" tawarnya."Hah?" Celine melongo.Mana mungkin Celine menjawab 'iya'? Mereka berdua sama-sama normal. Bagaimana kalau mereka terbawa suasana lalu ingin mencobanya?"Tidak mau!" tolak Celine."Tidak mau?" Earl menoleh. Lalu kembali melihat ke arah layar. "Ya sudah. Kalau begitu aku akan menontonnya sendiri. Kalau kamu ngantuk, kamu tidur saja duluan," kata Earl sembari menepuk-nepuk kasur menggunakan tangan kanannya.Pria itu tersentum tipis, me
"Aku sudah selesai."Keluar dari kamar mandi, Celine mendapati Earl mengambil baju ganti. Rambutnya acak-acakan, tapi penampilannya yang seperti itu justru membuatnya terlihat ganteng maksimal.Sadar diperhatikan, Earl pun menoleh dan bertanya, "Ada apa?""Ah. Oh, tidak kok! Tidak ada apa-apa." Celine, berpaling. Bersiul meskipun tak ada suara siulan dari mulutnya."Lalu, kenapa kamu melihatku seperti itu?" Seperti biasa, Earl mulai kesal.Pria itu hampir menyentil dahi Celine. Tapi, sebelum Earl melakukannya, Celine sudah lebih dulu menutupi dahinya. "Aku hanya ingin bertanya, apa kamu butuh bantuanku?"Dengan cepat, Earl menggeleng. "Tidak. Lain kali saja!""Kalau kamu butuh bantuan, katakan saja!" Celine mendekatkan diri. Memeluk pria itu dan berbisik, "Aku kan istrimu.""Sudah kubilang tidak perlu." Earl melepas tangan Celine yang melingkar di perut atletisnya. Sepertinya dia mulai kewalahan menghadapi tingkah Celine yang semakin bar-bar.Akhirnya, Earl pergi ke kamar mandi. Sement
"Aku duluan!" teriak Celine."Tidak bisa. Aku duluan!" Earl bersikeras.Di kamar pengantin yang penuh bunga itu, jangankan adegan romantis, sifat malu-malu kucing antara Earl dan Celine pun tak terlihat. Sebaliknya, mereka malah berdebat untuk menentukan siapa yang akan menggunakan kamar mandi duluan."Apa kamu tidak tahu kata pepatah, sayang?" Celine mulai naik darah. Gadis itu meletakkan ujung gaunnya yang berat. Berdiri di ambang pintu agar Earl tidak mendahuluinya. "Ladies first. Kamu tahu artinya, kan?"Earl tersenyum tipis, lalu mendesis pelan. Candaan macam apa itu. Tentu saja dia tahu. Tapi masalahnya, Earl tidak sanggup lagi menahan panggilan alam yang sejak tadi dia tahan.Pelan-pelan, Earl menyingkirkan gaun Celine yang menjuntai. "Aku tahu, sayang." Pria itu melewati Celine, menjangkau kloset yang terletak beberapa langkah di belakang Celine. "Tapi aku kebelet pipis," katanya."Astaga!" Celine memelotot. Terkejut melihat Earl mulai menarik resleting celananya. Celine pun be
Satu bulan kemudian.Tak terasa, hari pernikahan itu pun tiba. Acara pernikahan itu sendiri digelar disebuah ballroom hotel berbintang sesuai permintaan Andreas Sanders.Beberapa hari sebelum pesta digelar, Andreas sempat mendatangi Celine secara pribadi. Pria itu meminta maaf karena pesta pernikahan antara Earl dan dirinya diselenggarakan secara sederhana karena kurangnya waktu persiapan.Faktanya, Celine tidak menemukan apa pun yang terlihat sederhana. Semuanya terlihat sangat mewah, bahkan meskipun itu hanya sebuah gelas. Fantastis. Hanya kata itulah yang bisa menggambarkan betapa megahnya pesta pernikahan hari ini."Ya Tuhan, kakek memang tahu bagaimana caranya menghamburkan uang." Celine melirik Jehian yang saat ini berdiri di sampingnya. "Iya, kan, Paman?""Iya." Jehian mengangguk, lalu menoleh ke arah Celine. "Bukankah lebih baik kalau kamu benar-benar mengandung anak Earl, Celine? Dengan begitu, tak akan ada satupun mendung yang menghalangi masa depanmu yang cerah."Celine han
"Kenapa?" tanya Celine.Gadis itu memandang Jehian dan Hilda lekat-lekat. Suaranya bergetar, bersamaan dengan buliran air yang mulai menggenang di sudut mata. "Kenapa kalian tidak mau mengerti?" Agaknya, gadis itu kecewa. Celine marah, tapi tidak berani membantah. Dan itu membuat Jehian serba salah."Bukan seperti itu, Celine!" Jehian menghela nafas, lalu menyeka air mata Celine yang nyaris tumpah. "Membiayai pengobatan ayahmu, paman masih sanggup. Paman juga berjanji akan membantumu menemukan Baldwin jika itu yang kamu mau. Jadi, mari kita pikirkan cara lain dan jangan menikah dengannya meskipun itu hanya pura-pura."Seketika, Celine menggigit ujung bibirnya. Gadis itu menundukkan kepalanya semakin dalam, sembari mengenang pertemuan pertamanya dengan Jehian. Sejak hari itu, Jehian selalu membantunya.Jehian tidak hanya memindahkan ayahnya ke rumah sakit yang lebih besar, tapi juga melunasi semua hutang ayahnya. Pria itu bahkan meminta Celine tinggal di rumahnya meskipun Celine menola
Entah itu Earl ataupun Celine, dua-duanya langsung turun dari mobil. Perasaan Celine jadi tak menentu, apalagi setelah melihat tiga buah motor besar yang terparkir di halaman samping rumahnya. "Jangan-jangan ... "Celine segera berlari-takut. Mengira Hilda diam-diam meminjam uang kepada rentenir untuk membantu biaya pengobatan ayahnya dan tidak sanggup membayar hutang itu."Sialan!" Celine mendengus pelan. "Lihat saja, aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kamu berani melukai bibiku."Dalam situasi genting itu, nyatanya Celine masih bisa berpikiran jernih. Dia tidak lupa bahwa dia tidak datang sendirian. "Presdir, ayo masuk!""Aku akan segera menyusul!" sahut Earl.Celine pun menoleh. Mendapati Earl sibuk memperhatikan ketiga motor besar itu. Yah, Earl memang tidak mengenal dua motor lainnya. Tapi untuk motor yang terparkir di tengah itu, Earl sepertinya tahu siapa pemiliknya.Kecuali, pemilik yang lama menjual motor itu kepada orang lain. "Apa yang dia lakukan disini? Dia tidak akan