"Ayahmu."
Celine termangu mengetahui ada seseorang yang mengenal ayahnya.
"P-paman kenal ayahku?" Mata gadis itu mengerjap tidak percaya.
Pria tersebut tersenyum tipis sembari terus memperhatikan Celin tanpa berkedip.
“Namaku Jehian, dan ya, aku mengenal dekat ayahmu.” Jehian kemudian mengerutkan dahinya, menyadari sesuatu. “Di mana ayahmu sekarang? Lalu, apa kamu bekerja sama dengan mereka?” tunjuk pria itu ke arah perwakilan perusahaan.
Tiba-tiba ekspresi Celine berubah. Calon air mata bahkan sudah menggenang di sudut-sudut matanya. Dia jadi punya sebuah ide brilian, kendati dia terus berdoa supaya ayahnya merestui karena ia akan menggunakan ayahnya sebagai dalih.
"A-ayah sakit.” Dia mulai terisak pelan. “Aku kerja di perusahaan itu, Paman. Dan ini proyek penentuan untukku. Aku bisa dipecat jika gagal dalam Upaya pembebasan lahan ini. Sedangkan … Aku butuh banyak uang untuk biaya rumah sakit.”
Sesaat, Celine menghentikan ucapannya. Dia menatap lekat-lekat Jehian dan ekspresi di wajahnya.
Ketika dilihat pria itu masih menatapnya dengan lembut, Celine kembali melanjutkan. “Presdirku bersedia menambah uang ganti rugi, untuk itu … bisakah Paman mempertimbangkannya?”
Mata gadis itu mengerjap-ngerjap, tatapannya menyorot polos dengan ekspresi ingin dikasihani.
Tidak lama, ekspresi ramah Jehian menghilang, berganti dengan rahangnya yang mengetat.Bahkan, Celine bisa melihat aura kebengisan yang menguar dari wajah Jehian saat ini. Dan itu sanggup membuatnya kembali takut.
“Di mana ayahmu?” ujarnya lebih tegas. “Ada banyak hal yang ingin aku katakan padanya.”
“A-ayah ada di ….”Setelah itu, Jehian membawanya pergi secara paksa. Pria itu mengajak Celine untuk melihat langsung kondisi ayahnya, Hans yang kini terbaring koma di rumah sakit.
“Siapa yang melakukan ini padanya?” tanya Jehian, lagi-lagi menunjukkan aura bengis.
“M-mantan suamiku.” Dengan gagap, Celine lantas bercerita jika Hans begini karena dikeroyok oleh pria bayaran yang disewa oleh mantan menantunya sendiri.
Setelah melihat kondisi Hans yang menyedihkan dan Celine yang ternyata mengalami kesulitan, akhirnya Jehian pun memutuskan untuk melepas lahan itu.
"Baiklah, paman akan menjual tanah itu untukmu!" kata Jehian membuat ekspresi Celine cerah bukan main.
"Paman serius??” Binar di matanya tidak bisa ditutupi jika dia begitu senang."Tentu," jawab Jehian yakin. “Apa kamu tidak mengingat Paman?” Kerutan di dahi pria itu timbul kemudian.
Celine menelengkan kepala. Dia mencoba memutar memori yang lalu, mencari figure Jehian dalam tiap kenangan. Namun, kosong. Dia tidak menemukan apa pun tentang pria itu.Gadis itu menggeleng, kepalanya menunduk lesu. “Maaf, Paman….”
Jehian kemudian tersenyum, kendati wajahnya masih menunjukkan sedikit keheranan. “Ayahmu tidak pernah bercerita?” Lagi, gadis itu menggeleng. Jehian mengembuskan napas panjang. “Lalu, apa kamu tahu kenapa ayahmu membawamu pergi dan tidak memberi paman kabar?"
“Tidak juga, Paman.”
Dari semua pertanyaan Jehian, tidak satupun dia bisa menjawab. Apalagi, terlihat Jehian seperti menahan kesal karena dia bagai tidak berguna.
Melihat Jehian begitu frustasi, Celine pun merasa bersalah. Beruntung Celine mengingat satu hal yang belum sempat ia ceritakan."Tunggu dulu, Paman. Ada satu hal yang ingin kusampaikan!" kata Celine.
"Apa itu?" tanya Jehian, satu alisnya menukik dengan tatapan menilai. "Sebenarnya….” Ragu, Celine memintal ujung pakaiannya. “Ayah amnesia!""Kenapa kamu tidak mengatakannya dari awal?" protes Jehian disertai decakan.
Gadis itu tertawa kosong, "Hehe. Celine lupa!" Tepat saat itu, seorang wanita muncul. Dialah orang yang membantu Hans merawat Celine sewaktu kecil dan kini membantunya merawat Hans saat pria itu koma. "Celine, siapa dia?" tanya perempuan itu. "Bibi Hilda, kenalkan, ini Paman Jehian. Dia temannya Ayah!""Teman?" Hilda tampak tidak langsung percaya.
"Benar. Kami berteman sewaktu muda.” Jehian menyengir tipis, menatap ke arah Hans yang masih berbaring tidak berdaya. “Kupikir dia sudah mati karena tidak ada kabar setelah."
Kemudian, mereka bertiga terlibat nostalgia. Jehian bercerita seputar hubungan pertemanannya denan Hans, dan Hilda menceritakan kenapa Hans hilang hingga berakhir malang. Sementara Celine, menjadi pendengar baik sambil sesekali menimpali cerita bibinya.
20 tahun lalu, Celine yang masih kanak-kanak itu ditemukan tengah menangis di samping ayahnya yang tidak sadarkan diri. Dibantu warga, Hilda melarikan Hans ke rumah sakit.
Malang, ketika sadar pria itu tidak mengingat apa pun. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah Celine—anak semata wayangnya.
Celine kecil kemudian mengalami trauma. Melihat ayahnya sekarat dan nyaris meregang nyawa membuat Celine yang ceria berubah jadi pendiam. Dia juga sulit percaya dengan orang. Hanya Hildalah satu-satunya orang asing yang berhasil mendekatinya.
"Jadi begitu ceritanya."
Jehian itu melirik Hans yang terbaring di ranjang. Pria itu sempat melamun sampai pertanyaan Hilda membuyarkan lamunannya.
"Apa kamu tahu siapa keluarganya?"Suasana menjadi hening seketika. Entah itu Hilda maupun Celine, keduanya sangat penasaran dengan jawaban Jehian. Jehian kemudian menatap Celine dengan pandangan sulit terbaca. Dia berkata dengan lirih, "Dia tidak punya keluarga. Satu-satunya yang dia punya hanyalah Celine.”
Sementara Celine tengah terlibat nostalgia, di perusahaan Earl—sang presdir, tengah panik usai mendengar kabar pegawainya hilang."Belum ada kabar?" tanya pria itu pada bawahan kepercayaannya, Felix. "Belum, haruskah kita lapor polisi dan menambah personil untuk mencarinya?" Sebenarnya puluhan orang sengaja dikirim untuk memastikan keamanan Celine dan teman-temannya. Tapi siapa yang menyangka pria bernama Jehian itu malah membawa Celine kabur dan tidak satu pun orang suruhan mereka bisa menemukan jejaknya.Jehian dikenal sebagai ketua preman yang begitu dihormati. Kegarangan dan ketegasan pria tambun itu bukan lagi isapan jempol semata. Pengaruhnya benar-benar kuat, sebab sekali dia berkata … seluruh preman di bawahnya akan langsung tunduk.Spekulasi buruk pun mulai memenuhi pikiran mereka, tidak terkecuali Earl."Lakukan saja!" kata pria itu pada akhirnya.Felix pun menghubungi pihak terkait untuk membuat laporan. Tak lupa meminta bawahannya menambah anggota untuk mencari Celine.S
Hari ini adalah hari pertama Celine menjadi sekretaris. Bukannya grogi, wanita itu terlihat sangat antusias, terlebih setelah dia mengubah penampilannya habis-habisan. "Rasanya seperti mimpi. Apa ini masih diriku?" Wanita itu tersenyum lebar, mengagumi kecantikannya melalui cermin kecil yang dia pegang. Agaknya, dia sendiri pun terkejut dengan penampilannya yang sekarang. Rambut panjangnya sengaja dipangkas sebahu. Pakaian longgar nan usang itu sudah ia ganti dengan pakaian trendi yang menonjolkan bentuk tubuh proporsionalnya. Dengan penampilan seperti itu, ditambah make-up natural yang menghias wajahnya, siapa yang tak akan terpesona melihatnya? "Sebastian Earl Sanders, mulai hari ini aku pasti akan menunjukkan betapa luar biasanya janda yang kamu anggap menjijikkan ini." Wanita itu segera menyimpan cerminnya. Sebagai sekretaris baru, Celine harus aktif. Tidak boleh hanya diam dan menunggu perintah atasan. Jadi, dia memutuskan untuk pergi ke ruangan Earl sekarang. Tok tok tok ..
"Luna?" Mata Celine membesar melihat siapa yang memanggilnya. Dia adalah Luna-sahabat baik, sekaligus guru El Baldwin-putranya. "Apa yang kamu lakukan disini?"Wanita itu mendekat, tak percaya bisa bertemu dengannya di tempat itu."Aku baru saja menemui suamiku." Luna menunjuk gedung yang berdiri kokoh di belakangnya "Dia bekerja disana." "Benarkah?" Matanya memelotot. Takjub dengan pengakuan Luna barusan. "Itu sangat keren!""Kamu juga sangat keren," puji Luna.Wanita itu memperhatikan Celine sebentar. Hanya beberapa minggu sejak pertemuan terakhir mereka, tapi Celine sudah banyak berubah. "Bagaimana kabarmu?""Aku baik." Celine tersenyum manis, tak lupa menyodorkan tangannya pada Luna. "Terimakasih ya, atas semuanya?""Untuk?" Luna memicingkan salah satu matanya. Seingatnya, dia tidak melakukan apa pun. Lalu, kenapa Celine mengucapkan terimakasih?"Ehh ... i-itu, karena tanpa bantuanmu, aku tidak mu
"Tidurku nyenyak sekali."Bangun tidur, Celine langsung duduk. Perempuan itu menggosok matanya, lalu merenggangkan tubuh sembari mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.Tapi, sebuah kejutan langsung menyambutnya ketika dia membuka matanya ... "Ini ... dimana?"Mata elangnya menyapu seluruh ruangan. Tempat ini begitu asing. Bingung, kaget, semuanya bercampur jadi satu. Terlebih setelah melihat logo yang terpampang di nakas.Seingatnya, dia pergi ke bar semalam. Tapi kenapa sudah ada di kamar hotel saat dia bangun? "Apa aku memesan kamar dalam keadaan mabuk?"Masih dalam keadaan bingung, Celine melangkah. Tujuannya adalah jendela yang masih tertutup gorden. Tapi, langkahnya terhenti ketika dia melihat pantulan dirinya di cermin."T-tunggu ... apa yang terjadi?" Matanya memelotot. Dia bahkan langsung menutup mulutnya karena kaget. "Kemana perginya pakaianku?"Glek.Celine menelan ludahnya dengan kasar. Wajahnya memucat. "Apakah aku tidur dengan pria hidung belang?"Celin
"Akhirnya sampai juga."Begitu turun dari taksi, Celine menyusuri jalanan sekitar untuk mencari alamat yang menjadi tempat janjian mereka. Matanya awas melihat sekeliling. Sementara mulutnya sibuk mengulum permen."Apa ini tempatnya?"Celine memeriksa kembali alamat pemberian Earl. Tidak salah, tapi membuat Celine heran. Dari sekian banyak tempat, kenapa harus tempat ini yang menjadi tempat janjian mereka? "Memangnya, dia ingin aku melakukan apa?"Awalnya, Celine ragu. Tapi seorang perempuan berpakaian rapi keluar dari gedung untuk menyambutnya. "Nona, Anda Nona Celine, kan?""Ah ... darimana kamu tahu namaku?" "Tuan Earl bilang akan datang membawa seseorang. Dan ciri-cirinya persis sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Jadi, kupikir orang itu adalah kamu."" ... ""Mari."Ternyata, perempuan itu adalah salah satu asisten designer terkenal di kota ini. Karena teman pelanggan setianya sudah datang, dia pun
"Presdir, aku sangat jelek saat memakai gaun." Celine mencari alasan. Sepertinya dia masih belum menyerah di detik-detik terakhirnya. "Selain itu, aku juga tidak pandai berbohong. Bagaimana kalau kita mencari perempuan lain saja?"Gadis itu memasang wajah penuh harap. Berdoa di dalam hatinya agar Earl membatalkan niatnya untuk menjadikannya pacar bohongan. Sayangnya, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. "Aku tidak sempat melakukan semua itu."Suara pria itu sangat datar. Sedatar wajahnya saat membuka pintu ruangan yang akan mempertemukan mereka dengan perancang busana terbaik di kota ini."Selamat sore, Tuan Ivan. Maaf membuatmu menunggu." Earl tersenyum. Menyapa Ivan yang sudah menunggunya sejak tadi."Selamat datang." Ivan tersenyum, menyambut Earl dengan hangat sebelum menoleh ke arah Celine. "Jadi, Anda ingin memesan gaun untuk Nona ini, Tuan Earl?" "Benar. Bisakah membantuku memilihkan gaun yang cocok untuknya?""Tentu saja." Ivan terseyum dengan optimis. "Dengan senang ha
Beberapa jam kemudian."Presdir, aku sudah siap." Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya Celine selesai juga. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta pendapat Earl tentang riasan di wajahnya."Bagaimana? Tidak terlalu menor, kan?" Gadis itu tersenyum, ingin memamerkan kecantikan alaminya untuk mengejutkan Earl. Tapi sayang, waktunya kurang tepat."Tunggu sebentar." Sedikitpun, Earl tak menoleh. Pria itu berdiri membelakangi Celine. Ternyata dia masih sibuk memperbaiki tatanan rambutnya.Maklum, Earl baru bersiap setengah jam yang lalu. Berbeda dengan Celine yang memulainya lebih awal. Jadi, wajar kalau pria itu belum siap.Selesai dengan rambutnya, Earl mengambil parfum dan menyemprotkannya di beberapa titik. Pria itu juga sempat merapikan dasinya sebelum memakai jas berwarna hitam yang tergantung di sebelahnya."Masih lama?" tanya Celine.Wanita itu maju beberapa langkah. Tapi disaat yang bersamaan, Earl memutar tubuhnya dan melakukan hal yang sama. "Oke, aku j
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!" ajak Earl."Baiklah."Akhirnya, mereka pun memasuki rumah dimana Andreas merayakan hari jadi pernikahannya. Kedatangan mereka tampaknya mencuri perhatian.Karena ini adalah pertama kalinya Earl membawa seorang gadis. Belum terbiasa, Celine pun berbisik pelan. "Presdir, kenapa mereka terus melihat kita?""Entahlah." Earl menoleh. Berpura-pura merapikan anting Celine dan bicara tak kalah pelan. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu di hadapan mereka.""Maafkan aku." Celine menghela nafas. Menjadi pusat perhatian nyatanya tidak membuat dirinya gentar. Justru sebaliknya, dia sangat antusias memainkan peran sebagai kekasih Earl."Sayang, jadi yang mana kakekmu? Aku tidak sabar bertemu dengannya." Gadis itu tersenyum manis. Tak ragu memamerkan kemesraan di hadapan semua orang."Kamu lihat pria tua yang berdiri disana?" Earl menunjuk ke tengah-tengah ruangan. "Dia adalah kakekku."Seketika, Celine melihat ke arah itu. Dia melihat sesosok pria tua te