Gaun mini dengan warna merah menyala yang membentuk seluruh lekukan tubuh penggunanya menjadi pusat perhatian malam ini. gadis itu mengangkat tangan tinggi-tinggi. Menggelengkan kepala mengikuti irama dentuman di lantai dansa. Musik disko memekakkan telinga, suara teriakan karena terhibur memenuhi ruangan.
Kepulan asap rokok, aroma minuman keras menyeruak menjadi hal yang wajar di sana. laki-laki dan wanita berbaur menjadi satu. Malam adalah waktu bagi mereka. Malam adalah pesta untuk mereka.“Hu! Mainkan sampai pagi!” teriaknya, tidak peduli jika seseorang menganggapnya gila.Beberapa pengunjung lainnya pun membenarkan dan menyetujuinya. Mereka benar-benar berpesta. Terkadang hingga pagi menjelang. Semakin malam akan semakin ramai. Semakin malam semakin asyik.“Kamu sendirian, cantik?”Tubuh gadis bergaun merah itu sudah berada dalam rengkuhan tangan seorang pria dengan cambang tipis di rahangnya. Ia mendekatkan wajahnya hendak meraih bibir gadis yang berhasil ada dalam pelukannya saat ini. Gadis dua puluh tahun itu mendorong wajah pria yang selalu menganggunya setiap hari.Senyum setan laki-laki itu jelas menyiratkan bahwa dia berharap besar pada wanita yang dia dekap sekarang.“Tidak akan pernah. Gue selalu datang dengan dia.”Ia harus setengah berteriak agar suaranya terdengar. Tangannya menunjuk ke arah sang sahabat yang duduk memantau dirinya. Sebotol air putih ditangan menemaninya.“Jangan pernah bermimpi untuk dekatin gue. Malam ini atau bahkan malam-malam lainnya,” racaunya, seraya mendorong bahu laki-laki itu menjauh darinya.“Kamu yakin? Bagaimana jika setelah pertemuan ini kamu yang akan datang mengejarku?”Ia mengacungkan jari tengahnya pada laki-laki itu. “Bangunlah! Lu tidur terlalu lama Brother. Bahkan dalam mimpi pun lu nggak akan pernah bisa tidur dengan gue.”Terkesan sombong, tetapi begitulah, Divya. Menyombongkan diri pada orang angkuh sah-sah saja bukan? Selagi dia tidak mengganggu orang lain, maka ia juga tidak ingin diganggu.Pria bercambang dengan rambut keriting itu menjauh dan tersenyum aneh. Tidak mau menerima kekalahan. Akan tetapi, juga tidak mau mengambil risiko dikeramaian seperti ini. Matanya beralih pada teman yang berdiri tidak jauh darinya. Anggukan kepala dari rekannya itu mampu membuat kekecewaan atas penolakan yang baru saja dia terima seakan menguar begitu saja.Gadis berambut panjang itu meninggalkan lantai dansa. Ia butuh istirahat, duduk dan minum sedikit air untuk menarik sedikit kesadarannya. Kendati, dia tahu betul bahwa tindakannya pergi ke tempat ini salah. Hanya saja, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang lebih buruk lagi.“Dia datang lagi?”Seorang teman yang masih tampak waras dan sama sekali tidak terpengaruh minuman beralkohol itu membantu sahabatnya menuangkan segelas air putih dingin. Kemudian menyodorkannya ke Divya. Gadis itu menerimanya dengan senang hati.“Setiap hari. Gue heran apakah dia nggak bosen? Nggak ada perempuan lain selain gue-gitu?” jawabnya penuh selidik, setelah meneguk habis air putih itu. Meletakkan gelas dengan asal.“Lain kali makanya jangan pakai baju terbuka gini. Dada udah kek mo tumpah tahu, nggak?” seru temannya.“Iya, bawel. Lu emang ibu suri terbaik. Jangan sampe lu ikutan minum. Kagak ada yang nyetir mobil,” kikihnya.Sudah layaknya orang gila. Matanya setengah terpejam, tetapi ia berusaha untuk membukanya lebar-lebar kelopak mata itu. Ia tidak ingin melewatkan malam ini begitu saja. Bahkan jika diminta untuk memilih antara tidur dan mabuk, ia akan dengan gampang menjawab mabuk lebih mengesankan.“Nggak mungkin aku mau. Minuman pait apa enaknya? Enak juga air kelapa,” jawabnya asal.“Tapi, Ivy. Sesekali, emang lu kudu cobain ini. Lu nggak stress apa tiap hari disuguhin tugas. Tiap hari belajar mulu?”“Stress, tapi aku lebih stress liat kamu mabok tapi ngerepotin aku. Yang bener ajalah, seenggaknya kamu bisa jalan sendiri sampe parkiran.”Bukan sekali dua kali Ivy menyeret tubuh sahabatnya keluar dari kelab. Mengantarkan Divya ke rumahnya. Sudah seperti tukang taksi langganan. Sayangnya, ia tidak digaji.“Div, kita balik aja, yuk!”Ivy mencoba membujuk Divya, dengan harapan wanita itu mau mengiyakan ajakan itu. sayangnya itu belum pernah terjadi.“Masih jam dua juga. Santai aja kali, kagak ada yang nyariin lu kan?”Ivy menggeleng pelan. Dia hanya perantau, tidak ada sanak keluarga yang dekat dengannya. Divya adalah satu-satunya teman yang dia miliki.Semakin malam, Divya makin tidak terkendali. Ia sudah tidak mampu membawa tubuhnya sendiri. Ia membantu Divya untuk bangun. Gadis itu sudah tidak mampu untuk berucap, ia hanya menurut saja saat tubuhnya dibawa ke mana pun. Bahkan jika hal buruk menimpanya, wanita bertubuh seksi itu tidak akan tahu dan tidak akan menyadarinya.**Tepat pukul setengah empat dini hari, Ivy sudah berada di depan pintu rumah rekannya. Ia menekan bel rumah mewah nun besar itu. menantikan beberapa menit kemudian muncullah sosok yang tidak pernah, Ivy duga.“Kamu lagi! Bener-bener kamu, ya! Bawa pengaruh buruk buat anak saya!” hardiknya.Laki-laki berusia lima puluh lima tahun dengan rambut yang seluruhnya hampir memutih itu menerima tubuh anaknya.“Jangan dekati anak saya lagi! Jika masih kamu lakukan aku akan laporkan kamu ke polisi!” ancamnya, dengan raut wajah yang serius.Ivy terdiam, bahkan seharusnya dia yang menjauh dari Divya. Wanita itulah yang mengenalkan ia dengan dunia malam.“Tunggu, Om!” cegah, Ivy.“Apa lagi?! Tidak puas kamu rusak anakku huh?!” sarkasnya. Matanya melotot seolah hendak keluar.“Kunci mobilnya di saya,” jawab Ivy. Ia tersenyum kikuk.Ivy menggaruk kepalanya, merasa aneh dengan pernyataan itu, kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah temannya.Begitu tiba di dalam rumah, Hendery mengempaskan tubuh Divya di sofa begitu saja. Gadis dua puluh tahun itu merintih kesakitan.“Divya! Kamu sudah dewasa, sebentar lagi kamu lulus dan tidak mungkin hidupmu hanya seperti ini saja setiap hari!”“Euhm?” leguh, Divya. Tidak ada sejarahnya orang mabuk di ajak bicara.“Lebih baik kamu menikah muda ketimbang terjerumus dalam dunia malam seperti ini!”Divya membisu, dia sudah tidak sadarkan diri. Buaian alkohol menyelamatnya dirinya dari omelan sang ayah.Sayangnya itu tidak berlangsung selamanya. Pagi ini, begitu wanita itu terbangun. Masih dengan wajah bantalnya dan rasa malas yang merenggut semangat paginya. Hendery sudah menunggunya di ambang pintu kamarnya.Tubuh yang semula hanya terkulai lemah di sofa. Semalam telah dipindahkan oleh Hendery ke kamarnya. Semarah apa pun dirinya, tetap saja dia menyayangi Divya.“Pagi, Pah. Kenapa di sana?” sapa Divya saat matanya sudah bisa dengan normal menatap keberadaan sang kepala rumah tangga.“Sampai kapan mau seperti ini, Divya?!” suara yang tidak ada lembut-lembutnya di telinga, Divya.“Divya hanya menikmati masa muda, Div, Pah. Emang salah?” Ia menarik kakinya dan membiarkannya terjuntai menyentuh lantai.“Papa sudah tua, kamu harapan keluarga satu-satunya. Papa sudah mengambil keputusan.”Dahi Divya mengerut, ia menggapai tengkuknya yang terasa pegal seraya mencermati ucapan Hendery.“Keputusan apa, Pah?” Dengan santai dia bertanya. Divya hafal betul ancaman pria itu adalah mengurangi uang bulanannya. Kalau tidak mengambil salah satu fasilitas Divya.“Kamu papa jodohkan dengan anak teman, papa. Sekaligus—”“Apa?! Jan becanda, deh, Pah. Sejak kapan, Papa ngedukung Divya nikah muda?” seru Divya. Masih menganggap bahwa keputusan yang di ambil oleh Hendery hanya sebuah gertakan semata.“Sejak kamu mulai bergaul dengan wanita keriting itu! hidupmu sudah tidak terkendali.”“Bukan dia, tapi Div yang justru—”Ucapan Divya langsung di hentikan oleh Hendery. Pria itu tidak menyukai perdebatan panjang.“Satu lagi. Kamu akan terus diawasi oleh pengawal pilihan, Papa!”Telak! Divya tidak bisa lagi membantah karena laki-laki itu seudah meninggalkan ruangan Divya.“Ck!”Divya hanya mampu berdecak kesal. Besar harapannya bahwa ini hanya sebuah ancaman seperti hari-hari sebelumnya.Wanita bermata cokelat itu turun dari kamarnya. Ia sudah siap hendak pergi ke kampus. Ini adalah tahun terakhir dirinya menimba ilmu di Universitas Negeri Briona. Tanpa pamit, wanita itu lekas mendekati pintu utama. Namun, langkahnya terhenti oleh teriakan sang ayah dari ruang tengah.“Divya, tunggu!”Gadis itu memutar tubuhnya dengan enggan. “Apa lagi, Pah?” Ia masih tidak terima hidupnya diatur sedemikian rupa. Divya hanya ingin bebas menentukan jalannya sendiri.“Mulai sekarang kamu tidak perlu mengemudikan mobil sendiri. Ghazi akan membawanya.”Alis sebelah Divya terangkat. “Ghazi? Siapa Ghazi? Sopir aku?” Senyum mengejek Divya terbit. Wanita itu acapkali berhasil membuat para sopir-sopir tua itu menyerah dengan pekerjaannya. Divya adalah wanita yang jahil.“Tidak hanya sopir, tetapi juga pengawal pribadimu. Jadi, dia akan ikut ke mana pun kamu pergi. Bahkan, jika kamu pergi berbelanja sekalipun,” terangnya dengan seraut wajah penuh kemenangan.“Papa nggak serius kan?”Wajah Divya
"Div—" Ivy yang sedari tadi fokus dengan ponsel di tangannya terkejut bukan main kala melihat satu video yang di dalamnya mempertontonkan Divya dengan seorang pria. "Eum? Apaan?!" ketus Divya. Ia hanya mengaduk makanan di piringnya. Bahkan juga minuman di gelas hanya diputar-putar menggunakan sedotan. "Lihat deh!" Ivy menyodorkan benda persegi panjang itu pada sahabatnya. Divya menyahutnya brutal. Matanya melotot marah. "Apa-apaan, nih?! Laki-laki bajingan!" marahnya. Sebuah video yang Divya tidak pernah lakukan sama sekali. Ia tengah bermesraan di salah satu kelab yang sangat dia kenali. Bersama dengan laki-laki yang Divya sendiri tidak mengenalnya. "Ada masalah, Nona?" Ghazi mendekat pada Divya. Perhatian yang merujuk pada tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi Divya. Ghazi diharuskan tahu segalanya tentang Divya. "Siapa, sih Lo? Bisa nggak sedetik aja jauh-jauh dari, gue?!" bentak Divya. Dia kesal bertambah kesal. Memberikan ponsel Ivy kembali secara kasar. "Tidak bisa.
Begitu tiba di rumah, Divya semakin bertekuk muka. Semangatnya sudah tidak membara sama sekali. Membayangkan dirinya terkurung di kamar. Makan malam membosankan, ia ingin berteriak sekencang yang dia bisa. "Mari makan dulu, Nak!" panggil Greta, ia sudah siap dengan segala macam olahan ikan kesukaan Divya dan juga suaminya. "Divya mau mandi. Kalian makan duluan aja, nanti kalau Div laper juga bakal makan," celetuknya tanpa menghentikan langkahlangkah ataupun menoleh pada sang ibu. Wanita bertubuh kecil, tetapi seksi itu menapaki satu demi satu anak tangga menuju ke kamar. Membanting pintu dengan cukup keras saat berhasil menghilang di baliknya. "Biarkan saja, Ma. Dia kembali saja sudah untung. Biar dia lakukan sesukanya, Divya tidak akan mengurung diri semalaman." Hendery mencoba menenangkan istrinya. Greta juga meyakini akan hal itu. Pasalnya anak semata wayang mereka tidak akan pernah bisa tidur jika kelaparan. Entah itu tengah malam, Divya tetap akan makan. "Dia belum makan ma
Alarm berbunyi membangunkan sang pemilik jam. Sejatinya sang pria sudah terjaga dua jam sebelum jam itu berbunyi. Ia membuka lebar jendela kacanya kemudian duduk di kusen tanpa mengenakan pakaian. Hanya dengan balutan celana boxer yang membungkus pinggang sampai lututnya. Mata hitam terangnya menelisik dedaunan yang bergoyang tertiup oleh angin pagi. Udara di pagi hari memang sangat menyegarkan. Ghazi, menyahut kaos oblong berwarna hitam kemudian mengenakan sepatu olahraga dan siap untuk mencari keringat. Berkeliling komplek sampai jam kerja dimulai. “Pagi, Pak. Kopi.” Pria itu menyodorkan kopi pada satpam yang sudah berjaga di pos. Senyumnya mengembang sempurna. Jauh berbeda kala ia menghadapi Divya. “Terima kasih, Mas. Mau olahraga?” Ghazi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia mulai mengambil langkah kecil sebagai pemanasan sebelum mulai berlari. “Hati-hati, Mas!” teriak satpam itu. "Keren pisan euy! Baru kali ini ada yang buatkan kopi," tambahnya. Matahari mas
Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah. Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut. "Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu. Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari. Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi. "Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan. "Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung. "Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tenta
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima."Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget.""Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!""Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi k
"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya. "Terima kasih, Tan," ucap Liam. "Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."Senyumnya selalu mengembang. Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi. Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya. Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak. "Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan t
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki bajingan itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan bajingan itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gu