Wanita bermata cokelat itu turun dari kamarnya. Ia sudah siap hendak pergi ke kampus. Ini adalah tahun terakhir dirinya menimba ilmu di Universitas Negeri Briona. Tanpa pamit, wanita itu lekas mendekati pintu utama. Namun, langkahnya terhenti oleh teriakan sang ayah dari ruang tengah.
“Divya, tunggu!”
Gadis itu memutar tubuhnya dengan enggan. “Apa lagi, Pah?” Ia masih tidak terima hidupnya diatur sedemikian rupa. Divya hanya ingin bebas menentukan jalannya sendiri.
“Mulai sekarang kamu tidak perlu mengemudikan mobil sendiri. Ghazi akan membawanya.”
Alis sebelah Divya terangkat. “Ghazi? Siapa Ghazi? Sopir aku?” Senyum mengejek Divya terbit. Wanita itu acapkali berhasil membuat para sopir-sopir tua itu menyerah dengan pekerjaannya. Divya adalah wanita yang jahil.
“Tidak hanya sopir, tetapi juga pengawal pribadimu. Jadi, dia akan ikut ke mana pun kamu pergi. Bahkan, jika kamu pergi berbelanja sekalipun,” terangnya dengan seraut wajah penuh kemenangan.
“Papa nggak serius kan?”
Wajah Divya kaku, dia ingin protes dan meledakkan amarahnya saat itu juga. Akan tetapi, suara bariton seorang pria menghentikan agrumentasi Divya.
“Selamat pagi, Tuan Hen.”
Laki-laki dengan pakaian serba hitam membungkuk setengah badan pada Hendery. Tanda hormat pada atasannya.
“Tepat waktu. Kamu memang bisa diandalkan. Baiklah! Dia ada di sana. jangan sampai kehilangan sedetik pun pandangan darinya. Dia adalah gadis nakal,” seru Hendery. Ia mendekati Ghazi, lalu menoleh lagi ke arah anaknya berdiri. Masih dengan senyum kepuasannya karena berhasil membuat Divya pagi ini menurut telak.
“Baik, Tuan.”
Mata Divya memicing menatap pria dengan jas. Ya! Tentu kalian tahu pakaian membosankan itu. Sorot matanya penuh dengan kebencian serta ide-ide untuk membuat pria itu menyerah.
“Aku harus pegi, Ghaz. Jaga putriku dengan baik!”
“Siap, Tuan.” Ghazi kembali membungkuk.
Akan tetapi belum sampai ambang pintu utama, Hendery berhenti.
“Ups! Jangan lupa, Divya. Minggu depan, Liam Madhava akan kembali dari Jepang. Bersiaplah!” Hendery memutar tubuhnya kembali menghadap Divya. Mengacungkan kedua jempolnya dan kali ini benar-benar keluar dari rumah. Tanpa mendengarkan ucapan memprotes dari anak satu-satunya yang dia miliki.
“Pa! Papa! Papa nggak bisa seperti ini, dong! Ini namanya pelanggaran hak asasi manusia!” teriak Divya. Mencoba mengejar ayahnya.
Akan tetapi sama sekali tidak di gubris oleh laki-laki setengah abad itu. Ia sudah menghilang dibalik pintu mobil. Kemudian gerobak besi itu mulai berjalan pelan meninggalkan hunian megahnya.
Belum hilang kekesalannya, lagi— Ghazi menambah kesulitan hidupnya.
“Anda sudah siap, Nona Divya?”
“Jangan mengikutiku!” hardik, Divya. Ia melangkah dengan hentakan kaki keluar dari rumah. Sementara Greta hanya menggeleng pelan dengan pemandangan pagi ini. Seperti biasa, dia tidak banyak membantu karena keputusan suaminya juga adalah keputusan baginya.
Bentakan, Divya tidak berarti apa-apa bagi Ghazi. Lelaki itu tetap membukakan pintu mobil untuk Divya. Namun, wanita itu justru memilih membuka pintu bagian depan. Dia hendak menempati kursi kemudi. Akan tetapi, entah bagaimana bisa, Ghazi sudah ada di dekat pintu itu.
“Anda tidak diizinkan untuk mengemudi mulai sekarang dan seterusnya.”
“Bodo! Minggir atau gue teriak maling?!” ancam Divya.
“Silakan Anda boleh teriak sampai ternggorokan Anda kering.”
Divya mengepalkan tangan jengkel. Dia menendang kaki Ghazi dan— percayalah, pria itu tetap diam bak patung monas.
“Dasar laki-laki sialan!” umpatnya.
Lagi-lagi telinga Ghazi seolah tidak mendengar ocehan, Divya.
“Anda mau masuk atau telat kelas?”
Sekali lagi, Divya melayangkan pukulan pada dada pria tinggi besar itu. Tubuhnya seperti tiang listrik jika dibandingkan dengan Divya yang hanya memiliki tinggi seratus enam puluh sentimeter.
“Sepuluh menit harus tiba di rumah temen gue! Satu lagi cari sendiri rumahnya. Gue ogah jadi maps, Lu!” tegas, Divya.
Huh— mampus Lu, batin, Divya. Sejatinya dia masih sangat marah pada— semuanya.
Dia tidak menyukai ide gila ini. Dia tidak mau hidupnya terkekang. Divya memiliki keinginan bahwa sebelum menikah, dia sudah harus merasakan segala kesenangan yang tidak akan pernah dia dapatkan di dunia pernikahan. Salah satunya adalah dugem.
Divya tersenyum setan, dia yakin bahwa laki-laki itu tidak akan pernah bisa menemukan tempat tinggal Ivy. Pun demikian dengan perjalanan ke sana yang paling tidak membutuhkan waktu dua puluh menit paling cepat.
“Jika Lu gagal. Siap-siap enyah dari idup, gue!” seru Divya. Ia sudah duduk di kursi depan. Tepat di samping kursi kemudi.
“Baik.”
Siapa yang sangka Ghazi menyetujuinya. Pria itu, mulai menyalakan mesin. Kemudian melesat perlahan dan kecepatan mobil itu mulai bertambah ketika keluar dari halaman rumah. Ia tidak tampak melihat maps apa pun. Pembawaanya cukup tenang dan percaya diri.
“Delapan menit lagi,” seru Divya. Dia sungguh sudah mulai senang, karena jalan awal yang dipilih sudah salah.
Ghazi tidak menghiraukan suara, Divya. Dia hanya fokus pada jalanan. Menyelinap diantara mobil-mobil lain dan berhasil menjadi pemenang diantara mereka. Pekerjaannya memang sudah bisa dia prediksi. Itulah sebab, dia selalu meminta data para calon tuannya. Agar hal sepele seperti saat ini tidak merusak kinerjanya di hari pertama.
Resume Divya sudah dia terima lewat Hendery semalam. Lengkap dengan data rekan serta kebiasaan Divya nongkrong di titik-titik lokasi yang sama setiap harinya.
“Lima menit,” oceh, Divya.
Setir itu di banting ke kiri. Pertigaan yang kerapkali Divya lewati bersama dengan Ivy. Wanita itu sedikit terkejut. Dari mana dia tahu? Sepintas itulah yang dia pertanyakan.
“Tiga menit.”
Akan tetapi dia menolak untuk kalah dan tepat di menit terakhir. Ghazi menekan rem dengan dalam. Mobil berhenti dan menyisakan bekas menghitam roda di aspal.
“Kita sampai, Nona. Ivy, dua puluh satu tahun. Teman satu angkatan Anda yang terlambat lulus tahun kemarin.”
Divya mendesis kesal. Ia kembali mengepalkan tangannya. “Ini nggak akan semudah itu!”
Divya keluar dan membanting pintu dengan kencang. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Ghazi mengubah ekspresinya.
“Kesel, gue!” keluh Divya begitu tiba di depan pintu Ivy yang terbuka menyambut kedatangannya.
“Widih, tumben banget udah dateng, Div. Naik jet kamu?”
Mimik muka Divya yang kucel itu seolah tidak terlihat oleh Ivy. Ini adalah kali pertama, Divya datang tepat waktu. Bahkan mungkin kelebihan waktu. Biasanya wanita itu baru menjemput dirinya paling cepat jam delapan. Sekarang baru pukul tujuh lebih dua puluh sembilan menit.
“Kenapa, sih? Muka jutek gitu? Bulanan?” Ivy meraih air minum untuk sahabatnya. Akan tetapi uluran tangan itu terabaikan oleh Divya.
“Sudah siap, Nona?”
Lagi-lagi suara itu terdengar oleh Divya. Ivy menoleh ke asal suara dan melongo menatap Malaikat berdiri di ambang pintu Ivy.
Divya membuka kepalan tangannya dan merangkus wajah Ivy. Mendorong mukanya agar dia sadar dari kekaguman yang menjemukan itu.
“Jangan kira dia seperti Gabriel!” seru Divya.
“Bisa, nggak, sih, Lu hanya duduk diem di mobil lalu tungguin gue dan temen gue siap?!” ketus, Divya.
“Tidak.” jawaban singkat yang kian membuat, Divya ingin mencakar wajah kaku pria yang berdiri membantu di ambang pintu.
“Siapa dia?” bisik, Ivy.
“Orang gila! Laki-laki kurang kerjaan!” jawab Divya dengan tanduk yang sudah mulai keluar.
“Nggak ada orang gila segagah itu, gila,” lirih Ivy.
Namun, suaranya tetap di dengar oleh Ghazi dan juga Divya pastinya.
“Mau? Karungin tuh!” Divya meninggalkan Ivy.
Ia mendorong tubuh Ghazi menyingkir dan keluar terlebih dulu. Kembali duduk di kursinya. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah yang masih tidak bersahabat.
Ghazi lekas menyusulnya, kemudian Ivy yang terakhir menutup pintu mobil. Ketiganya melesat ke tempat tujuan. UNB.
**
“Gimana ceritanya kamu bisa dapat cowo sekeren itu, Div?” suara Ivy terus muncul. Membuat Divya yang kesal semakin bertambah jengkel.
Divya kira setelah di kampus dia bisa bebas dari laki-laki itu. Ternyata?! Nihil! Pria itu bahkan ikut sampai ambang pintu kelasnya. Kini setelah sedikit ruang dari Ghazi, Ivy memberondongnya dengan pertanyaan yang membosankan.
“Please, dukung gue lah. Bukan malah ngagumin dia kek gitu,” rajuk Divya.
“Bantu apa? Emang dia masalah buatmu?”
“Ivy, dia itu— ah! Ini menyebalkan. Kalau dia terus ngebuntutin gue. Bisa-bisa gue mati berdiri. Nggak ada dugem, nggak ada mabok, nggak ada yang namanya seneng-seneng. Gue gila, Iv!” jelas Divya dengan otot yang sudah sebesar kacang panjang di lehernya.
"Div—" Ivy yang sedari tadi fokus dengan ponsel di tangannya terkejut bukan main kala melihat satu video yang di dalamnya mempertontonkan Divya dengan seorang pria. "Eum? Apaan?!" ketus Divya. Ia hanya mengaduk makanan di piringnya. Bahkan juga minuman di gelas hanya diputar-putar menggunakan sedotan. "Lihat deh!" Ivy menyodorkan benda persegi panjang itu pada sahabatnya. Divya menyahutnya brutal. Matanya melotot marah. "Apa-apaan, nih?! Laki-laki bajingan!" marahnya. Sebuah video yang Divya tidak pernah lakukan sama sekali. Ia tengah bermesraan di salah satu kelab yang sangat dia kenali. Bersama dengan laki-laki yang Divya sendiri tidak mengenalnya. "Ada masalah, Nona?" Ghazi mendekat pada Divya. Perhatian yang merujuk pada tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi Divya. Ghazi diharuskan tahu segalanya tentang Divya. "Siapa, sih Lo? Bisa nggak sedetik aja jauh-jauh dari, gue?!" bentak Divya. Dia kesal bertambah kesal. Memberikan ponsel Ivy kembali secara kasar. "Tidak bisa.
Begitu tiba di rumah, Divya semakin bertekuk muka. Semangatnya sudah tidak membara sama sekali. Membayangkan dirinya terkurung di kamar. Makan malam membosankan, ia ingin berteriak sekencang yang dia bisa. "Mari makan dulu, Nak!" panggil Greta, ia sudah siap dengan segala macam olahan ikan kesukaan Divya dan juga suaminya. "Divya mau mandi. Kalian makan duluan aja, nanti kalau Div laper juga bakal makan," celetuknya tanpa menghentikan langkahlangkah ataupun menoleh pada sang ibu. Wanita bertubuh kecil, tetapi seksi itu menapaki satu demi satu anak tangga menuju ke kamar. Membanting pintu dengan cukup keras saat berhasil menghilang di baliknya. "Biarkan saja, Ma. Dia kembali saja sudah untung. Biar dia lakukan sesukanya, Divya tidak akan mengurung diri semalaman." Hendery mencoba menenangkan istrinya. Greta juga meyakini akan hal itu. Pasalnya anak semata wayang mereka tidak akan pernah bisa tidur jika kelaparan. Entah itu tengah malam, Divya tetap akan makan. "Dia belum makan ma
Alarm berbunyi membangunkan sang pemilik jam. Sejatinya sang pria sudah terjaga dua jam sebelum jam itu berbunyi. Ia membuka lebar jendela kacanya kemudian duduk di kusen tanpa mengenakan pakaian. Hanya dengan balutan celana boxer yang membungkus pinggang sampai lututnya. Mata hitam terangnya menelisik dedaunan yang bergoyang tertiup oleh angin pagi. Udara di pagi hari memang sangat menyegarkan. Ghazi, menyahut kaos oblong berwarna hitam kemudian mengenakan sepatu olahraga dan siap untuk mencari keringat. Berkeliling komplek sampai jam kerja dimulai. “Pagi, Pak. Kopi.” Pria itu menyodorkan kopi pada satpam yang sudah berjaga di pos. Senyumnya mengembang sempurna. Jauh berbeda kala ia menghadapi Divya. “Terima kasih, Mas. Mau olahraga?” Ghazi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia mulai mengambil langkah kecil sebagai pemanasan sebelum mulai berlari. “Hati-hati, Mas!” teriak satpam itu. "Keren pisan euy! Baru kali ini ada yang buatkan kopi," tambahnya. Matahari mas
Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah. Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut. "Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu. Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari. Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi. "Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan. "Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung. "Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tenta
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima."Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget.""Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!""Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi k
"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya. "Terima kasih, Tan," ucap Liam. "Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."Senyumnya selalu mengembang. Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi. Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya. Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak. "Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan t
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki bajingan itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan bajingan itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gu
Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu.Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sen
Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm
Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang
Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka
Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah
Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu
Bab 89Ghazi dan Divya segera berlari ke arah kamar, di mana Rayyan meraung-raung di sana. membuat pasangan tua, Dadang dan istrinya kewalahan. Sungguh bocah itu tidak bisa jauh dari Divya. Hanya wanita inilah yang mampu membuatnya tenang.“Sayang, anak Ibu. Kenapa nangis lagi? Ibu hanya keluar sebentar,” tutur Divya lembut. Dia merasa bersalah karena harus keluar pagi itu. Seharunya momen ini menjadi lebih indah jika saja ia tidak keluar, dia bisa menikmati pagi bersama bayi laki-laki itu.Akan tetapi, Divya juga tidak bisa membiarkan suaminya sendirian lagi. Dia sudah berjanji kalau tidak akan keras kepala atau bahkan membuat laki-lakinya kecewa. Sudah cukup keegoisan itu membuat hubungan mereka selalu dalam pertengkaran.“Dasar bocah tengil. Bisa tidak sehari kau beri istriku waktu hanya bersamaku?” Ghazi sungguh geram. Mereka sangat tampak khawatir tadi begitu melihat Dadang dan istrinya bersama-sama mendatangi mereka.Selama itulah, Rayyan menangis, selama kepergian Divya satu ja
Tengah malam, Rayyan menangis tidak henti, padahal suhu tubuhnya snagat normal, tetapi dia benar-benar rewel. Istri Dadang tidak lagi mampu membuatnya tenang. Sampai, Divyalah yang harus turun tangan.“Mau ke mana, Bee?” tanya Ghazi saat melihat sang istri turun dari ranjang.“Kayanya, Ray nangis, Big. Aku turun dulu, ya,” pamit Divya. Ia sudah meninggalkan bayi itu setelah makan malam tadi. Ivy pun juga sudah menyempatkan menelepon mereka. Gadis itu tempak sangat sibuk, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menatap wajah bayinya.Sebetulnya dia enggan untuk tidur di atas. Inilah yang dia takutkan, Rayyan rewel dan menangis tidak bisa ditenangkan kecuali dengan Divya.“Sama aku, Bee.” Pria itu memutuskan untuk ikut turun tangan, takut jika sang istri kelelahan.Mereka turun dan begitu tiba di lantai bawah keduanya melihat Dadang dan istrinya kewalahan mengurus bayi yang terus menangis dengan sangat kencang itu. Divya ingat saat pertama kali mendengar tangisan bocah itu saat hari perta
[Aku harus keluar kota, Divya. Bisakah titip Rayyan sampai besok sore?]Sebuah pesan singkat diterima oleh Divya tepat pukul lima petang, sang ibu dari bayi itu tampak sangat sibuk.Divya justru tersenyum bahagia. Ia membalas dengan ujaran yang penuh keikhlasan. Mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan akan hal itu. Rayyan adalah bagian dari kebahagiaan Divya saat ini.Di saat cobaan pernikahannya masalah kehamilan, Ivy justru hadir dengan bayi yang menjadi idaman gadis cantik itu.[Terima kasih, Div]Setelah itu, Divya memandikan Rayyan. Mereka tertawa dan sesekali bermain air dan bebek air dalam bak mandi."Rayyan, doakan Ibumu ini bisa memberimu teman, ya. Ibu juga pengen mengurus bayi setiap hari," lirih Divya.Namun, sambutan yang tidak disangka justru diberikan Rayyan. Dia merengek, mencelupkan tangannya ke air sangat kencang hingga menyemprot ke muka Divya."Oh, sepertinya kamu tidak setuju, ya? Cemburuan sekali kamu, hm." Divya menggosok pelan kulit Rayyan. Membaluri tubuh itu