Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu.Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sen
"Anda butuh banyak istirahat Nona Divya. Beruntung hanya demam biasa. Obat-obat yang saya resepkan bisa Anda minum secara rutin sampai habis."Kini Divya berada di sebuah klinik kepercayaan keluarga Hendery ditemani Ghazi. Sudah jelas! Greta untuk kesekian kalinya tidak akan ada disisi wanita itu."Saya pastikan Nona Divya menghabiskan sesuai resep, Dok. Terima kasih," jawab Ghazi. Pria itulah yang justru menimpali. Divya enggan untuk mengeluarkan suaranya. Setelah berpamitan, Ghazi siap membantu Divya keluar dari ruangan pemeriksaan tersebut. "Anda mampu berjalan, Nona?" lirih Ghazi saat keduanya sudah berhasil cukup jauh dari pintu ruangan. "Gue cuma sakit dan sedikit lemes, Ghaz! Bukan lumpuh! Atau yang lebih buruk dari itu," sarkas Divya. Ia mempererat kain tipis yang membungkus tubuhnya. Kemudian menarik langkah menjauh dari Ghazi. Akan tetapi, baru beberapa tapak kaki, tubuhnya hampir tersungkur. Beruntung dengan tangkas Ghazi berhasil menahan beban tubuhnya yang ringan. "
Ivy pulang tepat saat jarum jam pukul satu siang. Gadis itu rela meninggalkan kelas paginya demi menghibur dan menemani Divya. "Istirahatlah, Div. Aku pulang dulu, aku akan telepon kamu, nanti," pamit Ivy. Gadis itu melayangkan senyum pada sahabat karibnya. "Thanks, Iv. Lo sahabat terbaik," balas Divya. Keduanya berpelukan dan Ivy benar-benar pergi. Ghazi setia di samping pintu kamar Divya. Menjadi penjaga sampai jam lima tepat. "Hai! Babang ganteng. Jangan bilang kau berdiri di sana sejak tadi dan akan berlanjut sampai jam kerjamu berakhir," tuduh Ivy. Melontarkan pertanyaan yang dikemas selayaknya ketidakpercayaan. "Yap. Memang begitu adanya.""O—ke—" Ivy mengerucutkan bibir dan sedikit membungkuk. Seakan terkejut. "Baiklah, kurasa aku harus pergi. Semangat Babang ganteng. Mungkin kamu butuh duduk?" Ghazi menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal itu. Pria itu bekerja dan tidak ingin memakan gaji buta. Pukul tiga, Greta pulang. Dari pagi sampai sore tidak ada pemilik rumah yan
Ghazi mendongak menatap satu ruang tertutup di lantai atas saat, telinganya mendengar berdebatan panjang yang terjadi. Raut mukanya tampak seperti biasa, tenang. Namun, ada satu perasaan yang lain dari biasa Ghazi rasakan. Kasihan. Kemudian, ia masuk. Tidak berniat untuk menguping amarah serta umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut sang penguasa di rumah itu. Hendery Kagendra. Ghazi mencari beberapa peralatan di lemarinya. Mengeluarkan satu kotak kayu. Ia ingin memakai waktu luang malam ini membuat karya fisik. Ghazi memang suka memodifikasi segala macam benda. Barangkali ada mainan yang rusak, dia akan memperbaikinya lebih menarik dari sebelumnya. Brak! Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Sontak Ghazi yang masih sibuk dengan dunianya sendiri lekas menoleh. "Tuan Hen? Ada yang bisa saya kerjakan?" tanyanya. Ia membungkuk setengah badan memberi hormat. Sungguh, Ghazi tampak seperti tidak mengetahui apa pun yang barusan terjadi di lantai atas. Berpura-pura tuli."Aku mau bil
"Ivy! Kangen banget, padahal cuma sehari doang nggak ketemu, Lo!" seru Divya begitu bertemu dengan sahabatnya di kampus. Keduanya berpelukan sangat erat dan cukup lama. Ivy dan Divya tiba tidak lama jaraknya. Ghazi benar-benar menepati janjinya bahwa akan mengikuti Divya. Begitu tiba di kostan Ivy, gadis itu lekas masuk mobil dan kendaraan itu melesat cepat. Begitu berbelok di pelataran kampus, mobil Liam baru saja selesai terparkir. "Sorry, kemarin nggak jadi dateng. Gue nyicil tugas," jawab Ivy dengan wajah memelas. Mengharapkan belas kasih dari Divya. "Santai aja, kali. Gue juga nggak berharap kemarin lo datang," jawab Divya. Liam mendekati mereka. Begitu juga dengan Ghazi. Akan tetapi, pria itu masih menjaga jarak. Dia ingat apa yang dikatakan oleh Hendery bahwa Liam akan menggantikan posisinya saat Divya dan pria itu bersama. "Tunggu! Kamu kenapa?" Ivy hendak melepaskan kacamata Divya. Kan tetapi, Divya mencegahnya. Belum waktunya bagi Ivy tahu kondisinya saat ini.Liam ha
“Sumpah! Aku nggak nyangka banget, Bokapmu kayak gitu, Div. Sebetulnya apa yang diliat Tuan Hen dari si Liam ini, sih?”Divya pun menggedikkan bahunya, karena dia sendiri juga tidak tahu alasannya. “Gua juga berharap nemu jawaban, Iv. Tapi buntu sampe hari ini. Iv, Lo kudu bantu gue kabur. Gue nggak mau dibuntutin terus ama Liam. Dia bakal dateng lagi pas gue balik nanti,” kata Divya, frustasi.“Ya— terus aku harus apa? Satu-satunya orang yang bisa bantu kamu hanya—” Ivy celingukan mencari keberadaan, Ghazi. Pria itu tampak baru keluar dari arah toilet. Kemudian, gadis keriting itu menunjuk dengan dagunya. Memberi arahan pada Divya bahwa pria itulah yang bisa membantunya.Divya menoleh ke arah yang dituju Ivy, tetapi kemudian kembali membalikkan wajah pada Ivy yang duduk di depannya.“Bahkan dia aja nurut sama bokap gue,” balas Divya.“Tapi dia kasih barang ini kan?” Ivy mengangkat tangan Divya. Memperlihatkan kembali barang pemberian Ghazi. Cincin yang tersemat di jemari gadis cantik
Setelah puas mendekap satu sama lain. Suara Ghazi terdengar sampai kamar Ivy. Pria itu berbicara dengan seseorang, sepertinya. "Gue balik, dulu," pamit Divya. Ivy mengangguk dan keduanya berjalan mendekati pintu. Ivy mengantarkan sahabatnya hingga ke luar dari kostan. Saat melewati Ghazi dua gadis itu menatapnya sekilas kemudian melanjutkan langkah sampai mendekati mobil merah Divya. "Inget, ya. Sabar sebentar lagi," pesan Ivy. Divya menyatukan jari jempol dan telunjuk membentuk huruf O sebagai tanda setuju. Ghazi mendekati mereka dan siap untuk mengemudikan kendaraan ke rumah. "Hati-hati Bang Gan. Jaga Divya, ya." Pria berbadan tegap tersebut mengangguk. "Tentu saja," tampaknya. Lalu, mobil berjalan menjauhi kediaman Ivy. "Bokap gue kan yang telpon?" tebak Divya. "Benar, Nona.""Ada apa?" Divya sudah memberengut. Sejatinya ia malas untuk bertanya perihal itu. Ayahnya memiliki kontaknya tetapi kenapa harus menelepon pengawalnya? "Tuan Liam menunggu di rumah. Ingin mengajak An
Suasana berbeda terjadi di kediaman Liam. Ibu Sunu harus mondar mandir mempersiapkan makan malam yang akan diadakan di rumah itu. Sunu terlihat sedikit meringankan beban ibunya. Begitu pun dengan Annchi ibunda Liam yang asli keturunan China. Terlihat bekerja sama penuh antusias."Mereka sudah tiba!" seru Annchi. Dia merapikan dandanannya dan Ranty memberikan senyum untuk menimpali ucapan Annchi."Nu, cepat taruh gelas ini di meja dan kita sambut mereka bersama," perintah sang ibu."Iya, Ma." Sunu cekatan. Meski tampak cuek dan urakan, tetapi pria itu tidak sepenuhnya nakal."Kata siapa kalian harus menyambut? Tugasmu memang di dapur!" tegas Annchi."Tapi, Ci. Kita sama-sama keluarga," jawab Ranty."Tidak untuk saat ini. Divya adalah tamuku dan tidak ada hubungannya dengan kamu juga anakmu itu!"Ranty tertunduk. Memang bukan kali pertama dia diperlakukan seperti babu. Namun, Sunu selalu berhasil membuat perasaan ibunya membaik. Annchi memang memiliki seribu wajah. Dia bisa melakonkan b