Suasana berbeda terjadi di kediaman Liam. Ibu Sunu harus mondar mandir mempersiapkan makan malam yang akan diadakan di rumah itu. Sunu terlihat sedikit meringankan beban ibunya. Begitu pun dengan Annchi ibunda Liam yang asli keturunan China. Terlihat bekerja sama penuh antusias."Mereka sudah tiba!" seru Annchi. Dia merapikan dandanannya dan Ranty memberikan senyum untuk menimpali ucapan Annchi."Nu, cepat taruh gelas ini di meja dan kita sambut mereka bersama," perintah sang ibu."Iya, Ma." Sunu cekatan. Meski tampak cuek dan urakan, tetapi pria itu tidak sepenuhnya nakal."Kata siapa kalian harus menyambut? Tugasmu memang di dapur!" tegas Annchi."Tapi, Ci. Kita sama-sama keluarga," jawab Ranty."Tidak untuk saat ini. Divya adalah tamuku dan tidak ada hubungannya dengan kamu juga anakmu itu!"Ranty tertunduk. Memang bukan kali pertama dia diperlakukan seperti babu. Namun, Sunu selalu berhasil membuat perasaan ibunya membaik. Annchi memang memiliki seribu wajah. Dia bisa melakonkan b
Setelah Divya meninggalkan rumah, tidak lama, Ghazi pun keluar. Dia tidak membawa mobil melainkan berkendara dengan motor miliknya. Motor sport yang biasa dia gunakan untuk balapan bersama dengan kawan-kawannya. Sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan Divya dia harus menuruti apa yang dikatakan oleh gadis itu. Sebelum benar-benar tidak bisa melihat rumahnya, Divya mengirimkan pesan pada Ghazi.[Lo harus ikutin gue, tungguin sampe lo dapet chat berikutnya dari gue] tulis Divya saat itu.Ghazi hanya menjawab dengan emoji jempol. Hal itu membuat Divya mengeram kecil. Namun, Liam sama sekali tidak menyadari hal itu.Sekarang, begitu Liam keluar dari rumah, ia sudah harus disuguhkan dengan pandangan mata yang mencolok. Divya berada dalam dekapan Ghazi. Tentu hal itu membuat Liam naik pitam. Berbagai pertanyaan timbul dalam benaknya. Bagaimana bisa pria itu ada di sana tepat pada waktunya? Apakah laki-laki itu tidak menuruti apa perintah Hendery? Dimana ucapannya jelas bahwa tidak per
Bab 19Setengah jam berada di atas motor, akhirnya Divya bisa bernapas lega, gadis itu turun dan lekas melepas helm yang sudah membungkus kepalanya sejak tiga puluh menit yang lalu.“Huh— hampir aja gue mati kagak bisa napas!” keluh, Divya. Ia mengulurkan helm yang cukup berat itu pada Ghazi. Pria itu masih belum juga melepas helemnya. Dia ingin bebas tertawa tanpa diketahui oleh gadis yang sekarang bersama dengannya. Ghazi merasa bahwa wajah Divya jauh lebih lucu saat ini ketimbang biasanya. Sangat menyebalkan dan menguras emosi.“Lepas dulu itu jaket kedodoran, nggak mungkin kan ke warung kopi pakai jaket dan training?”Divya menatap dirinya sendiri. “Betul juga. Berbalik, awas aja ngintip!” ancam Divya.“Nggak bakal, kekasih gue ada dimari. Kamu aman,” ucap Ghazi percaya diri.Ada secuil kekecewaan dalam diri Divya. Batinnya berkata kalau kekasihnya ada di sini artinya penjagaan Ghazi akan terbagi. Bibirnya seketika tertekuk lusuh. Divya kehilangan senyum dan juga kepercayaan dirin
Bab 20Setelah kopi keduanya habis, Ghazi lekas bangkit dan mengajak Divya untuk pulang. Rasanya gadis jelita itu tidak ingin meninggalkan tempat terindah ini. Kapan lagi dia bisa menikmati malam seperti yang tersuguh saat ini?“Gue nggak pengen balik,” gumam Divya. Dia justru menumpukan kepalanya pada meja menggunakan tangannya sebagai bantalan.“Tapi kamu harus tetap pulang.”“Lo udah siapin alasannya?”“Bukan aku yang harus siapkan alasannya, Divya. Tapi kamu,” terang Ghazi enteng.“What?! Apa maksud, Lo. Hah?!” jerit Divya. Sampai semua pasang mata menatap ke arahnya. Semakin malam kafe itu semakin ramai. Para muda-mudi benar-benar tahu kapan waktu terbaik untuk menikmati kebersamaan yang sehat.“Serius, karena aku sudah izin dengan Tuan Hen kalau aku night ride sekaligus kopgab,” jelas Ghazi enteng.“Ghazi, Lo gila?! Brengsek Lo! Sialan, setan!” cecar Divya. Dia tidak habis pikir kenapa bisa Ghazi dengan entengnya membiarkan dirinya mencari asalan sendiri.Divya yang kesal langs
Ghazi melangkah menuju kamarnya. Seluruh tubuh dan bajunya basah kuyup, wajahnya kuyu dengan memar-memar biru yang penuh menghiasi wajah. Hendery menyerang hanya pada wajahnya saja. Kini, hanya dengan bertelanjang dada pria itu duduk di depan lemari yang memiliki cermin besar. Ia mengobati lukanya sendiri.Suara ketukan pintu terdengar. Setelah pria itu mengabaikan Divya tadi. Kini gadis itu mencoba kembali untuk menemui laki-laki yang sekarang dibuat babak belur karena ulahnya.“Ghaz, ini gue. Boleh gue masuk?” pinta Divya dari balik pintu yang masih tertutup.Ghazi bungkam, dia sama sekali tidak menjawab. Perih yang dia rasakan sungguh menyerangnya secara serentak. Bukan dia cemen, tetapi dia butuh berpikir saat ini. Tidak ingin diganggu oleh siapapun, sekalipun itu Divya yang hendak meminta maaf.Tanpa persetujuan Ghazi, wanita berusia dua puluh tahun itu membuka daun pintu. Ia celingukan mencari keberadaan Ghazi sampai ia melongok lebih dalam dan menemukan pria itu duduk bersila d
Setelah menguping perdebatan yang terjadi di rumah Divya. Liam memutuskan untuk lekas pulang. Dia marah, geram, dan dendam pada Ghazi. Laki-laki itu hanya meletakkan tas milik Divya yang kemarin sempat tertinggal di atas sofa ruang tamu dan lekas keluar. Setibanya di rumah, ia meluapkan amarahnya pada orang-orang yang tidak bersalah. Liam bak kesetanan. Ia menghamburkan semua barang-barang. Memecahkan banyak benda. Bahkan bufet tempat buku-buku sejarah tersimpan pun tidak luput dari amukannya. Ia terus merlontarkan kata umpatan pada Divya. Hingga membuat seluruh penghuni rumah tahu apa masalah yang dia alami. “Liam! Sadarlah, Nak. Wanita bukan hanya dia saja.” Sang ibu mencoba untuk menenangkan anaknya. Selama ini Liam tidak pernah sakit hati sampai seperti ini. “Tidak bisa, Ma! Liam cinta sama Divya. Kalau bukan Divya, Liam nggak akan mau menikah!” ancamnya. Memangnya siapa dia bisa mengancam? Bahkan sekarang, Hendery sendirilah yang menjadi saksi pernikahan dari anak satu-satuny
Divya kuat dengan keinginannya. Wanita itu memilih bungkam tanpa kata dan menunggu Ivy di kostannya. Ghazi pun tidak ada pilihan. Ia juga tidak mau memaksa gadis itu meski dia mau dan bisa melakukannya.Saat jam diangka lima lebih dua puluh menit, Ivy terlihat turun dari ojek. Wanita keriting bertubuh sedikit gempal itu sudah bisa melihat dua manusia terlantar di pelataran kostan.“Ivy!” teriak, Divya. Ia lekas berlari dan menubruk tubuh sahabatnya. Dia tidak sabar untuk bercerita banyak hal tentang hari ini.“Woah!” Ivy terkejut. Dia sedikit terhuyung. Kemudian membalas pelukan erat Divya.“Sorry, aku nggak tahu kamu bakal dateng. Bang Gan juga nggak bilang kalau kalian nunggu di sini. Udah lama?”“Udahlah! Dari jam satu gue nongkrong kagak jelas di sana. Mana— panas! Aus juga!” keluh Divya.Hal itu cukup menimbulkan pertanyaan besar di kepala Ivy. Kenapa Divya tidak menyusulnya di kampus saja? Kenapa juga gadis itu tidak membeli minum jika memang haus? Kenapa justru tetap duduk dan
Ivy mondar-mandir menantikan Divya yang tidak kunjung tiba. Hingga jam kelasnya tiba. Sebelum masuk ruangan, tangannya dicekal oleh seseorang.“Sunu? Kenapa?” Ivy tampak terkejut karena pria itu tiba-tiba ada di samping tubuhnya dan menghentikan langkahnya.“Aku masuk dulu, ya. Kelas sudah mulai,” pamit Ivy.“Baiklah. Nanti gue ingin bicara sama lo,” ungkapnya.“Oke, di taman setelah kelas,” janji Ivy. Sunu mengangguk kemudian melepaskan Ivy untuk pergi. Ia pun juga meninggalkan kelas itu dan pergi ke kelasnya sendiri.Sesuai janji, tepat pukul sebelas, Ivy melangkah menuju ke taman. Di sana dia sudah melihat Sunu yang menunggunya. Ivy sedikit ragu untuk mendekat. Pasalnya dia tidak pernah dekat dengan siapapun, lalu tiba-tiba Sunu ingin menemuinya. Ivy hanya waspada, takut jika niat laki-laki itu tidaklah baik.“Hai!” sapa Sunu. Begitu melihat Ivy.“Hai! Jadi?” Ivy tidak ingin membuang waktu percuma.“Nih! Minum dulu. Gue bukan orang jahat kok, ini masih segel.” Sunu mengulurkan satu