Bab 20Setelah kopi keduanya habis, Ghazi lekas bangkit dan mengajak Divya untuk pulang. Rasanya gadis jelita itu tidak ingin meninggalkan tempat terindah ini. Kapan lagi dia bisa menikmati malam seperti yang tersuguh saat ini?“Gue nggak pengen balik,” gumam Divya. Dia justru menumpukan kepalanya pada meja menggunakan tangannya sebagai bantalan.“Tapi kamu harus tetap pulang.”“Lo udah siapin alasannya?”“Bukan aku yang harus siapkan alasannya, Divya. Tapi kamu,” terang Ghazi enteng.“What?! Apa maksud, Lo. Hah?!” jerit Divya. Sampai semua pasang mata menatap ke arahnya. Semakin malam kafe itu semakin ramai. Para muda-mudi benar-benar tahu kapan waktu terbaik untuk menikmati kebersamaan yang sehat.“Serius, karena aku sudah izin dengan Tuan Hen kalau aku night ride sekaligus kopgab,” jelas Ghazi enteng.“Ghazi, Lo gila?! Brengsek Lo! Sialan, setan!” cecar Divya. Dia tidak habis pikir kenapa bisa Ghazi dengan entengnya membiarkan dirinya mencari asalan sendiri.Divya yang kesal langs
Ghazi melangkah menuju kamarnya. Seluruh tubuh dan bajunya basah kuyup, wajahnya kuyu dengan memar-memar biru yang penuh menghiasi wajah. Hendery menyerang hanya pada wajahnya saja. Kini, hanya dengan bertelanjang dada pria itu duduk di depan lemari yang memiliki cermin besar. Ia mengobati lukanya sendiri.Suara ketukan pintu terdengar. Setelah pria itu mengabaikan Divya tadi. Kini gadis itu mencoba kembali untuk menemui laki-laki yang sekarang dibuat babak belur karena ulahnya.“Ghaz, ini gue. Boleh gue masuk?” pinta Divya dari balik pintu yang masih tertutup.Ghazi bungkam, dia sama sekali tidak menjawab. Perih yang dia rasakan sungguh menyerangnya secara serentak. Bukan dia cemen, tetapi dia butuh berpikir saat ini. Tidak ingin diganggu oleh siapapun, sekalipun itu Divya yang hendak meminta maaf.Tanpa persetujuan Ghazi, wanita berusia dua puluh tahun itu membuka daun pintu. Ia celingukan mencari keberadaan Ghazi sampai ia melongok lebih dalam dan menemukan pria itu duduk bersila d
Setelah menguping perdebatan yang terjadi di rumah Divya. Liam memutuskan untuk lekas pulang. Dia marah, geram, dan dendam pada Ghazi. Laki-laki itu hanya meletakkan tas milik Divya yang kemarin sempat tertinggal di atas sofa ruang tamu dan lekas keluar. Setibanya di rumah, ia meluapkan amarahnya pada orang-orang yang tidak bersalah. Liam bak kesetanan. Ia menghamburkan semua barang-barang. Memecahkan banyak benda. Bahkan bufet tempat buku-buku sejarah tersimpan pun tidak luput dari amukannya. Ia terus merlontarkan kata umpatan pada Divya. Hingga membuat seluruh penghuni rumah tahu apa masalah yang dia alami. “Liam! Sadarlah, Nak. Wanita bukan hanya dia saja.” Sang ibu mencoba untuk menenangkan anaknya. Selama ini Liam tidak pernah sakit hati sampai seperti ini. “Tidak bisa, Ma! Liam cinta sama Divya. Kalau bukan Divya, Liam nggak akan mau menikah!” ancamnya. Memangnya siapa dia bisa mengancam? Bahkan sekarang, Hendery sendirilah yang menjadi saksi pernikahan dari anak satu-satuny
Divya kuat dengan keinginannya. Wanita itu memilih bungkam tanpa kata dan menunggu Ivy di kostannya. Ghazi pun tidak ada pilihan. Ia juga tidak mau memaksa gadis itu meski dia mau dan bisa melakukannya.Saat jam diangka lima lebih dua puluh menit, Ivy terlihat turun dari ojek. Wanita keriting bertubuh sedikit gempal itu sudah bisa melihat dua manusia terlantar di pelataran kostan.“Ivy!” teriak, Divya. Ia lekas berlari dan menubruk tubuh sahabatnya. Dia tidak sabar untuk bercerita banyak hal tentang hari ini.“Woah!” Ivy terkejut. Dia sedikit terhuyung. Kemudian membalas pelukan erat Divya.“Sorry, aku nggak tahu kamu bakal dateng. Bang Gan juga nggak bilang kalau kalian nunggu di sini. Udah lama?”“Udahlah! Dari jam satu gue nongkrong kagak jelas di sana. Mana— panas! Aus juga!” keluh Divya.Hal itu cukup menimbulkan pertanyaan besar di kepala Ivy. Kenapa Divya tidak menyusulnya di kampus saja? Kenapa juga gadis itu tidak membeli minum jika memang haus? Kenapa justru tetap duduk dan
Ivy mondar-mandir menantikan Divya yang tidak kunjung tiba. Hingga jam kelasnya tiba. Sebelum masuk ruangan, tangannya dicekal oleh seseorang.“Sunu? Kenapa?” Ivy tampak terkejut karena pria itu tiba-tiba ada di samping tubuhnya dan menghentikan langkahnya.“Aku masuk dulu, ya. Kelas sudah mulai,” pamit Ivy.“Baiklah. Nanti gue ingin bicara sama lo,” ungkapnya.“Oke, di taman setelah kelas,” janji Ivy. Sunu mengangguk kemudian melepaskan Ivy untuk pergi. Ia pun juga meninggalkan kelas itu dan pergi ke kelasnya sendiri.Sesuai janji, tepat pukul sebelas, Ivy melangkah menuju ke taman. Di sana dia sudah melihat Sunu yang menunggunya. Ivy sedikit ragu untuk mendekat. Pasalnya dia tidak pernah dekat dengan siapapun, lalu tiba-tiba Sunu ingin menemuinya. Ivy hanya waspada, takut jika niat laki-laki itu tidaklah baik.“Hai!” sapa Sunu. Begitu melihat Ivy.“Hai! Jadi?” Ivy tidak ingin membuang waktu percuma.“Nih! Minum dulu. Gue bukan orang jahat kok, ini masih segel.” Sunu mengulurkan satu
Pukul enam, Divya membuka matanya. Ia menoleh ke sisi kiri. Ivy sudah tidak ada di samping dirinya tertidur. Kemudian, gadis bermata cokelat itu mengangkat tangan untuk menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia menyadari bahwa jas hitam Ghazi masih melekat di tubuhnya. Lantas secepat kilat gadis itu bangkit dan membuka tirai yang menutup kaca jendela Ivy. Senyum terbit di wajah Divya. “Dia tidak pulang?” gumamnya. “Ngapain, kamu? Ngintipin siapa?” tanya Ivy penasaran. Gadis itu baru selesai membersihkan diri. Masih dengan handuk yang melilit rambut keriting miliknya. Seketika Divya membalikkan tubuh dan menutup tirai dengan rapat seperti semula. “Nggak ada. Gue kira ada— gue tadi denger suara gitu. Makanya coba gue liat. Tapi, kagak ada. Baiklah, giliran gue yang mandi. Kagak antri ‘kan?” elaknya. Lantas hendak berlari keluar dari kamar Ivy. Ivy menggeleng dengan tatapan menyelidik. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya. Ivy membalikkan badan dan kemudia
Sembari menunggu Ghazi datang untuk menjemput, Divya dan Ivy menghabiskan waktu di coffee shop tempat biasa gadis itu nongrong untuk mengerjakan tugas atau sekedar makan siang dan melamun. Jarum jam sudah tepat di angka lima, tetapi pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya.“Tumben banget, Bang Gan belum datang, yak?” celetuk Ivy. Bukan tanpa sebab, ia bosan melihat Divya yang sepertinya menantikan kehadiran Ghazi.Namun, pria itu justru tidak lekas datang. Divya benar-benar seperti menantikan untuk lekas pergi dari tempat itu bersama Ghazi saat ini. Mungkin dulu, jika jam kuliah sudah berakhir, Divya akan lekas pulang dan kembali keluar untuk bersenang-senang.Akan tetapi hari ini? Mulai kemarin, Divya bahkan tidak tahu harus pulang ke mana. Itulah alasan Divya kuat untuk mengharapkan Ghazi terlihat oleh matanya. Mengingat tawaran yang diberikan Ghazi pagi tadi.“Gue juga nggak tahu. Mungkin dia kabur,” balas Divya dengan malas-malas. Ia sudah habis dua gelas kopi ditambah sa
Pagar hitam yang tinggi dengan model layaknya jeruji terpampang di hadapan Divya. Sepasang mata yang tidak pernah tahu tempat itu menatap takjub pada apa yang dia lihat. Pohon hias berderet-deret saat mobil biru itu merangsek masuk melewati pagar yang otomatis terbuka dengan sendirinya.Beberapa tanaman hias dengan bunga-bunga yang bermekaran berbagai warna memanjakan mata gadis bernetra cokelat itu. Saat Ghazi berhasil membuka pintu untuknya, dia bahkan sama sekali tidak memerhatikan laki-laki itu. Matanya sibuk memindai semua yang ada di sana.Ia mendongak untuk melihat bagian atas bangunan yang mana tampak sangat tinggi. Divya sempat tidak percaya bahwa itu rumah Ghazi. Dia mengira tempat itu adalah resto atau mungkin penginapan.“Mau masuk?” tawar Ghazi yang sudah cukup lama mereka berada di luar sana. Suasana sudah mulai redup. Cahaya matahari sudah digantikan dengan temaram-temaram lampu. Bintang mulai bermunculan, terlihat satu demi satu.Divya mengangguk. Kekaguman serta keter