Sembari menunggu Ghazi datang untuk menjemput, Divya dan Ivy menghabiskan waktu di coffee shop tempat biasa gadis itu nongrong untuk mengerjakan tugas atau sekedar makan siang dan melamun. Jarum jam sudah tepat di angka lima, tetapi pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya.“Tumben banget, Bang Gan belum datang, yak?” celetuk Ivy. Bukan tanpa sebab, ia bosan melihat Divya yang sepertinya menantikan kehadiran Ghazi.Namun, pria itu justru tidak lekas datang. Divya benar-benar seperti menantikan untuk lekas pergi dari tempat itu bersama Ghazi saat ini. Mungkin dulu, jika jam kuliah sudah berakhir, Divya akan lekas pulang dan kembali keluar untuk bersenang-senang.Akan tetapi hari ini? Mulai kemarin, Divya bahkan tidak tahu harus pulang ke mana. Itulah alasan Divya kuat untuk mengharapkan Ghazi terlihat oleh matanya. Mengingat tawaran yang diberikan Ghazi pagi tadi.“Gue juga nggak tahu. Mungkin dia kabur,” balas Divya dengan malas-malas. Ia sudah habis dua gelas kopi ditambah sa
Pagar hitam yang tinggi dengan model layaknya jeruji terpampang di hadapan Divya. Sepasang mata yang tidak pernah tahu tempat itu menatap takjub pada apa yang dia lihat. Pohon hias berderet-deret saat mobil biru itu merangsek masuk melewati pagar yang otomatis terbuka dengan sendirinya.Beberapa tanaman hias dengan bunga-bunga yang bermekaran berbagai warna memanjakan mata gadis bernetra cokelat itu. Saat Ghazi berhasil membuka pintu untuknya, dia bahkan sama sekali tidak memerhatikan laki-laki itu. Matanya sibuk memindai semua yang ada di sana.Ia mendongak untuk melihat bagian atas bangunan yang mana tampak sangat tinggi. Divya sempat tidak percaya bahwa itu rumah Ghazi. Dia mengira tempat itu adalah resto atau mungkin penginapan.“Mau masuk?” tawar Ghazi yang sudah cukup lama mereka berada di luar sana. Suasana sudah mulai redup. Cahaya matahari sudah digantikan dengan temaram-temaram lampu. Bintang mulai bermunculan, terlihat satu demi satu.Divya mengangguk. Kekaguman serta keter
Keputusan Divya jatuh pada mini dress berwarna merah menyala, di bawah lutut dengan belahan yang tinggi hingga memperlihatkan pahanya. Divya mengikat rambutnya tinggi. Memperlihatkan lehernya yang bersih dan seputih susu. Melihat itu Ghazi memutuskan untuk mengajak wanita itu keluar. Masih dengan menggunakan mobil biru yang sore kemarin mereka tunggangi. Gadis itu membawa bubuk merica di tasnya. Sungguh jaga-jaga kalau Ghazi melakukan hal buruk seperti yang ada dalam pikirannya. Begitu tiba di restoran, keduanya membaur dengan beberapa pengunjung lainnya. Duduk di meja nomor dua puluh dua. Tidak ada privasi atau ruangan terpisah. Mereka bisa melihat semua pengunjung. Begitupun dengan mereka yang mampu dilihat banyak orang dan disanjung. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa keduanya adalah sangatlah cocok. “Apa yang ingin kamu pesan?” tanya Ghazi. Ia meniti daftar menu yang sudah di tangannya. Divya pun melakukan hal yang sama. “Kenapa kita makan di luar?” Divya justru memilih untu
Divya melepaskan gaunnya dan menyusul Ghazi. Ia mencelupkan tubuhnya dalam kolam. Berenang menuju pinggiran tepat Ghazi berada. Pria itu menumpukan kedua lengannya pada pinggiran kolam. Ghazi menoleh saat Divya menyembulkan kepalanya disisinya. “Apa yang kamu lakukan?” “Menemanimu, apakah kamu suka berenang malam hari?” Divya bertanya dengan sangat hati-hati agar tidak lagi salah memilih bahasa. “Kenapa bertanya seperti itu?” “Aku melihatmu mandi malam hari beberapa kali.” “Hanya saat aku memiliki kecemasan,” papar Ghazi. Ia hendak kembali meneguk soda ditangannya. Akan tetapi, Divya merebutnya dan meneguknya terlebih dulu. Langsung dalam botol yang sama. Bola mata Ghazi menatap leher Divya yang tampak basah dan masih sama seperti malam tadi, putih dan bersih. Sebelum Divya menyadari ke mana tatapannya berpusat, Ghazi mengalihkan pandangnya. “Kecemasan seperti apa?” “Tidak bisa kukatakan, Divya.” “Kamu harus katakan, karena aku ingin tahu banyak hal tentangmu.” Divya berkata de
Alarm ponsel Divya bergetar pukul enam pagi. Gadis itu merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Tidurnya sangat nyaman meski sempat terbangun tengah malam. Matanya menyapu sekeliling dan senyum tipisnya mengembang. Mengingat apa yang terjadi semalam. Kendati dirinya merasa bodoh dengan melakukan hal gila tetapi dia bahagia.“Gue beneran jatuh cinta ama dia?” gumam Divya. Ia menyibak selimutnya dan menurunkan kedua kakinya. Keluar dari kamar dan tidak mendapati Ghazi di ranjang luar.Divya menggedikkan bahu dan kemudian berdiri di samping pembatas kaca. Menikmati embusan angin pagi ini. Mendung sudah berjejer di langit. Hanya awan hitam yang tampak, sehingga udaranya semakin bertambah dingin.“Aku sudah buat sarapan untukmu. Tugasmu ada di meja ruang tengah.” Suara Ghazi yang khas selalu mampu mengalihkan perhatian Divya kepada sosok yang saat ini berdiri cukup jauh dari Divya.Menampilkan otot-otot tubuhnya, lencir karena terkena keringat. Ghazi baru saja melatih masa ototny
“Divya, kamu gila? Ini diluar angkasa, gila!” seru Ivy yang terkejut dengan semua penuturan Divya. Mulai dari semua fasilitas yang diberikan Ghazi pada gadis itu hingga pengakuan perasaan Divya yang mana sejatinya Ivy sudah menduganya sejak awal. Kisah cinta mereka sepertinya mudah ditebak, tetapi siapa yang sangka akan secepat ini?“Ya, gue nggak bisa ngendaliin otak gue, Iv. Gue gila ‘kan?” tanya Divya seraya memperlambat lamgkahya sebelum keluar dari gedung kampus.“Ya, kamu emang gila— tergila-gila ama Ghazi,” ejek Ivy dengan mengulum senyum. Menggoda Divya sepertinya sungguh hal yang asyik untuk saat ini. Cara mereka melepas penat setelah digempur dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk.Gadis itu telah berhasil mengumpulkan tugas dan diminta untuk revisi sedikit dari beberapa halaman yang terkumpul. Bahkan sang dosen mengatakan akan mempercepat sidangnya jika Divya berhasil memperbarui nilai-nilainya.“Kalau kamu bisa lulus cepat, apa rencanamu selanjutnya?” tambah Ivy. Keduanya
Dengan balutan kemeja putih dan celana panjangnya, Ghazi harus bergulat dengan peralatan dapur. Ia melipat lengan kemejanya hingga batas siku. Melepaskan tiga kancing paling atas bajunya agar tidak terlalu gerah, karena pria itu belum menguyur tubuhnya.Memotong, memanggang serta menumis untuk makan malam bersama. Ghazi sangat jarang mengundang pelayan untuk memasak makanannya. Pria itu sangat pemilih hanya sekedar untuk memasukkan makanan. Ia tidak suka makanan yang banyak mengandung kalori atau bahkan lemak.Divya turun setelah selesai membersihkan dirinya. Awalnya sengaja mencari keberadaan pria itu. Tidak melihat wajah Ghazi yang tegas dan penuh kharisma itu membuat dirinya rindu. Hingga harus menemukan di mana pria itu berada. Kini, setelah sampai di dapur ia melihat aksi Ghazi yang jelas tidak tengah dipertontonkan untuk siapapun. Hanya dengan balutan kaus oblong kedodoran miliknya. Menampilkan kakinya yang panjang serta sebelah bahunya yang terkadang pakaian itu melorot.Gadis
Setelah kepergian Divya, tepat pukul sepuluh Ghazi pun keluar dari rumahnya. Memenuhi permintaan gadis itu yang menginginkan sebuah pernikahan yang serius. Langkah awal Ghazi adalah membeli sebuah cincin pernikahan untuk melamar wanita bar-bar tersebut. Menggunakan motor sportnya Ghazi meliuk-liuk di jalanan. Menyalip pengendara lain dan suara desing mesin itu sama sekali tidak mengganggu penguna jalan. Ia leluasa menikmati perjalanannya.Ghazi tidak pernah tahu di mana letak toko perhiasan terbaik di Briona. Hingga keputusannya jatuh pada pencarian pada web yang ada di ponselnya. Ghazi akan memasuki satu demi satu toko itu untuk melihat kualitas dan pelayanannya. Pria itu sungguh pemilih.Toko pertama Ghazi datangi, ia memarkir motornya dan kemudian mendekati pintu masuk.“Selamat datang,” sambut seorang wanita dengan seragam setelan hitam dan dalaman berwarna putih, ada pita yang pengikat di lehernya sebagai aksesoris. Senyumnya ramah dan sopan.“Terima kasih,” balas Ghazi. Ia digir