Setelah kepergian Divya, tepat pukul sepuluh Ghazi pun keluar dari rumahnya. Memenuhi permintaan gadis itu yang menginginkan sebuah pernikahan yang serius. Langkah awal Ghazi adalah membeli sebuah cincin pernikahan untuk melamar wanita bar-bar tersebut. Menggunakan motor sportnya Ghazi meliuk-liuk di jalanan. Menyalip pengendara lain dan suara desing mesin itu sama sekali tidak mengganggu penguna jalan. Ia leluasa menikmati perjalanannya.Ghazi tidak pernah tahu di mana letak toko perhiasan terbaik di Briona. Hingga keputusannya jatuh pada pencarian pada web yang ada di ponselnya. Ghazi akan memasuki satu demi satu toko itu untuk melihat kualitas dan pelayanannya. Pria itu sungguh pemilih.Toko pertama Ghazi datangi, ia memarkir motornya dan kemudian mendekati pintu masuk.“Selamat datang,” sambut seorang wanita dengan seragam setelan hitam dan dalaman berwarna putih, ada pita yang pengikat di lehernya sebagai aksesoris. Senyumnya ramah dan sopan.“Terima kasih,” balas Ghazi. Ia digir
Kali ini Divya mengenakan gaun panjang tanpa lengan. Hanya seutas tali selebar jari di kedua pundaknya. Bagian punggung yang rendah serta belahan dada Divya yang terlihat menonjol. Kemudian belahan di bagian samping yang terlampau panjang hingga melewati lututnya. Memamerkan kaki serta paha Divya yang seputih salju.“Huh— Ghazi, sialan! Dia sengaja memilih pakaian norak ini? Sialan, gue nggak bisa jalan,” gerutunya. Gadis itu menata rambutnya sendiri. Menyisakan beberapa helai agar tetap terjuntai dan mengikat tinggi tanpa sisa seluruh rambut bagian belakangnya.Lagi-lagi lehernya yang panjang terekspos, Divya memang cocok untuk menjadi model. Akan tetapi jika sikapnya bisa sedikit lebih lembut dan feminin lagi. Sayangnya, Divya hanyalah Divya. Dia menjadi dirinya sendiri. Karakternya yang unik dan tidak mudah untuk terintimidasi.“Oke, kurasa gue udah cantik dari sononya ‘kan? Ngapain repot-repot dandan, kalau udah tahu hasilnya bakalan sepektakuler?” Bukan Divya namanya jika tidak m
Setelah makan malam dua sejoli yang hubungannya mulai terarah itupun kembali menikmati malam-malam yang hening di bawah pancaran indusrami. Divya menikmati tiupan angin di kursi gantung. Ia merasa begitu nyaman diposisinya sekarang. Memainkan jemarinya yang lentik di layar ponsel. Apa lagi jika bukan bertukar pesan pada Ivy. Bahkan dia memotret cincin yang melingkar di jari manisnya sebelah kanan.Sementara Ghazi pria itu duduk pada sofa menghadap laptop. Wajahnya serius dan Divya sesekali mencuri pandang padanya. Merasa bahwa pria itu terlihat lebih tampan dari hari-hari sebelumnya.“Ada sesuatu di wajahku?” pungkas Ghazi tanpa menatap ke arah gadis itu.“Dih! Kepedean! Kenapa harus kerja di sini? Apa gunanya ruang kerjamu, hah?” ketusnya, untuk menutupi hal yang sudah jelas tidak mampu dia singkirkan. Bahkan bagaimana gadis itu bisa melupakan kata-katanya terakhir kali sebelum makan malam tadi?Ghazi hanya menanggapi dengan senyumannya. Jika, Divya kehilangan arahnya, dirinyalah yan
Ghazi menembus hujan siang ini. Pria itu memikirkan banyak hal, termasuk apa tanggapan Hendery nanti. Mungkin jelas pria tua itu akan marah. Namun, dalam benaknya hanya ada ‘semuanya demi Divya’. Semenjak mengucapkan janji pernikahan dihadapan penghulu dan disaksikan dua pasang saksi serta Tuhan. Ghazi tidak berniat sama sekali mempermainan ikatan suci itu. Dari tuntunan pekerjaan, menjadi perjanjian dengan gadis itu, kini berakhir pada tanggung jawab yang harus dia emban seumur hidupnya.“Ada yang salah, Divya?” Pria itu menoleh sejenak pada Divya. Sejak masuk ke dalam mobil hingga setengah perjalanan wanita berambut panjang itu tidak mengeluarkan suara sedikit pun.“Nggak. Cuma lagi mikir aja, terakhir kali gue ke sana gue pergi dalam kondisi kesal. Gue lagi bayangin apa lagi kali ini yang bakal diberikan Papa untuk kejutan,” jawab, Divya dengan wajah lesu. Ia kehilangan semangatnya sejak Ghazi serius ingin membawanya kembali ke rumah.“Nggak bakal ada apa-apa, Divya. Mereka akan te
“Kenapa Lo bego banget, Ghaz?” gerutu Divya sembari menatap muka Ghazi dengan jengkel. Dia marah karena, tidak mampu menolong pria itu dari amukan ayahnya sendiri. Dia juga sadar kondisi itu memburuk juga karena ulahnya meninggalkan bekas ciuman di leher pria itu.Mereka kembali setelah laki-laki itu mendapatkan luka serius. Divya sempat membawa Ghazi ke rumah sakit. Sampai di sana, dokter mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Luka itu akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu.“Tuan Hen bukan lawanku, Divya. Dia hanya orang tua yang kesal anaknya dihamili laki-laki bukan pilihannya,” papar Ghazi dengan mulut yang tidak bisa terbuka dengan lebar.Tubuh Ghazi rebah di atas ranjang miliknya di balkon. Kini, Divya ikut berbaring di sisinya dan mempererat jaraknya pada pria yang sudah mencuri hatinya sampai akar.“Harusnya Lo nggak maksa buat datang ke sana. Gue yakin, acaranya bakal tetap lancar kok,” sesal Divya. Ia benar-benar tidak rela melihat Ghazi terluka.“Aku hanya
Mata Divya berkaca-kaca, ia melihat Ghazi dengan balutan jas rapi, warna senada dengan gaun miliknya. Pria itu tampak sangat menawan, apa pun warna pakaian yang dia kenakan selalu menyatu dengannya. Tatapan Divya beredar pada semua orang yang ada di sana. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang dia kenal. Ini adalah keharuan yang luar biasa. Ia menyeka air matanya.Tangan Ghazi terulur menyambut Divya yang tampak sangat anggun. “Kamu menawan, Divya,” puji, Ghazi dengan berbisik tepat pada telinganya.“Aku tahu! Bukankah setiap hari aku selalu cantik?” timpalnya dengan air mata yang masih berlinang.“Aku harap kehadiran mereka tidak mengurangi kebahagaiaanmu.” Secara cepat Divya menggeleng.“Tentu saja, tidak! Bahkan aku sama sekali tidak kepikiran seperti yang kamu pikirkan, Ghaz.” Ghazi mengecup kening, Divya. Bibirnya yang hangat membuat jantung Divya bergetar saat menyentuh permukaan kulit keningnya. Padahal hanya sebuah kecupan di kening, apa istimewanya? Namun, wanita selalu s
Gadis bermata cokelat itu membuka matanya. Rambutnya tampak berantakan. Kelopaknya terasa berat. Mengangkat tangannya untuk mencekal kepalanya yang terasa sedikit pening. Ia terbangun karena mentari sudah memecah sinar menerpa mukanya.“Kemana big bear itu?” batinnya. Ia lantas mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan kaca. Tidak mendapati Ghazi di sana. Divya bangkit. Duduk dan menjulurkan kakinya menyentuh lantai. Sekarang, ia bisa mengetahui di mana laki-laki besar itu. Seketika senyumnya mengembang layaknya bulan sabit kala malam.Ingatannya tertarik mundur saat semalam sebelum mereka tidur bersama. Benarkah? Sepertinya tidak.Setelah mendapatkan ciuman panas dari Ghazi. Keduanya lantas melepas seluruh pakaiannya. Dua insan yang tengah dilanda gairah. Hasrat yang melilit kesadaran mereka.Pautan itu masih terus berlanjut. Hingga tiba saat Ghazi meniti setiap permukaan kulit Divya yang seputih susu. Leguhan Divya terus keluar dari bibirnya yang terlihat semakin seksi. Matanya terp
Divya melamun sepanjang kelas yang dia lalui. Gadis itu tidak mampu menarik kesadarannya dari kejadian semalam. Merasa penasaran sekaligus bersalah pada suaminya. Begitu mengingat kata suami, senyum terulas di bibirnya.“Kesambet kamu?!” celetuk Ivy dengan penuh tekanan karena harus menahan suaranya agar tidak didengar oleh dosen mereka.“Gue rasa, iya. Kesambet timun roman Ghazi,” ujarnya blak-blakan.Ivy menoyor kepala Divya tanpa ragu. Selain bar-bar kini bertambah lagi kegilaan Divya yaitu, mesum. “Bisa-bisanya pikiranmu sekotor itu, Div?” bisik Ivy lagi.“Nggak bisa dilupain. Lo tahu, Ghazi— ugh!” Matanya setengah terpejam layaknya orang mabuk. Sekali lagi Ivy mendorong dahi Divya, hingga gadis itu tertawa terbahak.“Maaf, Pak,” sesalnya lekas menutup mulutnya karena takut pada sang pembimbing. Semua mata kini menatap ke arahnya.Obrolan kasak-kusuk mereka terus berlanjut hingga kelas usai. Divya merogoh tasnya untuk mencari ponselnya.“Keknya gue mo balik aja, deh. Nggak betah g